• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERTAMBANGAN TIMAH BANGKA

B. Pendirian Banka Tinwinning

1.

Penguasaan Bangka oleh Kesultanan Palembang

Kepulauan Bangka dan Belitung berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang sejak abad Ke-17. Kesultanan Palembang yang dipimpin oleh Sultan Abdurrachman dapat menguasai Bangka karena terjadinya perkawinan politik antara Sultan dengan seorang putri dari penguasa Bangka. Setelah pernikahan tersebut Sultan Abdurrachman yang akhirnya mendapatkan warisan atas Kepulauan Bangka.31 Sejak saat itu, tahun 1671, Bangka menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Palembang.

Setelah Sultan Abdurrachman wafat pada tahun 1702, kesultanan di pimpin oleh anak pertama sultan yaitu Dipati Anum Muhammad Mansur. Pemerintahan oleh Sultan Anum Mansur sangatlah singkat, yaitu kurang dari 15 tahun (1703-1714). Pada tahun 1714 sebelum wafat Sultan Anum Mansur menitipkan wasiatnya agar pemimpin kesultanan berikutnya adalah anak dari sultan tersebut yaitu Dipati Anum Badarrudin32.

Setelah Sultan Anum Muhammad Mansur wafat, terjadi perebutan kekuasaan di Kesultanan Palembang. Saudara kandung Sultan Anum Muhammad

31Nawiyanto dan Eko Crys Endrayadi. Kesultanan Pelembang Darussalam: Sejarah Dan Warisan Budayanya . Jember: Jember University Press, 2016., hlm. 36.

32Dipati Anum merupakan anak dari istri kedua Sultan Anum Mansur. Heidhues, Mary Somers., op.cit., hlm. 7.

Mansur yang bernama Sultan Anum Kamaruddin menginginkan tahta kesultanan. Sultan Anum Kamaruddin dengan segera memproklamirkan dirinya sebagai pengganti kakaknya untuk menjadi Sultan Palembang. Wasiat dari Sultan Anum Muhammad Mansur tidak dijalankan oleh Sultan Anum Kamaruddin dan membuat pegawai pemerintah terpecah menjadi dua golongan. Pendukung Sultan Anum Kamarudin dan pendukung Dipati Anum Badarrudin. Pengikut Dipati Anum Badarrudin adalah pegawai pemerintahan dan rakyat Palembang yang mengikuti wasiat Sultan sebelum wafat bahwa Dipati harus menjadi pemimpin selanjutnya.

Ketika itu terjadilah perang saudara, antara kedua belah pihak dibantu dengan pasukannya masing-masing. Setelah perang saudara terjadi berlarut-larut, Dipati Anum Badaruddin dan pengikutnya mengalah dan mengasingkan diri ke Pulau Bangka dan mendarat di Permis.

Setelah mengasingkan diri ke Pulau Bangka, Dipati Anum Badarrudin melakukan perjalanan ke Riau, Johor dan Siantan untuk mencari dukungan agar dapat merebut kembali Kesultanan Palembang. Pengasingan Dipati Anum Badarrudin diikuti oleh saudaranya Raden Lembu atau Sultan Lemabang, yang kemudian menjadi Sultan Mahmud Badaruddin.

Dalam pengasingannya di Johor hingga Riau, sebuah pusat perdagangan timah dan pusat penyelundupan, memberikan kesempatan bagi Dipati Anum Badaruddin dan saudaranya untuk mengenal barang dagangan dan melihat bahwa timah diperjualbelikan. Untuk bertahan hidup di Pulau Bangka, Johor dan Siantan,

Sultan Mahmud Badaruddin dan pengikutnya menggali timah Bangka33 dan menjualnya secara sembunyi-sembunyi.

Keinginan untuk menyerang Palembang masih membara di hati Sultan Mahmud Badarrudin I dan pengikutnya. Oleh karena itu diaturlah siasat kerjasama yang dilakukan ialah dengan membuat perjanjian antara Sultan dan Wan Akup.34

Pada tahun 1733 pasukan dari Sultan Mahmud Badaruddin menyerang Kesultanan Palembang dengan 40 kekuatan kapal dan dibantu oleh rakyat Pelembang yang masih berpihak padanya. Dengan cepat pertahanan Kesultanan Palembang runtuh dan Sultan Anum Kamaruddin melarikan diri.

