• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Faktor-faktor Nilai Kerja terhadap Kepedulian Lingkungan luar Bandara

Kuadran I Faktor penentu

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Pengaruh Faktor-Faktor Nilai Kerja terhadap Kepedulian Lingkungan Bandara

5.2.2 Pengaruh Faktor-faktor Nilai Kerja terhadap Kepedulian Lingkungan luar Bandara

Untuk menguji pengaruh faktor-faktor nilai kerja terhadap kepedulian lingkungan luar bandara digunakan analisis regresi linier berganda. Sebanyak 21 indikator nilai kerja diuji pengaruhnya terhadap kepedulian lingkungan di luar bandara, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri. Hasil olahan data dengan program SPSS menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi adalah 0,524 atau 52,4%. Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 52,4% variasi yang dihasilkan oleh kepedulian lingkungan luar bandara dapat dijelaskan oleh 21 faktor nilai kerja, sementara 47,6% lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain selain nilai kerja.

Hasil ANOVA menunjukkan bahwa model ini dapat diandalkan sebagai model linier yang signifikan dalam memprediksi kepedulian lingkungan luar bandara. Nilai F hitung sebesar 120,438 dengan p-value 0,000 yang nilainya lebih kecil dari taraf nyata 5% menunjukkan bahwa model dengan variabel pengaruh 21 faktor nilai kerja mampu menjelaskan kepedulian lingkungan luar bandara secara linier.

Pengaruh masing-masing faktor nilai kerja terhadap variabel kepedulian lingkungan luar bandara ditunjukkan oleh besarnya nilai koefisien regresi (b) dan nilai p-value dari masing-masing faktor. Hasil olahan data menunjukkan bahwa secara individu, seluruh indikator nilai kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kepedulian lingkungan luar bandara karena seluruh indikator nilai kerja memiliki p-value yang nilainya lebih kecil dari α 5% sebagaimana terlihat pada Tabel 15.

Berdasarkan analisis statistik tersebut, ditemukan bahwa kepedulian lingkungan luar bandara secara signifikan dipengaruhi oleh 21 indikator nilai kerja, yaitu kepedulian lingkungan di dalam perusahaan, bekerja dengan kepemimpinan, kerapihan, mencapai visi perusahaan, rasa kebersamaan, sanksi/hukuman, kebersihan, menghasilkan laba, kepedulian terhadap adat istiadat setempat, kerja keras, mempergunakan MS Access, menyediakan keperluan orang

lain, bekerja dengan mutu kerja yang tinggi, jiwa dagang, kepuasan terhadap gaji, keberanian membela kebenaran, berorientasi pelayanan, kenyamanan, kebersahajaan, inisiatif/manfaatkan kesempatan, dan penyesuaian diri. Dengan melihat tanda positif pada koefisien regresi yang ada, maka dapat dikatakan bahwa 16 faktor nilai kerja, yaitu kepedulian lingkungan di dalam perusahaan, bekerja dengan kepemimpinan, kerapihan, mencapai visi perusahaan, rasa kebersamaan, sanksi/hukuman, kebersihan, menghasilkan laba, kepedulian terhadap adat istiadat setempat, kerja keras, menyediakan keperluan orang lain, kepuasan terhadap gaji, berorientasi pelayanan, kenyamanan, kebersahajaan, dan inisiatif/manfaatkan kesempatan, merupakan faktor pendukung bagi terciptanya kepedulian lingkungan di luar bandara.  

Tabel 15. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepedulian lingkungan di luar perusahaan

Variabel Nilai Kerja Koefisien T Sig.

