• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. KERANGKA TEOR

4.3. Spesifikasi Model Migas dan Perekonomian Riau

4.3.2. Blok Fiskal

4.3.2.1. Penerimaan Pemerintah Daerah

Penerimaan total Provinsi Riau baik dalam APBD maupun realisasinya (GPENTOTAL) merupakan penjumlahan dari penerimaan dari bagi hasil (GPENBAGIHASILRIAU), penerimaan asli daerah (GPENPAD) dan penerimaan lainnya (GPENLAIN). Penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dinyatakan dalam bentuk persamaan identitas.

Penerimaan bagi hasil Provinsi Riau merupakan alokasi dana dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah sesuai dengan UU 32 dan 33 tahun 2004, mengenai otonomi daerah dan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Disebutkan pada Bab IV, Pasal 5 bahwa Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri dari Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.

Pendapatan Daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Pendapatan Lain-lain. Sedangkan pendapatan yang berasal dari pembiayaan bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran Daerah, Penerimaan Pinjaman Daerah, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

Pendapat Asli Daerah (PAD) dalam Model MPR terdiri dari penerimaan pajak (PAJAK), retribusi (RETRIBUSI) dan penerimaan daerah lainnya. Dalam ketentuan perundangan penerimaan asli daerah disebutkan terdiri dari:

1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah

3. hasil pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan 4. lain-lain PAD yang sah.

Yang dimaksud dengan penerimaan daerah lain-lain PAD yang sah meliputi:

1. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan 2. jasa giro

3. pendapatan bunga

4. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing 5. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan

Pada masa-masa awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tahun 2000 banyak Perda dibuat yang tujuannya adalah untuk mengoptimalkan potensi daerah yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan PAD. Namun antosiasme Pemerintah Daerah dalam membuat Perda seringkali mengesampingkan dan melupakan peraturan dan perundangan yang berlaku. Banyak sekali Perda yang ditengarai tidak selaras dengan Undang-undang yang berlaku, bahkan terkadang bersifat kontrak produktif karena berpijak pada kebutuhan jangka pendek.

Sebenarnya dalam UU 33 tahun 2004 telah dicantumkan larangan bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan Peraturan Daerah yang terkait dengan Pendapatan Daerah yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan ekspor dan impor. Demikian pada pasal 8 juga ditegaskan bahwa ketentuan mengenai

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus dilaksanakan sesuai dengan Undang- Undang.

Dana perimbangan merupakan pengejawantahan dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi kekuasaan. Nilai dana perimbangan ditetapkan setiap tahun dan dicantumkan dalam anggaran belanja. Dana perimbangan terdiri dari: 1. Dana Bagi Hasil

2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus.

Sedangkan Dana Bagi Hasil terdiri dari Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri dari:

1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.

Sedangkan Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam terdiri dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi dan pertambangan panas bumi.

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB dibagi antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Pusat dengan prosentase sebagai berikut:

1. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut: 16.2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi,

64.8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota, dan 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Sedangkan 10% dari total penerimaan PBB dibagikan rata ke seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota dan 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai rencana penerimaan sektor tertentu.

2. Penerimaan BPHTB dibagihasilkan dengan rincian sebagai berikut: 80% dialokasikan ke daerah dengan rincian sebagai, 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi dan 64% untuk daerah kabupaten dan kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota. Sementara, sisanya yang 20% dari penerimaan BPHTB dibagikan ke seluruh kabupaten dan kota di Indonesia secara merata. Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21, sebesar 20% menjadi bagian Daerah, kemudian sebesar 60% akan dibagi ke kabupaten/kota dan 40% untuk provinsi.

Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam ditetapkan sebagai berikut:

1. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah.

2. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk Pemerintah Pusat dan 40% untuk Pemerintah Daerah.

3. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah.

4. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk seluruh kabupaten/kota.

5. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan 84.5% untuk Pemerintah dan 15.5% untuk Pemerintah Daerah. 6. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah

yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan, 69.5% untuk Pemerintah dan 30.5% untuk Pemerintah Daerah.

7. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah.

Dana Bagi Hasil dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) yang menjadi bagian Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:

2. 64% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil.

3. 16% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil dalam Provinsi yang bersangkutan.

Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi dialokasi 60% untuk bagian Pemerintah Pusat digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional dan 40% bagian Pemerintah Daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil.

Sedangkan Penerimaan Pertambangan Umum terdiri atas: 1. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent).

2. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti).

Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap yang menjadi bagian Daerah dibagi dengan rincian:

1. 16% untuk Provinsi yang bersangkutan. 2. 64% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil.

Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.

Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebesar 15%, yang dialokasikan ke Pemerintah daerah dirinci :

1. 3% untuk Provinsi yang bersangkutan. 2. 6% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil.

