▸ Baca selengkapnya: dalam gereja katolik dikenal dengan kaum awan, maka menurut ajaran gereja lumen gentium art. 31 kaum awam memiliki arti
(2)(3)PEMBINAAN KAUM PEMULUNG OLEH GEREJA MELALUI EVALUASI MODEL CIPP
Penulis:
Eva Monica Teresa Kodongan Lamhot Naibaho
Desain Cover:
Fawwaz Abyan Tata Letak:
Atep Jejen Editor:
Geby Arni Siregar ISBN:
978-623-459-314-3 Cetakan Pertama:
Januari, 2023
Hak Cipta 2023, Pada Penulis Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang
Copyright © 2023
by Penerbit Widina Bhakti Persada Bandung All Right Reserved
Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
PENERBIT:
WIDINA BHAKTI PERSADA BANDUNG (Grup CV. Widina Media Utama)
Komplek Puri Melia Asri Blok C3 No. 17 Desa Bojong Emas Kec. Solokan Jeruk Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat
Anggota IKAPI No. 360/JBA/2020 Website: www.penerbitwidina.com
Instagram: @penerbitwidina Telpon (022) 87355370
Rasa syukur yang teramat dalam dan tiada kata lain yang patut kami ucapkan selain rasa syukur, karena berkat rahmat dan karuniaNya buku yang berjudul Pembinaan Kaum Pemulung Oleh Gereja Melalui Evaluasi Model CIPP ini telah dapat di terbitkan untuk dapat dikonsumsi oleh khalayak banyak. Pembinaan adalah suatu proses yang bertujuan untuk mencapai kualitas tertentu yang dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak serta mengharuskan banyak komponen satu dengan yang lainnya untuk berjalan bersama.
Pembinaan warga gereja merupakan usaha terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh gereja dalam membantu serta mendampingi warga gereja untuk proses pengembangan diri hingga mencapai kedewasaan sebagai warga gereja yang dapat mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat untuk kehidupan yang damai sejahtera menanti kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna. Alfred Schmidt memahami pembinaan warga gereja merupakan dimensi dalam pelayanan dan kesaksian gereja yang bersifat menyeluruh. Pembinaan warga gereja menjangkau semua kalangan umur dan golongan dalam jemaat.
Sasarannya adalah orang dewasa, para pemuda sampai kepada anak-anak.
Hal ini bertujuan agar kehidupan orang percaya tidak mudah diombang- ambingkan dengan pengajaran yang menyesatkan. Perlu untuk dipahami bahwa seluruh pelayanan dalam jemaat ialah bagian dari pembinaan baik secara rohani, emosional, sosial, fisik dan mental. Program pembinaan merupakan pembinaan warga gereja seutuhnya. Pelaksanaan tri tugas gereja haruslah terkandung didalamnya pembinaan atau pendidikan kepada warga gereja sehingga jemaat akan tetap hidup berakar dan bertumbuh di dalam Kristus.
Tugas panggilan gereja senantiasa mengandung unsur pendidikan dan pengajaran maka sepatutnya dalam menjalankan tugas gereja, perlu untuk mengajarkan kepada jemaat tentang tugas panggilannya. Tugas gereja adalah memperlengkapi dan mengajar warga jemaat untuk tetap setia kepada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya. Pelayanan pembinaan dan pengajaran kepada warga gereja tidaklah cukup diberikan hanya sekali, tetapi harus secara berkelanjutan. Pengajaran tersebut harus berlangsung secara terus menerus sepanjang hidupnya. Tugas dan fungsi gereja dalam pembinaan
PRAKATA
warga gereja menjadi dasar bagaimana peran gereja melalui para pelayan gereja memberikan pelayanan, menolong jemaat untuk mengalami
“pertumbuhan dan kedewasaan” iman. Pembinaan dimaknai sebagai sarana menolong warga jemaat yang sudah tergabung dalam gereja lokal dengan tujuan menjadikan mereka jemaat yang berfungsi dengan baik. Pembinaan dalam jemaat bertujuan untuk membangun tubuh Kristus sehingga jemaat mengerti maksud Tuhan.
Oleh karena itu buku yang berjudul Pembinaan Kaum Pemulung Oleh Gereja Melalui Evaluasi Model CIPP ini hadir sebagai bagian dari upaya untuk menambah khazanah, diskusi sekaligus penguatan dibidang Pembinaan Kaum Pemulung Oleh Gereja Melalui Evaluasi Model CIPP. Akan tetapi pada akhirnya kami mengakui bahwa tulisan ini terdapat beberapa kekurangan dan jauh dari kata sempurna, karena sejatinya kesempurnaan hanyalah milik tuhan semata. Maka dari itu, kami dengan senang hati secara terbuka untuk menerima berbagai kritik dan saran dari para pembaca sekalian, hal tersebut tentu sangat diperlukan sebagai bagian dari upaya kami untuk terus melakukan perbaikan dan penyempurnaan karya selanjutnya di masa yang akan datang.
Terakhir, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan turut andil dalam seluruh rangkaian proses penyusunan dan penerbitan buku ini, sehingga buku ini bisa hadir di hadapan sidang pembaca. Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya terkait Pembinaan Kaum Pemulung Oleh Gereja Melalui Evaluasi Model CIPP.
Januari, 2023
Tim Penulis
DAFTAR ISI
PRAKATA ··· iii
DAFTAR ISI ··· v
BAB 1 PERAN GEREJA DALAM MEMBINA PEMULUNG SEBAGAI WARGA GEREJA ··· 1
A. Pengantar ··· 1
B. Peta Konsep ··· 7
BAB 2 KONSEP PEMBINAAN WARGA GEREJA ··· 9
A. Pengertian Pembinaan Warga Gereja ··· 9
B. Tujuan Pembinaan Warga Gereja ··· 12
C. Prinsip-Prinsip Pembinaan Warga Gereja ··· 13
D. Ciri-Ciri Khas Pembinaan Warga Gereja ··· 15
E. Dasar Pelaksanaan Pembinaan Warga Gereja ··· 16
BAB 3 KONSEP EVALUASI PROGRAM ··· 19
A. Konsep Evaluasi Program ··· 19
B. Tujuan dan Manfaat Evaluasi Program ··· 21
C. Model Evaluasi Program ··· 24
D. Evaluasi Model CIPP ··· 25
E. Kelebihan dan Kelemahan Model CIPP ··· 30
BAB 4 MENGENAL LEBIH DEKAT KAUM PEMULUNG ··· 33
A. Pengertian Pemulung ··· 33
B. Jenis-Jenis Pemulung ··· 36
C. Faktor Penyebab Pemulung··· 37
BAB 5 EVALUASI MODEL CIPP PADA PEMBINAAN WARGA GEREJA GMIM GETSEMANI SUMOMPO ··· 39
A. Implementasi Model CIPP Pembinaan Warga Gereja ··· 39
B. Penerapan Evaluasi Model CIPP pada Pembinaan Warga Gereja ··· 45
C. Kajian atau Penelaahan Secara Teoritis dan Teologis ··· 54
BAB 6 PENUTUP ··· 59
A. Kesimpulan ··· 59
B. Saran ··· 60
DAFTAR PUSTAKA ··· 62
GLOSARIUM ··· 65
INDEKS ··· 68
PROFIL PENULIS ··· 69
PERAN GEREJA DALAM MEMBINA PEMULUNG SEBAGAI WARGA GEREJA
A. PENGANTAR
Pengertian gereja secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni
“Ekklesia” berarti “yang dipanggil keluar”.1 Definisi gereja biasanya diartikan sebagai “persekutuan orang-orang percaya”. Panggilan gereja atau disebut dengan tri tugas gereja adalah Marturia (bersaksi), koinonia (bersekutu), diakonia (melayani). Ketiga tugas gereja ini memiliki keterkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sebab persekutuan gereja harus bersifat keluar yaitu persekutuan yang bersaksi dan melayani. Gereja yang seutuhnya adalah seutuhnya dalam melakukan panggilan gereja.2
Pelaksanaan tri tugas gereja haruslah terkandung didalamnya pembinaan atau pendidikan kepada warga gereja sehingga jemaat akan tetap hidup berakar dan bertumbuh di dalam Kristus. Tugas panggilan gereja senantiasa mengandung unsur pendidikan dan pengajaran maka sepatutnya dalam menjalankan tugas gereja, perlu untuk mengajarkan kepada jemaat tentang tugas panggilannya.3 Tugas gereja adalah memperlengkapi dan mengajar warga jemaat untuk tetap setia kepada Tuhan dan menjalankan perintah-Nya. Pelayanan pembinaan dan pengajaran kepada warga gereja
1 Andreas Untung Wiyono, Manajemen Gereja Dasar Teologis & Implementasi Praktisnya (Bandung: Bina Media Informasi, 2010). 21.
