• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KEBIJAKAN YANG TANGGAP TERHADAP PERUBAHAN

B. Pengaruh Perubahan Makro Struktur Sistem Internasional

Berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi pasar seperti tersimpul dalam konsep ”economic freedom” terlebih dahulu mengacu kepada landasan idiil dan konstitusional, kriteria kebebasan ekonomi yang merupakan prasyarat bagi kelangsungan mekanisme ekonomi pasar diuji untuk menentukan ladasan hukum

64

Ibid.

65

bagi unsur-unsur ekonomi pasar guna menghasilkan pranata hukum yang diperlukan untuk mendukung mekanisme ekonomi.66

Perubahan yang terjadi pada bangsa-bangsa secara global ataupun diistilahkan dengan makrostruktur sistem internasional disebabkan adanya perjanjian antar negara, baik itu tingkat regional, bilateral, ataupun multilateral. Adapun akibat hukum bagi negara yang meratifikasi, baik yang menandatangani naskah perjanjian, ataupun berlaku dengan sendirinya dikarenakan negara tersebut adalah negara anggota organisasi dunia tersebut, seperti ASEAN salah satunya. Pengaruh adanya adopsi perjanjian tadi tentunya berakibat hukum ketika adanya kerjasama antar negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Dampak liberalisasi perdagangan pada dasarnya tergantung pada tiga faktor, yaitu: (i). Tingkat distorsi/kebijakan pemerintah; (ii). Komitmen masing- masing negara untuk mengurangi distorsi tersebut; (iii). Konsistensi pelaksanaan komitmen. Makin besar tingkat distorsi di negara-negara utama (produsen ataupun konsumen), maka makin besar potensi dampak dari liberalisasi perdagangan.67

Apabila pemerintah tidak benar-benar mempertimbangkan kebijakan yang dikeluarkan, baik itu kebijakan di bidang komoditas pertanian, seperti olahan karet, kayu, tembakau, kakao, dan tanaman pangan lainnya dikhawatirkan akibat adanya regulasi tersebut berdampak negatif terhadap pendapatan negara. Kebijakan ekonomi akan berdampak terhadap kebijakan fiskal, baik itu nilai tukar rupiah dengan mata uang asing ataupun daya beli masyarakat. Sebaiknya kebijakan perdagangan nantinya adalah kebijakan yang tidak tumpang tindih, dan

66

Syahmin Ak, Hukum Perdagangan Internasional, Loc. Cit., hal. 9. 67

Wayan Reda Susila dan Made Antara, Esensi dan Dampak Liberalisasi Perdagangan

hanya menutupi anggaran tahunan tanpa memperhatikan anggaran dalam jangka panjang. Kebijakan substitusi impor tidaklah dalam penghapusan nol persen, melainkan sejauh apa kedua negara memberikan komoditi terbaik dari masing- masing negara.

Suatu perjanjian memiliki unsur-unsur formal terdiri dari mukaddimah, batang tubuh, klausul-klausul, penutup dan annex.68

a. Mukaddimah

Mukaddimah suatu perjanjian dimulai dengan menyebutkan Negara- negara peserta. Perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam kerangka ASEAN pada umumnya dimulai dengan the Governments of Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodja, the Republic of Indonesia, the Lao People’s Democratic Republic, Malaysia, the Union of Myanmar, the Republic of Philipines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand and the Socialist Republic of Vietnam. Terkadang mukaddimah juga dimulai dengan jabatan dari wakil-wakil yang ikut dalam perundingan. Mukaddimah dari the ASEAN Declaration (Bangkok Declaration) tanggal 8 Agustus 1967, perjanjian yang mendirikan ASEAN, mulai dengan The Presidium Minister for Political Affairs/Minister for Foreign Affairs of Indonesia, the Deputy Prime Minister of Malaysia, the Secretary of Foreign Affairs of the Philipines, dan seterusnya. Saat ini tidak lagi menyebutkan para pihak satu persatu tetapi sebagi contoh; We, Foreign Ministers of the Member Countries of the Assiciation of South East Asian Nations.

