• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu yang Relevan Mengenai Kayu Lapis

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kayu Lapis Eksterior

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan Mengenai Kayu Lapis

Suprehatin (2002) meneliti tentang Kajian Pengendalian Persediaan Rotan Sebagai Bahan Baku Furniture pada PT. Kudus Istana Furniture, Kudus. Tujuan dari penelitian ini 1). Mempelajari sistem pengadaan bahan baku dan kebijakan yang dilakukan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku, 2). Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku oleh perusahaan yang optimum.

Hasil perbandingan antara metode perusahaan dengan metode MRP pada setiap jenis rotan diperoleh penghematan rata-rata terbesar berturut-turut adalah metode PPB, EOQ, dan LFL. Penghematan biaya persediaan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode PPB, masing-masing pada rotan poles manau (56,75 %), asalan manau (54,66 %), core (74,64%) dan asalan slimit (74,32%). Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada tiap jenis rotan terdapat pada metode PPB. Pada metode LFL ada yang tidak terjadi penghematan biaya pemesanan yaitu pada rotan asalan buaya (-27,77%). Metode yang dipilih adalah PPB. Hal yang mendasari rekomendasi tersebut adalah 1). Metode PPB menghasilkan banyak penghematan pada beberapa kriteria dengan penghematan tinggi kecuali untuk biaya penyimpanan. 2) metode dapat mendukung manajemen yang diterapkan oleh perusahaan dalam persediaan rotan digudang sebagai antisipasi adanya kerusakan rotan dan adanya kebutuhan mendadak.

Nurdiani (2003), meneliti tentang Upaya Pengendalian Persediaan Kayu Bulat dengan Biaya Persediaan Minimum untuk Bahan Baku Olahan. Penghematan rata-rata terbesar berturut-turut adalah teknik PPB, LFL, dan EOQ. Penghematan biaya persediaan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada teknik

LFL (48,99%), sedangkan pada kayu Pinus terjadi pada teknik PPB (44,50%). Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada teknik PPB (44,23%), begitu pula pada kayu Pinus, penghematan terbesar biaya pemesanan terjadi pada teknik PPB (64,00%). Sementara itu, penghematan biaya penyimpanan tertinggi pada kayu Sengon terdapat pada LFL (97,00%), dan kayu Pinus juga terjadi pada teknik LFL (100.00%).

Setiap metode terdapat biaya-biaya tertentu pada kayu Pinus yang tidak terjadi penghematan. Pada teknik LFL tidak terjadi penghematan biaya pemesanan (-84,00%) dan biaya persediaan (31,46%). Pada teknik EOQ tidak terjadi penghematan biaya penyimpanan (-16,71%), dan pada teknik PPB tidak terjadi penghematan biaya penyimpanan (-4,29%). Secara keseluruhan pada tiap metode MRP terjadi penghematan biaya persediaan. Untuk penghematan biaya persediaan tertinggi yaitu pada teknik PPB (41,64%), LFL (22,38%), dan EOQ (21,33%). Jadi berdasarkan analisis yang dilakukan, teknik PPB bisa direkomendasikan sebagai alternatif pengendalian persediaan kayu bagi perusahaan.

Sirait (2004), meneliti tentang Analisis Pengadaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu (Studi Kasus di PT Wood Frame). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengendalian persediaan bahan baku kayu pada PT. Daisen Wood Frame, sedangkan secara khusus adalah :1) mempelajari sistem Pengadaan bahan baku dan kebijakan yang dilkaukan perusahaan dalam pengendalian persediaan, 2) menganalisis pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan perusahaan. Metode yang digunakan adalah MRP dengan teknik Lot For Lot (LFL), EOQ dan Part Period Balancing (PPB). Perhitungan dengan

menggunakan LFL dan PPB menghasilkan penghematan biaya paling besar, tetapi teknik ini tidak dapat diterapkan karena tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang menginginkan adanya persediaan bahan baku kayu. Berdasarkan seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut, menunjukkan bahwa metode MRP sangat cocok digunakan untuk tipe permintaan terikat. Metode ini secara tidak langsung konsisten dengan stabilitas produksi, karena metode ini persediaan bahan baku sesuai dengan rencana kabutuhan sehingga terhindar dari pemborosan pembelian dan kekurangan persediaan yang pada akhirnya dapat memperlancar kegiatan produksi perusahaan.