Sedangkan Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebesar 30% untuk Pemerintah Daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut:

1. 6% untuk Provinsi yang bersangkutan. 2. 12% untuk Kabupaten dan Kota penghasil.

3. 12% untuk Kabupaten dan Kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.

Dana Bagi Hasil minyak dan gas bumi yang dijelaskan di atas masih akan ditambah bagian daerah sebesar 0.5% yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan dan pendidikan yang kemudian dibagi:

1. 0.1% untuk Provinsi yang bersangkutan. 2. 0.2% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil.

3. 0.2% untuk Kabupaten dan Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan. Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi terdiri atas:

1. Setoran Bagian Pemerintah. 2. Iuran tetap dan iuran produksi.

Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang tersebut dibagikan kepada Daerah dengan rincian:

1. 16% untuk Provinsi yang bersangkutan. 2. 32% untuk Kabupaten dan Kota Penghasil.

3. 32% untuk Kabupaten dan Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil, dan Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah tersebut disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.

Ketentuan pada pasal 24 menyebutkan bahwa Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak mentah dan gas bumi tidak melebihi 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan. Apabila Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi melebihi 130%, maka penyalurannya akan dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.

Penerimaan Daerah lainnya dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diatur dengan cara sebagai berikut: (1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN, (2) DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar, yaitu kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.

Sedangkan alokasi dasar, dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil di daerah, dimana Kebutuhan fiskal Provinsi merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per Kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.

Penyaluran DAU akan ditentukan berdasarkan celah fiskal untuk suatu daerah Provinsi yang dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah. Kemudian bobot daerah Provinsi tersebut menjadi perbandingan antara celah fiskal daerah Provinsi yang bersangkutan dan rata-rata celah fiskal seluruh Provinsi di Indonesia. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah Kabupaten dan Kota, dihitung berdasarkan

perkalian bobot daerah Kabupaten dan Kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah Kabupaten dan Kota, dimana bobot daerah Kabupaten dan Kota tersebut merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah Kabupaten dan Kota yang bersangkutan dan rata-rata celah fiskal seluruh daerah Kabupaten dan Kota.

Berdasarkan perbandingan dengan celah fiskal tersebut, kemudian dikelompokan dalam tiga kriteria, yaitu:

1. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol akan menerima DAU sebesar alokasi dasar.

2. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal.

3. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.

Untuk menghitung celah fiskal tersebut digunakan dari lembaga statistik pemerintah dan lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per Provinsi, Kabupaten dan Kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Berkaitan dengan realisasi penyalurannya sebagaimana tertuang dalam UU 33 tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyaluran DAU dilaksanakan setiap

bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang bersangkutan.

Dalam proses pelaksanaannya dan pola penganggarannya sama dengan yang berlaku untuk DAU, maka DAK juga ditetapkan jumlahnya dalam APBN setiap tahun. DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah yang disesuaikan dengan fungsinya yang ditetapkan dalam APBN.

Tugas Pemerintah Pusat adalah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian Negara dan Kementerian teknis.

DAK akan dikucurkan ke Daerah apabila Pemerintah Daerah sudah menetapkan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% yang dianggarkan dalam APBD. Meskipun demikian beberapa daerah yang memiliki kemampuan fiskal yang terbatas tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.

Mempertimbangkan penjelasan di atas maka Penerimanan Daerah total (GPENTOTAL) diwujudkan dalam bentuk persamaan identitas yang merupakan penjumlahan dari Penerimaan Bagi Hasil Provinsi Riau (GBAGIHASILRIAU), Penerimaan Asli Daerah (GPENPAD) dan Penerimaan Lainnya (GPENLAIN).

Sementara itu Penerimaan Bagi Hasil Provinsi Riau merupakan penjumlahan dari Penerimaan Bagi Hasil Migas dan Penerimaan Bagi Hasil Lainnya. Penerimaan Bagi Hasil Migas merupakan fungsi dari Dana Bagi Hasil

Migas (DBHMIGASRIAU). Dana Bagi Hasil Migas merupakan dana yang diperoleh dari penjualan minyak mentah dari Provinsi Riau dikurangi dengan Faktor Pengurang.

Penerimaan Negara minyak mentah yang berasal dari daerah penghasil Provinsi Riau (PENEGMIGASRIAU) dipengaruhi oleh jumlah minyak mentah yang dijual (LIFTINGMIGAS), harga minyak mentah (ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (KURS).

Lifting dan Penerimaan Negara dari Provinsi Riau memiliki pola hubungan positif. Dalam persamaan lifting migas dinyatakan dalam bentuk prosentase perubahan lifting. Kenaikan lifting akan diikuti dengan kenaikan Penerimaan Negara demikian juga sebaliknya.

