• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH) TESIS. Oleh. EVIROSITA /M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH) TESIS. Oleh. EVIROSITA /M."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG

BATA KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Oleh

EVIROSITA 107011037/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(2)

TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG

BATA KOTA BANDA ACEH)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EVIROSITA 107011037/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2012

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH)

Nama Mahasiswa : EVIROSITA Nomor Pokok : 107011037 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Abdullah Syah, MA)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 14 Agustus 2012

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 14 Agustus 201208

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA, PhD

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 2. Prof. Dr. Abdullah Syah, MA

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : EVIROSITA

Nim : 107011037

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS ATAS TANAH WAKAF YANG DIKUASAI NADZIR (STUDI KASUS DI KECAMATAN LUENG BATA KOTA BANDA ACEH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : EVIROSITA

Nim : 107011037

(6)

ABSTRAK

Tanah wakaf yang dikuasai nadzir adalah penguasaan sepihak oleh nadzir terhadap tanah wakaf yang dikelolanya. Hal ini tentu bertentangan dengan kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf, sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Kompilasi Hukum Islam Buku ke III tentang Wakaf. Oleh karena itu perlu dikaji kedudukan nadzir dalam Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004, kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf dan bagaimana efektifitas pengawasan pengelolaan tanah wakaf.

Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data sekunder dikumpulkan meliputi undang-undang, putusan pengadilan, peraturan-peraturan dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian. Sedangkan data primer digunakan untuk mendukung data sekunder yang diperoleh dari wawancara dengan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata, Nadzir-nadzir wakaf dan Hakim Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa kedudukan nadzir wakaf menurut Hukum Islam sebagai pengelola tanah wakaf. Nadzir berhenti dari kedudukannya apabila meninggal dunia, atas permohonan sendiri, tidak dapat melakukan kewajibannya lagi sebagai nadzir, melakukan kejahatan sehingga dipidana. Nadzir menurut UU No 41 Tahun 2004 sebagai pengelola, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf dengan melakukan administrasi harta benda wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kenadzirannya kepada Badan Wakaf Indonesia. Masa bakti nadzir lima tahun dan dapat diangkat kembali. Kendala-kendala nadzir dalam mengelola tanah wakaf adalah kurangnya pemahaman nadzir tentang manajemen wakaf dan tidak terdaftarnya tanah wakaf. Penyebab tidak efektifnya pengawasan pengelolaan tanah wakaf adalah kurangnya tenaga ahli dibidang perwakafan, disamping itu karena Baitul Mal yang diserahi tugas oleh Pemerintah Aceh untuk mengawasi pengelolaan tanah wakaf Aceh, lebih memperhatikan persoalan zakat. Ditambah lagi Badan Wakaf Indonesia belum ada diseluruh daerah.

Disarankan pengaturan tambahan di dalam undang-undang mengenai pencantuman batas waktu maksimum masa bakti nadzir. Kepada nadzir disarankan, untuk mempelajari dan menguasai ilmu manajemen wakaf dan mendaftarkan tanah wakaf yang dikelolanya ke PPAIW. Disarankan pula, perlu adanya peningkatan kerjasama antara KUA, Baitul Mal, BWI dan nadzir wakaf agar pengawasan pengelolaan tanah wakaf lebih efektif.

Kata Kunci: Nadzir wakaf dan tanah wakaf

(7)

ABSTRACT

A wakaf land (land donated for religious/community purposes) controlled by a nadzir (inspector of wakaf) is a unilateral action by the nadzir on the wakaf land he is taking care of. This is contrary to Law No. 41/2004 on Wakaf and to the Compilation of the Islamic Law, Book III on Wakaf. Therefore, it is necessary to analyze nadzir’s position in the Islamic Law and Law No. 41/2004, the obstacles faced by a nadzir in managing wakaf land, and how effective the control of the wakaf land management.

