• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Audit Eksternal SMK

2. Hasil Tininjauan Ulang Kinerja K

5.1. Penerapan SMK3 dan Implikasinya Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja di PKS Kebun Rambutan PTPN III Tebing Tinggi.

5.1.1. Penetapan Kebijakan K

Kebijakan merupakan persyaratan utama dalam semua sistem manajemen, seperti manajemen lingkungan, manajemen mutu dan lain sebagainya. Kebijakan merupakan roh dari semua sistem, yang mampu memberikan spirit dan daya gerak untuk keberhasilan suatu usaha, oleh karena SMK3 mensyaratkan ditetapkannya suatu kebijakan K3 dalam organisasi oleh manajemen puncak (Ramli, 2010).

Penetapan Kebijakan K3 di PKS Kebun Rambutan sudah terlaksana dan berjalan dengan baik, hal tersebut ditunjukkan melalui peraturan-peraturan atau program-program K3 yang telah terpenuhi di tempat kerja. Kebijakan K3 merupakan dasar didalam penerapan SMK3 dan hal yang sangat penting, akan tetapi faktanya dilapangan masih banyak pimpinan perusahaan yang melupakan tanggungjawabnya dengan tidak memasukkan K3 kedalam fungsi manajemen. Hal ini disebabkan oleh adanya pandangan bahwa penerapan K3 di perusahaan merupakan pengeluaran kedua (investasi kedua) yang tidak memberikan keuntungan secara langsung atau merupakan suatu kerugian belaka.Tanpa disadari bahwa dengan tidak menerapkan SMK3 justru dapat memberikan kerugian yang besar baik bagi perusahaan, tenaga kerja beserta keluarga dan masyarakat sekitar perusahaan.

Penetapan kebijakan K3 di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting di dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja sebagai upaya perlindungan bagi tenaga kerja, jika manajemen puncak selaku pemegang kekuasaan tertinggi menyadari pentingnya K3 dan memiliki komitmen yang kuat dalam bentuk

kebijakan ataupun peraturan tertulis yang telah ditetapkan, maka kecelakaan kerja dapat dicegah.

Zulyanti (2013), dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kebijakan K3 yang diterapkan dengan baik di Mitra Produksi Sigaret (MPS) KUD Tani Mulyo Lamongan memberikan hasil yang sangat efektif terhadap perlindungan tenaga kerja, MPS KUD Tani mulyo telah berkomitmen dengan kebijakan K3 sesuai dengan Permenaker Nomor PER.05/MEN/1996 dan menunjukkan keberhasilan penerapan kebijakan K3 tersebut melalui penghargaan zero accident (kecelakaan nihil) yang diraih perusahaan tersebut sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2011.

Penerapan kebijakan K3 yang baik juga merupakan langkah awal didalam pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja. Swastika (2011) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pelaksanaan SMK3 di PT Telkom Area Solo telah diterapkan dan berhasil dilakukan dengan baik sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja, hal ini tidak terlepas dari adanya komitmen dan kebijakan K3 oleh pihak manajemen di PT. Telkom Area Solo. Kebijakan K3 tidak akan dapat terlaksana tanpa adanya komitmen dan tekad yang kuat dari pihak manajemen selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu organisasi yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan semua pihak yang terlibat atau seluruh tenaga kerja yang berada di tempat kerja.

Dwijayanti (2012), dari hasil penelitiannya menyebutkan pengkajian SMK3 pada PT. Suka Jaya Makmur menunjukkan bahwa SMK3 yang telah dan sedang diterapkan oleh perusahaan adalah baik dan merupakan kriteria emas menurut standar

pemerintah pada Permenaker 05/MEN/1996 yaitu sebanyak 92,17%. Unsur atau prinsip yang paling dominan dalam penerapan SMK3 pada PT. Suka Jaya Makmur berdasarkan hierarki penyusunannya adalah komitmen dan kebijakan. Aktor yang paling berperan dalam penerapan SMK3 adalah top management. sehingga kunci utama untuk menerapkan SMK3 pada perusahaan yaitu adanya komitmen dan kebijakan yang besar pada top management.

5.1.2. Perencanaan K3

Perencanaan K3 di PKS Kebun Rambutan PTPN III sudah dilakukan dengan baik dan telah telah dilakukan identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko (ISBPR), identifikasi ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja di tempat kerja. Meskipun demikian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Berdasarkan dari hasil penelitian di PKS Kebun Rambutan masih terdapat beberapa pengendalian risiko yang tidak didasarkan pada tahap hirarki pengendalian.

