• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROSEDUR PEMBUBARAN PERSEROAN TERBATAS

C. Organ Perseroan Terbatas

4. Pendirian Perseroan Terbatas

Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas ditegaskan bahwa Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau “lebih”dengan akta notaris yang dibuat

dalam bahasa Indonesia. Dalam definisi atau persyaratan ini terdapat unsur-unsur pokok: “oleh dua orang orang”, “akta notaris” dan “bahasa Indonesia”83.

Sekurang-kurangnya harus 2 (dua) orang karena dalam mendirikan Perseroan harus didasarkan pada perjanjian, atau yangdisebut asaskontraktualsesuai pasal 1313 Kitab Undang-undangHukum Perdata, dimana suatu perjanjian adalah suatu perbuatandengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, sehingga tidak mungkin dalam pendirian Perseroan Terbatas hanya dibuat oleh satu orang saja. Yang dimaksud “orang” disini adalah orang perseorangan atau badan hukum.

Dalam perjanjian pendirian Perseroan Terbatas diperlukan akta notaris karena akta yang demikian merupakan akta otentik. Dalam hukum pembuktian, akta otentik dipandang sebagai suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna.84 Artinya bahwa

apa yang ditulis di dalam akta tersebut harus dipercaya kebenarannya dan tidak memerlukan tambahan alat bukti lain.

Jika yang diajukan bukan akta notaris maka permohonan pengesahan akta pendirian Perseroanterbatas dapat ditolak oleh Menteri Kehakiman, sehingga akanberakibat Perseroan Terbatas tidak berbadan hukum.Perjanjian pendirian Perseroan Terbatas yang dilakukan olehpara pendiri tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris yang disebut dengan “Akta Pendirian”. Akta Pendirian ini pada dasarnya mengatur berbagai macam hak-hak dan kewajiban para pihak pendiri perseroan

83I.G.Rai Widjaya,ibid,halaman 23.

dalam mengelola dan menjalankan Perseroan Terbatas tersebut. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban tersebut yang merupakan isi perjanjian selanjutnya disebut dengan “Anggaran Dasar” perseroan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas.Pasal tersebut menegaskan bahwa akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian perseroan. Dalam Pasal 8 ayat (2) “keterangan lain” tersebut memuatsekurang-kurangnya : a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan

kewarganegaraan pendiri perseroan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri perseroan;

b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal,

kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yangpertama kali diangkat; dan

c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham,rincian jumlah saham dan nilai nominal saham yang telahditempatkan dan disetor.

Undang-Undang Perseroan Terbatas juga mengatur tentang hal-hal yang tidak bolehdimuat di dalam akta pendirian. Adapun hal-hal yang tidak boleh dimuat dalam akta pendirian sebagaimana ditetapkan Pasal 15 ayat (3) UUPT yaitu :

a. ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham;

b. ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri ataupihak lain. Dalam mendirikan Perseroan Terbatas tidak cukup dengan caramembuat akta pendirian yang dilakukan dengan akta otentik.Merupakan suatu keharusan setelah

akta pendirian PerseroanTerbatas selesai dibuat, mendapat pengesahan dari Menteri agar Perseroan Terbatas memperoleh status badan hukum.Selanjutnya untuk dapat memperoleh pengesahan tersebut,menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas prosedur yang harus ditempuh adalah para pendiri Perseroan Terbatas tersebut secara bersama-sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi system administrasi badan hukum secaraelektronik

kepada Menteri denganmengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya : a. nama dan tempat kedudukan perseroan;

b. jangka waktu berdirinya perseroan;

c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan;

d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; e. alamat lengkap perseroan.

Terhadap permohonan ini Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas menetapkan jangka waktu pemrosesannya dalam waktu paling lama 60 (enampuluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai “dokumen pendukung”.

Apabila “dokumen pendukung” telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri langsung menyatakan tidak keberatan atas permohonan yang bersangkutan secara elektronik. Maksudnya adalah bahwa permohonan yang diajukan tersebut sudah memenuhi syarat dan kelengkapan yang diperlukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya apabila dokumen pendukung tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Menteri

langsung memberitahukan penolakan beserta alasannya kepadapemohon secara

elektronik. Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan “tidak keberatan” Menteri, pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikansecara fisiksurat permohonan yang dilampiridokumen pendukung”. Apabila semua persyaratan telah dipenuhi secara lengkap, paling lambat 14 (empatbelas) hari, Menteri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hokum perseroan yang ditandatangani secaraelektronik.

