BAB 5 EVALUASI MODEL CIPP PADA PEMBINAAN WARGA GEREJA
B. Penerapan Evaluasi Model CIPP pada Pembinaan Warga Gereja
dimana mereka tidak hadir tepat waktu ataupun ibadah mengalami keterlambatan.
4. Evaluasi Produk Program Pembinaan Warga Gereja
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan oleh Eva Monica Teresa Kodongan & Lamhot Naibaho (Disertasi, 2022) bahwa Evaluasi product bertujuan untuk menunjukkan masukan tentang bagaimana keputusan dalam kelanjutan program dan juga mengenai hasil yang dicapai dalam pelaksanaan program. MK mengatakan dengan pengajaran-pengajaran yang diberikan menumbuhkan iman percaya, semakin mengenal kebenaran. Melalui pembinaan yang kita berikan mampu membuat mereka menerima keadaan mereka karena selalu diingatkan untuk tetap bersyukur dengan setiap keadaan yang ada.130 Jawaban JL, Pembinaan yang sering diberikan bermanfaat bukan hanya dari sisi rohani tetapi jasmani. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sosial.131 Berdasarkan hasil wawancara, dapat ditarik kesimpulan bahwa manfaat program pembinaan ini dapat dilihat dari bagaimana para anggota jemaat mampu menerapkan secara praktis setiap ajaran yang mereka terima. Melalui pembinaan yang dilakukan mampu membuat mereka menerima keadaan mereka karena selalu diingatkan untuk tetap bersyukur dengan setiap keadaan yang ada serta tentang pemenuhan kebutuhan social.
B. PENERAPAN EVALUASI MODEL CIPP PADA PEMBINAAN WARGA
melibatkan diri dalam program PWG yakni hanya sebatas untuk menunjang program pelayanan yang telah ditetapkan atau hanya menganggap pembinaan jemaat sebagai rutinitas saja. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman jemaat tentang pentingnya pembinaan warga gereja sehingga mereka menganggap bahwa program pembinaan tidak begitu penting dan kurang berdampak dalam kehidupan jemaat. Dalam hal ini, jemaat menganggap bahwa mereka adalah bagian jemaat lokal yang perlu mengikutsertakan diri dalam program-program gereja. Mereka hanya terarah pada penetapan programnya bukan pada sasaran dan tujuan dari program pembinaan warga gereja. Menanggapi permasalah ini maka gereja seharusnya memberikan penekanan serta pemahaman yang jelas tentang pentingnya pembinaan jemaat dalam program pembinaan yang dilaksanakan.
Gereja harus memberikan pemahaman tentang tujuan dari pembinaan warga gereja. Tanpa tujuan, setiap program gereja hanya menjadi suatu kegiatan rutin yang tidak terarah. Marbun berpendapat bahwa program pembinaan jemaat tidak boleh dilaksanakan secara sembarang sebab tujuan pembinaan warga gereja berpusat kepada Kristus dan keserupaan dengan Kristus. Ini bukan tujuan utama pembinaan tetapi satu-satunya tujuan pembinaan.
Sasaran akhir dari pembinaan warga gereja adalah mencapai keserupaan dengan Kristus melalui gaya hidup, pola pikir, perilaku, karakter dan lain-lain.132 Dengan demikian, pembinaan warga gereja ini hendak mengarahkan jemaat agar berfungsi dengan baik. Pembinaan warga gereja bukan hanya sekedar program. Sejalan dengan pendapat Drie Brotosudarmo yakni pembinaan warga gereja tidak boleh berpusat hanya pada program saja.133
Pembinaan warga gereja di GMIM Getsemani bertujuan untuk mengarahkan setiap jemaat untuk menggembalakan, melayani dan membina seluruh warga gereja sehingga mampu menghayati hidup baru dalam Kristus dalam perkataan, perbuatan terhadap sesama manusia dan lingkungan hidup serta mampu dan berani mengambil keputusan etis dalam melaksanakan tindakan-tindakan pribadi maupun bersama-sama sesuai Injil Yesus Kristus ditengah keluarga, masyarakat dan lingkungan hidup. Tujuan ini sejalan dengan pemahaman Kristin Andiri yang mengemukakan bahwa pembinaan warga gereja merupakan usaha terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh gereja dalam membantu serta mendampingi warga gereja untuk dapat mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu
132 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 18.
