• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Dan Demokratisasi Pendidikan

Manajemen Berbasis Sekolah memberikan ototnomi yang luas kepada sekolah untuk mengelola sumber daya pendidkian yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan pendidikan dan melalui MBS diharapkan akan mendorong

profesionalisme guru dan kepala sekolah, baik sebagai manejer maupun sebagai pimpinan sekolah.

Para kepala sekolah, guru, pengelola pendidikan lainnya, orang tua serta masyarakat lainnya yang terkait harus menyadari dan menyakini mereka memiliki peran sebagai pelaku inovasi. Satori dan wahyudin ( 2001: 97 ) menyatakan bahwa

Manajeman Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu model inovasi

pendidikan di Indonesia, sebagaiman muara dari desentralisasi pendidikan dalam rangka pelaksanaan reformasi pendidikan. Dalam inovasi pendidikan kegiatan mencoba cara baru merupakan suatu keniscayaan. Tanpa adanya upaya peningkatan mutu manusia Indonesia, tata pergaulan dunia baru yang

membutuhkan manusia unggul tidak akan tercapai dan kita hanya menjadai bangsa yang memiliki kualitas manusia yang rendah. Jika ini terjadi maka penjajahan dalam bentuk baru akan tetap melingkari kehidupan secara rasional.

Karena fokus dari kegiatan ini untuk kepentingan anak didik melalui kualitas pelayanan pembalajaran yang diberikan sekolah, maka perlu dilakukan penilian dan asasemen atas pelaksaan inovasi tersebut. Pengkajian mengenai keberhasilan dan kekeurangan keberhasilan harus harus dilakukan untuk senantiasa mampu

melakukan perbaikan dan penyempurnaan, karena hal ini sangat penting dalam upaya meningkatkan muttu pembelajaran didalam kelas. Pembelajaran yang berkualitas diasumsikan sebagai pembelajaran yang dinamis, bermakna dan terus berkembang dalam layanan optimal. Pergaulan tatanan dunia yang telah berubah saat ini, sudah seharusnya dimulai dari mengubah paradigma pendidikan, jika selama ini cendrung menggunakan paradigma birokratis hirarkis, selanjutnya harus menggunakan paradigma demokratis. Bagaimana pebedaan aspek- aspek kedua paradigma tersebut dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2

Perubahan Paradikma Pendidikan Birikratis Hirarkis Ke Pendidikan Demokratis

No Aspek Paradigma pendidikan

birokratis hirarkis

Paradigmapendidi kan demokratis

1 Perencanaan Top- down Buttom- up 2 Pelaksanaa Didasarkan instruksi

petunjuk

Didasarkan atas profesionalisme 3 Standar Output dan proses

Nasional makro

Output Nas Makro, proses local mikro 4 Target Nasional makro Level sekolah-

wilayah terbatas 5 Pemahaman

tujuan target

Didasarkan atas pedoman dari pusat

Didasarkan atas kondisi sekolah 6 Sistem intensif Seragam dan

kepatuhan

Sistem prestasi 7 Umpan balik

orang tua

Tidak diperlukan, kecuali para peserta didik yang bermasalah

Diperlukan secara teratur 8 Orientas Pengembangan intelektual ( NEM ) Pengembangan aspek intelektual, personal dan sosial 9 Persepsi

terhadap input

Masukan peserta didik diperlikan sebagai raw input, yang

menentuakn hasil akhir

Masuakn peserta didik bukan merupakan raw input, melainkan klien yang memerlukan pelayanan jasa sekolah

waktu tertentu dan bersifat seragam

waktu dengan menekankan kebutuhan sekolah 11 Kontrol sekolah Oleh atasan Oleh orang tua

peserta didik dan masyarakat 12 Pengambilan keputusan Adanya ditangan kepsek dengan perkenaan atasan

Rapat guru, orang tua peserta didik dan masyarakat

13 Peran orang tua siswa dan masyarakat Terbatasnya menyediakan dana Terlibatnya dalam seluruh proses pendidikan, kecuali menentukan nilai. Sumber : Zamroni (2001:13)

Bagian diatas merupakan ilustrasi yang diharapkan terjadi jika desentralisasi sector pendidikan berlangsung sebagai mana yang direncanakan/ dinamika

pendidikan yang selama ini terpasung oleh kebijakan dengan nuansa politik yang kental diharapakn mencair sehingga dapat dijadikan dasar untuk melakukan kebijakan-kebijakan lainnya disektor pendidikan. Kebijakan disektor pendidikan harus setiap saat bergulir dengan segala upaya yang dapat meningkatkan mutu manusia Indonesia.