68

Selanjutnya mukaddimah juga berisi penjelasan-penjelasan spirit perjanjian. Di dalamnya juga tercantum pernyataan-pernyataan umum yang kadang-kadang merupakan program politik dari Negara-negara peserta. Namun, dari segi hukum, mukaddimah tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti isi perjanjian itu sendiri sebagaimana dinyatakan oleh Mukaddimah Internasional tahun 1984 dalam kasus kegiatan militer dan para militer Amerika Serikat di Nicaragua. Mukaddimah merupakan dasar moral dan politik dari ketentuan- ketentuan hukum yang terdapat dalam batang tubuh suatu perjanjian.

Bagaimana nilai hukum mukaddimah suatu perjanjian terdapat dalam Undang-Undang Dasar suatu Negara. Dari segi hukum Internasional, mukaddimah suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan mengikat walaupun mukaddimah tersebut merupakan suatu unsur interpretatif dari perjanjian. Namun, mukadimah merupakan dasar moral dan politik dari ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat dalam batang tubuh seperti halnya dengan piagam PBB.

b. Batang Tubuh

Batang tubuh suatu perjanjian itu sendiri. Batang tubuh ini terdiri dari pasal-pasal yang kadang-kadang jumlahnya cukup banyak. Sebagai contoh:

1. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969 terdiri dari 85 pasal;

2. Piagam PBB 1945 terdiri dari 111 pasal;

3. Masyarakat Ekonomi Eropa 1957 terdiri dari 248 pasal;

4. Konvensi Wina tentang Hukum Laut 1982 terdiri dari 320 pasal; 5. Perjanjian Versiles 1919 terdiri dari 440 pasal.

c. Klausula Penutup

Klausula penutup juga merupakan bagian dari batang tubuh. Klausul- klausula tersebut bukan lagi mengenai beberapa mekanisme pengaturan seperti mulai berlaku, syarat-syarat berlaku, lama berlakunya perjanjian, amandemen, revisi dan lain-lainnya.

d. Annex

Batang tubuh suatu perjanjian juga dapat dilengkapi dengan annexes. Annex berisi ketentuan-ketentuan tekhnik atau tambahan mengenai satu pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian. Walaupun terpisah tetapi merupakan satu kesatuan dengan perjanjian dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan pasal-pasal perjanjian. Biasanya annex disusun oleh para ahli dan bila dipisahkan dari perjanjian, itu semata-mata untuk menghindarkan agar perjanjian-perjanjian jangan terlalu tebal. Perjanjian Versailes misalnya mempunyai 18 annex dan kalau disatukan dengan perjanjian itu sendiri yang terdiri dari 440 pasal maka tentu perjanjian tersebut akan terlalu tebal.Persetujuan Marrakesh di Maroko, yang membentuk Organisasi Perdagangan Internasional (WTO) 15 April 1994 mempunyai 6 annex yang terdiri dari berbagai kesepakatan dan Memorandum di samping Final Act yang berisikan 23 keputusan dan pernyataan ditambah 1 memorandum saling pengertian. Sekiranya semua unsur ini disatukan dengan batang tubuh perjanjian, akan sangat tebal dan tdak praktis untuk dibaca.

Konvensi Wina menyebutkan bahwa full powers sebagai satu-satunya dokumen yang harus dimiliki oleh seorang utusan atau delegasi ke suatu

konferensi internasional atau untuk semua tahap treaty making process. Indonesia mengembangkan praktek yang agak berlainan yaitu credentials untuk menghadiri suatu konferensi dan full-powers untuk menandatangani hasil-hasil yang telah dicapai. Pada hakekatnya perbedaan ini hanya bersifat formal semata karena dalam pengertian full powers menurut Konvensi Wina sudah termasuk pengertian credentials.

Dalam penyusunan naskah perjanjian, pada umumnya ada tiga tahap yang dilakukan menyusun suatu naskah perjanjian yaitu perundingan, penyusunan dan penerimaan naskah dan dalam prakteknya ketiga tahap tersebut dapat diakukan sekaligus.69

Penerimaan Naskah Perjanjian (adoption of the text) menurut pasal 9 Konvensi Wina menentukan:

a. penerimaan naskah ditentukan dengan persetujuan dri semua peserta (secara suara bulat), atau:

b. Mayoritas dua pertiga dari peserta yang hadir yang memberikan suara.

