• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap dan citra tubuh (body image). Hasil statistik dengan uji Chi Square menunjukkan ada pengaruh antara

pengetahuan dengan perilaku gizi seimbang remaja dengan nilai p=0,002. Hasil analisis multivariat juga menunjukkan pengetahuan berkontribusi terhadap perilaku gizi seimbang remaja.

Hal ini sejalan dengan penelitian Anisa (2012) pada remaja di SMP BOPKRI 3 Yogyakarta sebanyak 47 orang (50,5%) memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pola makan, dan hasil analisis ada hubungan antara pengetahuan tentang pola makan dengan kejadian obesitas ( p-value = 0,000 < α =0,05). Penelitian Sada (2012) pada mahasiswa Politeknik Kesehatan Jayapura juga menyatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan gizi seimbang terhadap status gizi menurut IMT (Indeks Massa Tubuh) dengan nilai p=0,005. Selanjutnya penelitian Oktaviani, dkk (2012) pada remaja SMA Negeri 1 Semarang bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi responden dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan p=0,009.

Adanya pengaruh yang signifikan antara pengetahuan dengan perilaku gizi seimbang, disebabkan responden merupakan remaja usia pertengahan yang duduk dibangku SMA, sehingga informasi sudah banyak mereka peroleh tentang pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku gizi seimbang, baik dari keluarga,

guru di sekolah, teman sebaya, media baik media cetak seperti buku, majalah, brosur, spanduk, surat kabar maupun media elektronik seperti televisi, radio, internet, sehingga pengetahuan yang mereka ketahui tentang gizi seimbang sudah mereka terapkan dalam perilaku mereka sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suhardjo dalam Putri (2013) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang sangat berpengaruh pada perilaku dan sikap dalam memilih jenis makanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada keadaan gizi yang bersangkutan. Notoatmodjo (2010) menyatakan pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.

Hasil penelitian juga menunjukkan ada remaja dengan pengetahuan kategori baik, akan tetapi memiliki perilaku gizi seimbang kategori kurang sebesar 18,3%.

Bila ditelusur, jawaban responden yang benar paling tinggi yaitu pengetahuan tentang perilaku makan yang harus dikembangkan remaja yaitu perbanyak mengonsumsi sayuran dan cukup buah-buahan sebesar 98,5%, akan tetapi perilaku untuk mengonsumsi sayuran setiap hari sebesar 72,1%, dan untuk buah-buahan sebesar 60,3%, pengetahuan mengenai manfaat sarapan pagi sebesar 91,2%, akan tetapi perilaku sarapan pagi responden hanya sebesar 52,9%, dan pengetahuan mengenai perilaku yang harus dihindari remaja yaitu merokok sebesar 91,2%, akan tetapi perilaku tidak merokok sebesar 77,9%. Pengetahuan responden untuk jawaban benar paling rendah untuk pertanyaan banyaknya minum air putih dalam sehari sebesar 58,8%, tetapi perilaku responden yang membawa bekal minuman dari rumah hanya

sebanyak 22,1%. Dari uraian tersebut di atas diketahui bahwa ada remaja yang memiliki pengetahuan akan tetapi belum diterapkan dalam perilakunya.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan Khomsan (2002) bahwa seseorang yang memilki pengetahuan tentang gizi, tidak berarti orang tersebut akan mengubah pola perilaku makannya. Mereka mengerti tentang zat gizi yang diperlukan oleh tubuh dan sumber bahan makanannya, tetapi mereka tidak mengaplikasikan pengetahuan gizi tersebut dalam dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suhardjo (1996) keluarga merupakan faktor utama dalam pembentukan pola perilaku makan.

Ketersediaan makanan dalam keluarga baik kualitas maupun kuantitasnya, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku makan seseorang (Bonni, dkk, 2000 dalam Setyorini, 2010).

Hasil penelitian sikap menunjukkan bahwa hasil statistik dengan uji Chi Square tidak ada pengaruh yang signifikan antara sikap dengan perilaku gizi

seimbang remaja dengan nilai p=1,000. Variabel sikap tidak dapat diikutsertakan dalam analisis multivariat karena nilai p=1,000 > 0,25. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yufi (2009) pada remaja di SMU Negeri 2 Sukoharjo bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap remaja terhadap pengaturan menu seimbang.