2 Krido Siswanto “Tinjauan Teoritis Dan Teologis Terhadap Diakonia Transformatif Gereja”, Jurnal Simpson, ISSN: 2356-1904, 95.
3 Imanuel Adi Saputro, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan Keluarga Muda Di Gereja Kristen Jawa Manahan Klasis Kartasura” (Magister Sosiologi Agama Program Pascasarjana FTEO-UKSW, 2015), 17.
BAB
1
tidaklah cukup diberikan hanya sekali, tetapi harus secara berkelanjutan.
Pengajaran tersebut harus berlangsung secara terus menerus sepanjang hidupnya.4
Definisi pembinaan adalah suatu proses yang bertujuan untuk mencapai kualitas tertentu yang dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak serta mengharuskan banyak komponen satu dengan yang lainnya untuk berjalan bersama.5 Pembinaan warga gereja merupakan usaha terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh gereja dalam membantu serta mendampingi warga gereja untuk proses pengembangan diri hingga mencapai kedewasaan sebagai warga gereja yang dapat mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat untuk kehidupan yang damai sejahtera menanti kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna.6 Alfred Schmidt memahami pembinaan warga gereja merupakan dimensi dalam pelayanan dan kesaksian gereja yang bersifat menyeluruh. Pembinaan warga gereja bukan suatu kegiatan tambahan atau bersifat insidental.7 Menurut B.J. Sijabat pembinaan warga gereja merupakan suatu upaya pengajaran yang bersifat terencana dan terstruktur dalam rangka memenuhi kebutuhan jemaat.8 Pembinaan warga gereja perlu menyentuh dan memperkaya aspek pengetahuan, pengertian, perasaan, sikap, minat, relasi, perilaku sosial, kultural dan kerohanian agar diantaranya tidak terdapat ketidakseimbangan dan kesenjangan, namun semuanya itu hanya dapat dipenuhi di dalam Yesus Kristus.9
Pembinaan warga gereja menjangkau semua kalangan umur dan golongan dalam jemaat. Sasarannya adalah orang dewasa, para pemuda sampai kepada anak-anak. Hal ini bertujuan agar kehidupan orang percaya
4 Kevin Tonny Rey, “Konstruksi Teologi Dalam Konteks Reposisi Pemikiran Warga Gereja,” EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani 2, no. 1 (2018): 1–13, https://www.researchgate.net/publication/333514245_Konstruksi_Teologi_dal am_Konteks_Reposisi_Pemikiran_Warga_Gereja.
5 John Sproule Christine S. Nash, “Career Development of Expert Coaches,”
International Journal of Sports Science & Coaching 4, no. 1 (2009): 121–128.
6 Kristin Andini, “Pembinaan Warga Gereja GKJ” (UKDW, 2016), 4-5.
7 Saputro, “Tanggung Jawab Gereja Dalam Pendidikan Keluarga Muda Di Gereja Kristen Jawa Manahan Klasis Kartasura.”, 6.
8 Junihot M. Simanjuntak, “Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat” 12, no. 2 (2014): 251–272.
9 Riniwati Riniwati, “Bentuk Dan Strategi Pembinaan Warga Jemaat Dewasa,”
Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Agama Kristen STT Simpson Tahun 2016 Tema: Strategi Pembinaan Jemaat Untuk Meningkatkan Kehidupan Jemaat, no.
April (2016): 1–13.
tidak mudah diombang-ambingkan dengan pengajaran yang menyesatkan (Ef.
4:11-16). Perlu untuk dipahami bahwa seluruh pelayanan dalam jemaat ialah bagian dari pembinaan baik secara rohani, emosional, sosial, fisik dan mental.
Program pembinaan merupakan pembinaan warga gereja seutuhnya.10 Terkait dengan pembinaan warga gereja maka gereja yang sejati perlu untuk menyentuh dan menjawab jeritan penderitaan kemanusiaan dalam dunia kehidupan yang konkret dan aktual. Dalam konteks sosial ekonomi, politik dan budaya yang memarginalkan dan menindas, pelayanan gereja mesti dapat mengartikulasikan harapan pembebasan dari kelompok petani miskin, orang sakit, keluarga migran korban tambang, ibu dan anak yang mengalami kekerasan, kelompok friksi politis, kerusakan ekologi. Prinsip pelayanan gereja adalah memperhatikan, membantu, memerdekakan, memenuhi kebutuhan dasar hidup orang yang tertindas atau tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dengan selayaknya.11
Kemiskinan adalah hal yang tak dipungkiri dalam realitas kehidupan saat ini. Kaum pemulung12 merupakan golongan masyarakat yang diidentikkan dengan kemiskinan. Pemulung merupakan golongan sosial yang bekerja mengumpulkan barang bekas. Menurut Nawardi, pemulung adalah orang- orang yang bekerja mencari, memungut, mengambil, mengumpulkan dan mencari sampah yang kemudian dijual kepada pengepul.13 Unit usaha pemulung sampah merupakan kegiatan ekonomi sektor informal yang biasa dijumpai di berbagai penjuru kota serta terpusat pada tempat penampungan akhir sampah.14 Pekerjaan sebagai pemulung dipandang sebagai strata paling bawah di dalam masyarakat, sebab pekerjaan ini bersinggungan langsung dengan sampah.
Keberadaan pemulung di tengah ibarat dua sisi mata uang. Pada satu sisi, kehadiran pemulung membantu penanganan sampah dan menjadi mata rantai pertama dari industry daur ulang. Namun di sisi lain, pekerjaan sebagai pemulung dianggap sebagai pekerjaan yang menjijikkan sehingga sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Tekanan yang berat di tengah
10 Ruth F. Selan, Pedoman Pembinaan Warga Jemaat (Bandung: Kalam Hidup, 2000).
11 Ricardo Freedom Nanuru, Gereja Sosial Menurut Konsep Rasionalitas Komunikatif Jurgen Habermas (Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020).
12 KBBI, Pemulung berarti orang yang mencari nafkah dengan jalan mencari dan memungut serta memanfaatkan barang bekas (seperti puntung rokok) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditas.
13 Nawardi. Koperasi Serba Daur Ulang Jati Dua. (Cialang: Bandung, 1983)
14 Hidayat, 2012, 2
situasi kota, pemulung berjuang untuk bertahan hidup dalam ruang terbatas yang disediakan dalam masyarakat kota. Tak jarang, pemulung menjadi sasaran yang sering termarginalkan. Pemulung tidak hanya menghadapi tekanan-tekanan ekonomi, tetapi juga tekanan-tekanan sosial dan budaya.
Selain itu, mereka juga berjuang melawan rasa malu, rasa takut, rasa khawatir terhadap ancaman, rasa tidak ada harapan, dan rasa kurang dihargai martabatnya karena mereka tidak menjadi bagian dari masyarakat kota, atau mereka benar-benar dikucilkan dari sistem sosial masyarakat kota.15 Melihat realita pemulung dalam tatanan masyarakat maka setiap elemen berupaya menerapkan proses pembinaan dalam rangka peningkatan taraf hidup.
Tugas dan fungsi gereja dalam pembinaan warga gereja menjadi dasar bagaimana peran gereja melalui para pelayan gereja memberikan pelayanan, menolong jemaat untuk mengalami “pertumbuhan dan kedewasaan” iman.