Dengan diperolehnya pengesahan dari Menteri yang berarti berlakunya Anggaran Dasar perseroan secara menyeluruh terhadap semua pihak, baik pihak pendiri maupun pihak ketiga lainnya yang berkepentingan dengan perseroan, maka praktis Anggaran Dasar perseroan telah menjadi “Undang-undang” bagi semua pihak.85

Status badan hukum Perseroan Terbatas tersebut mempengaruhi tanggungjawab Perseroan Terbatas dalam tindakannya. Terhadap kerugian yang diderita Perseroan Terbatas berakibat para pemegang saham bertanggungjawab terbatas sebesar saham yang dimasukkan. Seperti halnya ketentuan sebelumnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Undang-undang Perseroan Terbatas juga mewajibkan dilaksanakannya pendaftaran dan pengumuman perseroan. Kewajiban pendaftaran dan pengumuman tersebut diselenggarakan oleh Menteri,

85 Ahmad Yani & Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT

sesuai Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-undang Perseroan Terbatas. Adapun yang wajib diumumkan dalam Tambahan Berita NegaraRepublik Indonesia adalah :

1. akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri;

2. akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri; 3. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima

Pemberitahuannya oleh Menteri.Pengumuman oleh Menteri dilakukan dalam waktu paling lambat 14 (empatbelas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri atau sejak diterimanya pemberitahuan.

D. Prosedur Pembubaran Perseroan Terbatas

Praktek pembubaran Perseroan menurut Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 akibat keputusan RUPS ternyata terdapat inkonsistensi pelaksanaan pasal 152 ayat 5 UU 40/2007 yang mengatur tentang pencatatan berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dalam Daftar Perseroan.

Pembubaran Perseroan dalam UU 40/2007 diatur dalam pasal 142 sampai dengan pasal 152, dimana yang berbeda dengan pengaturan dalam UU 1/1995 (pasal 114 s/d pasal 124) adalah mengenai berakhirnya status badan hukum Perseroan. Dalam UU 40/2007 ditegaskan bahwa Menteri akan mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan yaitu setelah mendapatkan pemberitahuan dari Likuidator tentang hasil akhir proses likuidasi yang dicantumkan dalam RUPS "terakhir".

Untuk lebih jelasnya berikkut ini diuraikan langkah-langkah pembubaran PT berdasarkan RUPS :

1. Pelaksanaan RUPS dengan materi acara Pembubaran PT diikuti dengan penunjukan Likuidator untuk melakukan proses likuidasi ( pasal 142 ayat 1 dan 2)

2. Dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, Likuidator harus mengumumkan dalam Surat Kabar dan Berita Negara Republik Indonesia serta memberitahukan kepada Menteri ( pasal 147 ayat 1). Catatan : Dalam tahap ini Menteri hanya mencatat bahwa Perseroan dalam likuidasi. 3. Dalam tahap pemberesan harta kekayaan Perseroan, Likuidator wajib

mengumumkan dalam Surat Kabar dan BNRI mengenai Rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi (pasal 149 ).

4. Dan terakhir diadakan RUPS tentang pertangggung jawaban Likuidator dalam melaksanakan proses likuidasi, sekaligus memberikan pelunasan dan pembebasan kepada Likuidator; yang diikuti pengumuman dalam Surat Kabar mengenai hasil akhir proses likuidasi dan pemberitahuan kepada Menteri.(pasal 152 ayat 3)

5. Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari Daftar Perseroan diikuti dengan pengumuman dalam BNRI (pasal 152 ayat 5 jo ayat 8).

Singkatnya Likuidator harus mengumumkan 3 kali dalam Surat Kabar (mengenai pembubaran, rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dan hasil akhir proses likuidasi) dan 1 kali dalam BNRI (mengenai pembubaran), serta

memberitahukan kepada Menteri 2 kali (mengenai pembubaran dan hasil akhir likuidasi).

Dalam praktek ketika memasukkan data untuk memenuhi ketentuan pasal 152 ayat 3 (proses pemberitahuan hasil akhir likuidasi) ternyata data di database

sisminbakum telah dihapus. Rupanya pada waktu pertama kali

melaporkan/memberitahukan pembubaran Perseroan, seketika itu pula Menteri (melalui Sisminbakum) melakukan pencatatan berakhirnya status badan hukum Perseroan. (seharusnya Menteri hanya melakukan pencatatan bahwa Perseroan dalam proses likuidasi).