Konstanta -0,011 -0,093 0.926

Kepedulian lingkungan di dalam perusahaan

0,436 21,793 0,000

Bekerja dengan kepemimpinan 0,097 5,349 0,000

Kerapihan 0,066 3,272 0,001

Mencapai visi perusahaan 0,048 2,826 0,005

Rasa kebersamaan 0,048 2,632 0,009

Sanksi/Hukuman 0,047 2,901 0,004

Kebersihan 0,037 1,930 0,054

Menghasilkan laba 0,055 3,368 0,001

Kepedulian adat istiadat setempat 0,053 3,197 0,001

Kerja keras 0,053 2,653 0,008

Mempergunakan MS Access -0,035 -2,381 0,017

Menyediakan keperluan orang lain 0,048 3,064 0,002 Bekerja dengan mutu kerja yang tinggi -0,047 -2,907 0,004

Jiwa dagang -0,045 -2,831 0,005

Kepuasan terhadap gaji 0,036 2,352 0,019

Keberanian membela kebenaran -0,066 -3,565 0,000

Berorientasi pelayanan 0,039 2,363 0,018

Kenyamanan 0,042 2,270 0,023

Kebersahajaan 0,044 2,480 0,013

Inisiatif/Manfaatkan kesempatan 0,056 2,982 0,003

Hasil yang terlihat pada Tabel 15 menunjukkan bahwa tiga faktor nilai kerja yaitu kepedulian lingkungan di dalam bandara, bekerja dengan kepemimpinan, dan kerapihan merupakan tiga faktor nilai kerja yang memiliki pengaruh terbesar bagi terciptanya kepedulian lingkungan luar bandara. Hasil penelitian ini juga konsisten dengan pernyataan Tjokroamidjojo (1985), bahwa seorang seseorang yang bekerja dengan kepemimpinan harus senantiasa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat serta kebutuhan dan kepentingan organisasi. Salah satu karakteristik pemimpin adalah tanggap terhadap kondisi lingkungan, baik dalam organisasi maupun dalam masyarakat, serta memberikan jawaban atau tanggapan atas kritik, saran, dan mungkin juga pengawasan yang datangnya dari masyarakat, serta tanggap terhadap harapan dan kebutuhan masyarakat. Seorang pemimpin juga harus tanggap terhadap kondisi kelembagaan dalam arti memberikan perhatian serta tanggapan terhadap berbagai kebutuhan operasional dalam organisasi demi kelangsungan kehidupan organisasi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pemikiran Purwanto (2007), bahwa terdapat empat nilai kepemimpinan di daerah yang diharapkan, yaitu (1) memiliki karakter dan integritas yang kuat, (2) dapat memberikan keteladanan yang baik, (3) memiliki sifat negarawan, dan (4) memiliki disiplin kerja. Montgomery (2004) juga menyatakan bahwa salah satu kekuatan pemimpin adalah memiliki tugas atau tanggungjawab untuk membina suatu perasaan kebersamaan dengan satu tujuan yang mengikat para individu dan kelompok-kelompok untuk bersama-sama menghasilkan kinerja yang tinggi. Dalam hal ini, kinerja bandara yang tinggi juga dicerminkan oleh adanya tingkat kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan bandara.

Dalam rangka mengetahui persepsi pakar dalam hal pengaruh dari ke-21 peubah nilai kerja tersebut di atas terhadap kepedulian lingkungan di luar perusahaan, maka dilakukan Focus Group Discussion (FGD) yang hasilnya disajikan pada Gambar 12.

Gambar 12. Nilai Kerja yang Terkait Secara Positif Maupun Negatif terhadap Kepedulian Lingkungan di luar Perusahaan berdasarkan Persepsi Pakar dalam Proses FGD

Nilai yang terkumpul di atas tersebut mencerminkan nilai independen pada tingkat pertama yaitu nilai yang menjadi Nilai Penentu Utama (disingkat NPU). Terdapat 11 NPU yang mendukung secara positif dan timbal-balik dengan Lingkungan Luar Perusahaan (LLP). Pengaruh timbal balik ini berarti: adanya hubungan yang saling mempengaruhi secara positif antara nilai dependent dengan nilai independen satu dengan yang lainnya. Kesebelas nilai tersebut antara lain kepedulian lingkungan di dalam perusahaan, bekerja dengan kepemimpinan, bekerja dengan rapih, mencapai visi perusahaan, bekerja dengan sanksi dan hukuman, melaksanakan kebersihan, menghasilkan laba bagi perusahaan, peduli pada adat istiadat setempat, bekerja dengan keras, menimbulkan kenyamanan, dan puas terhadap gaji yang mereka terima.

