TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU
DISERTASI
ALFONSUS RINTO PUDYANTORO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul:
DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN SEKTOR HULU MIGAS
TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU
Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada
program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas
sumbernya dan dapat diperiksa kebenaranya.
Bogor, Februari 2012
Sector Policy on the Economy of Riau Province. (HARIANTO, as Chairman, BONAR M. SINAGA and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committee)
Riau economy depends on oil-gas sector, both directly and indirectly. Therefore, anticipating negative impacts of declining crude oil reserve is very essential to conduct, because it will affect on decreasing oil production, in which eventually reduces oil-gas sector contribution in the economy. The purpose of this study is to construct a model of Oil-Gas and Riau economy, that use to predict the impact of the crude oil reserves declining, and the impact of fiscal and upstream oil-gas sector policy towards Riau province economy situation in year 2012 up to 2035. The econometric model is built using simultaneous equations system, consisted of 22 structural equations and 13 identity equations. Structural equations is estimated with 2SLS and OLS using Econometric Views (eviews) software version 5.0. Data used are yearly data series from 1980 to 2006. Simulation and forecasting results indicate that economic output from oil-gas sector declines sharply corresponding to crude oil production. Meanwhile, outputs from agricultural and and other sectors increase relatively small. Output decrease from oil-gas sector is unable to be covered by economic increase from other non oil-gas sectors, resulting in average of 1.23% decline per year on total economic output following declining oil production trend. Other impact is increasing unemployment rate and poverty. In order to reduce negative impacts, government intervention is required. Five scenarios on government policies have been made in this study, consisted of two policy scenarios regarding crude oil price formulation, policy to increase cash call, policy to decrease interest rate, and policy to increase local government development expenditure. Research shows that the fourth policy, which is reducing interest rate, is the most effective policy scenario compared to four other policies. However, that policy scenario seems unable to restore Riau province economic peak that happens in 2017.
Migas Terhadap Perekonomian Provinsi Riau (HARIANTO, Selaku Ketua, BONAR M. SINAGA and D.S. PRIYARSONO selaku Anggota Komisi Pembimbing)
Perekonomian provinsi Riau tergantung pada sektor minyak dan gas baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penting untuk melakukan antisipasi terhadap dampak negatif dari penurunan cadangan minyak mentah terhadap Perekonomian Provinsi Riau, karena berkurangnya cadangan minyak mentah akan berdampak pada penurunan produksi yang pada akhirnya akan mengurangi peran sektor hulu minyak dan gas dalam perekonomian. Penelitian ini bertujuan membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) yang dipergunakan untuk melakukan peramalan dampak dari penurunan produksi minyak mentah, dan dampak dari kebijakan fiskal dan sektor hulu migas terhadap perekonomian Provinsi Riau pada tahun 2012 hingga tahun 2035. Model ekonometrika dibangun dalam bentuk sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Persamaan struktural diestimasi dengan 2SLS dan OLS menggunakan perangkat lunak Econometric Views (Eviews) version 5.0. Data yang digunakan adalah data tahunan runtut waktu dari tahun 1980 hingga tahun 2006. Hasil simulasi dan peramalan menunjukan bahwa output ekonomi sektor migas turun tajam paralel dengan penurunan produksi minyak mentah. Sedangkan output dari sektor pertanian dan sektor lainnya meningkat dengan arah relatif landai. Penurunan output sektor migas tidak dapat ditutupi oleh peningkatan output perekonomian sektor non-migas, dampaknya output perekonomi total turun rata-rata 1.23% per tahun mengikuti tren penurunan produksi. Dampak lainnya adalah meningkatnya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut diperlukan intervensi pemerintah. Dalam studi ini dibuat lima skenario kebijakan pemerintah yang terdiri dari dua skenario kebijakan berkaitan dengan formula harga minyak mentah, skenario kebijakan menambah cash call, skenario kebijakan menurunkan tingkat suku bunga bank, dan skenario kebijakan untuk meningkatkan belanja pembangunan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui, bahwa skenario kebijakan ke empat yaitu menurunkan suku bunga adalah skenario kebijakan yang paling efektif dibandingkan dengan empat kebijakan lainnya. Akan tetapi skenario kebijakan tersebut tidak mampu mengembalikan perekonomian Provinsi Riau yang terbaik yang terjadi pada tahun 2017.
Cadangan minyak mentah di Provinsi Riau, yang dikelola oleh PT Chevron Pasific Indonesia (PT.CPI) setiap tahun berkurang dengan laju penurunan 4% rata-rata per tahun. Cadangan minyak mentah diperkirakan akan habis pada tahun 2005 jika tidak ditemukan cadangan minyak mentah baru. Sementara itu sektor hulu migas merupakan sektor penting bagi perekonomian Provinsi Riau. Data statistik menunjukan bahwa 50.2% PDRB Provinsi Riau pada tahun 2010 berasal dari sektor hulu migas. PDRB per kapita Provinsi Riau dengan memperhitungkan sektor hulu migas mencapai Rp 17640883/tahun, namun tanpa migas hanya Rp 8782697/tahun.
Penelitian bertujuan untuk membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) untuk meramalkan dampak dari penurunan produksi terhadap perekonomian. Model MPR juga digunakan untuk melakukan peramalan dampak dari kebijakan fiskal dan sektor hulu migas terhadap perekonomian Provinsi Riau.
Model MPR adalah model ekonometrika yang dibangun dalam bentuk sistem persamaan simultan yang terdiri dari 22 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas. Data yang digunakan adalah data tahunan runtut waktu dari tahun 1980 hingga tahun 2006, yang bersumber dari BPS Provinsi Riau, BPS Pusat, Bank Indonesia, Statistik BPMIGAS, Buletin BPMIGAS dan Bank Data PT. CPI. Metode yang digunakan untuk mengestimasi model adalah Two Stage Least Squares (10 persamaan) dan Ordinary Least Squares (12 persamaan), yang diolah menggunakan Econometric Views (Eviews 5). Model divalidasi menggunakan Root Mean Squares Error (RMSE).
Penurunan cadangan minyak mentah berdampak terhadap output perekonomian Provinsi Riau. Pada awalnya output perekonomian meningkat, tertinggi terjadi tahun 2017 yaitu sebesar Rp 93.0 triliun. Pada tahun-tahun berikutnya output perekonomian turun dan hingga mencapai titik terendah sebesar Rp 62.2 triliun pada tahun 2033. Output sektor migas secara rata-rata turun 6.9% per tahun dengan titik terendah sebesar Rp 0.2 triliun yang terjadi tahun 2035. Output sektor pertanian dan sektor lainnya diperkirakan meningkat dari tahun ke tahun, namun dengan slop relatif landai, akibatnya kenaikan kontribusi sektor pertanian tidak mampu menutupi penurunan output sektor migas.
Untuk itu disusun lima skenario kebijakan (SK) yang dapat meningkatkan peran sektor pertanian dan sektor lain dalam perekonomian, yaitu: SK 1, merubah formulasi harga minyak Indonesia (ICP) 100% menngunakan harga minyak mentah RIM. SK2 formula harga minyak mentah 100% menggunakan harga minyak mentah Platts. SK 3, menambah cash call perusahaan sebesar 10%. SK 4, menurunkan suku bunga bank sebesar 10% dan SK 5 menaikan alokasi belanja pembangunan pemerintah untuk sektor pertanian menjadi sebesar 30%.
Provisnsi Riau akan mengalami pertumbuhan negatif. Sementara skenario kebijakan yang diimplementasikan tidak mampu mengangkat tingkat pertumbuhan menjadi positif. Hanya pada tahun 2030, yaitu 5 tahun setelah cadangan minyak habis nampak terjadi pemulihan ekonomi, yang ditunjukan dengan pertumbuhan ekonomi yang kembali positif.
Penurunan produksi minyak mentah hingga tahun 2011 berdampak terhadap penambahan jumlah pengangguran. Skenario kebijakan yang paling efektif mengurangi pengangguran adalah skenario kebijakan empat. Karena jika dibandingkan dengan angka pengangguran baseline, mampu mengurangi pengangguran sebesar 804 orang, bahkan pada akhir periode mampu mengurangi pengangguran hingga 1057 orang jika dibandingkan dengan angka pengangguran baseline. Skenario kebijakan empat juga merupakan skenario kebijakan yang terbaik untuk menurunkan tingkat kemiskinan jika dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya. Angka baseline, sebagai dampak dari penurunan cadangan, diramalkan tingkat kemiskinan rata-rata sepanjang periode peramalan sebesar 23.56%. Namun jika skenario kebijakan empat diterapkan maka akan turun 0.70% menjadi 22.86% atau turun sebesar 2.91% jika dibandingkan angka baseline.