The research used descriptive analytic study with judicial normative and judicial empirical approaches. The secondary data comprised legal provisions, Court’s verdicts, regulations, and some books which were related to the subject matter of the study. The primary data as the supporting data for the secondary data were gathered by performing interviews with the Head of the Religious Affairs Office, Lueng Bata Subdistrict, wakaf nadzirs, and the Judge of Sharia Court in Banda Aceh.

The result of the research shows that the job of a wakaf nadzir, according to the Islamic Law, is to manage wakaf land. A nadzir will quit his job when he dies, by his own will, when he cannot do his job as a nadzir, and when he commits a criminal act. A nadzir’s jobs, according to Law No. 41/2004, are to manage, control, and protect the wakaf properties by performing the administration of the wakaf properties and reporting his performance to BWI (Indonesian Wakaf Board). A nadzir’s term of office is five years, and he can be reappointed. The obstacles faced by a nadzir in managing a wakaf land are, among others, his lack of understanding in the management of wakaf and the wakaf land is not registered. The reasons why the management of wakaf land is not effective are the lack of professionals in wakaf, the Baitul Mal (Treasury) that has been entrusted by Aceh Administration to control wakaf only takes care of zakat, and there is only a small number of BWIs in Aceh.

It is recommended that the legal provisions on the length of a nadzir’s term of office should be added. A nadzir should study and master the science of wakaf management and register wakaf land to PWAIW. It is also recommended that cooperation among KUA, Baitul Mal, BWI, and wakaf nadzir should be increased so that the control of wakaf land management will be more effective.

Keywords: Wakaf Nadzir, Wakaf Land

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat

dan amat terpelajar Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D., Bapak Prof.

Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Bapak Prof. Dr. Abdullah Syah, M.A.

selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang

(9)

diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku ketua program studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama menjalani pendidikan.

7. Ketua Mahkamah Syariyah Banda Aceh beserta staf, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh, Nadzir-nadzir Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh yang telah banyak membantu dalam hal

(10)

pengambilan data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkaitanenaan dengan penulisan tesis ini.

8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan tahun 2010 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

9. Motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ibunda Kamariah dan ayahanda Zuhrawardi M.kes., serta Saudara-saudariku Ekaniar dan Guntara yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amien Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Agustus 2012 Penulis,

(Evirosita)

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

1. Nama : Evirosita

2. Tempat/Tanggal lahir : Banda Aceh, 02 Januari 1985 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Lampoh Paleng 2 No. 11, Desa Ilie Ulee Kareng, Kota Banda Aceh

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Zuhrawardi

2. Nama Ibu : Kamariah

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri No. 2 Sabang pada Tahun 1992 s/d 1997

2. SLTP Negeri No. 10 Banda Aceh pada Tahun 1997 s/d 2000

3. SMU Negeri 4 Banda Aceh pada Tahun 2000 s/d 2003

4. Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Provinsi Aceh pada Tahun 2004 s/d 2009

5. Perguruan Tinggi (S2) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada Tahun 2010 s/d 2012

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 22

BAB II KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 41 TAHUN 2004 ... 25

A. Tinjauan Terhadap Wakaf . ... 25

B. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam Hukum Islam ... 38

C. Kewajiban dan Hak Nadzir Dalam Hukum Islam ... 41

D. Kedudukan Nadzir Wakaf Dalam UU No.41 Tahun 2004 ... 44

E. Kewajiban dan Hak Nadzir Dalam UU No. 41 tahun 2004 ... 52

(13)

BAB III KENDALA-KENDALA NADZIR DALAM

MENGELOLA TANAH WAKAF ... 59

A. Kendala Nadzir dalam Manajemen Pengelolaan Tanah Wakaf ... 59

B. Kendala Tidak Terdaftarnya Tanah Wakaf ... 69

C. Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Nadzir ... 74

D. Tanah Wakaf Yang Dikuasai Nadzir di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh ... 79

E. Sanksi Pelanggaran Peraturan Perwakafan Tanah Milik 94 BAB IV PENGAWASAN PENGELOLAAN TANAH WAKAF 100 A. Pengawasan dan Pengamanan Tanah Wakaf ... 100

B. Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai Pembina dan Pengawas Wakaf ... 106

C. Pengawasan Tanah Wakaf di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh ... 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

1. Kesimpulan ... 118

2. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(14)

14

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mempunyai tujuan antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Dalam rangka mencapai kesejaheraan umum tersebut, perlu diusahakan menggali, mengembangkan serta memberi kepastian hukum terhadap objek-objek yang menguasai hajat hidup rakyat Indonesia. Salah satu objek tersebut adalah tanah.

Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yaitu UU No.5 tahun 1960 disahkan tanggal 24 September 1960.

Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.1 Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah,

1 Konsiderans menimbang a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

(15)

yang sederhana, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersadar pada hukum agama.2

Tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan umum memperoleh hak tersebut.3 Dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual beli, tukar menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, dan ihya-ulmawat (membuka tanah baru). Namun salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas keagrariaan yang sering menjadi perhatian adalah perwakafan tanah milik. Hal ini dikarenakan wakaf tanah difungsikan untuk kepentingan umum.

Perwakafan tanah milik menjadi perhatian khusus oleh pemerintah sebagaimana terlihat pasal 49 Bab IX UUPA No.5 tahun 1960. Penuangan perwakafan tanah milik dalam UUPA tersebut secara yuridis merupakan realisasi dari pengakuan terhadap unsur-unsur agama.4 Hal yang demikian ini sesuai dengan Politik Hukum Agraria Nasional maupun Pancasila sebagai asas kerohanian negara yang meliputi seluruh tertib Hukum Indonesia. Dengan demikian, dalam menafsirkan dan

2Konsiderans berpendapat a Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

3Adijani Al Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal 2.

4Boedi Harsono, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaan UUPA, Jilid 1, Jambatan, Jakarta, Edisi Revisi 2003 : hal 220

(16)

melaksanakan peraturan agraria (pertanahan) yang berlaku harus berlandaskan dan bersumber pada Pancasila.5

Wakaf adalah sebagai salah satu cara mendapat hak kepemilikan atas tanah, merupakan salah satu lembaga Islam yang diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, yaitu sejak Islam masuk ke Indonesia. Dilihat dari keberadaannya, wakaf tanah berasal dari Hukum Islam, yang diberlakukan sebagai hukum nasional. Negara Indonesia menganut asas Pancasila yang memberikan hak kepada rakyatnya untuk melaksanakan kaidah-kaidah sesuai dengan keyakinan agamanya. Indonesia adalah negara sebagian besar penduduknya beragama Islam. Bagi orang Islam, beribadat menurut Agama Islam termasuk kedalam melaksanakan hukum-hukum yang diajarkan oleh Islam. Penerapan Hukum Islam telah diberlakukan sedikit demi sedikit secara bertahap oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapannya telah dilakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai variasi kelembagaan dan pasang surutnya situasi dan kondisi, dalam bentuk adat istiadat dan dalam Hukum Adat.

Demikian juga dalam bentuk yurisprudensi dan perundang undangan, walaupun masih sedikit dibandingakan materi Hukum Islam itu sendiri. Kenyataannya dapat kita lihat langsung dalam hukum perwakafan tanah milik, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977.6

5Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,1984, hal 69.

6Imam Suhadi, Wakaf Untuk Kesejahteraan Umat, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002, hal. 2

(17)

Sebenarnya perwakafan tanah ini dapat dimasukan dalam kategori pengasingan tanah (Land-alienation) karena pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah, namum dalam kaitannya dengan administrasi pendaftaran tanah, wakaf masuk kedalam kategori penetapan hak atas tanah karena terdapat kegiatan penetapan tanah wakaf melalui keputusan pejabat yang berwenang.7

Pengasingan tanah yang dimaksudkan diatas dapat diartikan suatu perbuatan memisahkan atau memindahkan sebagian hak milik dengan cara penyerahan secara sukarela oleh pemiliknya untuk kepentingan sosial, sehingga hak milik tersebut menjadi hapus. Pengasingan tanah wakaf dapat juga dikatakan sebagai pengasingan secara langsung, karena jelas orang yang menyerahkan (wakif), kepada siapa tanah tersebut diserahkan (nadzir) dan untuk apa pemanfaatnnya.