Terdapat 5 nilai yang positif yang tidak berlaku timbal balik. Nilai tersebut hanya bergerak satu arah yaitu hanya terhadap lingkungan luarnya saja. Namun

lingkungan luarnya tidak mempengaruhi terhadap nilai di Lingkungan Dalam Perusahaan (NDP). Nilai-nilai tersebut adalah: nilai rasa kebersamaan, menyediakan keperluan untuk orang lain, berorientasi pada pelayanan, kebersahajaan, bekerja dengan inisiatif dan memanfaatkan kesempatan.

Kendati demikian tidak semua nilai yang berada di lingkungan dalam perusahaan (LDP) berdampak positif. Bahkan ada nilai yang dampaknya negatif terhadap LLP-nya itu secara timbal balik, misalnya bekerja dengan mutu kerja yang tinggi, jiwa dagang, dan keberanian membela kebenaran.

Begitu juga nilai yang berpengaruh negatif terhadap lingkungan luar dari Perusahaan PT Angkasa Pura I, yaitu menggunakan MS Akses dan penyesuaian diri. Kebanyakan dari staf yang bekerja di perusahaan Angkasa Pura tidak menguasai penggunaan komputer pada saat penelitian ini dilakukan. Begitu juga penyesuaian diri lebih mungkin terhadap LDP-nya daripada LLP-nya. Artinya nilai penyesuaian diri lebih utama bagi mereka yang bekerja di LDP-nya.

Namun apabila penyesuaian diri diletakkan sebagai nilai dependen bersama dengan lingkungan luarnya, maka nilai positif yang lahir dari perpaduan tersebut adalah sekumpulan nilai yang sangat berpengaruh pada baik penyesuian diri maupun lingkungan luarnya.

Semua nilai ini, baik yang positif maupun yang negatif, berbalik arah serta tidak berbalik arah merupakan nilai yang menjadi Nilai Penentu Utama (NPU) dalam lingkungan luarnya. Nilai ini adalah yang berpengaruh walaupun ada nilai yang tidak signifikan terhadap Lingkungan Luarnya (LLP).

Semua nilai independen yang signifikan maupun yang tidak signifikan akan menjadi nilai yang lain lagi apabila masing-masing nilai yang diperoleh ini dijadikan satu per satu sebagai nilai dependen kembali bersama dengan nilai dependen yang ada yaitu Lingkungan Luar yang dependen sejak awal. Jadi, ada dua nilai dependen. Maka yang akan terlihat adanya nilai baru lagi yang lahir yaitu nilai yang menjadi Nilai Sub-Penentu yang juga turut berpengaruh terhadap Lingkungan Luarnya itu (LLP-nya). Yang lahir adalah nilai Sub-Penentu yang baru sama sekali nilainya.

Masing-masing dari nilai Sub-Penentu Utama (SPU) ini memberi gambaran yang lebih akurat mengenai apa yang harus diperbuat sebagai fungsi

dari masing-masing nilai NPU tersebut. Nilai Penentu Utama tetap saja sebagai nilai yang berpengaruh terhadap Lingkungan Luar atau LLP-nya itu. Totalitas nilai ini, yaitu gabungan antara NPU dan SPU adalah nilai yang perlu menjadi perhatian secara khusus dari masing-masing nilai yang signifikan untuk melalukan perubahan dalam lingkup organisasi di PT. Angkasa Pura I.