Pemahaman akan identifikasi potensi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko merupakan hal yang sangat penting. Kesalahan pemahaman arti bahaya sering menimbulkan analisa yang kurang tepat dalam melaksanakan identifikasi potensi bahaya, karena sumber bahaya yang sebenarnya justru tidak diperhatikan. Kondisi dan cara kerja yang tidak aman, kurang pelatihan atau kelelahan bukan bahaya tetapi merupakan kegagalan dalam pengawasan dan pemantauan yang dilakukan oleh pihak manajemen. Sebagai contoh tidak memakai topi keselamatan bukan merupakan bahaya. Bahaya sesungguhnya adalah dari benda yang terjatuh dari ketinggian dan kemudian menimpa kepala. Akibat kekeliruan tersebut timbul kecenderungan untuk

memasang berbagai alat pengaman atau alat pelindung diri daripada mengidentifikasi sumber bahaya yang sebenarnya serta melakukan pengendalian bahaya yang tepat, selain itu pihak manajemen harus memberikan pemahaman kepada seluruh tenaga kerja bahwa pemakaian alat pelindung diri adalah langkah terakhir sehingga tenaga kerja harus mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen.

(Ramli, 2009)

Berikut adalah tahap pengendalian risiko berdasarkan tahapan hirarki pengendalian yaitu:

1. Eliminasi 2. Subtitusi

3. Pengendalian Teknis 4. Pengendalian Administratif

5. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Perencanaan K3 yang dilakukan dengan baik juga akan berdampak pada pelaksanaan rencana K3 sehingga dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kasus kecelakaan kerja di tempat kerja. Swastika (2011) dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pelaksanaan SMK3 di PT Telkom Area Solo telah diterapkan dan berhasil dilakukan dengan baik sehingga dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja, hal ini tidak terlepas dari adanya perencanaan K3 oleh pihak manajemen di PT. Telkom Area Solo.

Perencanaan K3 juga meliputi beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah manual SMK3, manual SMK3 merupakan dokumen penting yang

merangkum dan mencatat seluruh kegiatan ataupun peristiwa yang terjadi, seperti kasus kecelakaan kerja harus disimpan dalam bentuk dokumen, dokumen kecelakaan kerja bersifat living document, dokumen yang dipergunakan sepanjang waktu untuk melihat jumlah kasus kecelakaan kerja, penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Akan tetapi di beberapa perusahan manual SMK3 belum terlaksana dengan baik, sehingga tentu hal ini dapat berimplikasi terhadap kejadian kecelakaan kerja.

Simangunsong (2014), dari hasil penelitiannya menyebutkan perencanaan K3 yang dilakukan PT. Madjin Crumb Rubber Factory Tahun 2014, yang menjadi masalah adalah mengenai manual SMK3, manual SMK3 yang telah dibuat Perusahaan tidak diketahui oleh semua personil dalam perusahaan, seharusnya manual SMK3 yang telah dibuat harus mudah didapat oleh semua personil dalam perusahaan sesuai kebutuhan, dan terdapat manual khusus yang berkaitan dengan produk, dan tempat kerja tertentu.

Henry (2012), dari hasil penelitiannya di perusahaan GOKPL menunjukkan bahwa perencanaan dan pelaksanaan rencana K3 yang sudah diterapkan berjalan dengan baik dan sangat efektif didalam menurunkan angka kecelakaan kerja, khususnya pada kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi.

5.1.3. Pelaksanaan Rencana K3

Pelaksanaan rencana K3 merupakan hal yang paling penting didalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Pelaksanaan K3 yang baik akan berimplikasi pada berkurangnya angka kecelakaan kerja ditempat kerja. Menurut Kurniawan (2015), dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa pelaksanaan Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan kerja (SMK3) Pada proyek konstruksi di kota Semarang mampu mencegah terjadinya kecelakaan kerja yang ditimbulkan oleh jenis pekerjaan dibagian konstruksi.