Kesultanan Palembang telah kembali kepada Sultan Mahmud Badarrudin dan perjanjian dengan Wan Akup ditepati. Didirikanlah sebuah kampung kecil (Mentok) dan diperuntukkan kepada Wan Akup dan keturunannya sebagai tempat tinggalnya. Tidak hanya sebatas tempat tinggal, Sultan memberikan kekuasaan kepada Wan Akup untuk menjadi pemegang kekuasaan di Mentok sebagai ibukota pemerintahan sekaligus sebagai kepala urusan penambangan bijih timah di Bangka, dan diberi gelar Datok Rangga Setiya Agama.35

33Pengetahuan mengenai timah didapatkan oleh Sultan Anum Badarrudin dari pertemuan dengan perdagangan dan pertambangan di Johor dan Siantan.

34Wan Akup adalah Kepala Negeri Siantan yang mendukung Sultan Mahmud Badarrudin untuk merebut kembali Kesultanan Palembang, dan imbalan yang diberikan Sultan bagi Wan Akup ialah memberikan sebagian Pulau Bangka. Wilayah dari Pulau Bangka yang dijanjikan yaitu sebuah kampung kecil di bagian barat Pulau Bangka. Pada perkembangannya kampung tersebut menjadi Kota Mentok atau Muntok.

35Sutedjo Sujitno, Dampak Kehadiran Timah Indonesia Sepanjang Sejarah, 2007., op. cit., hlm. 51.

Ketika Wan Akup menjadi Kepala Kota Mentok, para Patih, Batin, dan Orang-orangnya dikerahkan untuk mencari timah secara besar-besaran. Mereka menemukan banyak tempat yang kaya kandungan timah dan kemudian membuka parit-parit penggalian timah di banyak tempat.

Atas laporan Wan Akup mengenai cadangan timah Bangka, maka Sultan menetapkan peraturan untuk menambang timah. Peraturan ini disebut peraturan Timah Tiban, isi peraturan tersebut demikian:

“...bahwa semua lelaki yang sudah kawin, kecuali orang Melayu,

diharuskan menyerahkan timah seberat 50 kati. Sebagai imbalan Sultan akan menganugerahi sepotong kain hitam dan sepotong kain tjukal. Timah-timah agar diserahkan pada Wan Akup untuk dikumpulkan dan pada akhir tahun akan diserahkan pada Sultan di Palembang. Sedangkan timah yang dikerjakan Wan Akup dan orang-orang Melayu dan Penduduk Bangka di bagian barat (Mentok) diperbolehkan dimiliki Wan

Akup dan keluarganya sendiri.”36

Wan Akup sebagai Kepala kampung (Mentok) merasa perlu mengembangkan pertambangan Bangka, maka diutuslah saudaranya yaitu Wan Seren dari Siantan untuk mencari orang-orang Siam, Malaysia dan China yang sudah berpengalaman menambang timah. Tenaga kerja dari Siam, Malaysia, dan China berdatangan dan dipekerjakan oleh Sultan di bawah pimpinan Wan Akup dengan sistem kongsi. Pengiriman tenaga kerja dari Siam, Malaysia dan China inilah yang akan merangkai sistem penambangan timah Bangka.

2. Perusahaan BankaTinwinning (BTW)

Karena di bawah Kesultanan Palembang, Bangka menjadi pemasok timah bagi pemerintahan Palembang. Timah-timah tiban dan timah dari Wan Akup dipergunakan Kesultanan sebagai komoditas yang diperjualbelikan kepada VOC. Barang dagang yang dibeli VOC dari Palembang adalah komoditas lada dan timah milik Bangka.