Sebagai contoh, nilai Lingkungan di Dalam Perusahaan (LDP) lahir sebagai nilai yang memberi indikasi bahwa LDP (apapun makna dan interpretasinya) mempunyai pengaruh yang signifikan dan timbal balik dengan LLP. Hal ini menjelaskan bahwa mereka yang bekerja di dalam perusahaan secara kolektif jelas mempengaruhi secara signifikan terhadap nilai LLP-nya.

Diantara 21 nilai yang menjadi Nilai Penentu Utama (disingkat NPU) terhadap Lingkungan Luar dari organisasi di bandara ada sebanyak 11 nilai yang yang bernilai positif dan timbal balik. Nilai tersebut antara lain: bekerja dengan kepemimpinan; kerapihan; mencapai visi perusahaan; bekerja dengan sanksi dan hukuman; kebersihan; menghasilkan laba bagi kantornya; kepedulian terhadap adat istiadat setempat; kerja keras; kenyamanan dalam bekerja dan kepuasan terhadap gaji.

Faktor-faktor positif yang disebutkan di atas mencerminkan betapa suatu nilai kerja di Lingkungan Dalam Perusahaan (LDP) Angkasa Pura I turut berpengaruh (sebagai bentuk kepedulian) terhadap Lingkungan Luar Perusahaan (di LLP-nya). Secara keseluruhan faktor nilai penentu ini adalah nilai yang mendasari awalnya dan yang kemudian turut menentukan pada lingkungan luarnya.

Pendekatan yang dilakukan ini juga dapat memberi kelebihan dalam memudahkan melakukan perubahan terhadap kebijakan yang sedang berjalan. Apabila dirasakan akan adanya kekurangan, maka pimpinan dapat melakukan berbagai bentuk perubahan secepatnya antara lain melalui bentuk latihan dalam membangun nilai yang diperlukan. Latihan ini dapat dilakukan pula dengan mengetahui lebih dahulu hasil dari penelitian model yang dilakukan.

Tujuannya adalah untuk menentukan suatu nilai kerja yang mana saja yang perlu didukung untuk keberhasilan suatu tujuan perubahan nilai kerja. Nilai yang terkumpul dapat dijadikan masukkan bagi perubahan kebijakan maupun latihan

yang ingin dilaksanakan.

Selanjutnya terdapat pula nilai yang juga mempunyai pengaruh terhadap LLP tetapi tidak mempunyai nilai timbal-baliknya. Artinya nilai tersebut mempengaruhi LLP-nya, akan tetapi LLP tidak berpengaruh pada nilai yang ada di dalam perusahaan yang mendukungnya (Gambar 10), misalnya saja yaitu nilai rasa kebersamaan. Nilai ini penting untuk memberikan pelayanan pada LLP. Akan tetapi LLP tidak merasa harus berpengaruh pada rasa kebersamaan itu sendiri. Artinya nilai itu lebih merupakan nilai dari staf yang memang tugasnya dalam memberikan pelayanan kepada LLP-nya. Untuk tujuan inilah, pelayanan dari pegawai harus dapat menumbuhkan suatu nilai rasa kebersamaan untuk memberikan pelayanan yang terbaik pada LLP-nya, bukan sebaliknya.

Pelayanan terbaik yang diberikan atas dasar rasa kebersamaan tidak dengan sendirinya menimbulkan rasa yang sama pula dari LLP-nya. Bahkan pelayanan yang baik itu sudah semestinya dilakukan oleh LDP-nya, namun tidak berarti bahwa hal yang sama pula harus pula dilakukan oleh LLP-nya. Jadi, rasa kebersamaan di LDP tidak mesti dipengaruhi pula oleh LLP. Kendati demikian rasa kebersamaan tersebut harus tetap dipelihara di LDP agar pelayanan yang diberikannya tidak menurun dan tetap yang terbaik bagi mereka yang dilayani yaitu mereka yang berada di LLP.