133 Riniwati, “Bentuk Dan Strategi Pembinaan Warga Jemaat Dewasa.”
dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat untuk kehidupan yang damai sejahtera menanti kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna.134
2. Evaluasi Input
Pembinaan warga gereja perlu direncanakan secara sistematis dan terarah. Muatan pengajaran dalam pembinaan haruslah berdasar pada Alkitab dan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan. Seperti yang dilaksanakan di GMIM Getsemani Sumompo setiap bentuk pelayanan menggunakan pedoman khotbah yang sudah disiapkan. Namun, peneliti menemukan bahwa pengajaran yang disampaikan masih bersifat umum atau tidak menyorot pada konteks yang relevan dengan keadaan masing-masing jemaat termasuk pemulung. Pembinaan warga gereja dipimpin oleh pelayan khusus yakni para pendeta, vikaris pendeta, penatua dan diaken serta memberikan ruang bagi anggota jemaat dengan menggunakan pedoman khotbah berupa Menjabarkan Trilogi Pembangunan Jemaat, Renungan Harian Keluarga, Upus Ni Mama, Pelita, Obor, Bina Remaja, Bina Anak; berisi bahan perenungan yang digunakan oleh seluruh jemaat GMIM. Perenungan ini yang juga diberikan kepada seluruh jemaat termasuk pemulung. Para pelayan gereja memahami konteks dan keadaan pemulung serta mengelaborasikan pengajaran dengan materi yang ada dalam pedoman. Namun tidak semua menerapkan hal yang serupa.
Tema-tema serta bahasan yang diangkat bersifat umum dan kurang memperdalam pembahasan mengenai masalah-masalah pemulung sesuai konteksnya. Menurut Alfred Schimdt, tema-tema pokok untuk bahan pengajaran diambil berdasarkan realitas kehidupan jemaat sehari-hari. Purim Marbun berpendapat pembinaan atau pengajaran diberitakan melalui pelayan Tuhan baik pendeta, gembala dan pengajar-pengajar lainnya secara terstruktur maupun tidak.135 Namun pada kenyataannya beberapa pelayan menyajikan pengajaran khotbah hanya sebatas membaca buku pedoman yang ada tanpa mengembangkan. Penyampaian khotbah atau pengajaran kurang dipahami dengan baik. Hal ini berdampak juga pada pemahaman jemaat sehingga kurang mengalami perubahan positif dalam dirinya. Sidjabat menegaskan bahwa kegiatan binaan dalam gereja perlu disesuaikan dengan kebutuhan jemaat agar menolong mereka untuk meningkatkan kualitas iman yang menyangkut dimensi pengetahuan (knowing), perasaan (feeling), sikap
134 Kristin Andini, “Pembinaan Warga Gereja GKJ” (UKDW, 2016), 4-5.
135Purim Marbun, “Desain Pemuridan Sebagai Model Pembinaan Warga Gereja Berkelanjutan Bagi Jemaat,” Jurnal Teologi Berita Hidup 4, No.2 (2022), 453.
(attitude) dan perubahan nyata (doing).136 Gereja perlu menyediakan layanan penelaah Alkitab dan sosial dan memperdalam pengajaran pembinaan yang telah fasilitasi gereja melalui pedoman khotbah. Persiapan pengajaran bukan hanya membahas teks Alkitab secara eksegese namun perlu memahami, merelevansikan sesuai dengan keadaan jemaat termasuk pemulung. Marbun mengemukakan bahwa dengan adanya pembinaan yang sesuai kebutuhan maka akan menolong jemaat, sehingga penting untuk memperhatikan materi yang akan disajikan, lama durasi serta metode dan cara pembinaan yang dirancang.137
3. Evaluasi Proses
Pembinaan warga gereja terhadap pemulung di GMIM Getsemani Sumompo dilakukan melalui ibadah per kategori dan ibadah umum dengan memasukkan unsur-unsur liturgi. Melalui pemberitaan firman, para pemimpin ibadah sebagian besar hanya membaca secara monoton materi firman yang tertulis di buku perenungan. Dengan kata lain, pembinaan melalui pemberitaan firman hanya dilakukan melalui ceramah sehingga para jemaat termasuk para pemulung menjadi begitu pasif. Dengan demikian, proses pembinaan warga gereja terhadap pemulung melalui pelayanan umum atau pelayanan kategorial tidak terlaksana dengan pola interaktif. Hal ini bertentangan dengan pendapat Alfred Schmidt yang memahami pembinaan warga gereja dilaksanakan dengan menggunakan metode-metode interaktif artinya adanya komunikasi dua arah.138 Tema-tema pokok untuk bahan pengajaran diambil berdasarkan realitas kehidupan jemaat sehari-hari.