Dapat disimpulkan bahwa Model MPR dapat dipergunakan untuk melakukan peramalan, dan terbukti bahwa perekonomian Provinsi Riau memiliki ketergantungan terhadap sektor migas sehingga penurunan produksi cadangan minyak mentah berdampak signifikan terhadap output perekonomian, PDRB per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan.
Tidak ada satupun dari Shock lima skenario kebijakan yang mampu mengangkat indikator perekonomian yang terpuruk akibat dari penurunan produksi minyak mentah kembali berada pada posisi puncak di tahun 2007. Akan tetapi skenario kebijakan 4 merupakan skenario yang terbaik dibandingkan dengan skenario kebijakan lainnya dalam upaya mengurangi dampak negatif dari penurunan produksi minyak mentah terhadap perekonomian.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS.
Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB 2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc.
Guru Besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
2. Dr. Ir. H. L. Ong
TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU
ALFONSUS RINTO PUDYANTORO
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Alfonsus Rinto Pudyantoro Nomor Pokok : A161040254
Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Harianto, MS
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Anggota Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Damajanti pada tahun 1995 dan dikarunia dua orang anak yaitu Josephine Zefanya Wening Sekar Wangi dan Alfonsus Wintang Abhikama.
Gelar Sarjana Ekonomi dan profesi Akuntan diperoleh dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 1990. Sedangkan Migister Management dengan konsentrasi Manajemen Keuangan diperoleh dari IBII (Institut Bisnis dan Informatika Indonesia) pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis memperoleh Sertifikat Profesi broker-dealer dari Bapepam untuk perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta. Kemudian, pada tahun 2004 penulis menyelesaikan program pendidikan Certified Management Accountant dari Australia, serta menyelesaikan pendidikan sertifikasi International Financial dan Accounting for Petroleum dari University Texas in Dallas, Amerika Serikat pada tahun 2007.
dan berkat yang berlimpah sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Banyak rintangan dan kendala yang penulis hadapi namun banyak pihak telah turut memberikan dorongan, membantu dan memberikan dukungan. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, ditengah kesibukan beliau yang luar biasa, menyediakan waktu, memberikan bimbingan dan motivasi dari sejak masa kuliah hingga penyusunan hasil penelitian ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar Sinaga, MA yang tidak jemu dan rajin menegur,
mengingatkan, memberikan masukan-masukan, memberikan kritik untuk kesempurnaan hasil penelitian sehingga tulisan ini bergerak semakin baik mengikuti kaidah-kaidah penelitian dan keilmuan.
3. Bapak Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS yang dengan sabar dan dengan cermat memberikan kritikan, saran-saran untuk perbaikan, sejak awal proses penulisan hingga hasil penelitian selesai.
4. Kepada Ibu Emma Purnama Ningrum, Bapak Prof. Dr. Ir. Rudi Rubiandini R.S. M. Eng. dan Bapak Dr. Widhyawan Prawiraatmadja, yang memberikan keleluasaan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ditengah-tengah tugas sehari-hari yang sangat padat.
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan masalah ... 17
1.3. Tujuan Penelitian ... 18
1.4. Manfaat Penelitian ... 19
II. STUDI LITERATUR 2.1. Ketergantungan Perekonomian Terhadap Sektor Migas... 21
2.2. Peran Sektor Migas dalam Pertumbuhan Ekonomi... 26
2.3. Pembangunan Berkelanjutan ... 32
2.4. Peran Sektor Migas Terhadap Perekonomian Indonesia... 36
2.5. Studi Model Ekonomi ... 44
2.6. Pengelolan Sumber Daya Alam Migas... 50
2.7. Dana Bagi Hasil Migas ... 62
III. KERANGKA TEORI 3.1. Permintaan dan Penawaran Agregate... 69
3.1.1. Permintaan Agregate ... 69
3.1.2. Penawaran Agregate ... 75
3.1.3. Keseimbangan Pasar ... 76
3.2. Pendapatan Nasional ... 79
3.3. Indikator Ekonomi ... 82
3.3.1. Output Perekonomian Ekonomi... 82
3.3.2. Pengangguran... 86
3.3.3. Kemiskinan... 91
3.3.4. Pertumbuhan Ekonomi ... 93
4.1. Kerangka Pemikiran ... 107
4.2. Metode Estimasi... 111
4.3. Spesifikasi Model Migas dan Perekonomian Riau... 117
4.3.1. Blok Investasi dan Migas ... 120
4.3.1.1. Investasi Swasta ... 120
4.3.1.2. Migas... 123
4.3.2. Blok Fiskal... 126
4.3.2.1. Penerimaan Pemerintah Daerah... 126
4.3.2.2. Belanja Pemerintah Daerah... 139
4.3.3. Blok Gaji dan Upah... 140
4.3.4. Blok Output Perekonomian... 142
4.3.4.1. Output Perekonomian... 142
4.3.4.2. Ketenagakerjaan ... 145
4.3.4.3. Pertumbuhan Perekonomian ... 147
4.3.4.4. Kemiskinan... 147
4.4. Skenario Kebijakan ... 148
4.5. Data dan Pengolahan Data...152
4.6. Asumsi dan Keterbatasan Penelitian ... 153
V. HASIL ESTIMASI MODEL 5.1. Blok Fiskal dan Migas... 155
5.1.1. Investasi Migas...155
5.1.2. Investasi Swasta Sektor Pertanian... 157
5.1.3. Investasi Swasta Sektor Lainnya ... 158
5.1.4. Lifting Migas... ... 160
5.2. Blok Fiskal ... 161
5.2.1. PBBMigas... 161
5.2.2. Penerimaan Migas... 163
5.2.3. Bagi Hasil Migas ... 164
5.2.6. Belanja Pembangunan Pemerintah Derah ... 168
5.2.7. Belanja Rutin Pemerintah Daerah ... 170
5.3. Blok Gaji dan Upah...171
5.3.1. Gaji dan Upah Sektor Migas ... 171
5.3.2. Gaji dan Upah Sektor Pertanian... 172
5.3.3. Gaji dan Upah Sektor Lainnya... 173
5.4. Blok Ouput... 174
5.4.1. Output Sektor Migas... 173
5.4.2. Ouput Sektor Pertanian... 176
5.4.3. Ouput Sektor Lainnya... 177
5.4.4. Tenaga Kerja Sektor Migas... 178
5.4.5. Tenaga Kerja Sektor Pertanian...179
5.4.6. Tenaga Kerja Sektor Lainnya...180
5.4.7. Angkatan Kerja... 181
5.4.8. Tingkat Kemiskinan... 182
5.5. Validasi Model... 183
VI. PERAMALAN PEREKONOMIAN PROVINSI RIAU 2012-2035 6.1 . Peramalan Baseline... 185
6.1.1. Peramalan Baseline Output Perekonomian... 187
6.1.2. Peramalan Baseline Pertumbuhan Ekonomi ... 190
6.1.3. Peramalan Baseline Penerimaan Daerah... 191
6.1.4. Peramalan Baseline Tenaga Kerja... 193
6.2 . Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian Tahun 2012-2035... 194
6.2.1. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Total... 194
6.2.2. Dampak Skenario Kebijakan terhadap output Perekonomian Sektor Migas... 199
6.2.3. Dampak Skenario Kebijakan terhadap output Perekonomian Sektor Pertanian... 202
6.2.5. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output
Perekonomian per Kapita... 207
6.2.6. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Ekonomi... 210
6.2.7. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah... 212
6.2.8. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran... 214
6.2.6. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan... 216
6.3. Ringkasan Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian Provinsi Riau... 218
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan... 221
7.2. Saran... 222
DAFTAR PUSTAKA ... 227
LAMPIRAN ... 233
Nomor Halaman
1. Penerimaan Negara Tahun 2006 - 2010 ... 4
2. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 2010... 6
3. Konsumsi Minyak dan Gas Bumi Indonesia Tahun 2006-2010... 39
4. Produksi Minyak Mentah Rata-rata per Hari Tahun 1999 – 2007... 41
5. Cadangan Minyak Dunia, OPEC dan Non-OPEC Tahun 2006... 54
6. Pendapatan Nasional dan Produk Nasional ... 80
7. Estimasi Investasi Swasta Sektor Migas Tahun 1980-2006... 155
8. Estimasi Investasi Swasta Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 157
9. Estimasi Investasi Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 159
10. Estimasi Lifting Migas Tahun 1980-2006 ... 160
11. Estimasi PBB Migas Tahun 1980-2006... 162
12. Estimasi Penerimaan Negara dari Sektor Migas Tahun 1980-2006... 164
13. Estimasi Bagi Hasil Migas Tahun 1980-2006... 165
14. Estimasi Pajak Daerah Tahun 1980-2006... 166
15. Estimasi Retribusi Daerah Tahun 1980-2006... 167