Hal ini terjadi karena sikap tidak selalu dapat merubah perilaku remaja mengenai pengaturan menu seimbang.

Sikap menurut Notoatmodjo (2012) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Secara teori perubahan perilaku melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), praktik

(practice) atau “KAP” (PSP). Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu seperti teori di atas, bahkan dalam praktik sehari-hari terjadi sebaliknya. Seseorang telah berperilaku positif meskipun pengetahuan dan sikapnya masih negatif. Hal ini ditemukan pada penelitian ini bahwa terdapat 5 responden (83,3%) dengan sikap kategori kurang tetapi berperilaku gizi seimbang.

Hasil penelitian sikap yang positif untuk jawaban tetinggi dianalisis lanjut, diperoleh 79,4% sangat setuju makan sebaiknya 3 kali sehari, dan diikuti perilaku makan 3 kali sehari sebanyak 88,2%, kemudian 73,5% sangat setuju sayur dan buah penting dikonsumsi diikuti perilaku konsumsi sayuran setiap hari 72,1% dan buah 60,3%, selanjutnya 66,2% sangat setuju berolahraga setiap hari diikuti perilaku olahraga sebanyak 63,2%. Sikap negatif untuk jawaban tertinggi sangat tidak setuju merokok dan tidak menggosok gigi sebanyak 66,2% diikuti perilaku tidak merokok sebanyak 77,9%, dan sikap negatif untuk jawaban terendah yaitu sangat tidak setuju tidak perlu membatasi makanan cepat saji, makanan selingan yang manis, asin dan berlemak karena baik untuk kesehatan sebanyak 47,1% diikuti perilaku jajan makanan/minuman manis setiap hari sebanyak 69,1%, perilaku jajan makanan asin sebanyak 50%, dan jajan makanan berlemak/ berkolesterol/gorengan setiap hari 36,8%.

Dari hasil analisis diatas diketahui bahwa walaupun tidak ada pengaruh yang signifikan antara sikap dengan perilaku gizi seimbang akan tetapi ada kecenderungan sikap responden kategori baik memiliki perilaku gizi seimbang yang baik.

Hasil penelitian citra tubuh responden (body image) menunjukkan hasil statistik dengan uji Chi Square tidak ada pengaruh yang signifikan antara citra tubuh (body image) dengan perilaku gizi seimbang remaja dengan nilai p=0,355. Citra tubuh (Body Image) tidak dapat diikutsertakan sebagai kandidat analisis multivariat karena nilai p = 0,355 > 0,25. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Diana (2011) pada remaja putri di SMA Negeri 1 Medan bahwa ada hubungan citra tubuh (body image) dengan perilaku makan remaja. Juga tidak sejalan dengan penelitian Putri (2013) di SMA Negeri 10 Padang bahwa terdapat hubungan antara faktor psikologis (citra tubuh) dengan perilaku makan (p=0,029).

Citra tubuh positif menurut Dieny (2014) bahwa seseorang yang memiliki persepsi sebenarnya, atau melihat bentuk tubuh apa adanya. Seseorang dengan citra tubuh positif memilki perasaan bangga dan nyaman terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya. Menurut Metcalf dalam Dieny (2014) tingkat pendidikan yang rendah dan tingkat sosial ekonomi yang rendah akan memiliki citra tubuh yang lebih positif, sedangkan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang tinggi akan memilki citra tubuh yang lebih negatif atau ketidakpuasan terhadap citra tubuh lebih besar. Hal ini dapat menjelaskan mengapa responden mempunyai mayoritas citra tubuh yang positif karena mayoritas siswa berasal dari sosial ekonomi menengah ke bawah.

Selain faktor sosial ekonomi. menurut Dieny (2014) ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi citra tubuh diantaranya teman sebaya, media massa, keluarga dan lingkungan. Dukungan yang positif dari faktor-faktor ini menjadikan sebagian besar responden mempunyai citra tubuh positif. Khomsan (2010) menyatakan bahwa

body image banyak dipengaruhi oleh media massa. Iklan-iklan tentang berbagai

metode penurunan berat badan sangat berperan dalam menarik kaum remaja khususnya wanita yang ingin langsing. Tidak semua iklan mengakibatkan negatif, namun sebaliknya tidak menutup kemungkinan remaja yang mempraktekkan pola makan seperti dalam iklan malah kekurangan gizi.