Secara esensial MBS bertujuan meningkatkan efesiensi, mutu, relefasi dan pemerataan pendidikan. Sedangkan manfaat MBS menurut Mulyasa ( 2003: 26 ) adalah:

MBS mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manejer maupun pemimpin sekolah melalui penyusunan kurikulum yang efektif, rasa tanggap sekolah terhadap segala kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan tuntunan peserta didik dan masyarakat.

Program prioritas harus difokuskan kepada penyusunan rencana

peningkatan mutu pembelajaran siswa, meliputi proses dan hasil pembelajarannya. Kepala sekolah dan guru seyogianya memilik kreatiftas tinggi dalam menciptakan kegiatan atau siasat pembelajaran yang inovatif. oleh karena itu, perlu dipersiapkan tenaga baru yang professional melalui program pelatihan guru dan menjalin

kemitraan dengan pihak terkait yang memungkinkan tercapainya profesionalisme guru. Untuk kepentingan itu, diperlukan kemampuan manajerial Kepala Sekolah dengan model kepemimpinan yang mandiri dan demokratis, transfaran dan

partisifatif sebagai refleksi dari kepemimpinan yang kuat memiliki akuntabilitas dan memberdayakan warga sekolah.

Manajemen berbasis sekolah sebagai manajemen alternatif akan

memberiakn kemandidian kepala sekolah untuk mengatur dirinya untuk mengatur dirinya dalam rangka peningkatan mutu pendidikan dengan tetap mengacu pada kebijakan nasional. Pendekatan dan konsep MBS ini akan dapat dipelaksanakan di sekolah apabila ada komitmen yang tinggi dari berbagai pihak, yaitu orang tua dan masyarakat, guru, kepala sekolah siswa dan staf lainnya dan pemerintah sebagai mitra dalam mencapai tujuan peningkatan mutu sekolah.

Kata kunci yang harus menjadi perhatian kita semua adalah adanya

kemauan untuk mengubah sikap, prilaku dan etos kerja semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, terutama warga sekolah, dalam memandang pendidikan sebagai suatu proses yang terintegrasi dalam rangka meningkatkan kualitas

sumber daya manusia. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki seharusnya dapat dikalahkan oleh tekad dan kemauan yang kuat dalam mewujudkan kegiatan untuk melaksanakan peningkatan mutu. Keberhasilan juga akhirnya ditentukan oleh upaya sosialisasi kepada semua pihak serta pengarahan yang berkesenambungan,

baik terhadap kegiatan yang bersifat akademis, meliputi tahapan, perencanaan, pelaksanaan dan hasil atau target yang telah ditetapkan.

Sehubungan dengan adanya MBS, penulis mengambil kesimpulan MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru manajemen pendidikan yang menawarkan otonomi luas pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah yang didukung partisipasi aktif masyarakat, sehingga peningkatan mutu pendidikan disekolah akan tercapai.

Suatu program yang diancangkan akan berjalan dan berhasil secara maksimal apabila tidak terssedia berbagai faktor pendukung. Faktor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal. Dalam omplementasi Manajemen Berbasis Sekolah, secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah

dukungan politik baik itu dalam bentuk sistematis pelaksanaan, peraturan dan perundang- undangan formal. Dukungan fnansial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, sarana dan prasarana lainnya juga menjadi faktor

pendukung yang penting.

Akhirnya banyak waktu dan tenaga yang dicurahkan oleh para partisipan sekolah dalam menerapkan MBS. Konsekwensinya adalah munculnya kefrustasian, ketidakpuasan, menghabiskan tenaga dan akhirnya segera kembali kepada teknis sebelumnya. Dampak dari kesalahan semacam ini adalah menurunkan kepercayaan lembaga untuk mengubah dirinya menuju masa depan.

Suasana seperti ini tampaknya yang diperlukan adalah pengetahuan dan keterampilan tentang perubahan organisasi atau dinamika organisasi yang secara detail. Tetapi ketika program ini mencakup sesuatu hal yang amat mendasar dan menyeluruh maka akan menghadapi kendala bila tidak dilakukan perubahan oranisasinya.

Pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus jitu dan bisa menjamin keberhasilan impementasi MBS disemua tempat dan kondisi. Oleh karena itu,

strategi Pelaksanaan MBS disuatu Negara dengan Negara lain bisa berlainan, antara suatu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun berlainan strateginya. Sehubungan dengan strategi

pelaksanaan MBS, Nurkholis ( 2003:135) menyatakn bahwa:

Pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertangguang jawab dalam penyelenggaraan pendidikan disekolah strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Mensosialisasikan konsep MBS ke seluruh warga sekolah melalui seminar, diskusi,

forum ilmiah, dan media massa.

2. Melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa

tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah.

3. Merumuskan tujuan situsional yang akan dicapai dari pelaksanaan MBS

beradasarkan tantangan yang dihadapi.

4. Mengidentifkasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan melalui analisis SWOT.

5. Memilih langkah- langkah pemecahan persoalan.

6. Membuat rencana jangka pendek, menengah dan panjang beserta program-

programnya untuk merealisasikan rencana tersebut.

7. Melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek

MBS.

8. Melakukan pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasisl MBS.

Jika MBS dapat diterapkan secara konsekuen, sesuai dengan strategi diatas maka akan berimplikasi luas terhadap akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan

disetiap persekolahan. Menurut Fattah (2000:21) bahwa implikasi dari penerapan strategi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah menciptakan kondisi

diantaranya perubahan pengelolaan dengan mendelegasikan kekuasaan kepada kepala sekolah.

Sistem akuntabilitas terutama bagi para pengguna jasa pendidikan perlu mendapat perhatian. Sehubungan dengan itu agar sekolah sellalu berhati- hati dalam pengelolaan pendidikan dan anggaran, meskipun melaksanakan

pengawasan- pengawasan yang baik tidaklah mudah. Mulyasa (2003:24) menyatakan bahwa:

Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat Pelaksanaan tinggi serta memberikan beberapa keuntungan berikut:

1. Kebijakan dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta

didik, orang tua dan guru.

2. Bertujuan bagaimana memanfaat kan sumber daya lokal

3. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasisl

belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru dan iklim sekolah. 4. Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru,

manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan.

Berbagai uraian diatas setidaknya menjelaskan bahwa upaya perbaikan pendidikan terus dilakukan. Pada akhirnya nanti akan ditemukan sebuah format baru yang mana pendidikan dapat menjadi sokoguru dalam pemberdayaan bangsa secara keseluruhan.

Namun yang pasti, MBS diharapkan mampu menghapus berbagai kelemahan penyelenggaraan pendidikan, menurut Tilaar (1999:8) menyatakan bahwa:

1. Sistem pendidikan yang kaku dan desentralistik.

2. Sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang

ada di masyarakat.

3. Kedua sistem tersebut diatas ditunjang oleh system birokrasi kaku yang tidak

jarang dijadikan dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.

4. Terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian dari alat birokrasi .

5. Pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, lebih

pada proses pengisian otak ( kognitif ) pada anak didik.

6. Anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kretif dan inovatif serta

berorientasi pada keinginan untuk tahu.

Berbagai kelemahan pendidikan diatas telah mengorbankan waktu yang panjang, sumber daya dan tenaga yang terbuang, karena itu pengorbanan yang besar seharusnya tidak terulang lagi. MBS diharapkan menjadi peluang dalam menghadapi berbagai tantangan pendidikan, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Penulis berkesimpulan penerapan MBS akan efektif dan efesien apabila didukung oleh SDM yang professional untuk mengoperasikan sekolah, sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung PBM. Strategi MBS terhadap warga sekolah berupa sosialisasi pada pelatihan terhadap SDM warga sekolah tentang penerapan MBS serta di dukung oleh partisipasi aktif masyarakat.

D. Pihak-pihak yang Berperan dalam Melaksanakan Manajemen Berbasis

Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, masing-masing pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan disekolah harus memiliki peran yang sama penting.masing-masing pihak yang dimaksud adalah kaotor pendidikan pusat, Kantor pendidikan daerah kabupaten/kota, dewan sekolah, kepala sekolah, para guru, orang tua siswa dan masyarakat.