16. Estimasi Belanja Pembangunan Tahun 1980-2006... 169
17. Hasil Estimasi Belanja Rutin Tahun 1980-2006... 170
18. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Migas Tahun 1980-2006... 171
19. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 172
20. Estimasi Gaji dan Upah Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 174
23. Estimasi Output Perekonomian Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 177
24. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Migas Tahun 1980-2006... 178
25. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun 1980-2006... 179
26. Estimasi Tenaga Kerja Sektor Lainnya Tahun 1980-2006... 180
27. Estimasi Angkatan Kerja Tahun 1980-2006... 181
28. Estimasi Tingkat Kemiskinan Tahun 1980-2006... 182
29. Validasi Persamaan Struktural Model Ekonomi Provinsi Riau... 184
30. Peramalan Output Ekonomi per Sektor... 188
31. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Total Tahun 2012-2035... 195
32. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Migas Tahun 2012-2035... 200
33. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Pertanian Tahun 2012-2035... 202
34. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Lainnya Tahun 2012-2035... 206
35. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Ouput Ekonomi per Kapita Tahun 2012-2035... 207
36. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Perekonomian Tahun 2012-2035... 211
37. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah Tahun 2012-2035... 212
38. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran Tahun 2012-2035... 215
39. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan Tahun 2012-2035... 217
41. Ringkasan Dampak Skenario Kebijakan terhadap Perekonomian
Pengamatan Nilai Rata-rata Periode Tahun 2012-2035... 220
Nomor Halaman
1. Fluktuasi Harga Minyak Mentah...5
2. Hubbert Peak Theory...11
3. Hubungan Sektor Migas dan Sektor Lainnya dalam Perekonomian... 31
4. Regional Economic Modelling – MOMEZ... 48
5. Pola Bagi Hasil Migas menurut PSC... 61
6. Penawaran Agregate ... 76
7. Keseimbangan AD dan AS... 77
8. Keseimbangan Jangka Pendek dan Panjang.. ... 78
9. Fungsi Produksi ... ... 97
10. Pertumbuhan Steady-State... 98
11. Kerangka Pemikiran Penelitian... ... 109
12. Hubungan antar Variabel Model MPR... 118
13. Estimasi, Peramalan dan Simulasi Skenario ... 149
14. Peramalan Cadangan dan Produksi Minyak Mentah Provinsi Riau Tahun 2012-2035... 187
15. Peramalan Baseline Output Ekonomi per Sektor Tahun 2012 - 2035... 189
16. Peramalan Baseline Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012-2035...191
17. Peramalan Baseline Penerimaan Daerah per Jenis Penerimaan Tahun 2012-2035... 192
18. Peramalan Baseline Tenaga Kerja Tahun 2012-2035... 194
19. Peramalan Dampak Skenario terhadap Output Perekonomian Total Tahun 2012-2035... 197
20. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Perekonomian Sektor Migas Tahun 2012-2035... 201
Pertanian Tahun 2012-2035... 203
22. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Sektor Lainnya Tahun 2012-2035... 205
23. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Output Per Kapita Tahun 2012-2035... 209
24. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2012-2035 ... 210
25. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Penerimaan Daerah Tahun 2012-2035 ... 213
26. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Pengangguran Tahun 2012-2035... 214
27. Dampak Skenario Kebijakan terhadap Tingkat Kemiskinan Tahun 2012-2035... 216
Nomor Halaman
1. Peta Cadangan Minyak Mentah dan Gas Bumi Indonesia... 234
2. Produksi Migas Indonesia... 235
3. Istilah-istilah dalam Kegiatan Usaha Hulu Migas... 236
4. Data yang Dipergunakan Tahun 1980-2006... 241
5. Hasil Estimasi Model... 247
6. Validasi Model... 259
7. Peramalan Variabel Exogen... 270
8. Skenario Kebijakan... 280
9. Simulasi... 281
untuk menyelesaikan penelitian.
7. Sekretariat Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, khususnya kepada Ibu Rubi
Garniwan, Ibu Yani, Ibu Aam, Pak Husen dan Ibu Angga yang telah banyak
membantu meringankan penulis dalam proses dan pengurusan akademi dan
administrasi di IPB.
8. Istri saya tercinta Josephine Damajanti, anak-anak kami Josephine Zefanya
Wening Sekar Wangi dan Alfonsus Wintang Abhikama, mereka adalah sumber
inspirasi dan motivasi saya dalam menyelesaikan studi dan penelitian ini.
Kepada semua pihak yang tidak mampu saya sebut satu persatu, teman-teman
sejawat di BPMIGAS, teman-teman KKKS, para peserta pelatihan dan workshop
perminyakan, kami ucapkan banyak terimakasih karena langsung dan tidak langsung
turut memberikan kontribusi dalam upaya meyelesaikan studi.
Dalam keterbatasan dan kelemahan yang penulis miliki, disertasi ini telah
diupayakan disusun sebaik mungkin, namun saya sadari bahwa hasil akhirnya masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu segala bentuk saran, kritik dan masukan yang
kontruktif merupakan anugerah buat saya dan diterima dengan tangan terbuka penuh
sukacita.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan berguna bagi masyarakat dan
bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor , Februari 2012
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan dengan 17504 pulau besar dan
kecil, yang diapit oleh benua Asia dan Australia/Oseania, dan dua samudera yaitu
samudera Hindia dan samudera Pasifik. Luas Indonesia secara keseluruhan adalah
1.9 juta mil persegi. Di Negara yang sedemikian luas diperkirakan terdapat 60
cekungan yang berpotensi mengandung sumber daya alam minyak mentah dan
gas bumi (migas). 38 cekungan diantaranya telah dieksplorasi, sementara 22
cekungan lainnya belum pernah disentuh. Cekungan yang telah dieksplorasi
sebagian besar berada di wilayah Indonesia Bagian Barat (IBB), sedangkan
cekungan yang belum pernah dieksplorasi sebagian besar berada di wilayah
Indonesia bagian Timur (IBT).
Total cadangan minyak mentah Indonesia pada saat ini diperkirakan
sekitar 7.9 miliar barel, yang terdiri dari cadangan terbukti 4.0 miliar barel dan
cadangan potensial 3.9 miliar barel. Cadangan minyak mentah Indonesia tersebar
di beberapa pulau. Sekitar 60% cadangan minyak mentah berada di pulau
Sumatera, 15% berada di pulau Jawa, 10% di pulau Kalimantan dan 15% sisanya
berada di Kepulauan Natuna, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.
Sedangkan gas yang sudah ditemukan diperkirakan sebesar 159.6 triliun
kaki kubik. Sebesar 104.7 triliun kaki kubik merupakan cadangan terbukti dan
54.9 triliun kaki kubik sisanya adalah cadangan potensial. Dari total cadangan gas
tersebut 28% berada di Kepulauan Natuna, 25% berada di pulau Kalimantan,
22% di pulau Sumatera, 12% di pulau Papua dan 13% sisanya berada di pulau
Secara umum produksi minyak mentah Indonesia pada lima tahun terakhir
cenderung menurun. Jika pada tahun 2008 produksi minyak mentah mencapai
986 ribu barel per hari maka pada tahun 2011 diperkirakan hanya sebesar 945 ribu
barel per hari. Pada horison waktu yang lebih panjang, nampak bahwa
berdasarkan data historis produksi minyak mentah Indonesia pada saat ini telah
melewati kejayaan produksi minyak mentah Indonesia. Produksi minyak mentah
Indonesia pernah mencapai titik puncak yang disebut peak production pada tahun 1977 dengan total produksi mendekati 1.7 juta barel per hari, dan hal tersebut
nyaris terulang pada tahun 1995 dimana produksi minyak mentah sempat
mencapai 1.6 juta barel per hari. Akan tetapi pada tahun-tahun berikutnya
produksi minyak mentah Indonesia ini terus menunjukkan kecenderungan
penurunan cukup tajam (lihat Lampiran 2).
Jika produksi minyak mentah menunjukan grafik menurun, sebaliknya
produksi gas justru mengalami peningkatan. Produksi gas rata-rata naik sebesar
3.6% per tahun. Jika Pada tahun 2000 produksi gas hanya sebesar 1.15 juta barel
equivalen per hari maka pada tahun 2010 dapat mencapai 1.57 juta barel
equivalen per hari.
