• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Tindak Pidana Penipuan Dalam KUHP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Pengaturan Tindak Pidana Penipuan Dalam KUHP

a. Pengertian Tindak Pidana Penipuan

Tindak pidana penipuan dalam KUHP di atur pada Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, yaitu berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang di milikinya. Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa perkosaan atau penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik tertindak), di muat dalam buku II KUHP, yaitu: tindak pidana pencurian, pemerasan, penggelapan barang, penipuan, merugikan orang berpiutang dan berhak, dan penghancuran atau pengrusakan barang, dan penadahan (begunsting).

Menurut Wirjono Prodjodikoro (2002: 10), yang di maksud dengan

kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran mengenai harta

kekayaan orang adalah tindak-tindak pidana yang termuat dalam KUHP : 1) Titel XXII : buku II tentang pencurian.

2) Titel XXIII : buku II tentang pemerasan dan pengancaman. 3) Titel XXIV : buku II tentang penggelapan barang.

4) Titel XXV : buku II tentang penipuan.

5) Titel XXI : buku II tentang merugikan orang berpiutang dan berhak.

6) Titel XXVII: buku II tentang penghancuran dan perusakan barang. 7) Titel XXX : buku II tentang pemudahan (begunstiging).

8) Titel VII : buku III tentang pelanggaran-pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman.

Persamaan dari ketujuh macam kejahatan dan satu macam pelanggaran adalah bahwa dengan tindak-tindak pidana ini, merugikan kekayaan seseorang atau badan hukum. Kedelapan tindak pidana tersebut

commit to user

dalam bidang hukum pidana dapat di bagi menjadi dua macam perbuatan:

Pertama, perbuatan tidak memenuhi suatu perjanjian (wanprestasi),

sebagian besar dari penggelapan barang dan merugikan orang berpiutang dan berhak. Kedua, perbuatan melanggar hukum perdata (onrechtmatige daad dari Pasal 1365 BW), sebagian besar dari tindak pidana lainnya: pencurian, pemerasan dan pengancaman, penipuan, penghancuran atauk perusakan barang, pemudahan, dan pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 10).

Unsur-unsur khas dalam tindak pidana terhadap kekayaan orang lain (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 13) :

1) Pencurian (diefstal): mengambil barang orang lain untuk memilikinya.

2) Pemerasan (afpersing): memaksa orang lain dengan kekerasan untuk memberikan sesuatu.

3) Pengancaman (afdreiging): memaksa orang lain dengan ancaman untuk memberikan sesuatu.

4) Penipuan (oplichting): membujuk orang lain dengan tipu muslihat untuk memberikan sesuatu.

5) Merugikan orang yang berpiutang: sebagai orang berutang berbuat sesuatu terhadap kekayaannya sendiri dengan merugikan si

berpiutang (creditor).

6) Penghancuran atau pengrusakan barang: melakukan perbuatan

terhadap orang lain secara merugikan tanpa mengambil barang itu.

7) Pemudahan (penadahan): menerima atau memperlakukan barang

yang diperoleh orang lain secara tindak pidana.

8) Pelanggaran tentang tanah-tanah tanaman: adanya tanah yang di tanami dan merusak dengan melaluinya.

9) Penggelapan barang (verduistering) : memiliki barang yang sudah ada di tangannya (zich toe-eigenen).

Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif. Adapun unsur

commit to user

obyektif yang di maksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut (PAF Lamintang, 2009: 141) :

1) Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan),

memiliki/mengklaim (dalam kasus penggelapan), menggerakkan hati/pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya; 2) Unsur benda/barang;

3) Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain;

4) Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan

perbuatan yang dilarang; dan

5) Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :

1) Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti

“dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya/patut di

duga olehnya” dan sebagainya; dan

2) Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit/tertulis dalam perumusan Pasal maupun tidak.