Pembinaan dimaknai sebagai sarana menolong warga jemaat yang sudah tergabung dalam gereja lokal dengan tujuan menjadikan mereka jemaat yang berfungsi dengan baik.16 Pembinaan dalam jemaat bertujuan untuk membangun tubuh Kristus sehingga jemaat mengerti maksud Tuhan.17
Pestalozzi menggagas teologi pemanusiaan dengan pendapatnya bahwa manusia masih perlu dimanusiakan dan memanusiakan diri.18 Proses memanusia berlangsung seumur hidup. Dalam hubungan itu, gereja adalah memanusiakan manusia dengan melihat diri Yesus.19 Gereja sebagai institusi/
lembaga memiliki peran yang sangat strategis serta bertanggung jawab menjadi motivator, dinamisator, fasilitator dan organisator sehingga warga gereja mampu untuk melakukan pemeliharaan iman. Gereja sebagai lembaga organisasi sosial dan keagamaan pada dasarnya perlu melaksanakan pembinaan warga gereja melalui program-program untuk menjadikan segenap warga gereja mampu memelihara iman mereka. Peran gereja tidak hanya berfokus pada iman warga jemaatnya, tetapi bagaimana iman tersebut dinyatakan melalui tindakan (action) bukan hanya sekedar iman yang
15 Argo Twikrmo, Pemulung Jalanan Yogyakarta (Cet; 1, Yogyakarta:Media Pressindo, 1999), 160.
16 Purim Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2014), 1.
17 Drie S. Brotosudarmo, Pembinaan Warga Gereja selaras denagn Tantangan Zaman (Yogyakarta: Penerbit Andi), 22.
18 Ruth F. Selan, Pedoman Pembinaan Warga Jemaat (Bandung: Kalam Hidup, 2000), 13.
19 Andar Ismail, Selamat Memanusia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 10.
diperkatakan.20 Melalui gereja memperlihatkan secara nyata kasih Yesus Kristus terhadap korban-korban dan orang-orang miskin sehingga memancing pertanyaan dan akan mengajak orang lain untuk ikut berbuat juga di zaman ini.21 Pembinaan semacam ini menjadi tugas gereja untuk dilakukan di zaman ini. Gereja perlu memandang kehidupan bersama adalah proses memanusia yang berlangsung secara terus menerus.22
Berbicara mengenai pembinaan warga gereja maka terdapat banyak hal yang perlu didiskusikan. Kompleksitas dalam kehidupan setiap anggota jemaat sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam. Permasalahan di dalam jemaat saling berkelindan, sehingga perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius untuk membina jemaat yang telah dipercayakan Tuhan kepada gereja- Nya. Konsep pembinaan holistik merupakan sebuah alternatif usulan konkret untuk dapat dijadikan sebuah model pembinaan warga gereja. Konsep holistik diperlukan untuk menyentuh seluruh kebutuhan dari jemaat.23
Gereja yang erat kaitannya dengan persekutuan sesama orang percaya berada dalam proses menuju kesempurnaan penyelamatan yang Tuhan Yesus Kristus lakukan. Oleh sebab itu gereja harus terbuka dengan perubahan dan pembaruan yang digerakkan oleh Roh Kudus. Pembaruan gereja berkaitan dengan tindakan mengubah dan memperbaharui struktur atau pola kehidupan gereja, sedangkan pola kehidupan yang telah berubah, dimungkinkan dapat menjadi saluran bagi pembaruan gereja (reformasi) pada dirinya sendiri.24 Program pelayanan pembinaan dikemas dalam berbagai bentuk seperti ibadah harusnya mampu menerapkan untuk membina, mendampingi, mengajar, mewartakan serta mewujudnyatakan Injil Kerajaan Allah. Melalui pembinaan warga gereja maka menjadi wadah pelayanan yang menyentuh kehidupan jasmani, dalam bentuk pelayanan yang holistik atau menyeluruh sebagai bentuk keberpihakan gereja dalam melihat persoalan- persoalan yang terjadi. Persoalan ini perlu diseriusi gereja-gereja dan para pengemban pendidikan Kristen saat ini yakni bagaimana serta sejauh mana
20 Fibry Jati Nugroho, “Church and Poverty: Discourse on the Role of the Church in Poverty [Gereja Dan Kemiskinan: Diskursus Peran Gereja Di Tengah Kemiskinan],”
Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat 3, no. 1 (2019):
100–112.
21 A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja (Jakrta: BPK Gunung Mulia, 2017), 5.
22 Drie S. Brotosudarmo, Pembinaan Warga Gereja Selaras Denagn Tantangan Zaman (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2015), 12.
23 Nugroho, “Church and Poverty: Discourse on the Role of the Church in Poverty [Gereja Dan Kemiskinan: Diskursus Peran Gereja Di Tengah Kemiskinan], 100.”
24 Emanuel Gerrit Singgih, Reformasi Dan Transformasi Pelayanan Gereja (Yogyakarta: Kanasius, 1997), 24-28.
gereja sebagai stakeholder Pendidikan Kristen mampu menjadi sarana pembinaan dalam menangani permasalahan sosial dalam tatanan hidup masyarakat dan berpengaruh dalam kehidupan bergereja/berjemaat.
Proses pembinaan warga gereja merupakan suatu pelayanan yang serius yang perlu diatur sedemikian rupa agar tujuan dalam pembinaan gereja dapat tercapai dengan maksimal. Pembinaan warga gereja dilaksanakan dengan melihat berbagai pergumulan jemaat sehingga melalui pembinaan.
Pendidikan kehidupan warga jemaat akan mengalami transformasi (perubahan). Berdasarkan definisi ini, maka gereja terus berupaya melaksanakan pembinaan warga gereja. GMIM Getsemani Sumompo merupakan salah satu gereja yang letak teritorial pelayanan mencakup daerah seputaran TPA Sumompo. Data tentang jumlah penduduk di sekitar TPA berjumlah 318 KK dengan presentase 95% bekerja sebagai pemulung (buruh sampah), tukang sapu dan sopir mobil. Jumlah pemulung berjumlah 150 orang. Di seputaran TPA Sampah Sumompo terdapat gereja-gereja dari berbagai denominasi. Salah satunya adalah GMIM Getsemani Sumompo.
GMIM Getsemani Sumompo terdiri dari 34 kolom. 3 kolom diantaranya yang terdiri dari 52 Kepala Keluarga (KK) berdomisili di seputaran pemukiman Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Sumompo yang sebagian besar bermata pencarian sebagai Pemulung di TPA Sampah Sumompo.
Anggota jemaat perlu diberi perhatian melalui pembinaan warga gereja mengingat terdapat permasalahan-permasalahan yang terjadi khususnya permasalahan sosial dalam tatanan hidup masyarakat sebab mereka bukan hanya membebani persoalan kemiskinan ekonomi akan tetapi mengalami tekanan struktural melalui tindakan-tindakan diskriminasi oleh karena latar belakang pekerjaan mereka yang dianggap hina. Sejauh ini, pembinaan warga gereja telah dilakukan sebatas program yang diadakan gereja, para pelayan tidak melaksanakan pembinaan warga gereja dengan melihat kebutuhan jemaat. Jemaat juga kurang memahami makna sebenarnya dari pembinaan warga gereja. Jemaat hanya menganggap PWG sebagai program-program rutinitas yang diadakan gereja melalui ibadah-ibadah, khotbah dan pengajaran. Pembinaan warga gereja terus diupayakan melalui program- program ibadah akan tetapi nampak warga gereja masih merasa minder atau rendah diri untuk dipercayakan sebagai pelayan. Adapun program-program Gereja termasuk pembinaan warga gereja tidak dievaluasi sebagaimana mestinya. Berdasarkan persoalan ini maka perlu untuk menilai dan mengkaji lagi tentang program pelayanan pembinaan warga gereja di GMIM Getsemani Sumompo melalui evaluasi program untuk menentukan sampai sejauh mana tujuan pembinaan telah dicapai.
Evaluasi program menurut Tyler adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan telah terealisasikan. Menurut Arikunto, evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.25 Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mengetahui sampai mana atau sejauh mana tingkat keberhasilan sebuah program.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengetahuan evaluasi program itu adalah konstruksi struktur pengetahuan atau kemampuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kegiatan yang direncanakan secara seksama itu dapat tercapai. Evaluasi program bertujuan memutuskan keberlanjutan suatu program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.26
Berdasarkan permasalahan yang ditemui di GMIM Getsemani Sumompo mengenai pembinaan warga gereja, maka peneliti merasa perlu untuk mengkaji lagi program pembinaan warga gereja sehingga dapat mengetahui program pembinaan warga gereja apakah telah menjawab kebutuhan dan sesuai dengan tujuan yang ada dan dapat mengidentifikasi hambatan dalam program sehingga dapat memberikan solusi dan alternatif dalam kelanjutan program.