Apa yang dialami Indonesia sesuai dengan teori Hubbert, yang
menyatakan bahwa produksi minyak mentah dan gas memiliki pola seperti
“lonceng” yaitu meningkat pada awalnya, dan terus meningkat yang disebut
Terpuruknya produksi minyak mentah Indonesia tidak lepas dari krisis
politik dan ekonomi yang terjadi pada tahun 1998. Krisis tersebut berdampak pada
penurunan investasi di sektor hulu migas. Sementara itu usaha hulu migas
merupakan usaha yang sarat modal, sehingga tanpa tambahan investasi produksi
minyak mentah tidak akan dapat ditingkatkan.
Selain itu besarnya produksi minyak mentah sangat dipengaruhi oleh
kondisi cadangan baik secara kuantitas maupun kualitas. Cadangan migas dalam
jumlah yang besar saja tidak secara otomatis akan dengan mudah menaikan
produksi minyak mentah. Produksi minyak mentah masih akan tergantung pada
kualitas minyak mentah dan ketersediaan infrastruktur. Penananganan minyak
mentah berat akan berbeda jika dibandingkan dengan minyak mentah ringan,
demikian juga minyak mentah yang diproduksikan dari lapangan yang terpencil
akan mempersulit proses pengangkatan dan pengangkutan, sedangkan minyak
mentah yang diproduksikan dari lapangan yang relatif lebih dekat dengan fasilitas
produksi atau transmisi pipa akan mempercepat keputusan untuk
memproduksikannya.
Pada saat ini migas masih berperan cukup besar terhadap penerimaan
Negara (lihat Tabel 1). Prosentase kontribusi sektor migas terhadap total
penerimaan di APBN dari tahun 2005 hingga tahun 2010 cenderung menurun.
Pada APBN-P tahun 2010, sektor hulu migas memberikan kontribusi sebesar
20.91% dari total penerimaan yang direncanakan. Sedangkan pada pada tahun
2005 sektor hulu migas mampu menyumbangkan 28.05% dari total penerimaan
Negara. Itu berarti kontribusi sektor hulu migas telah mengalami penurunan
2006 dan 2008 kontribusi sektor hulu migas terhadap penerimaan Negara dalam
APBN sempat meningkat. Peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 terutama
disebabkan oleh realisasi lifting minyak mentah yang lebih besar dibandingkan
target APBN. Pada tahun 2006 lifting minyak mentah ditargetkan sebesar 1 juta
barrel per hari. Realisasinya mencapai 1.1 juta barrel per hari.
Tabel 1. Penerimaan Negara Tahun 2006 - 2010
Sumber: Pokok-Pokok APBN Kementerian Keuangan, 2010
Sedangkan pada tahun 2008 penerimaan Negara dari sektor hulu migas
melebihi target APBN. Hal ini lebih disebabkan oleh harga minyak mentah dunia
yang sangat tinggi. Harga minyak mentah pada tahun 2008 merupakan harga
minyak mentah yang tertinggi sepanjang sejarah perminyakan yang mencapai
hampir US$ 140 per barel (lihat Gambar 1).
Besarnya penerimaan Negara dari sektor hulu migas tidak lepas dari peran
Provinsi Riau, karena secara rata-rata, hampir 40% produksi minyak mentah
Indonesia berasal dari Provinsi Riau yang diproduksikan oleh PT. Chevron Pacific
Indonesia (PT.CPI). Pada tahun 2011 diharapkan produksi minyak mentah dari
Provinsi Riau sebesar 360 ribu barel per hari yang berarti sekitar 38% dari total
produksi Indonesia yang diperkirakan akan mencapai 945 ribu barel per hari.
Ke te rangan Satuan 2005 2006 2007 2008 2009
Penerimaan Sektor Hulu Migas Miliar Rp 138905 201274 168784 288636 175796 Penerimaan Pajak Migas Miliar Rp 35143 43188 44001 77019 50044 PNBP Migas Miliar Rp 103762 158086 124784 211617 125752 Penerimaan Pajak non Migas Miliar Rp 356319 434879 537324 690670 671301 Penerimaan Total Miliar Rp 495224 636153 706108 979305 847097 Penerimaan Migas/Total % 28.05% 31.64% 23.90% 29.47% 20.75%
dalam UU No. 33 tahun 2004 yaitu tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah dan PP No 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Sektor hulu migas selain memberikan dampak langsung terhadap kenaikan
penerimaan daerah, tetapi juga memberikan dampak tidak langsung dan
memberikan dampak berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian. Keberadaan kegiatan usaha hulu migas turut memicu perekonomian daerah. Oleh
karena itu kontribusi sektor hulu migas dalam perekonomian bisa dilihat dari
peran sektor tersebut dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atau secara lebih khusus dapat dicerminkan dari PDRB per kapita.
Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Beberapa Propinsi di Indonesia Tahun 2010
(Ribu Rp)
Sumber: BPS, 2011
Apabila diperhatikan nampak bahwa PDRB per kapita provinsi-provinsi
yang memiliki sumber daya alam migas relatif lebih tinggi dibanding dengan
De ngan
Kalimantan Timur 61407 23253 32852 14700
Riau 30356 17264 17314 7318
Sumatera Utara 10995 10910 7060 7007
Sumatera Barat 9784 9784 6386 6386
Kalimantan Selatan 8859 8664 6568 6402
Kalimantan Barat 8327 8327 5787 5787
Sumatera Selatan 12021 7774 7318 5355
Kalimantan Tengah 7447 7447 5111 5111
Nangroe Aceh Darusalam 6386 7060 8384 5305
Jambi 8531 6982 4788 4197
Bengkulu 6460 6460 4027 4027
Lampung 5598 5461 4121 4042
Atas Dasar Harga Berlaku Provinsi
provinsi non penghasil migas (lihat Tabel 2). Provinsi penghasil migas seperti
Provinsi NAD, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur memiliki PDRB
per kapita yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan provinsi non penghasil
migas seperti Bengkulu dan Kalimantan Barat. Kondisi ini sebenarnya juga
menunjukan bahwa sektor hulu migas cukup berperan terhadap perekonomian dan
memberikan dampak terhadap output ekonomi yang cukup besar.
Secara lebih khusus nampak bahwa 50.2% PDRB Provinsi Riau berasal
dari sektor hulu migas. PDRB per kapita Provinsi Riau tanpa migas hanya akan
sebesar Rp 8782697.14 dalam satu tahun, padahal dengan memperhitungkan
sektor migas PDRB per kapita Provinsi Riau dapat mencapai Rp 17640883.11
atau hampir dua kali lipat. Hal tersebut diperkuat bahwa ternyata sektor
pertambangan berperan besar terhadap perekonomian Provinsi Riau. Data
statistik Provinsi Riau tahun 2008 menunjukan PDRB Provinsi Riau pada harga
konstan tahun 2000 mencapai Rp 91.08 triliun. Sektor pertambangan termasuk
migas memberi kontribusi sebesar 51% dari total PDRB atau sebesar Rp 46.89
triliun yang sebesar 98.4% merupakan kontribusi dari sektor hulu migas.
Sementara pertambangan non migas dan penggalian masing-masing hanya
berkontribusi sebesar 0.9% dan 0.7%.
Secara geografis Provinsi Riau terletak antara 01o 05 00 Lintang Selatan
sampai 02o 25 00 Lintang Utara serta antara 100o 00 00 Bujur Timur sampai
dengan 105o 05 00" Bujur Timur. Provinsi Riau berbatasan dengan Selat Malaka
dan Provinsi Sumatera Utara di sisi utara, berbatasan dengan Provinsi Jambi dan
Barat dan Provinsi Sumatera Utara di sebelah barat dan berbatasan dengan
Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Selat Malaka di sebelah timur.
Secara administratif Provinsi Riau terdiri dari 9 Kabupaten dan 2 Kota
dengan ibu kota Pekanbaru. Tiga kabupaten terbesar di Provinsi Riau adalah
Kabupaten Indragiri Hilir dengan luas wilayah terbesar dengan luas 1379837 Ha
(15.5%), diikuti oleh Kabupaten Pelalawan yang mempunyai luas 1240414 Ha
(13.9%) dan Kabupaten Bengkalis seluas 1204423 Ha (13.5%).
Perekonomian Provinsi Riau tahun 2010 mencatatkan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) nominal sebesar Rp 342.69 triliun, meningkat
dibandingkan tahun 2009 yang hanya sebesar Rp 319.51 triliun. Riau merupakan
provinsi yang memiliki PDRB terbesar di Sumatera, dikuti Sumatera Utara dan
Sumatera Selatan. Pertumbuhan ekonomi Riau tanpa Migas tercatat 7.2 persen
lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya 6.6 persen.