Pasal 10 Konvensi Wina menyebutkan bahwa pengesyahan naskah suatu perjanjian itu sendiri atau sesuai dengan apa yang diputuskan bersama oleh wakil- wakil yang ikut dalam konferensi. Penerimaan naskah perjanjian adalah penerimaan isi naskah perjanjian merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima oleh konferensi.

69

Pembuatan suatu perjanjian multilateral dalam suatu konferensi internasional dapatlah dibandingkan dengan pembuatan Undang-Undang di suatu badan legislatif nasional. Dapat dikemukakan bahwa konferensi-konferensi internasional adalah suatu mekanisme pelaksanaan kesatuan kehendak berbagai Negara yang ikut dalam suatu perjanjian multilateral dan pembuatan perjanjian- perjanjian pada konferensi-konferensi tersebut merupakan suatu kemajuan teknik hukum internasional yang didasarkan atas faktor kesadaran internasional.70

Pembuatan perjanjian-perjanjian multilateral dalam kerangka suatu konferensi intrenasional dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu: (1). Pembuatan perjanjian-perjanjian multilateral dalam kerangka suatu konferensi internasional; (2). Pembuatan perjanjian-perjanjian multilateral dalam kerangka suatu organ organisasi internasional.71

Bila pembuatan perjanjian sudah sampai pada tahap pengikutan diri, haruslah dibedakan ketentuan-ketentuan internasional dan ketentuan-ketentuan menurut hukum nasional. Hukum internasional hanya menyebutkan keharusan dan cara-cara pernyataan persetujuan Negara, sedangkan hukum nasional yang harus menentukan kekuasan-kekuasaan Negara yang berwenang untuk memberikan persetujuan tersebut dan yang mengatur prosedurnya.

Mulai berlakunya suatu perjanjian, baik bilateral maupun multilateral pada umumnya ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu sendiri.

70

Ibid, hal. 100.

71

Dengan perkataan lain dapat dikemukakan bahwa para pihak dari perjanjian itulah yang menentukan bila perjanjian tersebut mulai berlaku secara efektif.72

Prinsip hukum perjanjian dalam konvensi Wina tahun 1969 seperti tersebut pada pasal 2 (dua), bahwa suatu perjanjian mulai berlaku dengan mengikuti cara dan tanggal yang ditetapkan dalam perjanjian atau sesuai dengan persetujuan antara Negara-negara yang berunding, dan mungkin pula suatu perjanjian internasional mulai belaku segera setelah semua Negara yang berunding setuju untuk diikat dalam perjanjian.

Konvensi tersebut juga mengatur mengenai pemberlakuan sementara suatu perjanjian internasional jika disepakati oleh pihak-pihak yang berunding. Pasal 25 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara lain menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau sebagian dari suatu perjanjian dibelakukan sementara sambil menunggu saat mulai berlakunya jika ditentukan demikian dalam perjanjian atau Negara-negara yang berunding dengan cara lain meyetujuinya.

Pelaksanaannya pada garis besarnya kata sepakat para pihak tersebut termuat dalam dua kategori, yaitu perjanjian yang langsung berlaku segera setelah penandatanganan, maka dalam hal ini tidak diperlukan lagi proses pengesahan lebih lanjut dan perjanjian yang memerlukan pengesahan sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di Negara masing-masing pihak pada perjanjian tersebut.73 72 Ibid., hal. 124. 73 Ibid., hal. 125.

Kaum positivis telah mengemukakan pandangannya bahwa kaidah- kaidah hukum internasional sebelumnya telah tersebut adanya bahwa pembuatan perjanjian-perjanjian multilateral terbagi dalam dua bagian sebagai berikut.74

a. Pembuatan Perjanjian Multilateral dalam Kerangka Suatu Konferensi Internasional;

1). Pengertian Konferensi Internasional

Secara historis praktek konferensi-konferensi internasional yang dihadiri oleh wakil-wakil berbagai Negara mulai pada permulaan abad XIX di zaman perang Napoleon. Konferensi pertama yang mempunyai arti penting dalam sejarah diadakan di Wina tahun 1815 yang selanjutnya diikuti oleh beberapa konferensi Negara-negara Eropa yang membicarakan permasalah politik di samping menyusun ketentuan-ketentuan hukum internasional di berbagai bidang.