Begitu juga nilai menyediakan keperluan bagi orang lain. Nilai ini memang berkaitan dengan pelayanan yang diberikan oleh staf di dalam organisasi atau LDP. Menyediakan keperluan untuk orang lain menjadi bentuk pelayanan yang seharusnya diberikan oleh mereka yang berada di LDP sebagaimana juga nilai yang beorientasi pada pelayanan. Nilai ini pun masih dalam kategori memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya pada LLP-nya, kendati hanya dimaksudkan sebagai bentuk untuk melayani orang lain.

Nilai kebersahajaan adalah nilai yang baik bagi mereka yang bekerja di dalam perusahaan agar tumbuh citra rendah hati, tidak overacting atau angkuh yang dapat menimbulkan rasa anti-pati dari mereka yang dilayani, yaitu mereka yang berada di LLP. Begitu pula nilai inisiatif dimana nilai tersebut bersifat pelayanan pada LLP-nya. Nilai ini penting bagi mereka yang berada di LDP tetapi tidak mempunyai arti yang timbal balik dengan LLP-nya karena inisistif yang baik

tentunya diharapkan oleh mereka yang berada di LLP sebagai bentuk pelayanan dari nilai kerja yang baik dari LDP-nya.

Nilai kerja yang baik di LDP tidak selalu mendapatkan wajah timbal baliknya dari mereka yang berada di LLP. Paling banyak adalah pujian dari kegiatannya itu. Nilai memanfaatkan kesempatan yang ada walaupun bersifat positif tidak pula mempunyai arti timbal baliknya. Hal ini berarti bahwa nilai mengambil kesempatan bersifat timbal balik. Hal itu juga berarti bahwa mengambil kesempatan yang ada bepengaruh hanya pada LLP-nya saja.

Apabila nilai kerja manfaatkan kesempatan yang ada ini, misalnya saja dipakai untuk melayani LLP-nya untuk memudahkan pengunjung di bandara menjadi mudah. Dengan banyaknya turis yang datang, maka mereka yang berada di LDP sebaiknya memanfaatkan keadaan ini untuk membuat berbagai buku petunjuk (leaflets) yang diperkirakan dapat terbayar kembali untuk kebutuhan mencetak. Dananya didapat dari banyaknya turis yang masuk. Dengan demikian, hal yang akan terjadi adalah peningkatan dana yang diterima dalam berbagai bentuk service fee atau masukan dana dari pelayanan yang diberikan. Hal ini memberi arti yang bersifat positif bagi pelayanan di LLP.

Lain persoalannya apabila memanfaatkan kesempatan dikerjakan untuk kepentingan pribadi yaitu dengan mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi atau diri sendiri (seizing the opportunity for the self) dalam memberikan bentuk pelayanan atau memanfaatkan kesempatan untuk diri sendiri yang tentunya adalah petanda negatif dan buruk.

Secara kelompok, nilai memanfaatkan kesempatan bisa dianggap sebagai nilai yang positif karena tindakan ini dapat membantu dalam memberikan pelayanan yang lebih baik lagi bagi mereka yang berada di LLP di Bandara. Jadi nilai-nilai yang terakhir ini berpengaruh pada LLP akan tetapi LLP-nya sendiri tidak mempunyai pengaruh balik terhadap nilai tersebut atau mereka yang bekerja di LDP. Artinya lima nilai terakhir ini hanya mempengaruhi LLP. Akan tetapi LLP-nya sendiri sama sekali tidak mempengaruhi nilai tersebut. Nilai tersebut sepintas lalu kelihatan seperti diperlukan untuk bekerja dengan Nilai Mutu Kerja yang Tinggi dan kelihatannya akan menjadi positif bagi kegiatan di bandara.