1. Peran kantor pendidikan pusat dan daerah.

Peran dan fungsi departemen pendidikan di Indonesia pada era otonomi daerah sesuai dengan peraturan pemerintah No.25 tahun 2000 menyebutkan bahwa tugas pemerintah pusat antara lain menatapkan standar kopetensi siswa dan warga, pengaturan kurikulum nasional dan system penilaan hasil belajar, penetapan pelaksanaan pendidikan, penetapan persyaratan, perpindahan, sertifkasi siswa, warga belajar dan mahasiswa, menjaga kelangsungan proses pendidikan yang bermutu, menjaga kesetaraan mutu antara daerah/kota agar tidak terjadi kesenjangan yang mencolok, menjaga kelansungan pembentukan budi pekerti, semnagan kebangsaan dan semangat nasionalisme melalui program pendidikan.

Nurkolis (2003) menyebutkan bahwa:

Peran pemerintah pusat dalam pengaturan pendidikan akan lebih bersifat stategis dan menghindari wilayah operasional. Hal-hal yang bersifat operasional akan ditentukan sendiri oleh sekolah besrta orang tua siswa dan masyrakat

sekitarnya. Yang perlu diperhatiakan adalah kebijakan strategis yang ditetapakan pemerintah harus memberikan ruang gerak kepada sekolah yang lebih besar lagi sehingga kreativitas sekolah untuk mengembangkan sekolahnya dapat berkembang dengan maksimal.

2. Peran pemerintah daerah kabupaten/kota

Peran pemerintah daerah kabupaten/kota adalah menfasilisasi dan

membantu staf sekolah atas tindakanya yang akan dilakukan sekolah. pemerintah daerah bertugas untuk mengembangkan kinerja staf sekolah dan kinerja siswa. Oleh karena itu, kantor pemerintah daerah memerlukan karyawan yang potensial, mampu menyeleksi dan menyaring para pelamar, menjalin komunikasi dengan para pelamar yang berkualitas dalam mengisi lowongan pekerjaan.

Dalam kaitanya dengan kurikulum, kantor pemerintah daerah menspesifkasi tujuan, sasaran dan hasil yang diharapkan dan kemudian memberikan kesempatan kepada sekolah untuk menentukan metode untuk menghasilkan mutu pembelajaran. Bahkan beberapa daerah menyerahkan pemilihan buku pelajaran kepada sekolah.

Sehubungan dengan hal tersebut, nurkolis (2003:117) menyebutkan bahwa secara lebih spesifk dinas pendidikan kabupatr/kota menjalankan tugans dan fungsi sebagai berikut:

1. Memberikan pelayanan pengelolaan atas seluruh satuan pendidikan negeri dan

swasta di Kabupaten/ Kota.

2. Memberikan pelayanan terhadap sekolah dalam mengelola seluruh asset atau

sumber daya pendidikan yang meliputi tenaga guru, prasarana, dan sarana pendidikan, buku pelajaran, dana pendidikan dan sebagainya.

3. Melaksanakan pembinaan dan pengurusan atas tenaga pendidikan di Kabupaten/

Kota.

4. Melaksanakan monitoring dan evaluasi atas tugas dan fungsi pokoknya sesuai

dengan kebijakan umum yang ditetapakan oleh pemerintah pusat dalam menerapakan MBS.

Selanjutnya Nurkolis (2003:117) mengemukakan selain tugas diatas, dinas kabupaten/kota juga mempunyanyi peranan sebagai:

1. Evaluator dan inovator, yaitu mengevaluasi potensi daerah Kabupaten/ Kota.

2. Motivator, yaitu memberikan motivasi kepada para kepala sekolah berupa

penghargaan atas keberhasilan dan memberikan hukuman atas kekeliruan dalam menjalankan tugas.

3. Standardisator, yaitu bersama-sama dengan para kepala sekolah membuat

standar mutu berdasarkan kebutuhan daerah tersebut, kebutuhan nasional, dan kebutuhan global.

4. Informan, yaitu menyampaikan informasi kepada para kepala sekolah akan segala

kebijakan pendidikan dikabupaten/kota.

5. Delegator yang mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kesekolah masing-

masing dalam hal pengambilan keputusan, pembinaan sumberdaya manusia, pemberian penghargaan dan hukuman serta berbagai informasi.