Perjanjian hubungan dagang antara VOC dan Palembang terjadi pada tahun 1722, seorang komisaris VOC bernama Abraham Patras menandatangani kontrak pengiriman timah dan lada Bangka dengan Sultan Palembang. Kesultanan Palembang menyetujui kontrak tersebut karena perjanjian dengan VOC, bahwa VOC akan membantu Kesultanan melawan Dipati Anum.37 Sejak ditandatanganinya kontak tersebut, lada dan timah Bangka hanya dijual kepada Belanda.

90 tahun perjalanan kontrak timah antara Palembang dan VOC, kontrak tersebut putus pada tahun 1812. Pada tahun 1812 Inggris datang ke Palembang dan Bangka. Inggris memberhentikan Sultan Mahmud Badarrudin II dan menggantikannya dengan saudaranya yang bernama Ahmad Najamudin.

Sultan baru Palembang yaitu Sultan Ahmad Najamudin menyepakati untuk menyerahkan Bangka kepada Inggris pada bulan Mei 1812, dan akan menerima pembayaran tiap tahunnya sebagai kompensasi atas hilangnya pendapatan dari timah.38

37Heidhues, Mary Somers., op. cit., hlm. 8.

Sejak penguasan Inggris di Bangka, Bangka berada di bawah kewenangan langsung kekuasaan kolonial dan secara administratif dipisahkan dari urusan Palembang dan ditangani langsung dari Batavia.

Pembaharuan di bidang pertambangan dilakukan oleh pihak Inggris melalui residen di Bangka bernama Court. Pembaruan tersebut diantaranya adalah transisi kekuasaan langsung, pengiriman tenaga buruh untuk pertambangan dan pertanian, pengiriman tenaga tukang atau ahli, mengekang perompakan.

Disaat pembaruan pertambangan diusahakan agar hasil timah dapat maksimal, perjanjian London terjadi di London pada tanggal 13 Agustus 1814. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah mengharuskan Britania Raya menyerahkan Pulau Bangka kepada Belanda untuk ditukar dengan Cochin di India. Sejak saat inilah era kekuasaan Inggris dan Palembang atas Bangka berakhir dan dikuasai langsung oleh pemerintahan Belanda.

Pada tahun 1913 Pemerintah Belanda mendirikan perusahaan pertambangan timah di Bangka dengan nama Banka Tinwinning (BTW). Sebuah Badan Usaha Milik Negara yang menjadi tonggak pertama sejarah berdirinya perusahaan pertambangan di Indonesia.

BTW dibentuk sebagai usaha perbaikan adminstratif dan teknologi penambangan. Dalam usaha administratif, adanya peraturan bagi buruh-buruh Tionghoa, dalam usaha teknologi ada pembaharuan mesin-mesin pertambangan.

Setelah pembentukan perusahaan Banka Tinwinning pada tahun 1913, pemerintah Belanda merasa perlu didirikan sebuah kantor untuk mengurus seluruh

administrasi penambangan. Didirikanlah kantor Banka Tinwinning pada tahun 1915 di Kota Mentok.

Sejak berdirinya kantor dagang tersebut dimulailah eskpor timah dalam jumlah besar dibandingkan sebelum perusahaan ini dibentuk. Pengiriman timah dalam jumlah besar didukung karena pekerjaan buruh dalam menambang tidak terlalu berat lagi dan telah dibantu mesin-mesin penambangan sehingga menghasilkan jumlah timah yang maksimal dari para penambang.

Pembentukan perusahaan BTW ini sebagai cara Belanda memperkenalkan generasi mesin, yang akan menggantikan kerja berat buruh dan memperbaiki kondisi buruh tambang.39 Mesin-mesin baru yang membantu pertambangan seperti, mesin penggerak dan pengangkut tanah, alat pengangkut biji timah, pompa gravel, dan penggunaan kapal keruk.

Selain pembentukan perusahaan Belanda di Bangka, pembentukan badan-badan pertambangan juga dilakukan di Singkep dengan nama Singkep Tin Exploitatie Maatschappij (SITEM) pada tahun 1887 dan di Belitung dengan nama

Gemeenschappelijeke Maatschapij Billiton (GMB) pada tahun 1923.

Dokumen terkait