Kontribusi terbesar berasal dari sektor pertambangan dan penggalian 13.07
persen, diikuti sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan 9.99 persen,
sektor perdagangan, hotel dan restoran 8.72 persen, sektor bangunan 8.62 persen,
dan sektor jasa-jasa 8.39 persen. Pertumbuhan ekonomi Riau didorong oleh sektor
perdagangan, hotel, dan restoran 1.54 persen, sektor pertanian, perkebunan,
peternakan, kehutanan, dan perikanan 1.32 persen, sektor industri pengolahan
1.10 persen, dan sektor jasa-jasa 0.86 persen.
Berdasarkan data BPS tahun 2010 perekonomian Provinsi Riau pada
triwulan IV tahun 2010 tumbuh sebesar 5.22% dengan migas dan 7.84% tanpa
migas. Sektor pertambangan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan Riau
sebagai pendorong peningkatan pada sektor pertambangan, yang semula tidak
diperkirakan mengingat pada awal triwulan laporan terdapat gangguan produksi
dari PT. Chevron Pasific Indonesia. Sektor lain yang memberikan sumbangan
cukup besar adalah sektor perdagangan dan industri pengolahan. Kondisi ini
mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Riau pada triwulan IV
tahun 2010 relatif lebih baik mengingat sumber pertumbuhan yang berasal dari
sektor industri.
Sedangkan harga-harga umum di Provinsi Riau pada triwulan IV tahun
2010 yang diukur dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Kota Pekanbaru dan
Kota Dumai secara tahunan (yoy) menunjukkan peningkatan lebih besar jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang cenderung lebih stabil. Inflasi
Provinsi Riau mencapai 7.37% yang berarti meningkat cukup besar jika
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 4.57%. Sumber
tekanan inflasi berasal dari kenaikan harga cabe merah, minyak goreng dan beras,
yang dipicu oleh tingginya harga bahan pangan antara lain curah hujan yang
tinggi serta gangguan hama yang mengakibatkan pasokan dari sentra produksi
menurun. Selain itu, inflasi juga dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasaran
internasional menjadi faktor utama tingginya harga jual minyak goreng.
Kinerja perbankan di Provinsi Riau dalam triwulan IV tahun 2010 cukup
menggembirakan yang ditunjukan dengan total aset perbankan yang tercatat
sebesar Rp 45.08 triliun, meningkat 14.07% dibandingkan triwulan sebelumnya
(q-t-q). Kenaikan aset tersebut terutama didorong oleh meningkatnya
kemampuan perbankan Riau untuk meningkatan porsi penyaluran kredit dan
pembiayaannya.
Keberadaan sektor hulu migas di Provinsi Riau akan merangsang
tumbuhnya sektor-sektor industri pendukung migas, seperti misalnya industri
penyedia jasa kontruksi dan penyewaan peralatan alat-alat berat. Selain itu
kehadiran sektor hulu migas yang diikuti dengan masuknya para pekerja ke
Provinsi Riau dalam jumlah yang cukup besar turut merangasang berkembangnya
kegiatan-kegiatan ekonomi baik kegiatan ekonomi formal maupun informal.
Namun demikian peran sektor hulu migas ini tidak mungkin diandalkan
selamanya sebab usaha di sektor hulu migas bergantung dari sumber daya alam
migas yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharuhi atau
non renewable resources, yang disebut juga sebagai depleting resources atau
exhaustible resources. Karena migas merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui maka apabila cadangan diekstraksi atau dieksploitasi terus
menerus maka suatu saat akan habis. Sementara itu, secara umum, pola kegiatan
usaha hulu migas akan bergantung dengan pola produksi migas. Pola produksi
minyak mentah umumnya berbentuk seperti “lonceng”, yang disebut dengan peak theory (Hubbert, 1976). Seperti disajikan pada Gambar 2, pada tahun-tahun awal produksi biasanya meningkat, kemudian akan mencapai titik puncak, kemudian
pada tahun-tahun berikutnya akan turun dan suatu ketika akan habis. Peak theory
membagi masa produksi minyak mentah menjadi 6 fase, yaitu fase pengembangan
ada dua hal yang terpenting yang ingin disampaikan oleh Hubbert, pertama bahwa
produksi minyak mentah itu ada batasnya ada masa kenaikan produksi, titik
puncak dan akan habis. Yang kedua Hubbert berpendapat bahwa titik puncak
produksi pada satu area produksi hanya akan terjadi sekali. Setelah melewati masa
eksplorasi biasanya kegiatan usaha hulu migas akan meningkat tajam untuk
mempersiapkan kegiatan eksploitasi. Pada umumnya masa eksplorasi memerlukan
waktu antara 3 sampai 10 tahun. Sebagai contoh suatu lapangan ditemukan
cadangan pada tahun ke-10, jika masa pembangunan fasilitas produksi
membutuhkan 4 tahun, maka barulah pada tahun ke-14 produksi minyak mengalir
pertama kali. Dalam istilah perminyakan disebut first oil
Sumber: National Resources Council USA, 1962
Gambar 2. Hubbert Peak Theory
Selama masa 4 tahun tersebut pengeluaran perusahaan akan meningkat
seiring dengan intensitas kegiatan usaha hulu migas yang menuntut penyelesaian Production
Build-up Phase
Peak
Accelerate Decline
Steady Decline
fasilitas dengan segera. Pada masa 4 tahun tersebut akan dibutuhkan banyak
tenaga kerja. Masuknya para tenaga kerja trampil di wilayah tersebut akan
membawa dampak bagi perekonomian wilayah keseluruhan. Dicontohkan bahwa
peningkatan produksi akan terjadi selama tiga tahun dan titik puncak produksi
terjadi pada 6 tahun kemudian, maka setelah itu, pada tahun-tahun berikutnya
produksi akan terus menurun dan diperkirakan akan habis pada suatu saat. Setelah
melewati masa titik puncak produksi, intensitas kegiatan usaha hulu migas akan
perlahan-lahan menurun seiiring dengan penurunan produksi migas. Pada masa
penurunan produksi biasanya secara bertahap akan terjadi pengurangan pegawai
akibat dari penurunan aktivitas dan penurunan investasi.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah penghasil migas, termasuk Provinsi
Riau harus waspada, apabila perekonomian wilayahnya mengandalkan kehadiran
sektor hulu migas dan memiliki ketergantungan terhadap hasil-hasil dari sumber
daya alam migas, maka bisa tipastikan bahwa hal tersebut tidak mungkin
dilakukan selamanya. Sebab jika hal tersebut yang terjadi maka pasang surut
perekonomiannya akan mengikuti pasang surut kegiatan usaha hulu migas.
Pengembangan sektor ekonomi hendaknya didukung oleh kualitas sumber
daya manusia, sebab faktor manusia sebagai pelaku industri yang berkualitas akan
berperan besar menentukan perkembangan industri dan perekonomian secara
keseluruhan pada masa yang akan datang. Hal ini juga terungkap dalam dokumen
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Provinsi Riau. Tidak
terlepas dari faktor manusia adalah kebutuhan tehnologi dalam bidang produksi,
informasi dan komunikasi. Untuk itu Pemerintah Provinsi Riau mengalokasi dana
pembangunan manusia Provinsi Riau yang terus meningkat dan pada tahun 2009
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 75.60 poin dan menduduki
peringkat 3 dari seluruh provinsi di Indonesia. Pembangunan manusia harus tetap
dipertahankan dalam penyusunan prioritas program dan kegiatan pembangunan
daerah, karena sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif merupakan
modal dasar dalam mendukung peningkatan daya saing wilayah secara
berkelanjutan.
Namun demikian peningkatan yang menggembirakan pada sisi
pertumbuhan ekonomi, tidak diikuti dengan pemerataan hasil-hasilnya, hal ini
nampak dari angka pengangguran dan tingkat kemiskinan di Provinsi Riau yang
masih tergolong tinggi. Jumlah pengangguran terbuka di tahun 2008 tercatat
sekitar 208.9 ribu jiwa atau 9.35 persen dari total angkatan kerja, sedangkan
jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 sekitar 566.7 ribu jiwa atau sekitar 11
persen dari total penduduk Provinsi Riau. Pengurangan pengangguran dan
kemiskinan harus tetap menjadi prioritas utama bagi Pemerintah Provinsi Riau.