Silaen (2005), dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan SMK3 yang baik akan berimplikasi pada perilaku aman tenaga kerja tergolong baik, yaitu 99% dari 58 responden memiliki pengetahuan yang baik mengenai K3, 99% dari 58 responedn memiliki sikap yang baik mengenai K3, dari 58 responden ada 82,8% pernah mengikuti pelatihan K3, dari semua itu 8% pernah mengalami kecelakaan kerja karena tidak memakai APD, juga sebesar 29,3% mengalami kecelakaan kerja karena tidak hati-hati, 94,8% responden memakai APD pada saat bekerja, tetapi sebaliknya ada 29,3% memakai APD hanya apabila diawasi, demikian juga dalam bekerja sesuai dengan SOP ada sebesar 98,3%.

Windiana (2010), dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi kendala dalam pelaksanaan SMK3 adalah kesadaran tenaga kerja dalam pemakaian APD, meskipun alat pelindung diri yang disediakan PT. Goodyear Indonesia, Tbk. sudah lengkap bagi karyawannya, namun pelaksanan dalam penggunaan APD tersebut masih kurang baik. Perusahaan sudah menetapkan APD yang wajib dipakai bagi semua karyawan yaitu pelindung telinga, safety shoes, dan kacamata. Sanksi tegas juga ditetapkan oleh Perusahaan jika tidak memakai APD saat bekerja. Namun di lapangan, masih ada karyawan yang tidak memakai APD wajib tersebut. Kesadaran karyawan sangat kurang untuk mengerti akan bahaya yang ditimbulkan area kerja jika tidak menggunakan APD. Kebiasaan area kerja yang

dirasakan karyawan merupakan alasan utama pekerja tidak mau memakai APD. Selain itu ketidaknyamanan karyawan memakai APD saat bekerja juga menjadi alasan pekerja tidak memakai APD. Pihak Goodyear sudah sering mengadakan pelatihan kembali mengenai APD, namun tidak membuat seluruh karyawan memakai APD saat bekerja.

Ramadhan (2012), dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara umum pelaksanaan SMK3 sudah berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan namun terdapat beberapa hal yang menghambat seperti kurangnya kesadaran akan pentingnya ilmu K3 terutama disiplin penggunaan Alat Pelindung Diri (APD).

Kecelakaan kerja yang terjadi di PKS Kebun Rambutan sebahagian besar disebabkan karena pelaksanaan rencana K3 yang tidak berjalan dengan baik, meliputi Sumber Daya Manusia (SDM), sarana dan prasarana. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan K3, yaitu :

1.Sumber Daya Manusia

Pelaksanaan rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terletak pada masing-masing individu dalam suatu organisasi. Bagaimanapun baiknya sistem manajemen K3, lengkap dengan kompetensi dan prosedur kerja, namun jika tidak dijalankan dengan baik oleh semua pihak, K3 tidak akan berhasil. Oleh karena itu Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mensyaratkan adanya peran serta dan tanggungjawab seluruh pihak untuk menjalankan program K3 dibidangnya masing-masing.

Semua pihak harus memahami ketentuan dan persyaratan K3 yang berlaku untuk tempat kerja seperti sumber bahaya, prosedur kerja aman, penggunaan alat pengaman, alat keselamatan yang diwajibkan serta pengawasan yang dilakukan oleh pihak manajemen. Tanggungjawab terhadap K3 harus dicantumkan dengan jelas dalam uraian tugas dan jabatan setiap individu dalam organisasi (Ramli, 2010).

Menurut ahli K3 sebagian besar kecelakaan kerja disebabkan atau bersumber dari faktor manusia dengan tindakan tidak aman (unsafe Action). Karena itu banyak pendekatan K3 dikembangkan untuk mengendalikan faktor manusia tersebut, dengan melakukan pendekatan manusia (human approach) diharapkan angka kecelakaan kerja dapat ditekan. Namun dalam prakteknya, aspek manusia sering menjadi kambing hitam untuk setiap kasus kecelakaan kerja yang terjadi, seringkali jika terjadi kecelakaan dituding karena kesalahan manusia seperti tidak hati-hati, sembrono, dan tindakan tidak aman lainnya.

Olehkarena itu dalam pendekatan K3, aspek manusia dengan perilaku tidak aman ini menjadi salah satu pokok perhatian. Tindakan tidak aman dari seseorang timbul karena 3 faktor yaitu karena tidak tahu, tidak mampu dan tidak mau.

1. Seseorang melakukan tindakan tidak aman karen tidak tahu, yang bersangkutan tidak mengetahui tentang bahaya, peraturan atau tata cara kerja yang aman sehingga melakukan kesalahan dalam menjalankan aktivitasnya yang berakhir dengan kecelakaan.