2). Tipologi yang Dipakai Sekarang Didasarkan Cara-Cara Konvokasi Bentuk pertama adalah konferensi yang diselenggarakan atas prakarsa satu atau beberapa Negara, seperti konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung atas prakarsa lima Negara; Indonesia, Burma, Sri Lanka dan Pakistan. Bentuk kedua ialah konferensi-konferensi yang diselenggarakan atas prakarsa suatu organisasi internasional seperti konferensi Wina 1869 mengenai hukum perjanjian.

74

3). Organisasi dan Tata Kerja Konferensi-Konferensi Internasional

Ketentuan-ketentuan umum konferensi hampir sama bagi kedua bentuk konferensi tersebut diatas, tetapi bahwa suatu konferensi internasional bukanlah merupakan organ dari organisasi internasional yang mengaturnya. Suatu konferensi internasional mempunyai eksistensi yang otonom dan pada prinsipnya diatur oleh hukum organisasi internsional. 4). Penerimaan Naskah

Perjanjian-perjanjian yang telah diterima oleh konferensi internasional biasanya terbuka untuk penandatanganan selama jangka waktu tertentu, biasanya selama satu tahun terhitung dari tanggal penerimaan perjanjian. Beberapa contoh dimana Republik Indonesia telah menandatangani suatu perjanjian dengan klausula penutup yang menyebutkan bahwa notifikasi telah memenuhi prosedur konstitusioanl di Negara masing-masing harus disampaikan pada pihak lainnya sebagai berikut:75

b. Perjanjian-perjanjian internasional secara bilateral maupun multilateral; a. Cultural agreement between the government of the Republic Indonesia

and The Government of the Republic of Turkey, tanggal 18 Agustus 1973. Klausula penutupnya berbunyi:

The present Agreement shall enter into force on the thirtieth day after the date on which the contracting parties shall have notified each other to the effect that all legal requirements for the entry into force of this Agreement have been met.

75

b. Trade Agreement between the government of the Republic of Indonesia and The Government of the Polish People’s Republic, ditandatangani di Warsawa tanggal 5 Juli 1974. Klausula penutupnya berbunyi:

This Agreement shall come into force provisionally on the day of its signing and definitively on the day of exchange of notes confirming the approval or ratification of this Agreement by both Contracting Parties in Accordance with the laws and rules prevailing in each of the two countries.

c. Persetujuan Perdagangan antara RI-Uni Soviet di Jakarta yang ditandatangani 23 Maret 1974. Klausula penutupnya berbunyi:

Persetujuan ini akan berlaku sementara pada hari ditandatanganinya, kemudian akan berlaku penuh pada waktu kedua pihak saling memberitahukan bahwa syarat-syarat yang ditentukan oleh UUD untuk berlakunya Persetujuan ini telah dipenuhi dan akan tetap berlaku selama satu tahun setelah tanggal pertukaran nota.

d. Persetujuan Penghindaran pajak berganda antara RI-Belgia ditandatangani di Brussels tanggal 13 November 1973. Klausula penutupnya berbunyi:

This Agreement shall be approved by Indonesia and Belgium in accordance with their respective legal procedures, and shall enter into force on the fifeteeth day after the date of exchange of notes indicating such approval.