Penipuan dalam arti sempit yaitu penipuan yang terdapat dalam Pasal 378 KUHP. Sedangkan dalam arti yang luas tindak pidana ini sering disebut bedrog. Di dalam KUHP, bedrog di atur dalam bab XXV Pasal 378 sampai dengan 395 KUHP. Dalam rentang Pasal-Pasal tersebut, bedrog kemudian berubah menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih khusus.

b. Bentuk Tindak Pidana Penipuan

1)Penipuan Pokok

Menurut Pasal 378 KUHP penipuan adalah

“Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau

orang lain dengan melawan hukum, baik menggunakan nama palsu atau keadaan palsu, maupun dengan tipu daya, ataupun dengan rangkaian perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya menyerahkan

commit to user

Dari pernyataan di atas dapat di simpulakan bahwa dalam penipuan tidak menggunakan paksaan akan tetapi dengan tipu muslihat seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga orang tersebut bertindak tanpa kesadaran penuh. Unsur-unsur tindak pidana penipuan adalah sebagai berikut (PAF Lamintang, 2009: 151) :

a) Unsur-unsur objektif:

(1)Perbuatan: menggerakkan atau membujuk;

(2) Yang digerakkan: orang

(3) Perbuatan tersebut bertujuan agar: (a) Orang lain menyerahkan suatu benda;

(b) Orang lain memberi hutang; dan

(c) Orang lain menghapuskan piutang.

(4)Menggerakkan tersebut dengan memakai:

(a) Nama palsu;

(b) Tipu muslihat, (c) Martabat palsu; dan

(d) Rangkaian kebohongan.

b) Unsur-unsur subjektif: (1)Dengan maksud;

(2)Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;dan

(3)Dengan melawan hukum.

2) Penipuan Ringan

Penipuan ringan telah dirumuskan dalam Pasal 379 KUHP yang berbunyi:

“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378 jika benda yang

diserahkan itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang atau piutang itu tidak lebih dari Rp.250,00 dikenai sebagai penipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling

banyak Rp. 900,00.”

Dalam masyarakat kita binatang ternak di anggap mempunyai nilai yang lebih khusus, sehingga mempunyai nilai sosial yang lebih tinggi

commit to user

dari binatang lainnya. Akan tetapi, apabila nilai binatang ternak tersebut kurang dari Rp. 250,00,- maka bukan berarti penipuan ringan.

Adapun yang di maksud hewan menurut Pasal 101 yaitu Binatang yang berkuku satu: kuda, keledai dan sebagainya. Binatang yang memamah biak: sapi, kerbau, kambing, biri-biri dan sebagainya. Sedangkan harimau, anjing dan kucing bukan merupakan hewan yang di maksud dalam Pasal ini. Unsur-unsur penipuan ringan adalah:

a) Semua unsur yang merupakan unsur pada Pasal 378 KUHP.

b) Unsur-unsur khusus, yaitu: (1) benda objek bukan ternak;

(2) nilainya tidak lebih dari Rp. 250,00-

Selain penipuan ringan yang terdapat menurut Pasal 379 di atas, juga terdapat pada Pasal 384 dengan dinamakan (bedrog) penipuan ringan tentang perbuatan curang oleh seorang penjual terhadap pembeli adalah dengan rumusan:

Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383 dikenai pidana paling lama 3 bulan dan denda paling banyak Rp.900,00- jika jumlah keuntungan tidak lebih dari Rp. 250.00.

3)Penipuan dalam Jual Beli.

Penipuan dalam hal jual beli digolongkan menjadi 2 bentuk, yaitu; penipuan yang dilakukan oleh pembeli yang di atur dalam Pasal 379a dan kejahatan yang dilakukan oleh penjual yang di atur dalam Pasal 383 dan 386.

a) Penipuan yang dilakukan oleh pembeli. Menurut Pasal 379a yang berbunyi:

“Barang siapa menjadikan sebagai mata pencaharian atau

kebiasaan untuk membeli benda-benda, dengan maksud supaya dengan tanpa pembayaran seluruhnya, memastikan kekuasaanya terhadap benda-benda itu, untuk diri sendiri maupun orang lain

diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.

Dalam bahasa asing kejahatan ini dinamakan flessentrekkerij. Dan baru di muat dalam KUHP pada tahun 1930. Kejahatan ini

commit to user

biasanya banyak terjadi di kota-kota besar, yaitu orang yang biasanya membeli secara bon barang-barang untuk dirinya sendiri atau orang lain dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas. Model yang dilakukan biasanya dengan mencicil atau kredit . Dengan barang yang sudah diserahkan apabila pembeli tidak membayarnya lunas, sehingga merugikan penjual. Dalam hukum perdata hal ini disebut wanprestasi. Akan tetapi, apabila sudah dijadikan mata pencaharian atau kebiasaan seperti maksud semula tidak ingin membayar lunas, maka disebut tindak pidana. Unsur-unsur kejahatan pembeli menurut Pasal 379a KUHP yaitu (PAF Lamintang, 2009: 172):

(1)Unsur-unsur objektif:

(a) Perbuatan membeli;

(b) Benda-benda yang di beli;

(c) Dijadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan. (2)Unsur-unsur Subjektif:

(a)Dengan maksud menguasai benda tersebut untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; (b)Tidak membayar lunas harganya.