6. Koordinator, yaitu mengoordinasikan program-program pendidikan didaerah

Kabupaten/ Kota tersebut dengan kabupaten/kota lain sehingga tidak terjadi kesenjangan mutu antara kabupaten/kota.

3. Peran dewan sekolah dan pengawasan sekolah

Dewan sekolah akan memiliki peran untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang luas, menyatukan visi, memperjelas visi baik untuk pemerintah daerah maupun untuk sekolah itu sendiri. Dewan sekolah menentukan kebijakan sekolah ,visi, dan misi sekolah dengan mengacu kepada ketentuan nasional dan daerah. oleh karena itu dewan sekolah sebaiknya diisi oleh mereka yang mampu menganalisis kebijakan pendidikan , mampu melaksanakan komunikasi dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah , serta memiliki wawasan yang luas tentang pendidikan daerahnya .

Dewan sekolah sebagai wadah yang diharapkan bisa menyatukan komponen sekolah. oleh karena itu pimpinan dewan sekolah dipilih dari mereka yang benar – benar memiliki kemampuan kepemimpinan dan bukan mampu manajerial. Pimpinan dewan sekolah sebaiknya bukan pejabat pemerintah. melainkan tokoh masyarakat yang telah diakui kapasitas kepemimpinanya. karena fungsi dewan sekolah bukan fungsi structural dimana tugas – tugas yang diberikan kepada anggota dewan sekolah didasari oleh adanya kepentingan bersama .rasa kepentingan bersama itu taklain adalah kepentingan untuk meningkatkan kualitas seluruh siiswadisekolah itu yang akan berpengaruh terhadap masyarakat disekitarnya. Nurkolis (2003:119) yang menyebutkan bahwa:

Pengawas sekolah juga berperan sebagai fasilitator antara kepada kebijakan pemerintah daerah kepada masing-masing sekolah, antara lain untuk menjelaskan tujuan akademik dan anggarannya serta memberikan bantuan teknis ketika sekolah menghadapi masalah dalam menerjemahkan visi pemerintah daerah

Para pengawas juga memberikan kesempatan untuk mengembangkan profesionalisme staf sekolah, melakukan eksperimen metode pengajaran, bertindak sebagai model dalam melaksanakan MBS dengan cara melakukan sendiri dan menciptakan jalur komunikasi antara sekolah dengan staf pemerintah daerah

Peran pengawas sekolah harus diarahkan pada supervisi dalam makna yang sebenarnya, yaitu dengan memberikan bantuan dan pengarahan kepada guru dan staf sekolah bila menemui kesulitan, peran pengawas sekolah sebagai supervisor yang selama ini mencari kesalahan para guru dan staf sekolah harus dihentikan karena tindakan yang demikian tidak akan mampu menciptakan budaya sekolah yang baik dan kuat.

4. Orangtua Dan Masyarakat

Tata hubungan sekolah dengan orang tua dan masyarakat dimaksud untuk mendukung penciptaan suasana yang kondusif bagi proses pembelajaran siswa yang efekti dan pengembangan kepribadian serta budi pekerti siswa baik disekolah maupun dirumah. Hubungan antara masyakat dan sekolah secara harmonis menurut Nurkolis ( 2003 : 126 )

Tata hubungan sekolah dengan orangtua dan masyarakat paling tidak memuat:

1. Upaya dan bantuan orang tua untuk ikut serta mendidik anak–anaknya dalam bersikap, berprilaku dan

2. Saling tukar informasi antara sekolah dan orang tua tentang perkembangan kepribadian dan belajar

anak masing-masing serta upaya mencari Alternatif pemecahan bila mana anak mereka mengalami hambatan balajar atau masalah etika dan moral.

3. Pemecahan masalah apabila terdapat kesalah phaman antara sekolah dengan orang tua dalam

pendidikan anak- anaknya.

5. Peran guru dan Administrasi

Sehubungan dengan guru sebagai salah satu komponen sekolah yang terlibat dalam pelaksanaan MBS, maka guru dituntut untuk dapat meningkatkan profesionalismenya sebagai pengajar dan pendidik, Nurkolis (2003:123)

menyatakan peran guru dalam MBS, adalah sebagai rekan kerja, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program pengajaran.