Pada saat ini, yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau, untuk
mempercepat penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yaitu
melaksanakan berbagai program pembangunan yang diarahkan ke kecamatan dan
desa-desa miskin, yang dilakukan dengan pola padat karya. Pelaksanaan program
pembangunan padat karya pada satu sisi akan meningkatkan ketersediaan dan
perbaikan serta pemeliharaan prasarana dan sarana fisik dan berbagai sarana
pelayanan dasar, namun sekaligus akan menciptakan kesempatan kerja dan
Ditengah optimisme pertumbuhan perekonomian tersebut sebenarnya
Provinsi Riau menghadapi ancaman yang berkaitan dengan penurunan produksi
minyak mentah dan penurunan aktivitas perusahaan minyak PT.CPI yang dapat
berdampak negatif terhadap perekonomian Provinsi Riau.
Salah satu contoh wilayah yang sekarang berada pada masa declining
produksi minyak mentah dan menghadapi saat-saat akhir produksi adalah ladang
minyak Pangkalan Susu dan kilang pengolahan Pangkalan Berandan. Damanik
(2011), mencatat bahwa kegiatan perminyakan di Pangkalan Berandan berawal
pada tahun 1883. Pada waktu itu Sultan Musa dari langkat memberikan ijin
konsesi kepada Aeilko Jans Zijlker yang bekerja pada perusahaan tembakau Deli Tobacco Maatschappij di Sumatera Utara, untuk membuka penambangan minyak di desa Telaga Said kecamatan Sei Lepan, Langkat. Ijin konsesi berlaku untuk 75
tahun yang diberikan pada tanggal 8 Agustus 1883 dan berakhir pada 8 Agustus
1958. Sultan Musa mendapat bayaran sebesar 30 sen tiap hektoliter minyak kotor
dan 15 sen setiap hektoliter minyak bersih yang dibayar setelah dua tahun dari
waktu pemberian konsesi. Penemuan minyak mentah oleh Aeilko, tersebut
merangsang upaya pencarian minyak mentah di kawasan Telaga Said hingga
Pangkalan Susu. Minyak mentah tersebut diolah di Pangkalan Berandan yaitu
pabrik penyulingan yang dibangun oleh N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 189.
Pada masa kemerdekaan, Pangkalan Susu menjadi daerah perminyakan
yang sangat penting. Apalagi setelah bulan Oktober 1957, Kepala Staf TNI
Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr. Ibnu Sutowo
Pada tanggal 10 Desember 1957 berdirilah P.T. Pertambangan Minyak Nasional
Indonesia yang menjadi cikal bakal Pertamina.
Salah satu yang dikerjakan adalah oleh Pertamina adalah melakukan
renovasi pabrik pengolahan atau pengilangan minyak mentah Pangkalan Brandan
untuk menampung minyak mentah yang berasal dari lapangan Telaga Tunggal,
Telaga Said dan Pangkalan Susu. Kilang Pangkalan Berandan adalah salah satu
dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia. Delapan yang lainnya ada di
Dumai, Sungai Pakning, Musi, Balikpapan, Cilacap, Balongan, Cepu, dan Kasim
Papua.
Usaha hulu migas memiliki daya tarik ekonomi bagi sektor lain dan
memicu kegiatan di daerah-daerah disekitarnya, juga memicu imigrasi penduduk
masuknya tenaga-tenaga terampil dari dari pulau Jawa. Pertamina membangun
perumahan untuk karyawan dengan kapasitas lebih 5000 keluarga di Rantau,
Pangkalan Susu dan Pangkalan Berandan dengan fasilitas yang lengkap dan
modern pada jamannya. Misalnya saja perumahan karyawan di Rantau, selain
dilengkapi dengan sekolah dan perlengkapan sarana prasarana olah raga juga
memiliki kolam renang dan lapangan golf. Tenaga kerja yang terserap mencapai
lebih dari 5 ribu orang termasuk pekerja Pertamina, pekerja tidak langsung dan
pekerja kontraktor. Kegiatan usaha hulu migas di kawasan tersebut berdampak
terhadap perekonomian Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu dan Rantau.
Namun demikian pada tahun 2007 PT. Pertamina (Persero) menutup unit
pengolahan minyak Pangkalan Berandan. Langkah ini ditempuh karena stok
Lapangan minyak di Pangkalan Susu dan lapangan-lapangan minyak disekitarnya
tidak lagi mampu memasok minyak mentah ke Pangkalan Berandan untuk diolah.
Keputusan tersebut berdampak terhadap perekonomian di wilayah
tersebut. Penutupan kilang pengolahan Pangkalan Berandan dilakukan dengan
mengurangi karyawan secara berangsur di ladang minyak Pangkalan Susu dan
Rantau. Saat ini karyawan yang bekerja di area tersebut kurang lebih hanya 200
orang termasuk tenaga penunjang.
Sejak penutupan Pangkalan Berandan sebagian besar aset-aset Negara
yang dikelola oleh Pertamina, termasuk aset-aset di Pangkalan Susu, Rantau dan
sarana Pengilangan di pangkalan Berandan terbengkalai. Banyak rumah tidak
difungsikan lagi, kosong ditinggalkan penghuninya. Sebagian dialih fungsikan
dan sebagian lainnya ditempati oleh prajurit TNI Angkatan Laut.
Banyak perusahaan pendukung usaha hulu migas dan pengolahan minyak
mentah terpaksa gulung tikar. Kegiatan perekonomian sektor non formal juga
terkena dampaknya, banyak yang bubar. Mulai dari rumah makan,
warung-warung retail dan usaha jasa lainnya, bahkan pasar di dekat pabrik pengolahan
juga tutup ditinggalkan para pedagangnya karena sepi pembeli.
Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu adalah salah satu contoh wilayah
atau daerah yang perekonomiannya digerakkan oleh industri hulu migas. Sektor
migas benar-benar menjadi tumpuan dan penggerak utama perekonomian di
daerah tersebut. Begitu kegiatan sektor migasnya berhenti maka perekonomian di
daerah tersebut terkena imbasnya.
Mengacu kepada pelajaran siklus kegiatan usaha hulu migas dan teori
hal yang normal dan biasa. Pada umumnya kegiatan usaha hulu migas
menunjukan peningkatan produksi yang tinggi pada masa pengembangan.
Sehingga pada masa tersebut akan dibutuhkan banyak pegawai karena kegiatan
produksi umumnya meningkat pesat. Namun setelah melewati titik puncak akan
dilanjutkan dengan fase penurunan produksi. Pada masa ini kegiatan operasional
minyak mentah menurun drastis, investasi cenderung turun dan pengurangan
pegawai akan dilakukan untuk mengurangi beban dan biaya produksi.
Pada umumnya fase pengembangan yang menjanjikan dan memberikan
dampak positif terhadap perekonomian seringkali menjadikan para pengelola dan
masyarakat, bahkan Pemerintah Daerah lupa bahwa hal tersebut tidak terjadi
selamanya. Memang sekarang ini lapangan minyak di Rantau dan Pangkalan Susu
masih berproduksi tetapi dengan kapasitas sangat terbatas yaitu hanya 1000-1500
barrel per hari. Karena jumlahnya terlalu kecil untuk diolah sendiri dan tidak
ekonomis lagi diolah di kilang Pangkalan Berandan maka hasil produksi tersebut
dikapalkan dan diolah di kilang Pertamina lainnya.
Kondisi seperti yang terjadi di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu,
yaitu penurunana aktivitas perekonomian dan pelambatan pertumbuhan ekonomi
berpotensi terjadi pada daerah-daerah penghasil migas lainnya termasuk Provinsi
Riau. Pada saat ini Produksi minyak mentah dari Provinsi Riau memasuki fase
Steady Declining yang berarti dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi minyak mentah di Provinsi Riau akan habis.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian
1. Bagaimana dampak penurunan cadangan minyak mentah terhadap
perekonomi Provinsi Riau? Bagaimana kondisi perekonomian Provinsi Riau
ketika sektor hulu migas tidak lagi memberikan kontribusi terhadap
perekonomian?
2. Bagaimana perubahan peran dan reaksi sektor pertanian dan sektor lainnya
ketika terjadi penurunan peran sektor hulu migas dalam perekonomian?
3. Apakah skenario kebijakan fiskal dan sektor hulu migas dapat mengurangi
dampak negatif dari penurunan cadangan minyak mentah di Provinsi Riau?
Seberapa besar kebijakan tersebut berdampak positif terhadap perekonomian?
Apakah dengan kebijakan fiskal dan sektor hulu migas tersebut posisi
perekonomian Provinsi Riau dapat dikembalikan seperti semula?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian sebelumnya dan permasalahan maka dirumuskan
tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Membangun Model Migas dan Perekonomian Riau (Model MPR) yang
mengintegrasikan sektor hulu migas, sektor fiskal dan bagi hasil, yang
merupakan bentuk dari pelaksanaan undang-undang otonomi daerah.