B. PETA KONSEP
Agar para pembaca tidak kebingungan dan terarah, maka buku ini difokuskan pada persoalan mengenai implementasi penerapan model CIPP pada program pembinaan warga gereja, untuk menganalisis baik dari segi penerapan model CIPP program pembinaan dan melihat sejauh mana program ini dapat terserap secara baik, evaluasi konteks dan input program pembinaan terhadap kaum pemulung. kemudian evaluasi proses program dan produk program pembinaan terhadap kaum pemulung yang dilakukan oleh GMIM Getsemani Sumompo. sehingga dalam hal ini dilakukan evaluasi untuk program pembinaan warga gereja.
Tiada pencapaian tanpa tujuan yang baik sehingga telah direncanakan.
Sama halnya dengan buku ini memberikan gambaran pada evaluasi konteks program pembinaan pada kaum pemulung yang dilakukan oleh GMIM Getsemani Sumompo yang kemudian dengan evaluasi input program dalam pelaksanaan program pembinaannya kemudian pada proses program pembinaan dan produk program pembinaan yang di sajikan untuk kaum pemulung yang dilakukan oleh GMIM Getsemani Sumompo.
25 Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan,6.
26 Patta Bundu & Ermi Sola, Konsep Dasar Model Evaluasi Program (Padang:
Penerbit Insan Cendekia Mandiri, 2020), 6.
Manfaat yang akan di terima oleh para pembaca dan pengguna buku ini diantaranya menjadi sumbangsih akademis khususnya program studi Magister Pendidikan Agama Kristen sebagai bahan pembelajaran terkait dengan Evaluasi Program. Kemudian dapat menjadi sumbangsih praksis kepada jemaat untuk menerapkan evaluasi program pembinaan terhadap warga jemaat. Serta memperluas wawasan mengenai evaluasi program pembinaan warga gereja menurut model evaluasi CIPP.
KONSEP PEMBINAAN WARGA GEREJA
A. PENGERTIAN PEMBINAAN WARGA GEREJA
Istilah pembinaan dalam Bahasa Inggris nurture artinya memberikan makan (to feed), memperkaya (to nourish), membesarkan (to bring up), melatih (to train) dan mendidik (to educate). Melihat peristilahan pembinaan maka dapat diartikan pembinaan adalah proses perbuatan, cara membina,;
pembaharuan, penyempurnaan atau menjadi usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.27
Pembinaan adalah upaya pendidikan formal maupun non formal yang dilakukan secara sadar, berencana, terarah, teratur, dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan, membimbing, dan mengembangkan suatu dasar-dasar kepribadiannya seimbang, utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat, kecenderungan/keinginan serta kemampuan-kemampuannya sebagai bekal, untuk selanjutnya atas perkasa sendiri menambah, meningkatkan dan mengembangkan dirinya,28 A.Mangunhardjana mendefinisikan pembinaan sebagai suatu proses belajar dengan mempelajari hal-hal baru yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan yang sudah ada serta
27 Junihot M Simanjuntak, , “Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat” Sekolah Tinggi, and Teologi Kharisma 12, no. 2 (2014), 254-255.
28 Pasaribu Simanjuntak, Simanjuntak, Pasaribu, Membina Dan Mengembangkan GenerasiMuda (Bandung: Tarsito, 1990), 84.
BAB
2
mendapatkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup dan kerja yang sedang dijalani secara efektif. 29
Pembinaan dalam konteks gereja seharusnya berlangsung melalui empat jalur “urat nadi” gereja, yaitu: ibadah, persekutuan, pengajaran, dan pelayanan.30 Pembinaan warga gereja merupakan istilah yang sudah lazim didengar dalam lingkup gereja-gereja. Pembinaan warga gereja merupakan proses bimbingan, pengajaran dan didikan yang disampaikan dan diterima oleh jemaat-jemaat. Pembinaan atau pengajaran diberikan melalui pelayan Tuhan baik pendeta, gembala dan pengajar-pengajar lainnya baik secara terstruktur maupun tidak. Pengertian pembinaan warga jemaat adalah suatu upaya membina berlandaskan pada firman Tuhan. Upaya pembinaan dilakukan dalam rangka mengarahkan jemaat untuk memiliki kedewasaan secara rohani.31
Pengertian tentang pembinaan harus dipahami terlebih dahulu bagi setiap pelayanan gereja. Karena dari pemahaman yang benar, akan menghasilkan langkah yang benar. Membina jemaat berarti juga mendidik jemaat. B.J. Sijabat menguraikan pemahaman mengenai pembinaan yakni, pertama, istilah pendidikan memang biasa digunakan dalam lingkup pendidikan formal; berbeda dengan istilah pembinaan yang biasa dipakai dalam kegiatan belajar di luar lingkup pendidikan formal (sekolah, universitas) dan lebih berkonotasi nonformal. Misalnya dalam lingkup gereja biasa digunakan istilah pemuridan dan pembangunan warga gereja. Selanjutnya Pendidikan merupakan kegiatan pengajaran, pelatihan, pembinaan, pendampingan dan pembimbingan. Dengan demikian, pembinaan merupakan bagian dari Pendidikan. Melalui pembinaan maka setiap individu akan mengalami perubahan secara kognisi tetapi belum tentu secara afeksi.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan warga gereja merupakan kegiatan pembinaan dalam gereja yang harus bersifat holistik, dalam artian kegiatan pembinaan akan membimbing jemaat untuk mengalami perubahan dalam aspek emosi, iman dan kerohanian serta nampak dalam perbuatan nyata. 32
29 A. Mangunhardjana, Pembinaan: Arti Dan Metodenya, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 12.
30 Simanjuntak, “Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat”, 252.
31 Purim Marbun, “Desain Pemuridan Sebagai Model Pembinaan Warga Gereja Berkelanjutan Bagi Jemaat,” Jurnal Teologi Berita Hidup 4, No.2 (2022), 453.
32 Regen Wantalangi et al., “Model Pembinaan Warga Gereja Bagi Generasi Milenial,” CARAKA: Jurnal Teologi Biblika dan Praktika 2, no. 2 (2021): 125–142.
Definisi pembinaan warga yakni usaha terencana dan berkesinambungan yang dilakukan oleh gereja dalam membantu serta mendampingi warga gereja untuk proses pengembangan diri hingga mencapai kedewasaan sebagai warga gereja yang dapat mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat untuk kehidupan yang damai sejahtera menanti kedatangan Kerajaan Allah yang sempurna.33
Hubungan Gereja dengan dunia tidak dapat diabaikan. Menjadi kenyataan bahwa gereja dibina oleh Roh dan pembinaan itu terjadi di dunia.
Dunia bukan dilihat sebagai tempat (lokasi) belaka, akan tetapi masalah- masalah dan tantangan yang ada di dalamnya dilihat sebagai kemungkinan- kemungkinan yang terbuka. Dalam terang pembebasan, dunia bukan lagi dilihat sebagai sasaran (obyek) saja, melainkan juga sebagai subyek pelaku.
Dunia merupakan tempat melihat berbagai Tindakan Allah. Di dalam dunia dan melalui dunia, Allah membina Gereja.
Andalan gereja tentang manusia dalam proses pembinaan warga gereja dipertaruhkan dalam pemahaman mengenal manusia sebagai makhluk yang diberi kesempatan oleh Allah untuk bertumbuh. Dalam konteks andalan dan pemahaman seperti ini maka proses pembinaan warga gereja dapat dimengerti sebagai usaha untuk menciptakan kesempatan dan kemungkinan dimana proses pembebasan itu dialami yaitu agar warga gereja mengalami pertumbuhan dan perkembangan tentang dirinya dalam kebebasan yang sepenuhnya sesuai dengan “peta Allah”. Proses pembinaan ini mencakup di dalamnya usaha untuk mewariskan iman (pengajaran).34
B.S. Sidjabat mengutip pendapat James J. DeBoy Jr, mengenai empat penekanan dalam memahami pendidikan warga jemaat, yaitu: 1. Kegiatan itu terencana (planned), tidak terjadi mendadak, kebetulan atau asal-asalan.
Dengan demikian pendidikan membutuhkan pertimbangan dan pengetahuan.
2. Kegiatan pembinaan seyogyanya meningkatkan berlangsungnya aktivitas belajar, pembinaan itu memfasilitasi kegiatan sehingga peserta proaktif. 3.
Kegiatan itu untuk mereka dan bersama mereka, dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu membutuhkan analisis kebutuhan.