Alasan pemilihan tema dan judul sebagai pedoman dasar serta menghasilkan materi yang berhubungan langsung dengan masalah-masalah pokok yang dihadapi jemaat.139
Pentingnya suatu metode yang interaktif maka perlu mempersiapkan dengan baik untuk setiap program pembinaan warga gereja baik dalam ibadah kolom maupun per kategori. Dengan adanya pola interaktif maka akan menarik perhatian jemaat untuk menyimak sehingga pengajaran dapat tersalurkan dengan baik.
136 B.S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa (Bandung: Kalam Hidup, 2014), 4-5.
137 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 3.
138 Immanuel Adi Saputro, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan Keluarga Muda Di Gereja Kristen Jawa Manahan Klasis Kartasura,” 2015, 6.
139 S.W.Lontoh & Pdt Hallie J. S. Th, Bahtera Guna Dharma GPIB (BPK Gunung Mulia, 2014), 280.
Setiap warga gereja baik secara individu maupun kelompok tertentu memiliki pelbagai permasalahan demikian dengan kaum pemulung. Adapun gereja begitu memahami akan keberadaan pemulung dengan setiap kebutuhan-kebutuhannya. Akan tetapi pada kenyataannya, para pemulung di TPA Sumompo yang merupakan bagian dari GMIM Getsemani Sumompo kurang mendapatkan pembinaan sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini disebabkan oleh persiapan pelayanan yang tidak dilakukan dengan baik serta kenyataan keberadaan pemulung di tengah masyarakat termasuk gereja dianggap sebagai suatu fenomena yang biasa.
Tidak semua pelayan yang hendak melayani mengikuti persiapan pelayanan misalnya dalam pendalaman Alkitab. Adapun pendalaman Alkitab hanya diikutsertakan oleh para pelayan khusus, sehingga para jemaat yang juga diberi kesempatan untuk melayani tidak memiliki persiapan yang baik.
Pelayanan pembinaan terhadap warga jemaat yakni pemulung tidak maksimal dalam artian maksud pengajaran tidak relevan dengan konteks kehidupan pemulung. Padahal melihat keadaan kaum pemulung perlu mendapatkan pembinaan khusus sebab sebagian besar para pemulung memiliki tingkat SDM yang terbatas. Hal ini menjadi perhatian gereja dalam memahami kebutuhan pemulung dengan konteks keberadaan mereka, menyediakan program yang memuat pembinaan serta pengajaran yang relevan dengan kondisi pemulung sehingga pengajaran yang diberikan akan lebih terarah pada realitas kehidupan pemulung. Mengacu kepada pendapat Marbun, pembinaan warga gereja harus ditata secara komprehensif dan efektif dengan memerhatikan elemen-elemen gereja lokal yang bersangkutan.
Dalam hal ini yang penting diperhatikan ialah sebaran jemaat dalam klasifikasi usia, jenis kelamin, pendidikan, latar belakang.140 Simanjuntak berpendapat pembinaan warga gereja harusnya mengarahkan jemaat mengenal kebenaran sehingga bisa menjadi berkat dalam mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat untuk kehidupan yang damai sejahtera menanti kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna.141,142 Ruth Selan juga menjelaskan bahwa pembinaan warga gereja merupakan proses yang menghubungkan realitas kehidupan warga gereja dengan firman Tuhan.143