Persetujuan hubungan udara antara RI-Polandia ditandatangani di Jakarta tanggal 13 Desember 1991. Klausula penutupnya berbunyi: this agreement shall apply provisionally on the date of signature and definitively.

e. Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangements (1977). Klausula penutupnya beberbunyi: this Agreement shall enter into force on the 30th day after the deposit of the fifth instrument ratification. Menurut kaum positivis, bahwa kaidah-kaidah hukum internasional tidak dapat secara langsung dan ex proprio vigore diberlakukan di dalam lingkungan nasional oleh pengadilan-pengadilan nasional atau oleh siapapun; untuk memberlakukannya kaidah tersebut harus menjalani suatu proses adopsi khusus (specific adoption) oleh, atau inkorporasi khusus ke dalam hukum nasional. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem yang sama sekali terpisah dan berbeda secara struktural, system yang pertama tidak dapat menyinggung system hukum nasional kecuali system yang sepenuhnya logis memperkenankan perangkat konstitusi Negara dipakai untuk tujuan tersebut. Berkaitan dengan kaidah-kaidah traktat, haruslah ada suatu transformasi traktat ke dalam hukum nasional, yang bukan hanya menjadi syarat formal melainkan merupakan syarat substantif, dengan sendirinya mensahkan perluasan berlakunya kaidah-kaidah yang dimuat dalam traktat-traktat terhadap individu-individu.76

ASEAN terbentuk pada tahun 1966 oleh pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara yang merasakan perlunya membentuk suatu kerjasama regional untuk memperkuat kedudukan dan kestabilan sosial-ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Untuk memberi landasan yang lebih kuat bagi terciptanya perjuangan antara angoota ASEAN dalam memperkuat ketahanan nasional dan regional, diadakanlah pertemuan kepala-kepala pemerintah untuk mengadakan pertemuan kepala-kepala pemerintahan Negara-negara ASEAN.

76

Adapun keberadaan “la raison de atre” suatu kerjasama regional termasuk AFTA, dibentuk berdasarkan beberapa faktor seperti: faktor politik, budaya, geografis, dan ekonomi dan adanya multinasional market groups seperti saat ini.77

Apabila diaplikasikan terhadap pendirian AFTA, semua faktor tersebut tampak termuat dalam AFTA. Tujuan pendirian AFTA adalah menjalani kerjasama ekonomi regional ASEAN dalam rangka tercapainya cita-cita perdagangan dunia yang adil, seimbang, transparan, bebas hambatan tarif dan non-tarif, serta mendukung tercapainya pemulihan ekonomi dan dinamika bisnis negara-negara anggota yang sesuai dengan kesepakatan ASEAN bold measures yang dicapai pada pertengahan Desember 1998 pada KTT VI ASEAN di Hanoi.

Sebelum tahun 2000 tiap negara menentukan nomenklatur sebesar 85 % dari item yang tarifnya 0-5 %, kemudian ditingkatkan menjadi 90 % sebelum tahun 2001, dan terakhir semua “inclusion list” menjadi 100% dari daftar yang dikenakan tarif sebelum tahun 2002. Inclusion list didasarkan pada produk yang dijadwalkan untuk pengurangan tarif, pengurangan pembatasan kualitatif, dan non-tarif barriers.78

1. Pengecualian Umum (General Exception)

Walaupun telah disepakatinya persetujuan zona perdagangan ASEAN (AFTA), dalam implementasinya ada hal-hal yang dikecualikan. Adapun hal yang tidak termasuk free trade area karena alasan sebagai berikut.

77

Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 125.

78

“National security, public morals, human, animal, or plant life and health and articles of artistic, historic and archeological value (kemanan nasional, moral yang bersifat umum, manusia, binatang atau tumbuhan dan kesehatan serta benda-benda artistik, sejarah dan nilai-nilai arkeologi). 2. Tujuan AFTA

Sebagaimana latar belakang terbentuknya ASEAN sebagai suatu kerjasama regional, AFTA mempunyai beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu sebagai berikut.

a. Meningkatkan keunggulan kompetitif sebagai basis produksi pasar dunia;

b. Liberalisasi perdagangan mengurangi kendala tarif dan non-tarif antar negara anggota;

c. Efisiensi produksi dalam meningkatkan daya saing jangka panjang. d. Ekspansi perdagangan intraregional memberikan konsumen di