Kegiatan itu bertujuan meningkatkan kualitas iman jemaat yang menyangkut dimensi pengetahuan (knowing), perasaan (feeling), sikap (attitude) dan perubahan nyata (doing). Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembinaan atau Pendidikan warga jemaat merupakan suatu upaya pengajaran yang bersifat terencana dan terstruktur dalam rangka memenuhi
33 Kristin Andini, “Pembinaan Warga Gereja GKJ” (UKDW, 2016), 5-6.
34 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 24.
kebutuhan jemaat dari segi pengetahuan, perasaan, sikap sehingga mampu mewujudkan tugas panggilan gereja yakni bersaksi, bersekutu dan melayani di tengah keluarga, gereja dan masyarakat. 35
B. TUJUAN PEMBINAAN WARGA GEREJA
Menurut Lawrence O. Richards tujuan pembinaan warga gereja harus dipahami berdasar pada tujuan gereja. Pendidikan Kristen bukan hanya bertujuan untuk penguasaan pengetahuan akan tetapi agar mencapai keserupaan dengan Kristus sehingga Pendidikan Kristen harus diarahkan pada pencapaian transformasi secara progresif dapat mewujudkan keserupaan dengan Allah. Tujuan pembinaan warga gereja menurut Andar Ismail adalah selaras yang tertulis dalam Efesus 4:12-13 yakni memperlengkapi orang-orang kudus dalam mewujudkan pelayanan untuk pembangunan tubuh Kristus mengajarkan orang dewasa seumur hidup agar sesuai dengan kepenuhan Kristus.36 Sebagaimana yang dipahami Wilson Teo yang menyebutkan bahwa tugas pembinaan (spiritual formation) berhubungan dengan tanggung jawab membawa jemaat mengalami transformasi kehidupan, dalam bahasa sederhana dijelaskan bahwa tujuan pembinaan ialah believers will be transformed into the likeness of Christ.37
Tujuan pembinaan warga gereja berpusat kepada Kristus dan keserupaan dengan Kristus. Ini bukan tujuan utama pembinaan tetapi satu- satunya tujuan pembinaan. Pembinaan yang diselenggarakan di gereja-gereja oleh para pendeta dan gembala jemaat memiliki sasaran akhir yaitu mereka serupa dengan Kristus dalam hal gaya hidup, pola pikir, perilaku, karakter dan lain-lain. Untuk tujuan keserupaan dengan Kristus tersebut, diperlukan pembinaan yang berkesinambungan sampai Yesus Kristus datang Kembali. 38
Adapun tujuan dan esensi pembinaan berdasarkan pada Efesus 4:11-16 yakni pertama, pembinaan warga gereja diwujudkan melalui program yang terencana oleh mereka yang memiliki karunia dan talenta mengajar. Kedua, arah dan tujuan pembinaan jemaat adalah dalam rangka memperlengkapi jemaat agar berfungsi di tengah-tengah “umat” untuk bisa melayani. Salah
35 B.S. Sidjabat, Pendewasaan Manusia Dewasa (Bandung: Kalam Hidup, 2014), 4- 5.
36 Simanjuntak, “Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat.”, 258.
37 Wilson Teo, “Christian Spiritual Formation,” Emerging Leadership Journeys 10, no.1 (2017): 138–150.
38 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 18.
satu indikator ketercapaian dari pembinaan jemaat yakni kedewasaan mereka yang ditunjukkan lewat kemampuan untuk melayani. Ketiga pembinaan jemaat membawa jemaat pada pertumbuhan iman yang ditunjukkan dengan keharmonisan dengan sesama. Keempat, pembinaan jemaat menghasilkan pribadi yang memiliki nilai, karakter dan gaya hidup yang benar. Kelima, pembinaan jemaat melalui para pelayan gereja membawa anggota jemaat tidak mudah diombang-ambingkan dengan rupa- rupa pengajaran sesat atau pengaruh negatif. 39
Gereja harus mengatur suasana ibadah dan mendukung pelayanan Pendidikan dengan pengajaran yang tetap sasaran. Pembinaan warga gereja perlu memuat pengajaran untuk tujuan perubahan warga gereja. Perubahan disini adalah perubahan karakter menuju kepada keserupaan dengan Kristus.
Seperti dalam 1 Yohanes 2:6; 2 Korintus 5:17; Roma 12:1-2. Kedua, warga gereja perlu dibina untuk pengembangan diri. Dalam aspek kehidupan seseorang berkembang dalam artian holistik. Manusia memiliki dimensi individu dan sosial, manusia juga terbagi dalam tiga bagian yaitu kebutuhan jasmani, kebutuhan jiwa, dan kebutuhan roh, semuanya ini menuntut untuk terpenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu Pembinaan warga gereja perlu menyentuh dan memperkaya aspek pengetahuan, pengertian, perasaan, sikap, minat, relasi, perilaku sosial, kultural dan kerohanian agar diantaranya tidak terdapat ketidakseimbangan dan kesenjangan, semuanya itu hanya dapat dipenuhi di dalam Yesus Kristus (1 Korintus 3:11; Kolose 2:6-7). Ketiga, warga gereja perlu dibina untuk tugas dan tanggung jawab. Tanggung jawab yang dimiliki terhadap Tuhan, diri sendiri, orang tua, keluarga, gereja, dan masyarakat. Keempat, warga gereja perlu dibina untuk menjawab kebutuhan gereja. Gereja diutus ke tengah-tengah dunia adalah untuk menjadi saksi Yesus, menjadi dan membawa kabar baik di tengah-tengah dunia ini dan memberikan berbagai ragam hikmat Allah. 40
C. PRINSIP-PRINSIP PEMBINAAN WARGA GEREJA
Adapun visi PWG apabila dikaitkan dengan firman Tuhan dalam 2 Korintus 5:17 “Jadi siapa yang di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang”. Gereja yang erat kaitannya dengan persekutuan sesama orang percaya berada dalam proses menuju kesempurnaan penyelamatan yang Tuhan Yesus Kristus lakukan. Oleh sebab itu gereja harus terbuka dengan perubahan dan pembaruan yang digerakkan oleh Roh Kudus. Pembaruan gereja berkaitan dengan Tindakan
39 Ibid, 12-13.
40 Riniwati, “Bentuk Dan Strategi Pembinaan Warga Jemaat Dewasa.”
mengubah dan memperbaharui struktur atau pola kehidupan gereja, sedangkan pola kehidupan yang telah berubah, dimungkinkan dapat menjadi saluran bagi pembaruan gereja (reformasi) pada dirinya sendiri. Pembaruan ini berkaitan dengan pembaruan rohani atau batin warga gereja.
Misi dapat didefinisikan orang atau kelompok orang yang melakukan pelayanan, sebuah panggilan khusus, pengutusan seseorang, bangunan yang dikhususkan untuk pelayanan. Misi ini adalah Misi Allah (mission Dei) dan/atau Misi Kristus (mission Christy). Seluruh kehidupan gereja (holistic) adalah misi sehingga dapat diartikan bahwa misi adalah jati diri gereja. Gereja baru benar-benar dianggap sebagai gereja apabila menjadi gereja yang misioner. Dari penjelasan ini, maka yang menjadi misi PWG adalah “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). Dalam misi PWG dijelaskan bahwa misi gereja adalah berpartisipasi dalam misi Allah yang sedang mentransformasi seluruh ciptaan menuju “langit dan bumi yang baru”. Inti dari misi ini adalah kesaksian tentang Tuhan Yesus Kristus sebagai firman Allah yang hidup. Jadi, gereja harus mempunyai misi. Apabila ada gereja yang tidak mempunyai misi, maka gereja tersebut dapat dikatakan sebagai gereja yang mati. Warga gereja harus berperan aktif dalam pengembangan dan pembangunan gereja sesuai dengan profesi masing-masing. 41
Pembinaan dan pengembangan gereja tidak boleh dipandang hanya dalam arti penambahan warga saja atau hanya dilihat berdasarkan kuantitasnya. Gereja yang menerapkan pembinaan dan pengembangan adalah gereja yang menerapkan proses pendewasaan hidup dalam iman, pengharapan dan kasih. Hal ini berarti pembinaan dan pengembangan gereja meliputi:
1. Peningkatan dan pendewasaan hidup keimanan warga gereja secara intensif atau dalam segi kualitas atau mutu.
2. Penambahan jumlah orang percaya dan perluasan jangkauan kesaksian dalam segi ekstensif dan kuantitatif.
Pembicaraan tentang pembinaan dan pengembangan PWG secara kualitatif menyangkut kedewasaan mental dan spiritual. Kedewasaan manusia yang terkait dengan aspek mental berhubungan erat dengan pikiran, emosi, kepribadian manusia, daya cipta, perasaan, keinginan, motivasi dan
41 O. E. Ch. Wuwungam, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 65-68.
integrasi dalam dirinya. Sedangkan aspek mental berkaitan dengan batin dan jiwa. 42
D. CIRI-CIRI KHAS PEMBINAAN WARGA GEREJA
Adapun ciri-ciri khas dari pembinaan warga gereja adalah sebagai berikut:
1. Sikap Tindakan yang terbuka terhadap perubahan-perubahan yang luas dan mendalam di dalam masyarakat, dan menempatkan diri secara bertanggung jawab, dewasa, secara kritis dan kreatif di dalam situasi yang baru. PWG bermaksud untuk membantu orang-orang agar mampu membuka dan menempatkan diri secara realistis, kritis dan kreatif dan konstruktif di dalam situasi yang baru.