2. Meramalkan dampak penurunan cadangan minyak mentah tahun 2012-2035
terhadap perekonomian Provinsi Riau khususnya pergeseran peran dari sektor
migas ke sektor pertanian dan sektor lainnya.
3. Membuat simulasi skenario kebijakan untuk mengurangi dampak negatif dari
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat:
1. Bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai alat atau sistem
peringatan dini dalam menghadapi dampak dari penurunan cadangan minyak
mentah terhadap perekonomian Provinsi Riau.
2. Bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai masukan sekaligus
bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan yang bersifat antisipatif
yang mempertimbangkan dampak dari penurunan peran sektor hulu migas
dalam perekonomian akibat dari penurunan cadangan minyak mentah.
3. Bagi Pemerintah Pusat, BPMIGAS, Direktorat Jendral Migas Departemen
Energi dan Sumber Daya Alam Migas, Direktorat Anggaran dan Direktorat
Jendral Perimbangan Keuangan Departemen Keuangan, agar hasil penelitian
dapat dijadikan masukan dalam hal melakukan evaluasi kebijakan alokasi
dana dari pusat ke Daerah Penghasil Migas yang mempertimbangkan
dampaknya terhadap perekonomian daerah penghasil migas secara
menyeluruh.
4. Untuk perkembangan studi ekonomi perminyakan dan ekonomi energi yang
saat ini relatif kurang berkembang di Indonesia dengan referensi penelitian
II. STUDI LITERATUR
2.1. Ketergantungan Perekonomian terhadap Sektor Migas
Youngquist (1999) melakukan penelitian untuk menguji bagaimana sektor
migas berperan terhadap perekonomian dan tingkat ketergantungan Negara
tersebut terhadap hasil migas. Youngquist menyimpulkan bahwa perekonomian
Negara-Negara yang memiliki sumber daya alam migas yang berlimpah
cenderung tergantung kepada hasil migas. Selain itu dari hasil penelitiannya,
Youngquist mengemukakan bahwa Negara yang penerimaannya didominasi dari
migas umumnya memiliki pertumbuhan penduduk yang pesat. Sementara sektor
pertanian Negara-Negara penghasil migas juga memiliki ketergantungan terhadap
produk migas terutama dari produk fertilizers dan pestisida.
Berdasarkan temuan-temuan impiris tersebut Youngquist berkeyakinan
bahwa hingga saat ini hasil migas dan peran sektor migas dalam menopang
perkonomian Negara atau daerah penghasil migas tidak tergantikan. Oleh karena
itu Youngquist menyarankan agar seluruh Negara di dunia merubah paradigma
yaitu yang semula pembangunan dan kehidupan yang bergantung dari hasil dan
produk migas menjadi pembangunan dan kehidupan tanpa migas.
Paradigma baru kehidupan tanpa migas yang disampaikan Youngquist itu
disebut post-petroleum paradigm. Youngquist menilai bahwa pada saat ini ketergantungan Negara-Negara di dunia terhadap minyak mentah dan gas bumi
terlalu besar. Youngquist memberikan contoh bagaimana dampak dari gejolak
harga minyak mentah dunia terhadap perekonomian. Bagi Negara bukan
penghasil migas maka kenaikan harga minyak mentah akan memberatkan
memenuhi kebutuhan energi. Sedangkan bagi Negara penghasil migas kenaikan
harga minyak mentah merupakan tantangan karena mereka akan berusaha
mengupayakan kenaikan produksi, sementara produksi minyak mentah dunia
secara umum mengalami penurunan.
Saran Youngquist untuk mengurangi ketergantungan terhadap hasil migas
sudah mulai dilakukan oleh beberapa Negara seperti Iran dan Venzuela yang
mulai mengembangkan biofuel. Sedangkan beberapa Negara di kawasan Timur Tengah seperti Kuwait, Saudi Arabia, Iraq, Qatar, United Arab Emirates, Bahrain,
and Oman kurang memperdulikan saran Youngquist dan perekonomian mereka
sepenuhnya bergantung dari hasil migas.
Abernethy (1993) berpendapat bahwa kemakmuran (prosperity) dari minyak akan mendorong Pemerintah Negara penghasil migas berekspektasi
terhadap perekonomian yang lebih baik. Data statistik menunjukkan bahwa
pertumbuhan Negara-Negara teluk rata-rata 1.6% di atas rata-rata pertumbuhan
dunia hingga tahun 2006. Saudi Arabia dan Libya mempunyai tingkat
pertumbuhan sekitar 4.1% (rata–rata selama 17 tahun), Kuwait 6.0% (rata-rata
selama 12 tahun), Qatar 6.5% (rata-rata selama 10.7 tahun) dan United Arab
Emirates 7.3% (rata-rata selama 10 tahun).
Abernethy menemukan bukti yang sama dengan Youngquist bahwa
pertumbuhan ekonomi tersebut akan diikuti dengan pertumbuhan penduduk.
Itulah sebabnya setengah dari populasi Arab sekarang ini berusia di bawah 15
tahun. Kondisi ini memberikan kecenderungan terjadinya peningkatan
ketergantungan kepada sektor migas untuk dekade ke depan (Fernea, 1998).
gaya hidup kota yang terjadi akibat meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang
diperoleh dari hasil minyak. Penduduk seakan diarahkan berubah dari yang
semula mengandalkan hasil pertanian menjadi sistem ekonomi pengembara
(nomadic economies) yang mengandalkan sektor migas. Misalnya Saudi Arabia, meskipun mendapatkan windfall dari minyak sejak tahun 1970 namun belanja Pemerintah tidak diarahkan pada pembangunan ekonomi di luar sektor migas.
Negara ini belum memikirkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Bahkan Pemerintah Saudi Arabia seakan memandang remeh peningkatan populasi
yang begitu cepat dan belum dinilai sebagai sebuah ancaman.
Chandler (1994) melakukan penelitian tentang dampak peningkatan
populasi terhadap kesejahteraan per kapita pada Negara penghasil minyak.
Chandler menemukan hal yang sama, bahwa sejumlah Negara kaya minyak
menggunakan penerimaan dan hasil dari minyak dengan tidak bijaksana. Chandler
memberikan saran agar pemerintah bertindak bijak menginvestasikan hasil migas
misalnya untuk rumah sakit, jalan, jembatan, bandara dan pembangkit listrik.
Selain itu Chandler juga menyarankan agar sebagian sisa pendapatan
migas itu diinvestasikan dalam program-program sosial. Chandler berpendapat
program-program tersebut akan berdampak jangka panjang. Chandler mengaitkan
dengan tingkat pertumbuhan populasi Arab Saudi yang mencapai 4% per tahun.
Ini merupakan salah satu tingkat pertumbuhan populasi tertinggi di dunia.
Dalam ruang lingkup yang lebih kecil yaitu tingkat provinsi, Harun (2000)
pengajar di Univesitas Riau juga memiliki kesimpulan yang kurang lebih sama.
mentah terbesar di Indonesia, perekonomian mereka memiliki ketergantungan
yang besar terhadap hasil dari sektor migas.
Meskipun demikian pada beberapa Negara penghasil minyak, termasuk
Amerika Serikat yang memiliki pertumbuhan sektor pertanian yang cukup pesat,
namun ditengarai pertumbuhan ekonominya masih tergantung dari hasil sektor
migas (Pimentel, 1998). 90% dari total energi yang diperlukan dalam kegiatan
pemanenan berasal dari minyak dan gas alam. Penggunaan tehnologi dalam
pertanian memberikan efesiensi dan mampu mengurangi input tenaga kerja dari
500 jam per hektar menjadi 4 jam perhektar untuk produksi gandum.
Fleay (1995) melakukan penelitian di Australia dan menemukan hal serupa
dengan yang terjadi di Amerika. Australia adalah Negara keempat pengekspor
gandum terbesar di dunia. Tidak mengherankan kalau fertilisers memegang peran penting di Australia. Produk ini banyak digunakan untuk offsetting nutrient-poor soils. Gas bumi adalah bahan dasar untuk membuat fertilizer, seperti halnya
nitrogen fertilisers. Fleay menyimpulkan bahwa penduduk di dunia bergantung pada makanan yang harus dihasilkan dari pertanian, namun hasil pertanian yang
dibutuhkan pada akhirnya bergantung pada penggunaan energi dan bahan-bahan
yang dihasilkan dari migas.