Melayani tamu dengan komputer misalnya, menjadi kerja yang sangat tinggi mutunya tetapi dapat pula menjadikan kerja yang rumit dalam memberikan pelayanan terutama apabila faktor pendukungnya tidak selalu siap untuk membantu. Listrik yang mati dapat membuat semua pelayanan menjadi terhambat. Yang diperlukan dalam memberikan pelayanan adalah nilai kecepatan dalam bekerja yang lebih mempunyai arti daripada bekerja dengan mutu kerja yang tinggi.

Jiwa dagang adalah kegiatan timbal-balik yang negatif dengan lingkungan luarnya. Berbeda dengan demikian jiwa wirausaha (entrepreneurship)yang justru diperlukan oleh pimpinan perusahaan, terutama dalam membuat bandara yang memudahkan orang untuk berbelanja. Bahkan banyak negara di dunia ini yang menjadikan bandara menjadi superstore yang serba ada serta serba melayani. Bahkan bandara yang sering menjadi tempat tujuan, banyak sekali melayani mereka yang lalu lalang di bandara tersebut.

Nampaknya alasan nilai jiwa dagang menjadi negatif pada tingkat Nilai Penentu Utama (NPU) dikarenakan keadaan di Indonesia yang menjadi bentuk usaha sampingan sebagai bagian dari kegiatan yang umum dilakukan. Biasanya kegiatan yang terkait dengan kantor bagi mereka yang serba kekurangan mengambil waktu dari kerja yang menjadi tugas utamanya. Hal ini terjadi karena umumnya gaji orang Indonesia kecil sehingga setiap kesempatan yang ada dijadikan sumber tambahan pendapatan, apalagi yang bekerja di pemerintahan seperti sekarang ini keadaannya.

Kegiatan kaki lima juga banyak terlihat di berbagai bandara di daerah kerja PT. Angkasa Pura I. Walaupun belum tentu ada kaitannya dengan mereka yang bekerja di LDP, namun biasanya ada toleransi yang dilakukan tanpa teguran atau kurangnya kewenangan yang sering terjadi karena tumpang tindih dengan berbagai instansi yang lain yang berbeda akan kepentingannya.

Nilai jiwa dagang, apabila nilai tersebut terdapat pada setiap staf, maka kemungkinan besar yang terjadi di airport tumbuh berbagai kegiatan dagang yang tidak beraturan. Akan tetapi, ada pula pemikiran dari mereka yang berjiwa wirausaha yang ingin membuat bandara menjadi superstore yang besar yang mendatangkan pendapatan bagi mereka yang bekerja di LDP bandara maupun

pendapatan tambahan bagi pemerintahan daerahnya.

Apabila jiwa dagang ini dimiliki oleh banyak pekerja dari mereka yang bekerja di dalam bandara jelas akan menggangu pelayanan yang seharusnya diberikan kepada mereka yang berada di LLP. Banyak sekali waktu yang akan tersita dari waktu kerja. Hal ini yang jelas akan mempengaruhi kerja mereka di bandara.

Jiwa dagang ini bukan hanya milik bandara saja. Bahkan dimana-mana mereka yang serba ketidakcukupan membuka usaha sampingan sebagai cara untuk mendapat nilai tambahan. Seandainya itu dilakukan di luar bandara maka hal tersebut tentunya berbeda keadaannya. Akan tetapi apabila mereka itu berada disekitar bandara setidaknya akan mengurangi konsentrasi untuk memberikan pelayanan yang sebaiknya. Apalagi, keadaan yang ada dimanfaatkan untuk mencari nilai tambahan maka perbuatan yang demikian itu bisa memancing tindakan dalam memberikan fasilitas kemudahan di bandara.

Tidak jarang hal yang terjadi adalah kelambanan dalam pelayanan. Kelambanan dapat dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan pelayanan yang lebih cepat. Kebutuhan akan pelayanan yang lebih cepat seringkali melahirkan kebiasaan untuk memberikan imbalan agar diberikan fasilitas kecepatan pelayanan bagi yang membutuhkan. Terutama adalah mereka yang berada di LLP. Sementara mereka yang berada di LDP juga membutuhkan adanya tambahan dalam pendapatan yang ada.