2. Seseorang melakukan tindakan tidak aman karena tidak mampu, yang berkaitan dengan kapasitas atau kompetensi dalam menjalankan pekerjaaannya, yang

bersangkutan telah mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan dengan baik dan benar, namun kemampuan yang berkaitan dengan fisik, teknis, dan nonteknis tidak mendukung. Sebagai contoh seorang tenaga kerja ditugaskan memindahkan sebuah peti seberat 100 kg. Yang bersangkutan mengetahui bagaimana cara mengangkatnya dengan benar dan aman. Namun fisiknya tidak mampu mengangkat beban seberat 100 kg sehingga melakukannya dengan cara tidak aman yang berujung pada kecelakaan kerja. Contoh lain seorang operator telah mengetahui bagaimana cara menjalankan mesin, namun karena belum pernah melakukannya, yang bersangkutan melakukan kesalahan dan berakhir dengan kecelakaan kerja.

3. Seseorang melakukan tindakan tidak aman karena tidak mau, yang bersangkutan telah mengetahui dan mampu melakukan pekerjaan dengan baik dan benar, namun yang bersangkutan tidak mau melakukannya sesuai dengan prosedur sehingga terjadi kecelakaan kerja. Faktor ini berkaitan dengan perilaku dan kepedulian tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Ketiga faktor tersebut menyangkut pengetahuan (knowledge), kompetensi (skill), dan perilaku (attitude) (Ramli, 2010)

Berdasarkan hal diatas menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan kerja disebabkan karena faktor manusia yang tidak tahu, tidak mau, dan tidak mampu, dalam hal ini peran manajemen sangat diperlukan dalam memberikan sosialisasi, simulasi ataupun pelatihan kepada tenaga kerja agar setiap tenaga kerja memiliki kesadaran yang baik didalam melakukan pekerjaannya.

2. Kompetensi

Kasus kecelakaan kerja yang terjadi di PKS Kebun Rambutan sebahagian besar disebabkan karena pekerja tidak memiliki kompetensi yang cukup dalam melakukan pekerjaannya. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) mensyaratkan manajemen untuk memastikan bahwa individu yang menjalankan pekerjaan atau aktivitas yang memiliki dampak K3 telah memiliki kompetensi dalam menjalankan pekerjaannya.

Kompetensi merupakan persyaratan penting untuk menjamin agar pekerjaan dilakukan dengan baik, mengikuti standar kerja yang berlaku serta memenuhi persyaratan keselamatan. Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan serta pengalaman yang memadai dalam melakukan suatu pekerjaan.

Untuk mencapai hal tersebut perusahaan harus memiliki standar kompetensi untuk setiap pekerjaaan, misalnya standar kompetensi untuk tukang las, operator mesin, operator bejana uap termasuk ahli keselamatan dan kesehatan kerja. Manajemen dapat mengembangkan standar kompetensi sesuai dengan kebutuhan atau menggunakan standar kompetensi yang telah dikembangkan oleh organisasi ataupun lembaga sertifikasi kompetensi lainnya, kompetensi dapat diperoleh berdasarkan pelatihan yang diikuti oleh tenaga kerja dan manajemen bertanggungjawab didalam melaksanakan pelatihan di tempat kerjanya. (Ramli, 2010).

Nugraha (2015), dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa setiap individu yang menjalankan pekerjaan atau aktivitas yang memiliki dampak K3 wajib memiliki

kompetensi dalam menjalankan pekerjaannya dan perusahaan bertanggungjawab atas pemenuhan kompetensi kepada seluruh tenaga kerja.

3.Pelatihan

Pelatihan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak manajemen didalam memeberikan pemahaman dan pengetahuan kepada seluruh tenaga kerja , sehingga dengan bekal pelatihan yang dilakukan tenaga kerja dapat mengetahui K3 ditempat kerja sehingga dapat bekerja secara aman untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Akan tetapi pelatihan yang dilakukan tanpa perhitungan tentu hanya akan sia-sia dan akan mengakibatkan pengeluaran terhadap biaya yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan.

Azmi (2008), dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan oleh P2K3 di PT.Wijaya Karya Beton Medan belum terlaksana dengan efektif karena pelatihan yang diberikan selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan terhadap kesadaran dan kepatuhan tenaga kerja dalam bekerja, sehingga perlu dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pelatihan, biaya dan realisasinya agar pelatihan yang akan dilakukan selanjutnya dapat lebih efektif dan efisien.