Sedangkan nilai tukar menentukan jumlah Penerimaan Negara karena Penerimaan Negara dinyatakan dalam mata uang rupiah sedangkan penjualan minyak mentah ditransaksikan dengan mata uang dollar Amerika Serikat. Apabila rupiah melemah maka jumlah uang yang masuk dalam rekening rupiah Pemerintah di Bank Indonesia akan lebih besar.

Dana Bagi Hasil migas dari Provinsi Riau sebagai daerah Penghasil Migas merupakan bagian dari total penerimaan migas PT. CPI setelah dikurangi faktor pengurang. Dalam model hal ini disajikan dalam bentuk persamaan identitas.

Faktor pengurang terdiri dari PBB migas, PPN migas, serta fee kegiatan usaha hulu migas yang terdiri dari fee pemasaran migas dan fee pengendalian usaha hulu migas oleh BPMIGAS. Pemberlakukan faktor pengurangan dimaksudkan untuk menghindari dua kali perhitungan dan untuk memenuhi ketentuan kontrak kerjasama dimana kontraktor dibebaskan dari pajak-pajak dan

pungutan, kecuali pajak penghasilan. Berdasarkan ketentuan kontrak kerjasama, semua pajak kecuali pajak penghasilan, dan pungutan lainnya menjadi beban Pemerintah. Artinya Penerimaan Negara berdasarkan kontrak kerjasama belum merupakan penerimaan bersih karena didalamnya masih mengandung penerimaan pajak-pajak yang terdiri dari PBB migas, PPN migas dan Pajak dan Retribusi Daerah (PDRD). Oleh karena itu, Penerimaan Negara dari penjualan minyak mentah harus dibersihkan terlebih dahulu dari pajak-pajak daerah dan retribusi daerah dan pungutan lainnya sebelum dibagi hasilkan. Berdasarkan pemahaman tersebut maka Penerimaan Negara yang disetorkan oleh BPMIGAS akan menjadi Dana Bagi Hasil setelah memperhitungkan kewajiban kontraktual berupa pajak- pajak dan pungutan-pungutan lainnya.

Faktor pengurang dikelompokan menjadi dua bagian yaitu PBB migas (PBBMIGAS) dan faktor pengurang lainnya (FAKPENGULAIN), yang merupakan penjumlahan dari unsur-unsur faktor pengurang selain PBB migas. Variabel faktor pengurang lainnya merupakan variabel eksogen, sedangkan PBB migas berfluktuasi tergantung dari cadangan minyak mentah yang dalam model dinyatakan dalam bentuk tambahan cadangan minyak mentah. Sedangkan harga dan kurs secara bersama-sama akan menentukan nilai dari lifting tersebut yang akan berfluktuasi seirama dengan fluktuasi PBB migas.

Penerimaan Asli Daerah (GPENPAD) terdiri dari Penerimaan Pajak Daerah (PAJAK), Retribusi Daerah (RETRIBUSI) dan Penerimaan Lainnya (PADLAIN). Pajak dan Retribusi dianggap berfluktuasi mengikuti tingkat Output Perekonomian Total (YPOT). Apabila Output Perekonomian Total meningkat maka akan mendorong peningkatan Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah.

GPENTOTAL = GPENBAGIHASILRIAU + GPENPAD + PENLAIN.. (7) GPENBAGIHASILRIAU = GBAGIHASILMIGAS +

GBAGIHASILLAIN... (8) BAGIHASILMIGAS= f (DBHMIGAS)... (9) DBHMIGASRIAU = PNEGMIGASRIAU – FAKPENGURANG ... (10) PENEGMIGASRIAU = f ((LIFTINGMIGAS-LIFTINGMIGAS (-1))/LIFTINGMIGAS(-1)), KURS)... (11) FAKPENGURANG= PBBMIGAS + FAKPENGULAIN... (12) PBBMIGAS= f ((CADMIGAS-CADMIGAS(-1)), (ICP-ICP(-1)),

KURS)... (13) GPENPAD = PAJAK+RETRIBUSI + PADLAIN ... (14) PAJAK= f (PAJAK(-1), POP)... (15) RETRIBUSI= f (YPOT(-1), POP)... (16) dimana:

GPENTOTAL : Penerimaan Pemerintah Daerah total.

GPENBAGIHASILRIAU: Penerimaan Pemerintah Daerah berasal dari bagi hasil atau alokasi dana dari Pemerintah Pusat. GPENPAD : Penerimaan Asli Daerah.

GPENLAIN : Penerimaan lainnya.

GBAGIHASILMIGAS: Penerimaan dari bagi hasil migas. GBAGIHASILLAIN: Penerimaan bagi hasil lainnya. DBHMIGAS : Dana bagi hasil sektor migas.

PNEGMIGASRIAU: Penerimaan Negara dari sektor migas yang berasal dari lifting Provinsi Riau.

Dokumen terkait