Jadi, kelambanan dalam pelayanan itu merupakan cara untuk mendapat imbalan dari mereka yang dilayani. Korupsi adalah dampak negatif dari nilai jiwa dagang seperti ini di dalam lingkungan bandara. Tindakan semacam ini biasanya terjadi di berbagai daerah dimana jumlah pesawat relatif ramai, baik bagi pesawat yang turun dan maupun yang naik sehingga orang mengambil kesempatan yang ada untuk berbuat kecurangan.

Munculnya berbagai pedagang kaki lima di sekitar bandara adalah pemandangan yang kurang menarik terutama untuk para turis asing, kecuali turis ”sendal-jepit” seperti yang terkenal di Bali dan Jakarta yaitu turis yang memang sengaja mencari tempat yang murah, baik untuk penginapan maupun untuk makannya. Di sekitar bandara Cengkareng terdapat banyak sekali pedagang kaki

lima yang menjual nasi bungkus di tempat parkir sebagai pelayanan bagi para supir yang menunggu di bandara.

Keberadaan mereka ini tidak selalu berada di sekitar bandara. Pedagang kaki lima menjadi daya tarik juga bagi mereka yang biasanya bergaji rendah dan umumnya tidak mencukupi untuk duduk di restoran. Oleh karena itu, pelayanan oleh pedagang kaki lima berkembang bagi mereka yang melayani para pengemudi dan mereka yang menjadi pegawai rendah, seperti orang yang mengangkut barang karena memang hasil mereka umumnya tidak mencukupi. Nilai ini saling berpengaruh negatif antara faktor LLP dan mereka yang bekerja di bandara akan berdampak buruk apabila banyak dari mereka yang berjiwa dagang berada di dalam lingkungan bandara.

Dampak negatif lainnya adalah nilai keberanian membela kebenaran. Walaupun kelihatannya membela kebenaran adalah nilai yang sangat positif, akan tetapi apabila nilai ini diterapkan pada organisasi yang bersifat pelayanan maka dampaknya akan menjadi negatif. Yang nampak dari nilai ini adalah sifat konfrontatif yang tidak begitu berguna dalam organisasi yang bersifat pelayanan.

Sifat ramah-tamah dibutuhkan dalam organisasi yang bersifat pelayanan lingkungan. Sifat ini merupakan nilai yang lebih utama. Jadi mereka yang suka melakukan nilai yang membela pada kebenaran melahirkan biasanya manusia orang bersifat argumentasi dan biasanya terkait pula dengan nilai konfrontasi. Nilai ini melahirkan perdebatan sikap dengan siapa saja.

Padahal dalam organisasi yang bersifat pelayanan, sifat argumentatif sebaiknya dihindari atau setidaknya kalau terpaksa dikurangi jumlah kegiatannya. Perbuatan semacam ini tidak begitu cocok untuk organisasi yang bersifat pelayanan terhadap lingkungan, baik itu di lingkungan dalam maupun di lingkungan luar bandara.

Disamping itu dampak timbal-balik yang negatif terdapat pula dampak yang tidak berbalik arah yaitu nilai yang berdampak pada kepedulian lingkungan di luar perusahaan (LLP) saja. Proses ini dihasilkan dari Nilai Penentu Utama yang didapat untuk kemudian dijadikan nilai dependen kembali untuk mengetahui Nilai Sub-Pendukung yang menjadi nilai penentu yang baru dan dalam hal ini disebut juga sebagai Nilai Sub-Penentunya (NSP).

Nilai independen yang kemudian dijadikan kembali menjadi nilai dependen yang sudah terkumpul ini adalah untuk mengetahui nilai apa saja yang sebenarnya mendukung lingkungan luar perusahaan (LLP). Nilai Penentu dan Nilai Sub-Penentu inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama dari mereka yang menjalankan roda organisasi PT. Angkasa Pura I.