Metode MRP teknik EOQ menghasilkan penghematan biaya persediaan dalam jumlah besar, meskipun penghematan lebih kecil jika dibandingkan dengan LFL dan PPB. Tetapi teknik EOQ sangat cocok diterapkan perusahaan karena memberikan ukuran lot yang ekonomis serta mempertimbangkan minimisasi biaya persediaan, teknik EOQ juga menyediakan persediaan yang cukup untuk mengantisipasi jika suatu saat terjadi kekurangan bahan baku.

Syahru (2004) menganalisis tentang Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kayu pada PT Jaya Cemerlang Industri. Penghematan biaya persediaan tertinggi berturut-turut adalah pada kayu Pinus terdapat pada teknik LFL (44,30%) sedangkan kayu Prupuk terjadi pada metode perusahaan. Penghematan biaya pemesanan tertinggi pada kayu Pinus terdapat pada teknik EOQ dan PPB (28,00%). Sedangkan pada kayu Prupuk, penghematan terbesar biaya pemesanan terjadi pada metode perusahaan. Sementara itu, penghematan biaya penyimpanan tertinggi pada kayu Pinus terdapat pada teknik LFL (91,93%), dan pada kayu Prupuk juga terjadi pada teknik LFL (11,72%). Pada kayu Pinus

terjadi penghematan biaya persediaan. Urutan penghematan biaya persediaan tertinggi yaitu pada teknik LFL (44,30%), dan PPB (43,16%). Hal ini berarti kedua metode MRP tersebut dapat dijadikan alternatif model dalam pengendalian persediaan bahan baku pada PT Jaya Cemerlang Industri. Berdasarkan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan diatas, maka teknik LFL merupakan metode alternatif terbaik untuk persediaan kayu Pinus dibanding dengan yang lainnya.

Lestari (2007), menganalisis tentang Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Sengon di PT Binautama Kayone Lestari, Tasikmalaya. Berdasarkan hasil perhitungan biaya persediaan bahan baku metode perusahaan dan simulasi metode JIT, dapat diketahui bahwa kebijaksanaan perusahaan dalam pengendalian persediaan bahan baku selama ini ternyata belum optimal dan biaya yang terjadi belum minimum. Dari hasil perhitungan pengendalian persediaan bahan baku dengan menggunakan metode JIT yang disimulasikan diperoleh bahwa biaya persediaan sebesar Rp 147.343,523 per hari, sedangkan biaya persediaan dengan metode perusahaan sebesar Rp 533.980,074 per hari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa metode JIT dapat memberikan biaya persediaan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan metode yang dijalankan perusahaan selama ini.

Dalam metode JIT tersebut dilakukan perhitungan metode JIT dengan persediaan penyangga dan metode JIT dengan kekurangan maksimum. Kekurangan maksimum yang terjadi adalah sebesar 273,542 m3, sehingga besarnya persediaan penyangga yang harus disediakan perusahaan setiap harinya adalah sebesar kekurangan maksimum tersebut. Metode JIT dengan persediaan penyangga menghasilkan biaya persediaan bahan baku sebesar Rp185.362,244 per hari. Sedangkan metode JIT dengan persediaan kekurangan persediaan

menghasilkan biaya persediaan bahan baku sebesar Rp 27.686.996,557 per hari. Dari kedua metode tersebut yang dapat memberikan biaya persediaan paling minimum adalah metode JIT dengan persediaan penyangga.

Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka sebaiknya dalam pengendalian persediaan bahan bakunya, PT Binautama Kayone Lestari menggunakan metode Just-in-Time dengan persediaan penyangga. Dengan metode ini, perusahaan mengeluarkan biaya persediaan bahan baku yang lebih rendah dibandingkan dengan metode pengendalian persediaan yang selama ini dijalankan oleh perusahaan.

Perbedaan penelitian ini dengan sebelumnya adalah dari alat analisis, produk dan lokasi. Kebijakan yang dilakukan tergantung dari kondisi perusahaan, selain dipengaruhi oleh kapasitas produksinya juga kebijaksanaan manajemen dalam menjalankan perusahaannya, sehingga metode MRP dengan teknik LFL, EOQ dan PPB hasilnya tidak mutlak sama.

Dokumen terkait