Agar pembeli tersebut bisa menjadikan barang-barang tersebut sebagai mata pencaharian maka setidaknya harus terdiri dari dua perbuatan dan tidaklah cukup apabila terdiri dari satu perbuatan saja. Akan tetapi, hal ini tidak muthlak harus terdiri dari dari beberapa perbuatan.

b) Penipuan yang dilakukan oleh penjual.

Ketentuan mengenai penipuan yang dilakukan oleh penjual diatur pada Pasal 383 KUHP sebagai berikut:

Di ancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1)karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang di

tunjuk untuk di beli;

(2)mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.

commit to user

Menyerahkan barang lain daripada yang di setujui misalnya; seseorang membeli sebuah kambing sesuai dengan kesepakatan. Akan tetapi, penjual mengirimkan kambing tersebut dengan kambing yang lebih jelek. Sedangkan yang di maksud dari Pasal 383 (2) yaitu: melakukan tipu muslihat mengenai jenis benda, keadaan benda atau jumlah benda. Dan apabila keuntungan yang diperoleh oleh penjual tidak lebih dari Rp.250,00. Maka penipuan tersebut masuk pada penipuan ringan.

c) Penipuan yang dilakukan oleh penjual kedua.

Hal ini disebutkan dalam Pasal 386 KUHP yang merumuskan sebagai berikut:

(1)“barang siapa menjual, menyerahkan, atau menawarkan barang

makanan, minuman atau obat-obatan, yang di ketahui bahwa itu di palsu, dan menyembunyikan hal itu, di ancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun.”

(2)“bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika

nilainya atau faidahnya menjadi kurang karena sudah di

campur dengan bahan lain.”

Maksud dari ayat (2) Pasal ini adalah apabila setelah di campurnya barang makanan, minuman, atau obat-obatan tersebut berkurang nilai atau faidahnya, atau bahkan nilai atau faidah barang tersebut hilang sama sekali, maka hal ini termasuk dalam kasus pidana dan termasuk pemalsuan barang. Jadi tidak menjadi kasus pidana apabila setelah di campur tidak berkurang atau hilang nilai dan faidahnya. Unsur-unsur dari kejahatan penipuan ini adalah (PAF Lamintang, 2009: 204):

(1)Unsur-unsur objektif:

(a)perbuatan: menjual, menawarkan, dan menyerahkan.

(b)objeknya : benda makanan, benda minuman dan benda

obat-obatan

(c)benda-benda itu di palsu.

(d)menyembunyikan tentang palsunya benda-benda itu. (2)Unsur-unsur subjektif:

commit to user

Penjual yang mencampur tersebut mengetahui bahwa benda-benda itu di palsunya. Dalam hal ini penjual tidak dikenai hukuman apabila ia mengutarakan bahwa benda yang dipalsukan tersebut diberitahukan terhadap pembeli dan pembeli membeli barang tersebut berdasarkan kemauannya.

Adapun perbedaan antara Pasal 383 dan 386 adalah:

(a)kejahatan dalam Pasal 386 adalah khusus hanya mengenai barang berupa: bahan makanan dan minuman atau obat-obatan, sedang dalam Pasal 383 mengenai semua barang.

(b)Pasal 386 mengatakan tentang “menjual, menawarkan atau

menyerahkan” barang (belum sampai menyerahkan barang itu

sudah dapat di hukum), sedangkan Pasal 383 mengatakan

“menyerahkan”, (supaya dapat di hukum barang itu harus

sudah diserahkan).

Perbuatan ini juga melanggar Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang berbunyi:

(2) “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang,

rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar atas barang di maksud.” (3) “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi

dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan

atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.”

Selain itu perbuatan ini melanggar Pasal 11 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang berbunyi:

“Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui

cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan: menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah

commit to user

cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

2.Transaksi Jual Beli Menggunakan Media Internet