Berbicara tentang pemahaman perwakafan di Indonesia, maka harus diketahui landasan hukum yang berlaku tentang pewakafan tersebut dinegara ini. Karena hanya tanah hak milik sebagai objek wakaf, maka landasan hukum perwakafan menurut undang-undang dan peraturan perundangan di negara kita antara lain sebagai berikut:

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan

7Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 266

(18)

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

4. Instruksi bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 5. Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1978

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah, Instruksi bersama Menteri Agama-Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1990/….. No.

24 Tahun 1990 tentang Serterpikat Tanah Wakaf.

6. Surat Kepala BPN, 27 Agustus 1991, biaya serterpikat wakaf dengan biaya prona.

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994-pajak untuk tanah hibah/wakaf dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1977 unuk PHTB (Peralihan Hak Untuk Tanah Bangunan), atas pewakaf.8

Sebagai langkah konkrit pemerintah dalam menertibkan administrasi perwakafan, telah disahkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

UU ini terdiri atas 11 (sebelas) Bab dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal yang meliputi tentang pengertian wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, tata cara mewakafkan dan pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian sengketa, pembinaan dan pengawasan wakaf, Badan Wakaf Indonesia (BWI), ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.9

8M. Hasballah Thaib, Fiqih Waqaf, Konsentrasi Hukum Islam Program Pascasarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003, hal. 7

9Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan: Peradilan Agama di Indonesia, Perdana Publishing, Medan, 2010, hal. 347

(19)

Secara umum perwakafan tunduk pada Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, namun secara khusus ketentuan hukum yang mengatur tentang perwakafan tanah milik diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.10

Dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan tersebut, maka inti dari perwakafan adalah sebagai berikut:

1. Objeknya tanah hak milik dengan catatan tentu serterpikat dan/atau sekalian diproses hak miliknya.

2. Merupakan perbuatan hukum (wakaf) untuk memisahkan tanah milik perorangan/badan hukum (wakaf) guna kepentingan peribadatan, kepentingan umum sesuai ajaran Islam, berlaku selamanya dan tidak dapat dicabut.

3. Dilakukan dengan akta ikrar wakaf dihadapan pejabat akta ikrar wakaf.

4. Adanya nadzir yaitu perorangan atau badan hukum yang diberikan tugas memelihara dan mengurus harta wakaf tersebut.

5. Tanah wakaf dengan akta wakaf harus didaftarkan ke kantor BPN setempat.

6. Pengawasan tanah wakaf dan nadzir dilakukan oleh KUA Kecamatan

7. Atas tanah wakaf tersebut terbebas dari beban pajak berupa PBB, PPH, BPHTB, dan untuk persertipikatan tanah wakaf dengan biaya prona.11

Ketentuan mengenai perwakafan tanah milik yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum mengatur substansi hukum wakaf secara utuh

10 Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Op. cit, hal 268

11 M. Hasballah Thaib, Op. cit, hal. 8

(20)

sehingga belum dapat dijadikan landasan hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan wakaf yang dihadapi oleh lembaga keagamaan yang bertindak sebagai nadzir. Sering terjadi perselisihan antara nadzir dengan pewakaf atau ahli waris pewakaf, dan adakalanya melibatkan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang belum diatur oleh masyarakat dan belum ada ketentuan hukum mengenai cara penyelesaiannya. Jika hal itu tidak segera diatasi, dengan terlebih dahulu membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai wakaf, dikuatirkan akan semakin banyak harta wakaf beralih ke pihak lain tanpa hak akibat kesenjangan atau kelalaian nadzir yang dapat merugikan masyarakat.12 Hal-hal yang belum jelas diatur dalam undang-undang perwakafan seperti mengenai tata cara pengelolaan tanah wakaf, bagaimana imbalan nadzir bila tanah wakaf tidak memiliki hasil bersih dari pengelolaan dan pengembangan tanah wakaf, sanksi hukum terhadap nadzir yang tidak jujur dalam pengelolaan tanah wakaf, mekanisme penyelesaian sengketa wakaf dan siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa wakaf bila dilakukan musyawarah, peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan sengketa wakaf, dan bagaimana bila terjadi perubahan peruntukan tanah wakaf, bukankah ikral wakaf pada dasarnya tidak boleh dibatalkan, apakah akta ikral wakaf dapat diubah pula.