Simangunsong (2014), dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PT Madjin Crumb Rubber Factory memiliki masalah dalam pengembangan keterampilan dan kemampuan meskipun pelatihan pernah dilakukan, hal ini dilihat dari tidak adanya susunan rencana pelatihan K3 di perusahaan, selain itu jenis pelatihan K3 yang dilakukan juga tidak disesuaikan dengan kebutuhan, dalam hal ini untuk peningkatan yang ingin dicapai, pihak perusahan harus lebih banyak melakukan

pelatihan K3 yang disesuaikan dengan kebutuhan yang berguna untuk pengendalian potensi bahaya, dan membuat susunan rencana pelatihan K3.

Dwijayanti (2012), dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perusahaan perlu meningkatkan kegiatan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan untuk menambah pemahaman karyawan mengenai pentingnya K3, sehingga kecelakaan kerja dapat dicegah dan diminimalisir.

Manajemen harus mengembangkan standar pelatihan bagi seluruh individu dilingkungannya, sesuai dengan philosofi K3 dari IASP (international Association of Safety Proffesional), tenaga kerja harus dilatih mengenai K3. Pemahaman atau budaya K3 tidak datang dengan sendirinya, namun harus dibentuk dengan pelatihan dan pembinaan. Sebagai Contoh, untuk mengemudi kendaraan bermotor di jalan raya tidak bisa sekedar otodidak, namun lebih efektif jika dilakukan melalui pendidikan mengemudi (safety driving). Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan knowledge, skill, dan attitude (KSA) sehingga harus dirancang sesuai atau spesifik dengan kebutuhan masing-masing pekerja. Pengembangan pelatihan K3 yang baik dan efektif setidaknya melalui tahapan berikut.

Kebutuhan pelatihan K3 antara satu perusahaan dengan perusahaan lain pasti berbeda sesuai sifat bahaya, skala kegiatan dan kondisi pekerja. Karena itu pelatihan K3 dikembangkan untuk menjawab kebutuhan organisasi, bukan sekedar formalitas belaka. Berikut adalah beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pihak manajemen sebelum melakukan pelatihan, agar pelatihan yang dimaksud dapat mencapai tujuan yang diinginkan, efisiensi waktu dan biaya.

1. Analisa Jabatan atau Pekerjaan

Setiap individu dalam organisasi pasti memiliki tugas atau pekerjaan yang harus dilakukannya sesuai dengan jabatannya masing-masing. Oleh karena itu identifikasi dan analisa semua pekerjaan atau jabatan yang ada dalam organisasi sangat penting dengan membuat daftar pekerjaan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok kerja.

2. Identifikasi Pekerjaan atau Tugas Kritis (critical task)

Beberapa jenis pekerjaan atau tugas yang dijalankan seseorang pasti ada diantaranya yang mengandung potensi bahaya besar, diantara beberapa pekerjaan di PKS Kebun Rambutan yang mengandung potensi bahaya besar adalah operator mesin thressing atau petugas perawatan mesin.

3.Kaji Data-Data Kecelakaan Kerja

Informasi kecelakaan yang pernah terjadi merupakan masukan penting dalam merancang pelatihan K3. Kecelakaan mengidentifikasikan adanya penyimpangan atau kelemahan dalam SMK3, salah satu diantaranya kurang kompetensi atau kepedulianmengenai K3. Untuk itu diperlukan pembinaan dan pelatihan. Sebagai contoh, dari catatan kecelakaan kerja yang ada di PKS Kebun Rambutan tercatat bahwa sebagian besar kecelakaan kerja terjadi di areal perkebunan dan bagian pengolahan kelapa sawit. Hal ini mengidentifikasikan perlu dilakukannya pelatihan tentang bekerja secara aman.

4.Survey Kebutuhan Pelatihan

Langkah berikutnya adalah melakukan survei mengenai kebutuhan pelatihan di masing-masing tempat kerja atau unit-unit bagian. Dengan melakukan survey ke suatu tempat kerja akan terlihat jenis pekerjaan apa saja yang dilakukan oleh tenaga kerja. Dari pengamatan tersebut dapat pula terlihat apa saja pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan aman dan selamat.