140 Ibid, 2.
141 Kristin Andini, “Pembinaan Warga Gereja GKJ” (UKDW, 2016), 5-6.
142 Simanjuntak, “Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat”, 252.
143 Selan, Pedoman Pembinaan Warga Jemaat, 7.
Pemulung kerap mengalami diskriminasi oleh karena pekerjaan mereka yang berhadapan langsung dengan sampah. Namun pada kenyataannya, penerapan pembinaan warga gereja yang dilakukan GMIM Getsemani Sumompo belum menyentuh unsur kebutuhan para pemulung dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi. Dalam menyorot kehidupan pemulung, pembinaan warga gereja harusnya menjadi program yang terarah kepada para pekerja sampah dalam hal mengatasi ketidakwajaran yang terjadi berupa tindakan-tindakan diskriminasi serta perlu turut serta dalam pembinaan wawasan para pekerja di TPA dengan memberi support bagi mereka untuk melaksanakan tanggung jawab dalam mengelola serta memelihara lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat Riniwati yang menjelaskan bahwa pembinaan warga gereja perlu menyentuh dan memperkaya aspek pengetahuan, pengertian, perasaan, sikap, minat, relasi, perilaku sosial, kultural dan kerohanian agar diantaranya tidak terdapat ketidakseimbangan dan kesenjangan, semuanya itu hanya dapat dipenuhi di dalam Yesus Kristus. Jemaat harus dibina untuk mampu bertanggung jawab terhadap Tuhan serta perannya di tengah dunia melalui relasi dengan orang tua, keluarga, gereja dan masyarakat termasuk tanggung jawabnya terhadap diri sendiri.144
Gereja perlu memahami keadaan serta kebutuhan jemaatnya. Dalam hal ini berkaitan dengan pemulung serta analisis kebutuhannya. Jika gereja jelih melihat masalah pemulung sebagai pihak yang kerap tersisihkan, maka gereja harus menindaklanjuti setiap pelayanannya yang terarah sesuai realita.
Gereja tidak boleh acuh tidak acuh dengan menjadikan permasalahan ini sebagai fenomena yang biasa. Kehadiran gereja tidak hanya untuk membangun suatu persekutuan namun gereja dituntut untuk membina dan mendidik jemaat agar menjawab kebutuhan jemaat sebagaimana dengan misi Allah di tengah-tengah dunia.145 Tujuan pembinaan jemaat tidak lepas dari peran gereja menyikapi realitas kehidupan jemaatnya.146 Pembinaan warga gereja untuk menjawab pergumulan manusia di tengah gereja masyarakat dan negara. Gereja berada dalam keadaan dimana terjadinya masalah prinsipal yaitu yang ada hubungan etika dan moral, dengan hak asasi manusia, dengan keadilan dan perdamaian, dengan pluralitas kultur dan suku bangsa, dengan keagamaan dan sekularitas, dengan nilai tradisional dan
144 Riniwati, “Bentuk Dan Strategi Pembinaan Warga Jemaat Dewasa.”, 3-4.
145 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta:
Taman Pustaka Kristen, 2008), 19.
146 Rob van Kessel, 6 Tempayan Air : Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7.
modernitas, dengan kemiskinan dan kekayaan.147 Keadaan konkret gereja berada di tengah masyarakat yang mengalami perubahan yang cepat sehingga sangat berdampak bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan alasan inilah maka pembinaan gereja perlu memperhatikan konteks warga jemaat, sehingga pembinaan yang dilakukan dapat meningkatkan spiritualitas.
Selain itu, sumber daya manusia para pemulung kurang memadai sebab kebanyakan para pemulung tidak memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Dalam kenyataan ini, maka gereja harusnya mengambil bagian melalui pembinaan yang memberdayakan. Namun pembinaan warga gereja yang dilaksanakan tidak menampakkan suatu pembinaan yang demikian. Gereja sebagai suatu organisasi memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar yang dapat didayagunakan secara kreatif dan potensial demi mendukung tugas pelayanan gereja. Potensi itu memiliki keanekaragaman dari segi usia, jenis kelamin, profesi, latar belakang pendidikan dan lain-lain.148Seperti yang diuraikan Richard Siwu, pembinaan warga gereja bermaksud untuk mewujudkan suatu persekutuan yang anggota-anggotanya telah menerima, lewat pelbagai panggilan mereka, talenta atau kharismata dari Kristus dan meneruskannya kepada yang lain juga di dalam berkelainan lapangan hidup.149 Hal ini pun yang seharusnya menjadi muatan dalam program pembinaan warga gereja. Gereja harus memberi ruang kepada kaum intelektual dan professional yang ada dalam jemaat lokal (kaum awam) sehingga mereka dapat menyalurkan kemampuan intelektual dan professional sehingga dapat berperan dalam menyikapi permasalahan dalam gereja.150 Pengembangan sumber daya menjadi usaha yang dilakukan untuk mengarahkan seseorang agar mampu tampil sebagai manusia seutuhnya, berpikir rasional-positif sehingga ia dapat berkontribusi secara maksimal bagi organisasinya dan bagi masyarakat luas. Konsultasi dan bimbingan dari berbagai pihak diperlukan agar terciptanya metode partisipatif yang komunikatif dan efektif.