Jadi dalam praktek Berita Acara RUPS "terakhir" yang berisi hasil akhir proses likuidasi dan pelunasan serta pembebasan likuidator tidak dapat diberitahukan kepada Menteri melalui Sismnbakum, oleh karena data Perseroan telah dihapus.

Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Perseroan sesungguhnya adalah : a) badan hukum b) persekutuan modal, dan c) wadah perwujudan kerja sama dari para pemegang saham. Dengan memperhatikan bahwa Perseroan adalah persekutuan modal, sudah sewajarnya bahwa RUPS selaku organ Perseroan yang merupakan wadah perwujudan kepentingan para pemegang saham mempunyai segala wewenang dalam Perseroan yang tidak diberikan kepada Direksi dan Dewan Komisaris dalam batas yang

ditentukan dalam undang-undang Perseroan dan atau anggaran dasar Perseroan (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 75 ayat (1) UU PT No. 40/2007).

Dengan memperhatikan bahwa RUPS adalah organ yang mewakili kepentingan para pemegang saham, maka sudah sewajarnya bahwa semua keputusan yang berkaitan dengan struktur organisasi Perseroan dan kepentingan para pemegang saham, misalnya perubahan anggaran dasar, permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, pembubaran Perseroan, penambahan modal Perseroan dan pengeluaran saham baru dan penggunaan laba Perseroan adalah wewenang RUPS.

Namun demikian, tentunya menjadi permasalahan jika pembubaran Perseroan dalam hal saham perseroan dimiliki oleh dua kubu pemegang saham yang memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham, yang menyebabkan RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah.

Pembubaran Perseroan

Menurut Pasal 142 Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2007, pembubaran Perseroan dapat terjadi:

1. Berdasarkan Keputusan RUPS

a. Direksi, Dewan Komisaris atau 1 pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, dapat mengajukan usul pembubaran Perseroan kepada RUPS.

b. Keputusan RUPS:

2. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah seluruh pemegang saham hadir dengan hak suara atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain.

3. Jika quorum 3/4 tidak tercapai, maka dapat diadakan RUPS kedua yang dianggap sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan lain.

4. Jika quorum RUPS rapat kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan agar ditetapkan quorum untuk RUPS ketiga

5. Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai quorum yang ditetapkan dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua Pengadilan Negeri.

2. Karena jangka waktu berdirinya PT berakhir. 3. Berdasarkan penetapan pengadilan.

a. Atas permohonan kejaksaan dengan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan;

b. Permohonan pihak yang berkepentingan, dengan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian;

c. Permohonan Pemegang Saham, Direksi, atau Dewan Komisaris dengan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.

4. Dengan dicabutnya kepalitan berdasarkan keputusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan.

5. Karena harta perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau

6. Karena dicabutnya izin usaha PT

Jika hal tersebut ditelaah lebih lanjut dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka suatu perseroan yang yang sahamnya dimiliki oleh dua kubu pemegang saham yang memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham dan salah satu dari kubu pemegang saham menghendaki pembubaran Perseroan, maka upaya yang dapat dilakukan tentunya adalah berdasarkan penetapan Pengadilan melalui pengajuan permohonan pembubaran Perseroan. Mengingat alasan pembubaran perseroan berdasarkan keputusan RUPS tidak akan dapat pernah tercapai.

Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana proses pembubaran perseroan yang sahamnya dimiliki oleh 2 dua kubu pemegang saham yang memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham. Kita perlu merujuk kembali ke UU PT.

Dalam Pasal 146 ayat 1 huruf c UU PT No. 40/2007, disebutkan bahwa Pengadilan Negeri dapat membubarkan Perseroan atas permohonan pemegang saham, Direksi, atau Dewan Komisaris dengan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan. Adapun caranya adalah melalui proses permohonan pembubaran perseroan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang dapat diajukan oleh Pemegang Saham, Direksi, atau Dewan Komisaris dengan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan.

Mengenai alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan lebih lanjut ternyata diatur dalam penjelasan Pasal 146 ayat 1 (c) UU PT No. 40/2007, yang menyebutkan bahwa:

Yang dimaksud dengan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan, antara lain:

a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak;

b. Dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dupanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS;

c. Dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan sedemikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham; atau.

d. Kekayaan Perseroan telah berkurang sedemikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya.