ASEAN lebih banyak pilihan serta kualitas produk lebih baik. Sejarah perkembangan hukum ekonomi internasional dimulai sejak adanya perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang ekonomi seperti perjanjian Europen Coal and Steel Community, GATT (General Agreement on Tarriffs and Trade), WTO (World Trade Organization) atau Organisasi Perdagangan Dunia (OPD), International Monetary Fund (IMF), APEC (Asia Pacific Economi Cooperation) dan sebagainya. Kemudian pada tahun 1974 PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah melahirkan berbagai konvensi internasional dalam bidang ekonomi, diantaranya yang penting untuk diperhatikan adalah “Declaration on The Establishment of A New Internasional Economic Order”, dan “Charter of Economic Rights and Duties of States” pada tahun 1974. Sejak lahirnya organisasi

internasional inilah Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti kerja sama dengan negara lain dalam bidang ekonomi dan hukum.79

Globalisasi dalam bidang ekonomi sekarang ini adalah manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional, seperti yang terjadi pada masa lalu, di mana untuk mengatasi krisis perusahaan multinasional mencari pasar baru dalam memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi. Pada 1950-an, investasi asing memusatkan kegiatan pengalihan sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabrik. 30 tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar ke seluruh dunia. Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-bats negara, perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk di satu negara saja. Dengan adanya manajemen di berbagai benua, penugasan personil tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.80

Perubahan yang berlangsung apakah menjadikan politik hukum dapat dibedakan menjadi dua dimensi. Dimensi pertama adalah politik hukum yang menjadi dasar diadakannya suatu peraturan perundang-undangan. Dimensi kedua adalah tujuan atau alasan yang muncul di balik pemberlakuan suatu perundang- undangan.

Organski berpendapat bahwa suatu bangsa modern sekarang ini telah menempuh pembangunan melalui tiga tingkat yaitu, politik unifikasi, politik hukumnya adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Pada tingkat ini politik hukum yang digunakan

79

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Op.Cit., hal. 125. 80

mengacu pada perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Sedangkan pada tingkat negara kesejahteraan, poltik hukum yang digunakan mengacu pada pekerjaan utama Negara untuk melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, mengkoreksi kesalahan-kesalahan yang terjadi pada tahap-tahap sebelumnya. Langkah-langkah ini dilakukan dengan lebih menekankan pada terciptanya kesejahteraan rakyat.81

Mengutip pendapatnya Mubyarto tentang pandangan John R. Commons:82 “The founder of institutional economics, with a thought that might not seem new, if this thought were implemented seriously, the results be fundamentally different from the old Neoclassical Economic Analysis. I do not see that there is anything new in this analysis. Everything in can be found in the work of outstanding economist for two hundred years. It is only a somewhat different point of view. The things that have changed are the interpretations, the emphasis, the weights assigned to different ones of the thousand of factors, which make up the worldwide economic process. What I have tried to do is to work out a system of thought that shall give due weight to all economic theory, modified by own experience.

Hukum ekonomis terdiri atas peraturan yang sebagian dapat digolongkan dalam peraturan-peraturan hukum privat sebagian dalam peraturan-peraturan hukum publik yang mengatur dan memimpin segala aktivitet individu maupun pemerintah di segala bidang perekonomian. Karena dalam fase pembangunan ekonomis pada saat ini masih ada banyak peraan usaha partikelir (swasta-terutama dalam sektor distribusi), tetapi sesuai dengan tujuan ekonomi terpimpin, bagian besar peranan usaha partikelir itu akan dialihkan kedalam sektor turut sertanya pemerintah dalam bidang perekonomian masih berlaku banyak peraturan hukum

81

Moh. Mahfud MD., Kontribusi Pemikiran Untuk 50 Tahun Prof. DR. Moh. Mahfud

MD.SH., Retrospeksi Terhadap Masalah Hukum dan Kewarganegaraan, (Jakarta: FH UII Press,

2007), hal 65. 82

Mubyarto, A Development Manifesto-The Resilience of Indonesian Ekonomi Rakyat

privat, maka hukum ekonomis berbeda dari misalnya hukum pajak pada saat ini masih belum overwegend hukum publik. Tetapi hal ini akan berubah mengikuti perkembangan ke arah suatu ekonomi terpimpin. Walaupun demikian fase perkembangan hukum ekonomi masih memberi suatu kedudukan tersendiri kepada hukum ekonomi. 83

Dokumen terkait