2. Sikap kedewasaan: Salah satu ciri khas dari PWG ini bermaksud untuk menumbuhkan kemampuan seseorang untuk mengungkapkan dengan perkataan sendiri, pikiran dan pengharapannya serta memutuskan bagi diri sendiri jalan-jalan untuk membentuk masa depan yang dipilihnya.
Hal ini berarti bahwa ia tidak bergantung pada apa yang dikatakan orang lain.
3. Ciri khas ketiga adalah menjadi mampu berpikir secara ekumenis dan inklusif. Berpikir ekumenis artinya melihat seluruh anggota umat manusia sebagai sesama. Kesejahteraan umat manusia di mana-mana harus mendorong untuk mengatasi skap mengisolasi diri.
4. Ciri khas keempat adalah penyadaran dan penghadiran yang diberi kepada manusia untuk mendorongnya kepada pengalaman kebebasan yang tersedia itu
5. Ciri khas kelima adalah mampu untuk bekerja sama. Kerja sama dalam perjalanan Bersama-sama dewasa ini dan di masa depan adalah syarat mutlak untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi manusia. Kerja sama harus berdasarkan atas kepercayaan satu dengan yang lain, atas hukum dan keahlian dan atas kemampuan memegang tanggung jawab.
Syarat utama dari kerja sama yang hakiki adalah “Kasihilah sesama manusia seperti dirimu sendiri” (Luk. 1:27)
6. Ciri khas keenam adalah bersedia dan mampu untuk berpikir secara logis atau perkara yang bersifat langsung pada pokok. Dengan berpikir lugas dimaksudkan bahwa orang belajar dan menetapkan sesuatu pelajaran (atau suatu pemahaman) dengan memisahkan persoalan pokok dari persoalan pribadi. Pendeta biasa menilai khotbah itu sama dengan Firman Allah, identik dengan Firman. Padahal masalahnya bukanlah terletak pada taat-tidaknya pendeta terhadap firman Allah. Yang menjadi
42 O. E. Ch. Wuwungam, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja, 70.
masalah adalah kemampuan mengajar dan belajar untuk berpikir secara metodis, agar mengungkapkan ketaatan kepada firman Allah secara jelas, dan menerjemahkan pengertian-pengertian agung dari Firman Allah ke dalam istilah-istilah sehari-hari.
7. Ciri khas ketujuh adalah sikap dan semangat dialogis. Dialog dimulai dengan dialog antara Allah dan manusia. Dialog selalu berarti melibatkan Allah dan sesama manusia. Sikap dialogis pertama-tama berarti bahwa orang-orang tidak hanya didengar, tetapi ada juga kesediaan mendengar dan bertukar pikiran dengan sesama. Apa yang diperlukan sebetulnya adalah pelayanan mendengar. Menjadi peka terhadap “suara dan jeritan orang sengsara” (Ayub 34:28).43
E. DASAR PELAKSANAAN PEMBINAAN WARGA GEREJA
Kurikulum berpusat pada Alkitab. Agenda pembinaan adalah agenda Allah dan Alkitab. Keduanya adalah sumber asasi kurikulum yang memiliki kuasa mendidik. Perencanaan pembinaan jemaat tidak boleh lepas dari dasar- dasar firman Tuhan, apapun yang akan dikerjakan harus dapat dilihat pada terang firman Tuhan. Para pendidik menjalankan Pendidikan dan pembinaan dalam konsep firman Tuhan, juga menetapkan sasaran dan tujuan berdasar pada Alkitab juga.44
Pendidikan atau pembinaan warga gereja begitu penting karena pengajarannya selalu berpatokan pada Alkitab. Sepatutnya hidup manusia berpadanan dengan Alkitab sebab segala tulisan dalam Alkitab diilhamkan oleh Allah (dalam Bahasa Yunani: theopneustos; Good-breathed) sehingga sangat berguna dalam mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran.45
Alkitab adalah suatu kumpulan kesaksian tentang Tindakan Allah yang punya akibat besar pada kehidupan pribadi dan kehidupan bangsa-bangsa.
Orang percaya menggunakan Alkitab sebagai petunjuk Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan sehari-hari menyangkut hidup pribadi, masyarakat, keluarga, negara dan bangsa, peribadahan, dunia usaha, ilmu pengetahuan, Pendidikan dan aneka segi kehidupan yang lain merupakan kegiatan atau permasalahan yang dihadapi setiap hari. Alkitab menampakkan
43 Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998), 25-29.
44 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 19.
45 Simanjuntak, Implikasi Konsep Dan Desain Kurikulum Dalam Tugas Pembinaan Warga Jemaat, 254.
kaitannya dengan setiap segi kehidupan yang konkret, baik yang menyangkut batin maupun yang kena mengena dengan hidup bersama dan hasil usaha.
Firman Allah tak ada manfaatnya kalau tidak menyangkut kehidupan kita, juga yang paling dalam sekalipun. 46
1. Perjanjian Lama
Esensi pembinaan jemaat dengan jelas tertulis di dalam Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, Allah secara langsung mendidik dan membina umat-Nya melalui pemilihan bapa-bapa leluhur (Abraham, Ishak dan Yakub). Melalui kisah ini, secara konkrit Allah membimbing dan menuntun umat-Nya melalui
“track” yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman dan memberikan arahan bagaimana seharusnya mereka bertindak. Melalui komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung, pembinaan dilakukan oleh Allah kepada umat-Nya agar mereka melakukan perintah dan kehendak-Nya. 47
Kehidupan umat Allah dibina melalui para imam dan orang Lewi. Pada tradisi PL para imam bertanggung jawab untuk mengajarkan seluruh Taurat kepada umat agar hidup dalam relasi yang benar dengan Allah.48 Selain itu juga, di dalam kitab Hakim-hakim ditemukan bagaimana cara Allah menuntun dan membina umat secara saksama agar melakukan perintah dan tidak melakukan larangan-Nya. Dua esensi perintah dapat dilakukan oleh umat-Nya dengan tuntunan dan binaan dari Allah sendiri. Jika umat melanggar maka mereka akan mendapati hukuman. Sebaliknya, apabila mereka taat pada perintah-Nya maka umat Allah akan mengalami ketenangan. Masalah yang diizinkan Tuhan menjadi cara-Nya dalam memberikan “pembinaan” sehingga mereka berbalik pada jalan yang benar.
Pola pembinaan umat Allah dalam Perjanjian Lama dilaksanakan atas inisiatif dan ide Allah yang membawa umat-Nya kepada persekutuan serta membangun relasi yang harmonis dengan Allah. Selanjutnya, pola pembinaan Allah di dalam Perjanjian Lama diteruskan melalui orang-orang pilihan-Nya.
Allah memilih hakim-hakim, para nabi dan raja untuk menolong dan membentuk umat Allah. 49
46 O. E. Ch. Wuwungam, Bina Warga: Bunga Rampai Pembinaan Warga Gereja, 81.
47 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 4.
48 Sia Kok Sin, “Apakah Metode Pemuridan Dalam Perjanjian Lama,” Jurnal Theologia Aletheia 19 No. 12, no. 12 (2017): 43–67.