Dengan memperhatikan penjelasan dari ketentuan Pasal 146 ayat 1 (c) UU PT No. 40/2007, maka yang menjadi dasar atau alasan-alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan adalah tidak berlaku secara kumulatif. Hal ini terlihat jelas dari penggunaan kata antara lain dan kata atau sebagai kata penyambung antara poin c

dan d. Dengan demikian bilamana salah satu dari alasan tersebut terpenuhi, maka menurut hukum Perseroan dimaksud seharusnya dapat dibubarkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan kapan status badan hukum suatu Perseroan benar-benar berakhir; yaitu bukan oleh karena pencatatan yang dilakukan oleh Menteri namun pada saat telah dilakukan pemberesan dan pertanggungjawaban likuidator telah diterima oleh RUPS demikian sesuai pasal 143 UU 40/2007 ayat 1.

BAB III

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERSEROAN TERBATAS YANG BUBAR

A. Akibat Hukum Terhadap Perseroan Terbatas Yang Bubar

Sebagai suatu badan hukum, perseroan terbatas dianggap seolah-olah sebagai suatu person atau subyek hukum tersendiri (artificial person) yang mandiri sehingga mempunyai hak untuk menjadi pemegang hak dan kewajibannya sendiri, sedangkan Direksi sebagai bagian dari organ perseroan terbatas adalah satu-satunya organ perseroan yang berhak dan berwenang untuk mewakili perseroan sebenarnya hanyahlah sub dari suatu subyek hokum yang bernama perseroan terbatas.

Dari pengertian di atas maka dalammelakukan kewajibannya untuk melakukan pengurusan perseroan maka ada pembatasan kewenangan bagi Direksi bahwa ia tidak diperkenankan untuk bertindak diluar maksud dan tujuan dari perseroan serta untuk melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya sebagaimana ditentukan didalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar, dan Peraturan lain yang berlaku. Dengan dipenuhinya syarat-syarat pembatasan kewenangan yang berlaku maka setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota Direksi Perseroan akan dianggap tetap mengikat perseroan. Ini berarti perseroan harus tetap menanggung segala akibat hukumnya sehingga berdasaran hal ini maka untuk menciptakan kepastian hukum mengenai kewenangan bertindak untukdan atas nama perseroan, pada banyak negara telah diberlakukan mekanisme keterbukaan (disclosure) tertentu yang mewajibkan perseroan untuk mengumumkan

kewenangan bertindak Direksi dan setiap anggotanya termasuk pihak-pihak lainnya yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk bertindakuntuk dan atas nama perseroan serta pembatasan kewenang-kewenangannya.

Indonesia ketentuan mengenai keterbukaan informasi ini dapat dilihat di dalam UUPT. Dengan adanya ketentuan mengenai keterbukaan atau disclosure

diharapkan dapat mengurangi seminimal mungkin resiko-resiko hukum yang tidak diharapkan. Direksi memiliki tanggung jawab penuh dalam melaksanakan semuatugasnya untuk kepentingan dan tujuan perseroan, dan tindakannya tersebut didasarkan itikad baik serta mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tugas (responsibility) adalah segala tindakan atau perbuatan direksi dalam manajemen, dan dilakukan untuk tujuan dan kepentingan perseroan (perusahaan). Semua tugas direksi didasarkan wewenang yang didapatnyabaik atas Anggaran dasar perseroan atau atas dasarfiduciary duty.

Tugas direksi dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu :86

1. Tugas yang didasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence). 2. Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill,

care and diligence).

3. Tugas-tugas yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang (Statutoryduties) .

Untuk lebih lanjut mengenai kelompok tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Direktur harus bertindak dengan pertimbangan yang jujur berdasarkankepentingan perusahaan dan bukan atas dasar kepentingan kelompok. b. Direktur tidak menempatkan dirinya dalam posisi yang mengakibatkan.terjadinya pertentangan antara kepentingan perusahaan dan kepentingan pribadi (conflict of interest) atau tugas dan kepentingannya. c. Direktur harus menggunakan wewenang dan asset yang dipercayakan kepadanya untuk maksud yang telah diberikan dan bukan untuk tujuan lain.