5.Analisa Kebutuhan Pelatihan

Analisa Keselamatan pekerjaan (Job Safety Analysis) dilakukan untuk mengetahui potensi bahaya yang ada dalam suatu pekerjaan atau tugas, sebagai contoh apa saja tugas yang dikerjakan oleh petugas di stasiun thressing pada PKS Kebun Rambutan dan bahaya yang ada dari aktivitas kerja tersebut.

Hasil JSA yang diperoleh dapat dilakukan identifikasi jenis bahaya dan tingkat risiko dari setiap pekerjaan. Pekerjaan yang memiliki risiko tinggi (critical task) menjadi prioritas untuk program pelatihan. Kaji rekaman kecelakaan atau kejadian sebelumnya untuk mendapatkan informasi jenis pekerjaan yang mengandung bahaya dan risiko yang tinggi. Angka kecelakaan kerja yang tinggi menunjukkan adanya kelemahan dalam SMK3 yang perlu ditingkatkan melalui pelatihan. Identifikasi kebutuhan pelatihan, siapa saja yang perlu diberikan pelatihan K3, olehkarena itu perlu dilakukan survey atau observasi lapangan, dan jika memerlukan dilakukan wawancara dengan pekerja untuk mengetahui permaslaahan dilapangan serta tingkat pemahaman pekerja mengenai cara kerja yang aman. Dari

hasil observasi diperoleh dat individu yang memerlukan pelatihan K3 tertentu yang akan menetukan format pembelajaran dan teknik penyajiannya.

6.Tentukan Sasaran dan Target Pelatihan

Pelatihan K3 tentu dimaksudkan untuk memenuhi gap antara kompetensi yang disyaratkan dengan kondisi pekerja. Pelatihan diharapkan akan memperbaiki atau meningkatkan pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), perilaku (attitude). Sasaran dan target pelatihan ini harus ditetapkan sebagai masukan untuk merancang format dan silabus pelatihan.

7.Kembangkan objektif pembelajaran

Setiap manusia memiliki kemampuan dan daya serap berbeda dalam belajar yang dipengaruhi antara lain tingkat pendidikan, pengalaman dan latar belakangnya. Untuk itu program pelatihan K3 harus dapat menjangkau semua tingkat dan perbedaan yang ada dalam organisasi. Jika perlu program pelatihan K3 diberi peringkat misalnya tingkat pemula, menengah, lanjutan.

8.Laksanakan Pelatihan

Program pelatihan yang telah disusun dan dirancang termasuk silabus, peserta dan proses pembelajaran maka pelatihan dapt dimulai. Pelatihan dapat dilakukan secara eksternal melalui lembaga pelatihan atau secara internal yang dirancang sesuai dengan kebutuhan.

9.Lakukan Evaluasi

Hasil pelatihan harus dievaluasi untuk menentukan efektivitasnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh aspek pelatihan seperti sistem pembelajaran, materi,

instruktur serta dampak terhadap peserta setelah kembali ketempat kerja masing- masing.

10.Lakukan Perbaikan

Langkah terakhir dalam proses pelatihan adalah melakukan perbaikan berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan (Ramli, 2010).

4. Pengawasan

Pengawasan merupakan hal yang penting didalam pelaksanaan SMK3, pengawasan yang baik tentu akan berimplikasi terhadap berkurangnya kecelakaan kerja, akan tetapi faktanya dilapangan pengawasan belum berjalan dengan optimal akibatnya kecelakaan kerja masih kerap terjadi.

Windiana (2010), dari hasil penelitiannya menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan pelaksanaan K3 belum terlaksana dengan baik pada bagian produksi di PT. Good Year Indonesia, TBK Bogor sehingga berimplikasi terhadap kejadian kecelakaan kerja adalah faktor pengawasan (physical inspection) merupakan faktor yang memiliki skor terendah dari hasil audit yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan perusahaan tidak dapat melakukan housekeeping yang baik pada beberapa area kerja, yaitu pada area mixing dan area component preparation. Pada area kerja ini perusahaan tidak dapat memenuhi guidelines housekeeping yang ditetapkan oleh PT. Goodyear Indonesia, Tbk. Hal lain yang masih tidak dapat dilakukan perusahaan adalah menyediakan pakaian pelindung khusus bagi karyawan yang bekerja dengan listrik dan alat pelindung diri serta alat lainnya yang dapat melindungi karyawan dari aliran listrik.

Kendala lain yang menyebabkan pengawasan belum terlaksana dengan optimal juga disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari pihak manajemen, dimana

Dokumen terkait