49 Marbun, Pembinaan Jemaat: Petunjuk Pemahaman Praktis Membina Jemaat, 4- 6.
2. Perjanjian Baru
Pada Perjanjian Baru, tokoh sentral yang melakukan pembinaan adalah Yesus Kristus. Awal pelayanan Yesus, Ia melakukan pembinaan kepada murid- murid-Nya, kemudian dalam perkembangan, Yesus melakukan pelayanan kepada orang banyak dalam hal ini bisa dikategorikan jemaat. Pengajaran Yesus terhadap orang banyak dilakukan melalui pengajaran firman Tuhan tetapi juga dengan melakukan mukjizat dan tanda-tanda ajaib.50
Setelah Yesus naik ke sorga, tanggung jawab pelayanan serta pembinaan dilakukan oleh para rasul dan para penilik gereja yang dipilih dan ditetapkan oleh Tuhan. Sebagaimana yang menjadi dasar pembinaan jemaat tertulis pada Matius 28:19-20; Efesus 4:11-16 dan 2 Timotius 2:2. Teks-teks ini yang mendasari pembinaan warga gereja. Matius 28:19-20, terkandung makna pembinaan melalui perintah atau amanat pembinaan. Artinya, Yesus memberikan perintah yang “wajib” mengajar jemaat. 51
50 Ibid, 6-7.
51 Ibid. 8-10
KONSEP EVALUASI PROGRAM
A. KONSEP EVALUASI PROGRAM
Evaluasi berasal dari kata evaluation (Bahasa Inggris) yang kemudian dijadikan kata serapan dalam Bahasa Indonesia untuk mempertahankan kata aslinya dengan istilah Evaluasi.52 Evaluasi didefinisikan sebagai proses yang dipakai dalam menilai. Djaali, Mulyono dan Ramly memberikan pendapat bahwa evaluasi merupakan proses menilai sesuatu berlandaskan kriteria dan standar objektif yang dievaluasi. 53
Tyler (2005) yang dikenal dengan Bapak Evaluasi mengemukakan bahwa evaluasi adalah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan suatu program telah terlaksana. Beberapa ahli terkemuka seperti Alkin (1969) Stifflebeam (1999) dan Cronbach (1963) sepakat menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan dalam menyediakan informasi untuk membuat keputusan. 54
Scriven dalam Stuffle beam dan Skinkfield mendefinisikan evaluasi yaitu:
evaluation is the process of determining the merit, worth and value of the things and evaluation are the products of the process. Evaluasi merupakan suatu proses dalam menentukan manfaat, harga dan nilai dari sesuatu dan evaluasi adalah produk dari proses tersebut. Stufflebeam et. Al berpendapat
“evaluation is the process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatifs” evaluasi merupakan proses
52 Ambiyar & Muharika, Metodologi Penelitian Evaluasi Program (Bandung:
Alfabea Bandung, 2019), 12.
53 Agustanico Dwi Muryadi, “Model Evaluasi Program Dalam Penelitian Evaluasi,”
Jurnal Ilmiah Penjas: Penelitian, Pendidikan dan Pengajaran 3 No.1 (2017), 3.
54 Muharika, Metodologi Penelitian Evaluasi Program, 12-13.
BAB
3
menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.55
National Study Committee on Evaluation menyatakan bahwa evaluation is the process of ascertaining the decision of concern, selecting appropriate information, and collecting and analyzing information in order to report summary data useful to decision makers in selecting among alternatifs.
Evaluasi merupakan suatu proses atau kegiatan pemilihan, pengumpulan, analisis, dan penyajian informasi yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan serta penyusunan program selanjutnya. 56
Program merupakan rangkaian kegiatan sebagai gambaran implementasi dari suatu kebijakan. Secara umum, program memiliki arti sebagai “rencana”
yang akan dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang atau organisasi tertentu dalam mencapai tujuan.57 Apabila program disebut sebagai suatu rencana dalam kajian khusus maka evaluasi program memiliki makna yang lebih khusus. Arikunto & Jabar (2010) berpendapat apabila suatu program langsung dikaitkan dengan evaluasi program maka program didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang. Program merupakan suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program dapat disebut sebagai suatu system yang merupakan kumpulan dari sub-sub system yang bekerja dalam mencapai suatu tujuan kegiatan dalam sebuah organisasi. Agar program dapat terlaksana dengan baik dan mencapai tujuannya maka perlu untuk melakukan evaluasi. Evaluasi yang dilakukan dengan sasaran suatu program disebut sebagai evaluasi program.58
Evaluasi program adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu program yang selanjutnya informasi tersebut dipakai dalam menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan terkait dengan program. Evaluasi program menurut Tyler adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan telah terealisasikan. Menurut Arikunto, evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan.59
55 Muhammad Ilyas Ismail, Evaluasi Pembelajaran: Konsep Dasar, Prinsip, Teknik Dan Prosedur (Depok: Rajagrafindo, 2020), 4.
56 Rusydi Ananda & Tien Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan (Medan:
Perdana Publishing, 2017), 2.
57 Amat Jaedun, Metode Penelitian Evaluasi Program (Yogyakarta: UNY, 2010), 5.
58 Muharika, Metodologi Penelitian Evaluasi Program,17-18.
59 Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan,6.
Evaluasi program menurut Joint Committee on Standards for Educational Evaluation adalah “program evaluation asses educational activities which provide service a continuing basis and often involve carricular offerings”. Mets mengemukakan (2007) “Program evaluation is a basic questions about a program.” Evaluasi program adalah alat berharga untuk manajer (pengambil keputusan) program, yang menganalisis informasi untuk memperkuat kualitas program-program yang ada dan meningkatkan hasil atau manfaat bagi pihak- pihak yang dilayani. Singkatnya, evaluasi program bertujuan untuk mengatasi masalah umum manajer program dan praktisi tentang evaluasi. Evaluasi program merupakan evaluasi yang menilai aktivitas di bidang Pendidikan dengan menyediakan data yang berkelanjutan.60
Evaluasi program merupakan kegiatan sistematis dalam mengumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. 61
Briekerhoff et-al, berpendapat evaluasi program adalah suatu proses menemukan sejauh mana tujuan dan sasaran program atau proyek telah terealisasi, memberikan informasi untuk pengambilan keputusan, membandingkan kinerja dengan standar atau patokan untuk mengetahui adanya kesenjangan penilaian harga dan kualitas dan penyelidikan sistematis tentang nilai atau kualitas suatu objek.62
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi program adalah proses sistematis yang menganalisis informasi untuk menggali bagaimana kualitas program-program yang ada serta mengetahui sejauh mana tujuan program telah dicapai dan terealisasi.
B. TUJUAN DAN MANFAAT EVALUASI PROGRAM
Adapun tujuan evaluasi program adalah untuk mengetahui sejauh mana tujuan program telah terealisasi atau tidak. Selanjutnya, tujuan evaluasi bertujuan untuk melihat seberapa efektif program yang telah dilaksanakan dan seberapa jauh kebijakan dapat terimplementasikan.63
Weis mengemukakan tujuan dari evaluasi program adalah sebagai berikut:
60 Muharika, Metodologi Penelitian Evaluasi Program,17-18.
61 Djuju Sudjana, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 19
62 Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan, 6.
63 Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, ed Fatna Yustianti, cet. 5 (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 5.
1. Menunjuk pada penggunaan metode penelitian, 2. Menekankan pada hasil suatu program,
3. Penggunaan kriteria untuk menilai,
4. Kontribusi terhadap pengambilan keputusan dan perbaikan program di masa mendatang.
Menurut Kirkpartick, urgensi diperlukannya evaluasi program adalah:
1. Untuk menunjukkan eksistensi dari dana yang dikeluarkan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran program yang dilakukan;
2. Untuk memutuskan apakah kegiatan yang dilakukan akan terus atau dihentikan,
3. Untuk mengumpulkan informasi bagaimana cara untuk mengembangkan program di masa mendatang.
Mutrofin berpendapat bahwa tujuan evaluasi program adalah untuk mendapat informasi yang berguna pada saat memilih diantara berbagai kebijakan atau program alternatif untuk mencapai tujuan sosial. 64
Menurut Arikunto dan Jabar, terdapat empat kemungkinan yang dapat dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi program yakni:
1. Menghentikan program oleh karena program tersebut sudah tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan 2. Merevisi program, karena ada beberapa bagian yang kurang sesuai
dengan yang diharapkan.