Hasil penelitian citra tubuh jawaban tertinggi tidak pernah merasa teman-teman dan keluarga malu berjalan bersamanya sebanyak 76,5%, jawaban kadang-kadang dan selalu yaitu membandingkan tubuhnya dengan orang lain apakah lebih berat darinya berturut-turut sebanyak 48,5% dan 16,2%, sering tidak suka dilihat banyak orang sebanyak 17,6%. Data yang ada menunjukkan bahwa responden merasa nyaman bersama orang-orang di sekitar mereka terutama teman dan keluarga sehingga mereka tidak malu berjalan bersama keluarga dan teman, walaupun masih ada yang suka membandingkan tubuhnya dengan yang lain dan juga tidak suka dilihat oleh banyak orang. Hal ini sesuai dengan teori Mahan dalam Setyorini (2010) bahwa remaja sering tidak nyaman dengan perubahan pada tubuhnya, disaat yang sama mereka ingin terlihat seperti teman yang mereka anggap paling sempurna atau tokoh idolanya.

Dukungan yang positif dari lingkungan membuat sebagian besar responden memiliki citra tubuh kategori puas. Walaupun tidak ada pengaruh antara citra tubuh (body image) dengan perilaku gizi seimbang remaja tetapi ada kecenderungan responden yang memilki citra tubuh dengan kategori puas lebih besar kemungkinan untuk berperilaku gizi seimbang.

5.2 Pengaruh Faktor Pendukung terhadap Perilaku Gizi Seimbang Remaja Hasil statistik dengan uji Chi Square menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara uang saku dengan perilaku gizi seimbang remaja dengan nilai p=0,231, karena nilai p = 0,231 < 0,25 maka uang saku dimasukkan sebagai kandidat untuk analisis multivariat. Hasil analisis multivariat uang saku bukan faktor yang memengaruhi perilaku gizi seimbang remaja.

Hal ini sejalan dengan penelitian Putri (2013) diperoleh 74,1% remaja yang melakukan perilaku makan yang sehat adalah berasal dari responden yang menghabiskan uang sakunya untuk makan sekitar Rp 10.000-Rp 20.000,- /hari, dan ditemukan tidak terdapat hubungan antara faktor ekonomi dengan perilaku makan pada remaja putri di SMA Negeri 10 Padang tahun 2013 (p=0,537). Penelitian Oktaviani (2012) pada remaja di SMAN 9 Semarang juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara uang saku dengan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Uang saku siswa diperoleh dari keluarga terutama orangtua, yang tentu tidak terlepas dari besarnya pendapatan orangtua. Uang saku responden dikelompokkan dari nilai tengah (median) Rp 8.000,-. Bila ditelusur pekerjaan ayah mayoritas pedagang/wiraswasta sebanyak 35,3%, dan ibu mayoritas tidak bekerja sebanyak 47,1%, dengan pendidikan ayah mayoritas SMA sebanyak 51,5% dan pendidikan ibu mayoritas SMA 47,1%. Penelitian Yulinda (2013) terdapat hubungan yang nyata antara pendapatan dengan keadaan status gizi anak (p=0,002). Pendapatan yang rendah akan menyebabkan daya beli yang rendah. Konsumsi pangan akan makin

beragam apabila pendapatan meningkat, pada umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi (Berg, 1986 dalam Yulinda, 2013).

Menurut Khomsan (2007) dari sudut pandang ekonomi,remaja menjadi pasar yang potensial untuk produk makanan tertentu. Umumnya remaja mempunyai uang saku. Hal ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemasang iklan melalui berbagai media cetak dan elektroik. Bila dilihat pada perilaku jajan makanan/minuman manis responden setiap hari sebanyak 69,1%, perilaku jajan makanan asin sebanyak 50%, dan jajan makanan berlemak/ berkolesterol/gorengan setiap hari sebanyak 36,8%.

Dari data yang ada diketahui bahwa hampir separoh siswa sudah menyadari bahwa perilaku jajan makanan/minuman manis, makanan asin, dan makanan berlemak/berkolesterol /gorengan harus dibatasi. Mereka lebih memilih untuk jajan yang menyehatkan seperti nasi, ataupun rujak. Pemahaman ini mereka peroleh dari berbagai sumber seperti keluarga, guru, teman sebaya, dan media baik cetak maupun elektronik.