• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA

C. Pengawasan Tanah Wakaf di Kecamatan Lueng Bata

Pada dasarnya pengawasan harta wakaf adalah hak wakif, tetapi wakif boleh menyerahkan pengawasan kepada yang lain, baik lembaga maupun perorangan, untuk

menjamin kelancaran masalah perwakafan, pemerintah berhak campur tangan dengan mengeluarkan peraturan- peraturan yang mengatur permasalahan-parmasalahan dan termasuk pengawasannya.109 Pengawas wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: Berakal sehat, baligh, dapat dipercaya dan mampu melaksanakan urusan-urusan wakaf.

Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi hakim berhak menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif, bila kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan bisa berjalan dengan baik, maka pengawas wakaf yang bersifat perorangan dapat diberi imbalan secukupnya sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf. Pengawas harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan wakif. Akan tetapi, pada umumnya pengawasan tanah wakaf di Kecamatan Lueng Bata dilakukan oleh KUA. Setiap nadzir harus membuat laporan pengelolaan tanah wakaf 6 (enam) bulan sekali. Laporan ini nanti akan diserahkan lagi ke Departemen Agama Profinsi Aceh, dan tebusannya diserahkan ke Baitul Mal.

Di Aceh belum ada BWI, oleh karena itu pengawasan perwakafan masih melibatkan unsur Depaq, MUI, Baitul Mal, KUA dan Geuchik/Kepala desa.110

109Wawancara dengan Muhammad, nadzir wakaf Desa Lamseupeung, Kecamatan Lueng Bata, Selasa, 10 April 2012.

110Wawancara dengan H Nurdin Ali, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, 4 April 2012.

Dalam Pasal 1, angka 11, Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, dijelaskan bahwa Baitul Mal merupakan Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam. Baitul Mal itu sendiri memiliki empat tingkatan, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kemukiman dan Gampong. Dari keempat tingkatan Baitul Mal, qanun tersebut telah mengatur tugas dan kewenangannya masing-masing.

Keberadaan Baitul Mal pada mulanya ditandai dengan dibentuknya Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) pada tahun 1973 melalui Keputusan Gubernur No.

05 Tahun 1973. Kemudian pada tahun 1975, BPHA diganti dengan Badan Harta Agama (BHA). Kemudian pada tahun 1993, BHA diganti dengan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) melalui Keputusan Gubernur Prov. NAD No. 18 Tahun 2003. Kemudian BAZIS, kembali diganti dengan Baitul Mal sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan tindak lanjut perjanjian Mou Helsinky. Kehadiran Baitul Mal itu sendiri, tidak hanya terdapat di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 saja, melainkan juga terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Masalah Hukum dan Pasca Tsunami di Aceh dan Nias menjadi Undang-Undang. 111

111Hendra Syahputra, Tanggung Jawab Baitul Mal dalam mencerdaskan Bangsa, http://www.baitulmal-aceh.com, diakses terakhir pada 22 Juni 2012.

Pasca terjadinya musibah gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Aceh beberapa tahun yang lalu, banyak meninggalkan beberapa permasalahan hukum, diantaranya masalah perwalian dan pengelolaan harta yang tidak memiliki ahli waris atau tidak diketahui lagi pemiliknya. Dalam Undang-Undang tersebut, tepatnya dalam pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa Baitul Mal adalah lembaga Agama Islam di Provinsi NAD yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemashalahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan Syariat Islam. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut, berarti tugas Baitul Mal menjadi bertambah, tidak hanya mengelola zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya, melainkan juga melaksanakan tugas sebagai wali pengawas.

Jenis harta wakaf yang dikelola oleh Baitul Mal Aceh meliputi benda tidak bergerak dan benda bergerak sesuai dengan peraturan peundang-undangan. Baitul Mal pada setiap tingkatan dapat menjadi nadzir untuk menerima harta wakaf dari wakif guna dikelola dan dikembangkan sesuai dengan ketentuan Syariat. Harta benda wakaf dikelola Baitul Mal untuk meningkatkan fungsi, potensi dan manfaat ekonomi harta wakaf tersebut guna kepentingan ibadah dan memajukan kesejahteraan umat.

Peran Baitul Mal sebagai nadzir sebagaimana dimaksud diatas mempunyai tugas:

1. Melakukan pengadminitrasian harta wakaf

2. Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf

3. Mengawasi dan melindungi harta wakaf

4. Melaporkan pelaksanaan tugasnya secara berjenjang, dan

5. Melaporkan pelaksanaannya kepada Gubernur, atau Bupati/Walikota dengan tebusan kepada Kepala Bandan Wakaf Indonesia.112

Dari ketentuan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa meskipun BWI belum ada di Aceh, tugas dan kewenangan BWI telah lebih dulu dilaksanakan oleh Baitul Mal Aceh. Agar pelaksanaan pengembangan harta benda wakaf yang dikelola Baitul Mal tetap pada koridornya, BWI selaku lembaga wakaf Indonesia Nasional setiap tahun akan menerima laporan dari Baitul Mal.