2. Tugas-tugas ini hanya merupakan aspek dari tugas direktur agar tidak lalai (negligent) dalam pelaksanaan fungsinya.b. Bahwa secara konsep “the duty to be skillfull” berbeda dengan “theduty to be care” dan “the duty to be diligence”. 3. Diamanatkan oleh Undng-undang (by the act) seperti direktur harus melaksanakan

reasonable diligence” dalam tugas jabatannya atau “disclosure”.87

Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan artinyabahwa secara fiduciary harus melaksanakan standar of care. Fiduciary duryadalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh rasa tanggung jawab dan dengan itikad baik untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain(perseroan) Di dalam UUPT

tidak dijelaskan mengenai pengertian itikad baik tersebut. Menurut J. Satrio itikad baik itu dapat diartikan sebagai berikut :88

1. Itikad baik yang subyektif, yaitu berkaitan sikap batinnya, apakah yangbersangkutan sendiri menyadari atau sadar akan tindakannya, bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik.

2. Itikad baik yang obyektif, yaitu berkaitan dengan pendapat umum, apakahumum menganggap tindakan yang seperti itu bertentangan dengan itikad baik.

3. Itikad baik membuat dan memelihara daftar pemegang saham, risalah RUPS dan risalah rapat direksi.

4. Itikad baik menyelenggarakan pembukuan perseroan yang semuanya disimpan di tempat kedudukan perseroan.

5. Melaporkan kepada perseroan tentang kepemilikan sahamnya, dan keluarganya baik yang ada di dalam perseroan maupun di luar perseroan.

6. Wajib meminta persetujuan dari RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dan tidak boleh merugikan pihak ketiga.

Kaitannya dengan pengurusan perseroan kewenangan bertindak yang ada di dalam diri direksi menjadi sangat penting terutama jika dihubungkan dengan konsekuensi hukum apabila direksi melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dalam lapangan hukum perjanjian demi terpenuhinya syarat subyektif sahnya suatu

88J. Satrio, Hukum Perikatan,Perikatan Lahir Dari Perjanjian, (Bandung ; PT Citra Aditya

perjanjian. Hukum Perjanjian dan lazimnya peraturan perundang-undangan yang berlaku mengancam setiap perbuatan hukum yang tidak memenuhi syarat ini dengan ancaman kebatalan atau dapat dibatalkan.

Sebagai organ dari perseroan, keberadan direksi bergantung sepenuhnya pada keberadaan perseroan, dan sebaliknya perseroan baru dapat menjalankan kegiatannya jika ada direksi yang mengurus dan mengelolanya. Berdasarkan paparan di atas maka direksi bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perseroan atas tindakan yang mengatasnamakan perseroan. Perseroan yang dirugikan oleh tindakan, perbuatan, atau perikatan yang dibuat oleh direksi, dapat mengajukan gugatan terhadap anggota direksi berkenaan, baik selama ia menjabat maupun setelah diberhentikan melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham.

Pertanggungjawaban (Accountability) atas tindakan direksi dapatdiketahui dari apakah tindakan yang dilakukannya berdasarkan wewenang (authority), termasuk di dalamnya didasarkan pada prinsip fiduciary duty atau tidak, dan tindakan tersebut didukung oleh keadaan yang seimbang antara tugas dan kewajiban dengan kemampuan melaksanakan tugas dan kemampuan (capability) atau tidak.

Menurut Moelyatno, adanya kemampuan bertanggung jawab harus memenuhi syarat89

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik danyang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Kepailitan perseroan terbatas baik secara langsung ataupun tidak langsung akan menimbulkan akibat hukum bagi para pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai kepailitan perseroan terbatas salah satuya adalah mengenai sejauh mana pertanggungjawaban terhadap adanya kepailitan perseroan terbatas, apakah badan hukumnya itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab ataukah organ perseroan dalam hal ini direksi yang akan bertanggung jawab secara pribadi.

Dalam menjawab persoalan ini kita dapat memakai asas umum : tindakan hukum yang dilakukan oleh organ di luar batas-batas kewenangannya, badan hukum hanya dapat dipertanggungjawabkan jika :

1. Kemudian ternyata dari tindakan itu menguntungkan badan hukum. 2. Suatu organ yang lebih tinggi kehendaknya menyetujui tindakan ini.

Persetujuan dari organ yang lebih tinggi itu harus masih dalam batas-