Grant (1996) mencatat bagaimana pentingnya petrochemicals bagi petani. Ketergantungan pada pesticides dan herbicides menunjukkan angka yang terus menerus meningkat. Sebab, jika petani menghentikan penggunaan pesticides dan
Laporan Congressional Reserach Servives (CRS) mempertegas bahwa pertanian memiliki ketergantungan terhadap hasil migas secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung berarti sektor pertanian memerlukan minyak dan gas
bumi untuk menghidupkan mesin dan peralatan pertanian, termasuk
mesin-mesin pengolahan hasil pertanian dan secara tidak langsung, dalam bentuk
fertilizer untuk pupuk dan beberapa produk kimia yang dipergunakan dalam pengolahan lahan pertanian.
Sejalan dengan temuan Grant (1996), studi yang dilakukan Terry, et. al.
(2006) menghasilkan kesimpulan yang sama, walaupun pendekatan yang
digunakan dalam penelitian berbeda. Terry meneliti hubungan antara sektor
pertanian dan sektor migas dengan mengaitkan pengaruh peningkatan harga
minyak dunia terhadap sektor pertanian di Kansas, USA. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa sektor pertanian berhubungan dengan sektor migas dalam
dua hal. Pertama, hubungan langsung berupa penggunaan energi untuk
menggerakkan mesin-mesin industri pertanian, transportasi dan penerangan.
Kedua, hubungan tidak langsung yaitu sektor pertanian menggunakan pupuk,
pestisida dan produk-produk pendukung lainnya yang berasal dari petro-chemical. Selain itu juga diperoleh bukti bahwa kenaikan harga minyak mentah
dunia selalu akan diikuti dengan tindakan efesiensi di sektor pertanian. Sisi
positifnya, harga minyak yang tinggi memicu pengembangan industri penghasil
sumber energi yang berasal dari sumber daya alam yang terbarukan seperti
pengembangan produk ethanol dan biodiesel. Bila hal ini diperhitungkan sebagai
produk pertanian maka berarti secara keseluruhan terjadi peningkatan produk
efesien dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan produk biomass ini
secara relatif juga menurunkan tingkat penggunaan bahan bakar fosil di sektor
pertanian.
2.2. Peran Sektor Migas dalam Pertumbuhan Ekonomi
Sektor industri membutuhkan energi untuk memproduksikan barang dan
jasa. Sumber energi yang saat ini banyak digunakan adalah energi yang berasal
dari sektor migas. Pada beberapa industi nampak bahwa sektor migas tidak saja
digunakan sebagai sumber energi namun berperan juga sebagai bahan dasar dan
bahan pendukung. Bahan bakar minyak dan gas bumi adalah penggerak utama
untuk transportasi dan mobilisasi. Demikian juga dengan pembangkit tenaga
listrik yang mengandalkan bahan bakar minyak dan gas bumi.
Spreng (2003) menyampaikan bahwa proses transformasi dan produksi
harus mempertimbangkan bahwa energi yang digunakan berasal dari sumber daya
alam minyak dan gas bumi (fuel fosil) yang jumlahnya terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Dengan demikian pertumbuhan sektor non migas di luar sektor
pertanian dipengaruhi oleh sektor migas. Jika output perekonomian total
merupakan penjumlahan dari output dari seluruh sektor maka dapat disimpulkan
sektor migas berpengaruh terhadap perekonomian.
Penjelasan dan pemahaman tentang bagaimana pertumbuhan ekonomi
dapat dipengaruhi oleh sektor migas dapat dijelaskan melalui teori pertumbuhan
yang dikembangkan oleh Solow (1956). Menurut Solow, secara tradisional
pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: kapital (tanah dan
variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi bersifat
sustainable atau berkelanjutan.
Beberapa ahli ekonomi selanjutnya mengembangkan teori Solow tersebut
dengan menambahkan non-sustainable variable (Pezzy, 2001). Tanah yang dahulu dianggap selalu tersedia, sekarang tanah dianggap sebagai variabel yang
bersifat tidak berkelanjutan, karena luas tanah yang mampu dijadikan lahan
pertanian semakin terbatas. Demikian juga dengan kualitas tanah yang semakin
lama semakin memburuk karena kurang pemeliharaan dan karena pencemaran.
Variabel teknologi perlu diperhatian secara khusus terutama terkait dengan
energi. Pada saat ini sebagian besar teknologi yang dipergunakan membutuhkan
energi agar bisa dimanfaatkan. Sementara itu, keberadaan energi tergantung pada
bahan dan faktor pembentuk energi. Hingga kini faktor pembentuk energi yang
paling besar adalah sumber daya alam yang tidak terbarukan yaitu migas. Jika
demikian maka asumsi bahwa teknologi bersifat berkelanjutan (keberadaannya
tetap) mulai diragukan, sebab pada suatu saat sumber daya alam yang tidak
terbarukan tersebut akan habis.
Sementara ekonom pengikut neoklasik berpendapat bahwa model Solow
sebenarnya sudah mengantisipasi persoalan variabel non-sustainable tersebut. Caranya dengan tidak memasukan variabel biaya ekstraksi sumber daya alam
yang tidak terbarukan dan tidak mencantumkan depresiasi untuk kapital. Hal ini
terbukti bahwa dengan mengasumsikan pasar bersaing sempurna termasuk dalam
penggunaan sumber daya alam yang tidak terbarukan, konsumsi dan kesejahteraan
sosial akhirnya memiliki total ekses nol (Stiglitz, 1974). Itu berarti model Solow
Dalam memandang teori pertumbuhan Solow terdapat perbedaan yang
mendasar antara ekonom neo-klasik dengan ekonom ekologi dan energi. Ekonom
neo-klasik memandang teori pertumbuhan Solow berfokus pada batasan-batasan
institusional, yakni: bagaimana variabel-variabel input seperti teknologi, kapital,
dan tenaga kerja mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pandangan
ekonom ekologi dan energi cenderung berbasis pada material termasuk pada
substitusi antar input. Pada umumnya para ekonom ekologi dan energi menyoroti
dua aspek. Pertama bagaimana menghasilkan produksi yang lebih banyak dengan
sumber daya alam tertentu yang dimiliki. Kedua, pada kapasitas kerusakan
sumber daya alam yang terbatas bagaimana energi dan sumber daya alam
diperoleh secara maksimal (Sterm, 2003).
Dengan demikian perdebatan mengenai pentingnya mempertimbangkan
variabel jangka pendek (non-sustainable variable) muncul karena pertimbangan peran energi dalam teori pertumbuhan ekonomi. Karena sebagian besar
ketersediaan energi saat ini bergantung pada sektor migas dan sumber daya alam
lain yang tak terbarukan, seperti: batubara dan gas geothermal. Sehingga teori
pertumbuhan berkelanjutan akan terkendala oleh keberadaan sumber daya alam
tersebut yang bersifat tidak kekal.
Peran energi dalam pertumbuhan ekonomi banyak didukung oleh para ahli
ekonomi energi. Namun usaha untuk membuktikan bahwa energi mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi atau sebaliknya menjadi perdebatan pada era tahun
1970-an hingga 1990-1970-an. Kraft (1978), salah satu ahli ekonomi energi, mencoba untuk
terdapat hubungan sebab akibat yang kuat antara energi yang digunakan dengan
pertumbuhan atau tambahan output yang diperoleh.
Hasil yang sama juga diperoleh ketika dilakukan pengujian terhadap
hubungan sebab akibat antara GDP, penggunaan energi, capital, dan input tenaga
kerja (Sterm, 1993). Model yang digunakan dalam pengujian ini adalah model
Granger kausalitas dengan setting multivariate autoregression (VAR). Metodologi multivariate dipandang penting oleh Stern karena perubahan penggunaan energi seringkali digantikan oleh faktor produksi lainnya. Sehingga
seolah-olah perubahan penggunaan energi yang digunakan ini tidak membawa
dampak yang berarti terhadap penambahan output yang didapatkan.
Sergeant, et. al. (2003) melakukan penelitian tentang sektor migas di
Negara Trinidad dan Tobago. Lewat penelitian ini, ingin diketahui bagaimana
trend dan kebijakanan sektor energi berdampak terhadap sektor lainnya dalam
sistem perekonomian secara keseluruhan. Secara khusus penelitian tersebut juga
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dari suksesi.
Oleh karena itu data yang digunakan adalah data pada rentang waktu saat
suksesi pemerintahan di Negara tersebut terjadi, yaitu data runtut waktu periode
tahun 1985-2000. Gambar 3 di bawah menunjukkan garis besar hubungan antara
sektor migas dengan sektor lain dalam perekonomian Negara Trinidad dan
Tobago. Sektor migas menggunakan jasa dan membayarkan upah dan gaji kepada
rumah tangga. Selanjutnya uang yang diterima akan berpengaruh terhadap
perekonomian melalui belanja rumah tangga, sebagian ditabung dan sebagian