Pelaksanaan pengawasan belum efektif, terbukti dengan secara prosedural, manual dan baku sudah ada standar pengawasan yang baik, namun secara praktis belum dilaksanakan dengan baik. Ini disebabkan adanya kendala. Di tingkat KUA kendala yang jelas terlihat adalah kurangnya tenaga KUA yang mampu dalam melaksanakan pengawasan, selain itu terbatasnya waktu, karena KUA bukan hanya menangani masalah perwakafan, yang menjadi prioritas perhatian KUA adalah masalah perkawinan. Di tingkat Baitul Mal yang menjadi kendala adalah program kerja utama Baitul Mal lebih banyak menangani persoalan zakat, dikarenakan masyarakat lebih banyak berzakat daripada berwakaf. Sementara itu Badan Wakaf Indonesia (BWI) lembaga independen yang bertugas untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional yang bertindak selaku nadzir (pengelola) di

112 Pasal 32 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal.

Indonesia serta turut mengawasi pengelolaan tanah wakaf belum ada perwakilan di seluruh wilayah Indonesia, terutama di Aceh.

Dilibatkannya masyarakat dalam pengawasan pengelolaan tanah wakaf setelah lahirnya UU No. 41 tahun 2004, diharapkan dapat membantu. Hal ini dikarenakan, masyarakat lebih dekat dan lebih aktif berada disekitar tanah wakaf.

Akan tetapi karakteristik masyarakat umum yang kurang perduli dengan keberadaan tanah wakaf, tidak banyak membantu dalam pengawasan pengelolaan tanah wakaf sehingga pengawasan pengelolaan tanah wakaf tidak efektif. Selain itu, keterlambatan pembuatan laporan tentang hasil perwakafan oleh nadzir dan anggapan bahwa benda wakaf tanpa dijaga dengan benar, akan aman-aman saja menambah peluang terjadinya penyalahgunaan dan penguasaan tanah wakaf.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Kedudukan nadzir wakaf menurut Hukum Islam sebagai pengelola tanah wakaf.

Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 220.

Nadzir berhenti dari kedudukannya apabila meninggal dunia, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, melakukan kejahatan sehingga dipidana. Adapun kedudukan Nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 tidak hanya sebagai pengelola dan pengawas harta benda wakaf, akan tetapi juga pihak yang melindungi harta benda wakaf dengan melakukan administrasi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kenadzirannya kepada Badan Wakaf Indonesia. Nadzir dalam hal ini meliputi perseorangan, organisasi dan badan hukum. Masa bakti nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.

2. Kendala-kendala nadzir dalam mengelola tanah wakaf adalah kurangnya pemahaman nadzir tentang Ilmu Fikih dan manajemen wakaf, sehingga tidak ada proses pengadministrasian tanah wakaf, tidak adanya pengawas atau pengontrol yang jelas, serta sistem laporan keuangan yang tidak transparan. Lebih dari itu, tidak terdaftarnya tanah wakaf membuat terbukanya peluang nadzir menguasai tanah wakaf. Tanah wakaf yang tidak dikelola secara produktif dikarenakan manajemen buruk dan tidak profesionalnya nadzir memungkinkan

penyalahgunaan tanah wakaf, apalagi bila pengawasan pengelolaan tanah wakaf tidak berjalan maksimal. hal ini memungkinkan terjadi, sebab pada saat ikrar wakaf hak pengelolaan tanah wakaf diberikan sepenuhnya kepada nadzir, bahkan sebagian besar kewenangan pengelolaan tersebut ada yang seumur hidup.

3. Penyebab tidak efektifnya pengawasan pengelolaan tanah wakaf adalah kurangnya tenaga ahli dibidang perwakafan, disamping itu karena Baitul Mal yang diserahi tugas oleh pemerintah Aceh untuk mengawasi pengelolaan tanah wakaf Aceh terlalu sibuk dengan urusan lain, yaitu menangani persoalan zakat.

Ditambah lagi Badan wakaf Indonesia belum ada diseluruh daerah. Lebih dari itu karakteristik masyarakat umumnya yang kurang peduli dengan keberadaan tanah wakaf, tidak banyak membantu dalam pengawasan tanah wakaf , sehingga pengelolaan tanah wakaf semakin kurang pengawasan.

B. Saran

1. Diperlukan pengaturan tambahan di dalam Undang-undang tentang wakaf mengenai permasalahan batas masa bakti nadzir dalam mengelola tanah wakaf, yaitu pencantuman batas waktu maksimum masa bakti nadzir. Hal ini diperlukan karena penguasaan tanah wakaf oleh nadzir bisa terjadi bila nadzir mengelola tanah wakaf terlalu lama, bahkan seumur hidupnya, sebab antara tanah milik pribadi nadzir dan tanah wakaf yang dikelola nadzir sering tidak dapat dibedakan lagi. Ketika nadzir tersebut wafat sering terjadi sengketa antara ahli waris nadzir, terutama apabila tanah wakat tersebut tidak memiliki akta ikrar wakaf.