Agar para guru memiliki peran yang lebih besar dalam pengelolaan sekolah, maka perlu dilakukan desentralisasi pengetahuan. Dan ini merupakan tanggung jawab kepada sekolah dalam mensosialisasi MBS terhadap guru dan personil sekolah.

6. Kepala sekolah

Kepala sekolah adalah sebagai pelaksanaan terhadap pelaksanaan MBS di sekolah yang bertindak sebagai motivator dan koordinator dalam keefektivitas MBS, di sekolah. Dalam kerangka MBS, menurut Mulyasa (2003:28) Kepala Sekolah harus:

1. Memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan guru dan masyarakat sekitar.

2. Memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori pendidikan dan

3. Memiliki kemampuan dan ketermpilan mengatasi situasi sekitar berdasarkan apa

yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian dimasa depan berdasarkan situasi sekarang.

4. Memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifkasi masalah dan

kebutuhan yang berkaitan dengan Pelaksanaan pendidikan disekolah, da 5. Mampu memamfaatkan peluang, menjadi tantangan sebagai peluang, serta

mengkonseptualkan arah baru untuk perubahan.

Sehubungan dengan pihak yang terkait dengan pelaksanaan MBS, penulis berkesimpulan keberhasilan pelaksanaan MBS sangat tergantung pada

kepemimpinan kepala sekolah, guru dan partisipasi masyarakat sebagai

pelaksanaan MBS dan merupakan faktor yang paling dominan terhadap penerapan MBS dan juga tergantung pada kesiapan SDM serta kerjasama yang harmonis antara pihak terkait diatas akan menentukan keberhasilan penerapan MBS.

Dalam melaksanakann MBS diperlukan keterlibatan semua personil sekolah baik kepala sekolah, wakil kepala sekolah para guru, pegawai orang tua siswa dan komite atau dewan sekolah. Dalam Depdiknas ( 2001:3) dikemukakan bahwa: Manajemen Berbasis Sekolahsebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/ keluesan kepada sekolah dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan nasional serta peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Selama ini pendidikan nasional diselenggarakan secara birokrasi yang bersifat sentralistik yang implikasinya yaitu: (1) pemerintah pusat selalu memposisikan sekolah sebagi penyelenggara pendidikan yang serba diarahkan atau diberi petunjuk, maka sekolah sangat menguntungkan diri kepada keputusan pemerintah pusat. Padahal untuk sampai pada suatu kesimpulan yang final, birokrasi yang ditempuh sekolah sangat panjang, biasanya harus terlebuh dahulu melalui jenjang organisasi tingkat kecamatan, kabupaten/ kota, provinsi pusat dengan masing- masing organ yang relefan pada setiap jenjang, sebab setiap organisasi pendidikan yang merupakan birokrasi pendidikan dan memiliki struktur organisasi yang

harus dilalui pula oleh sekolah, ini menyebabkan kemandirian sekolah tidak berkembang seperti layaknya sebagai akibat terjadinya kekurangan mandiri sekolah. Secara perlahan namun sekolah akan kehilangan dorongan, inisiatif untuk memajukan institusinya, termasuk upaya meningkatkan mutu pendidikan yang merupakan cita- cita pendidikan. (2) Yang dilakukan pemerintah selama ini terhadap pendidikan lebih difokuskan kepada penyediaan aspek input seperti guru, kelengkapan- kelengkapan pendidikan atau fasilitas, buku paket sekolah maupun buku bacaan siswa serta guru, berbagaia media pendidikan, dengan harapan peningkatan mutu akan terjadi dengan sendirinya apabila aspek pendidikan sekolah dipenuhi. Namun demikian asumsi tersebut tidak menjadi kenyataan sebab pemenuhan input tanpa dibarengi dengan proses pendidikan yang baik, maka tidak akan membuahkan hasil yang berkualitas dalam pendidikan, baik hasil dalam bentuk akademik seperti prilaku, pengalaman agama, etika/ moral dan lain- lain. (3) Kebijakan pendidikan oleh pemerintah kepada sekolah kurang mengkondisikan partisipasi masyarakat sekitar sekolah sehingga peserta masyarakat terhadap upaya memajukan sekolah sangat minim. Secara umum masyarakat hanya berpartisipasi dalam aspek financial yang merupakan input sekolah. padahal masyarakat sangat perlu berpartisipasi terhadap proses pendidikan (pengambilan)

Dokumen terkait