Pembinaan warga gereja terhadap pemulung menunjukkan beberapa hambatan. Akan tetapi, jika melihat dari pihak gereja didapati bahwa ternyata gereja tidak merasa memiliki hambatan dalam pembinaan terhadap
147 Jan Hendriks, Jemaat Vital Dan Menarik (Yogyakarta: Kanisius, 2022).
148 Kepemimpinan dan pembinaan warga gereja, 95
149 Siwu Richard, Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evangelikal Asia (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996), 221.
150 Lexie Adrin Kembuan and I Wayan Sudarma, “Pemberdayaan Potensi Jemaat Dalam Membangun Gereja Misioner,” CHARISTHEO: Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen 1, no. 1 (2021): 87–101.
pemulung. Dilihat dari sisi pemulung, faktor penghambat dalam program pembinaan warga gereja terhadap pemulung dirumuskan dalam faktor ekonomi, sosial dan pendidikan. Adanya kesenjangan tentang hambatan ini dapat dianalisis bahwa ternyata gereja kurang memperhatikan secara mendalam hambatan-hambatan yang terjadi dalam konteks pemulung.
Perhatian gereja hanya sebatas memenuhi jadwal pelayanan tanpa mengidentifikasi persoalan yang terjadi dalam realitas jemaat. Hal ini mengakibatkan kebutuhan jemaat kurang tersentuh dalam pelayanan gereja.
Gereja seharusnya menyadari kehadirannya untuk melayani serta turut serta memecahkan setiap permasalahan jemaat, salah satunya melalui pembinaan yang terarah.
Faktor ekonomi menyangkut keuangan yang pas-pasan sehingga mereka sering tidak mempunyai uang untuk memberikan persembahan. Selanjutnya, faktor pendidikan yakni ketidakpercayaan diri karena tidak mempunyai pendidikan yang tinggi membuat mereka enggan untuk menjadi pelayan dalam gereja. Selain itu, faktor sosial berkaitan dengan pekerjaan sebagai pemulung sehingga terdapat indikasi dimana pemulung merasa minder dengan keberadaan mereka jika bersama dengan jemaat lain yang bukan pemulung. Di tinjau dari segi iman, gagasan PWG adalah bahwa setiap warga gereja berkedudukan sama di hadapan Tuhan.151 Yakub Tri Handoko menegaskan bahwa gereja yang menggerakkan jemaat berfokus pada bagaimana mengoptimalisasi karunia/talenta dari semua jemaat tanpa terkecuali. 152 Pembinaan warga gereja juga perlu menyentuh dan memperkaya aspek pengetahuan, pengertian, perasaan, sikap, minat, relasi, perilaku sosial, kultural dan kerohanian agar diantaranya tidak terdapat ketidakseimbangan dan kesenjangan, namun semuanya itu hanya dapat dipenuhi di dalam Yesus Kristus.153,154 Dalam hal ini, gereja perlu menyikapi realita ini dengan memfasilitasi lewat program pemberdayaan bagi kaum pemulung yang bertujuan untuk melatih, mengembangkan potensi diri, keterampilan dan kecakapan mereka. Pembinaan seperti ini terkandung makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta
151 Drie S. Brotosudarmo, Pembinaan Warga Gereja Selaras Denagn Tantangan Zaman (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015), 142.