3. Melanjutkan program, sebab pelaksanaan program memperlihatkan bahwa segala sesuatu sudah terealisasi sesuai dengan harapan dan memberikan dampak atau hasil yang bermanfaat.
4. Menyebarkan program, oleh karena program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika terus dilaksanakan lagi di tempat dan waktu lain.
Menurut Brikerhoff, dalam melakukan evaluasi, terdapat tujuh elemen yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Menentukan focus yang akan dievaluasi (focusing the evaluation), 2) Menyusun desain evaluasi (designing the evaluation), 3) pengumpulan informasi (analysing and interpreting), 5) pembuatan laporan (reporting information), 6) pengelolaan evaluasi (managing evaluation) dan 7) evaluasi untuk evaluasi (evaluating evaluation).
64 Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan, 8.
Roswati berpendapat bahwa evaluasi program memiliki tujuan untuk: 1) memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang kelanjutan program di masa depan, 2) memberi landasan terhadap penundaan pengambilan keputusan, 3) penggeseran tanggung jawab, 4) pembenaran/
justifikasi program, 5) memenuhi akan kebutuhan akreditasi, 6) laporan akuntansi untuk pendanaan, 7) menjawab setiap permintaan pemberi tugas, informasi yang diperlukan, 8) membantu staf dalam mengembangkan program, 9) mempelajari dampak atau akibat yang tidak sesuai dengan rencana, 10) mengadakan usaha perbaikan bagi program yang sedang berjalan, 11) menilai manfaat dari program yang sedang berjalan, 12) memberikan masukan bagi program baru. 65
Purwanto dan Suparman menjabarkan tujuan evaluasi program yaitu:
1. Mengkomunikasikan program kepada masyarakat
Laporan hasil atau informasi dari evaluasi program yang dilakukan dapat memberikan pemahaman kepada khalayak tentang program atau tentang kinerja/performa. Oleh karena itu, mengkomunikasikan hasil evaluasi program yang lebih lengkap dari sekedar angka-angka kepada masyarakat memiliki keuntungan dan kebaikan terhadap program yang dievaluasi.
2. Menyediakan informasi bagi pembuat keputusan
Informasi yang dihasilkan dari evaluasi program akan berguna bagi setiap tahapan dari manajemen program mulai sejak perencanaan pelaksanaan ataupun Ketika akan mengulangi dan melanjutkan program. Hasil evaluasi dapat dijadikan dasar bagi pembuatan keputusan, sehingga keputusan tersebut valid dibandingkan keputusan yang hanya berdasarkan kepada institusi saja. Pembuat keputusan tentu membutuhkan informasi sehingga dapat memutuskan sesuatu secara tepat dan informasi akurat tersebut antara lain dapat diperoleh dari kegiatan evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Penyediaan informasi hasil evaluasi bagi pembuat keputusan tidak terbatas pada keputusan oleh pejabat pemegang otoritas dalam institusi saja, tetapi bisa meliputi pembuatan keputusan dalam berbagai level oleh pihak- pihak lain yang terkait.
65 Ashiong P Munthe, “Pentingya Evaluasi Program Di Institusi Pendidikan: Sebuah Pengantar, Pengertian, Tujuan Dan Manfaat,” Scholaria : Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 5, no. 2 (2015): 1.
3. Menyempurnakan program yang ada
Suatu evaluasi program yang dilaksanakan dengan baik dapat membantu upaya-upaya dalam rangka penyempurnaan jalannya program sehingga lebih efektif. Dengan instrument yang ada, hasil yang dicapai dapat diukur dan didiagnosa. Berbagai kelemahan dan kendala yang mungkin timbul dapat ditemukan dan dikenali, kemudian dianalisis serta ditentukan alternatif pemecahannya yang paling tepat. Komponen-komponen dalam system yang memiliki kekurangan dan kelemahan dapat dicari dan dipelajari solusinya.
Berdasarkan hasil evaluasi akan dapat diperoleh informasi tentang dampak dari berbagai aspek program dan berhasil juga teridentifikasi berbagai factor yang diperlukan atau perlu penyempurnaan.
4. Meningkatkan partisipasi dan pertumbuhan
Adanya hasil evaluasi akan mendorong masyarakat dalam melakukan upaya-upaya peningkatan dan penyempurnaan program. Hasil evaluasi program yang dipublikasikan akan merangsang kepedulian masyarakat terhadap program, menarik perhatiannya dan akhirnya menumbuhkan rasa ikut memiliki (sense of belonging) terhadap program tersebut. 66
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrruddin berpendapat bahwa evaluasi program dilakukan agar dapat mengetahui bagaimana dan seberapa tinggi kebijakan yang sudah dikeluarkan dapat terlaksana. Evaluasi program harus mengarah pada pengambilan keputusan (rekomendasi) yang disampaikan oleh evaluator kepada pengambil keputusan (decision maker). Evaluasi program diarahkan pada hasil rekomendasi sehingga tujuan evaluasi program dapat terlaksana. Manfaat evaluasi program akan sangat dirasakan saat masukan hasil dari evaluasi program dijadikan sebagai rekomendasi bagi pengambil keputusan. Pengambil keputusan dapat memutuskan akan kelanjutan dari program yang sedang atau telah selesai dilaksanakan. 67
C. MODEL EVALUASI PROGRAM
Ada banyak model evaluasi yang dikembangkan oleh para ahli yang dapat digunakan dalam melakukan evaluasi program. Kirkpatrick mengemukakan tentang berbagai model evaluasi program yakni sebagai berikut: 1) Jack PhillPS’ Five Level ROI Model; 2) Daniel Stufflebeam’s CIPP Model (Context, Input, Process, Product); 3) Robert Stake’s Responsive
66 Rafida, Pengantar Evaluasi Program Pendidikan, 8-9.
67 Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar, Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, ed Fatna Yustianti, cet. 5 (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), 5.
Evaluation Model; 4) Robert Stake’s Congruence-Contingency Model; 5) Kaufman’s Five Levels of Evaluation; 6) CIRO (Context, Input, Reaction, Outcome); 7) PERT (Program Evaluation and Review Technique); 8) Alkins’
UCLA Model; 9) Michael Scriven’ Goal-Free Evaluation Approach; 10) Provus’s Discrepancy Model; 11) Eisner’s Connoisseurship Evaluation Models; 12) Illuminatives Evaluation Model; 13) Portraiture Model. 68
Dari beberapa model evaluasi program yang telah disebutkan di atas maka peneliti memilih model CIPP sebagai model yang dianggap cocok untuk penelitian terhadap program pembinaan warga gereja di GMIM Getsemani Sumompo.
Adapun alasan pemilihan model CIPP karena model evaluasi ini sangat terstruktur atau sistematis mulai dengan konteks program yang membantu merumuskan tujuan sampai dengan evaluasi produk atau hasilnya yang dapat mengarahkan untuk keputusan selanjutnya.
D. EVALUASI MODEL CIPP
Istilah CIPP merupakan singkatan dari Context, Input, Processes, dan Products. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Stufflebeam dan Shinkfield,
“the CIPP model’s core concepts are denoted by the acronym CIPP, which stands for evaluations of an entity’s contect, input, processes and products”69
Evaluasi model CIPP merupakan suatu konsep dari Stufflebeam dengan pandangan bahwa tujuan utama dari evaluasi adalah bukan membuktikan (to prove) tetapi untuk memperbaiki (to improve). 70 “The CIPP model is based on learning by doing—that is, an ongoing effort to identify and correct mistakes made in evaluation practice, to invent and test needed new procedures, and to retain and incorporate especially effective practices.” Model CIPP didasarkan pada pembelajaran sambil melakukan—yaitu, upaya berkelanjutan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki setiap kelemahan yang ada dalam praktik evaluasi, untuk menemukan dan menguji prosedur
68 Zulfani Sesmiarni, Model Evaluasi Program Pembelajaran (Bandang Lampung:
Aura Publishing, 2014), 7-8.
69 Munthe, “Pentingya Evaluasi Program Di Institusi Pendidikan: Sebuah Pengantar, Pengertian, Tujuan Dan Manfaat.”, 10.
70 Stufflebeam, D.L. H McKee and B McKee. The CIPP Model for Evaluation. Paper presented at the 2003 Annual Conference of the Oregon Program Evaluation Network (OPEN). Portland, Oregon, 118