2. Disarankan kepada nadzir, untuk mempelajari dan menguasai ilmu manajemen wakaf agar tanah wakaf lebih produktif, disamping mendaftarakan tanah wakaf yang dikelolanya ke PPAIW. Oleh karena nadzir wakaf tidak memdapatkan imbalan tidak seimbang dengan tanggung jawabnya, ia dapat mengajukan penambahan honorarium atau melaporkan persoalannya kepada hakim, MUI atau pihak yang terkait, agar menyelesaikan persoalan tersebut secara musyawarah tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

3. Agar pengawasan pengelolaan tanah wakaf lebih efektif maka disarankan perlu adanya peningkatan kerjasama antara KUA, Baitul mal, BWI dan nadzir wakaf itu sendiri. Adanya kesamaan tugas anatara KUA, Baitul mal dan BWI diharapkan bisa berdampak positif yaitu terhindarnya tanah wakaf yang dikuasai nadzir dan penyalahgunaan tanah wakaf, bukan justru menjadi tumpang tindih kerja antar lembaga tersebut.

134

DAFTAR PUSTAKA

Azhary, Tahir, Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2005 Abid Abdullah Al-Kabisi, Muhammad ,Hukum Wakaf Kajian Kontenporer Pertama

dan Terlengkap tentang Fungsi dan pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Dompet Dhuafa Republika, Jakarta, 2004.

Al Alabij, Adijani, Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002 Ali, Achmad, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),

Gunung Agung, Jakarta, 2002.

A.P. Perlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998

Abdurahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990

Al Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa fi’ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Kutub al Ilmiyah, 1983.

Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Djatmika, Rahmat, Wakaf dan Masyarakat Serta Aplikasinya (Aspek-aspek Fundamental). Mimbar Hukum Nomor 7 Tahun ke III, Jakarta, 1992.

Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.

Hutagalung, Arie Sukantie dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008

Hamami, Taufik, Perwakafan Tanah dan Politik Hukum Agraria Nasional, Tatanusa, Jakarta, 2003.

Hasan, Husain Hamid, Nadzariyah al-Mashlahah fi al Fiqh al Islami, Kairo: Dar al Nahdhah al Arabiyah, 1971

Komaruddin dan Komaruddin, Yooke Tjuparman, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Bumi Aksara, 2000.

Koesnoe, Mohammad, Wakaf Tanah Di Dalam Sistem Tata hukum Nasional Kita, Kumpulanhasil Seminar Wakaf Tanah Dalam Sistem Hukum Nasional, Fakultas Hukum UIR, Pekanbaru, 1991

Lubis, M. Yamin dan Lubis Abd. Rahim, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

____________, Beberapa Pengertian Umum Tentang Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2004.

Lubis, Surawardi K, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Milles and Hubberman, Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber tentang Metode-metode Baru, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1992

Molloeng, Lexy J, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006

ND, Mukti Fajar dan Achmad ,Yulianto, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Pagar, Himpunan Peraturan perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia, IAIN Press, Medan, 1995

Rasjidi, Lili dan Rasjidi Ira Thania, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002.

Raharjo, Sajibto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.

Sari, Elsi Kartika, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, PT. Grasindo, Jakarta, 2006.

Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Singaribun, Masri, dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999.

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986.

Sunggono, Bambang, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Soemitro, Ronny H, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Suryabrata, Sumardi, Metode Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.

Supranto, J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003 Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,

Jakarta, 2009

Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Garfika, Jakarta, 2009.

Thaib, M. Hasaballah, Fiqih Wakaf, Konsentrasi Hukum Islam Program Pasca Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003

__________________, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1992.

Usman, Rachmadi , Hukum Perwakafan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009 Pagar, Himpunan Peraturan Perunadang-undangan: Peradilan Agama di Indonesia,

Perdana Publishing, Medan, 2010.

Wiuisman, J.JM, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, Falkultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996

Qahaf, Mundzir, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa (Pustaka Al Kautsar Group), Jakarta Timur, 2005.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Dasar-Dasar Pokok Agraria Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Kompilasi Hukum Islam

Peraturan Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik

Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan, Perpres No. 36 Tahun 2005

Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal Internet

Hendra Syahputra, Tanggung Jawab Baitul Mal dalam mencerdaskan Bangsa, http://www.baitulmal-aceh.com.

Internasional Development Law Organization, Keberadaan tanah wakaf Pasca Tsunami, http://www.google.com/idlo.int/wakaf_land_ind.pdf

Muchlis, Peralihan Penguasaan Yuridis Hak Atas Tanah Wakaf dalam Perspektif Hukum Tanah Nasional dan Hukum Islam, www.badilag.net

Sulaiman M Thalib, Artikel Rekonstruksi Manajemen Wakaf, www.bwi.or.id.

Suhrawardi Lubis, Era baru Pengelolaan Wakaf di Sumatera Utara, http://suhrawardilubis.multiply.com