152 Yakub Tri Handoko, Gereja yang Menggerakkan Jemaat (Surabaya: GratiaFIDE, 2018), 55.
153 Riniwati, “Bentuk Dan Strategi Pembinaan Warga Jemaat Dewasa.”
154 Francis Ayres, Pembinaan Warga Gereja Pelayanan Kaum Awam (Bandung:
Gandum Mas, 2016), 15.
mampu hidup mandiri. Dimensi sosial ekonomi adalah dimensi yang menyangkut kehidupan sehari-hari, sekaligus dimensi kehidupan konkret masyarakat. Gereja harus berani menggarap dan mendidik bagian unsur terdalam dari manusia-manusianya: nilai-nilai hidup, pola berpikir, motivasi-motivasi dasar serta kecenderungan-kecenderungan lain yang bisa menjadi faktor pendorong kearah kemajuan seperti, kegiatan-kegiatan inovatif masyarakat, keterampilan teknik yang lebih maju, semangat wiraswasta, keuletan dalam bidang usaha, keberanian mengambil risiko, kemampuan melihat jauh ke depan serta hal-hal positif lain yang bersifat mendorong ke arah pengembangan.155
4. Evaluasi Product
Evaluasi begitu penting sebab melalui evaluasi akan memberi informasi apakah pembinaan sudah dimengerti atau dipahami secara benar. Demikian dengan evaluasi pembinaan warga gereja bertujuan untuk membuat program yang ditetapkan menjadi lebih baik dan hal ini harus dilakukan secara berkala baik ke dalam aspek teologis maupun praktis. Aspek teologis yang dimaksud adalah gereja dan warganya diarahkan untuk diperlengkapi agar mampu menginterpretasikan kebenaran pesan-pesan Alkitabiah secara tepat dan benar ke dalam konteks tertentu. Hal ini menjawab kebutuhan atas pergumulan dan pertanyaan iman Kristen. Sedangkan dari aspek praktis, pembinaannya mampu menyentuh seluruh aspek perlengkapan dasar manusia (dalam bentuk multi kompetensi) agar gereja memiliki keterampilan pengetahuan dalam berbagai segi untuk mengatasi masalah-masalah konkret yang dihadapinya. Aspek praktis berkaitan dengan pola kehidupan seseorang yang menjadi surat Kristus sehari-hari baik melalui perbuatan, perkataan dan tingkah laku.156
Tyler mengemukakan bahwa evaluasi dilakukan untuk mengetahui realisasi dari program yang telah ditetapkan. Evaluasi program dilakukan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.157 Program evaluasi dalam gereja harus berpusat pada pertumbuhan. Fungsi pembinaan dan pendidikan gereja adalah untuk
155 Eduard R. Dopo, Keprihatinan Sosial Gereja Sebuah Antologi, 77-80
156 Brotosudarmo, Pembinaan Warga Gereja Selaras Denagn Tantangan Zaman, 51.
157 Rusydi Ananda & Tien Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan (Medan:
Perdana Publishing, 2017), 6.
membawa anak-anak-Nya melalui proses pengudusan dan pendewasaan.158 Akan tetapi, GMIM Getsemani Sumompo tidak melaksanakan evaluasi program pembinaan warga gereja secara baik. Evaluasi yang dilakukan tidak bersifat menyeluruh dan sistematis. Adapun evaluasi program hanya melihat apakah program berjalan atau tidak namun tidak menilai dan menganalisa hasil, tujuan, sasaran serta realisasi dari program pembinaan warga gereja.
Hal ini berdampak pada kehidupan para kaum pemulung yaitu kurang mengimplementasikan ajaran-ajaran dalam proses pembinaan pada kehidupan sehari-hari. Dengan adanya program pembinaan warga gereja menjadi wadah untuk membina jemaat namun hanya terhenti dalam pengajaran dan pembinaan namun lebih dari pada itu yaitu melihat praksis kehidupan jemaat setelah menerima pembinaan. Maka gereja perlu menindaklanjuti program pembinaan warga gereja dengan melakukan evaluasi secara rutin, berkelanjutan serta menyeluruh. Purim Marbun menjelaskan evaluasi berpusat pada pertumbuhan yaitu perubahan hidup batiniah yang semakin mengasihi Allah dan sesama. Aspek yang dilihat bukan hanya peningkatan muatan kognitif akan tetapi perubahan yang menyangkut pikiran, perkataan dan perbuatan. Dengan demikian aspek-aspek perubahan ini memantapkan langkah setiap jemaat menjadi dewasa dalam Kristus. Lebih spesifik bahwa perubahan hidup batiniah terlihat dalam kebersamaan, kehidupan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.159
C. KAJIAN ATAU PENELAAHAN SECARA TEORITIS DAN TEOLOGIS