Mengkaji tentang pengelolaan wakaf, tentunya hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah masalah Nadzir wakaf, karena berkembang dan tidaknya harta wakaf sangat dipengaruhi oleh peran nadzir wakaf, meskipun ahli fiqih tidak

12Proses Lahirnya Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2005, hal 33

(21)

menjadikan nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif boleh menentukan nadzir terhadap harta wakafnya, mengingat pentingnya peranan nadzir, di Indonesia menjadikan nadzir sebagai salah satu unsur wakaf.13

Nadzir wakaf adalah orang atau badan yang memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sesuai dengan wujud dan tujuan wakaf tersebut. Pada dasarnya, siapa saja dapat menjadi nadzir selama ia mempunyai hak melakukan tindakan hukum.14 Ulama fiqih sepakat mengatakan bahwa pihak yang berwakaf boleh menunjukkan seseorang atau lembaga yang akan mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun menyebutkan sifat-sifatnya saja seperti pengelola wakaf itu harus cerdas, terampil, dan bertanggung jawab. Apabila pemberi wakaf menunjuk nadzir, maka wajib dipenuhi sesuai dengan syarat yang diminta. Akan tetapi, apabila wakif tidak menunjuk atau mensyaratkan nadzir, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi”I, yang bertindak sebagai nadzir adalah pihak penguasa, karena merekalah yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kepentingan umum. Menurut ulama Mazhab Hambali, nadzirnya adalah orang yang menerima wakaf tersebut. menurut ulama mazhab Hanafi, pengelolaan wakaf itu boleh dilakukan oleh wakif sendiri, baik ia syaratkan dirinya sebagai nadzir atau tidak, boleh juga orang yang diberi wasiat oleh wakif. Apabila tidak ada orang yang ditunjuk atau diawasi, maka nadzirnya adalah pihak penguasa.15 Wakif hendaknya

13Pasal 6 Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf

14Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Darul Ulum Press, Jakarta, 1994, hal.33

15Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 1910

(22)

menentukan nadzir dan honor atas kerjanya. Ia juga bisa memilih dirinya sebagai nadzir sepanjang hidupnya kalau mau. Ia berhak untuk menggantikannya, sekalipun itu tidak tertulis dalam ikral wakaf. Sedangkan kepengurusan yang memerlukan dewan dan badan wakaf apabila wakif belum nenentukan nadzir dan cara pemilihannya, dan apabila telah berlalu seratus tahun dari pembentukan wakaf, apapun bentuknya.16

Di dalam UU No. 41 tahun 2004, nadzir wakaf dijadikan sebagai salah satu unsur wakaf, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 6 yang menjelaskan bahwa wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf, yaitu:

1. Wakif 2. Nadzir

3. Harta benda wakaf 4. Ikrar wakaf

5. Peruntukan harta benda wakaf 6. Jangka waktu wakaf

Dalam Undang-undang tersebut, selain memuat nadzir wakaf sebagai unsur wakaf juga menjelaskan tentang kategori nadzir adakalanya:

1. Perseorangan 2. Organisasi, atau, 3. Badan hukum

16 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), Jakarta Timur, 2005, hal. 171

(23)

Sebelum ditetapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang perwakafan, telah ada PP Nomor 28 Tahun 1977 menegaskan tentang keberadaan nadzir dalam pelaksanaan perwakafan. Di dalam PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan tentang kewajiban dan hak nadzir yang bertujuan untuk menghindari praktek ketidakpastian pengelolaan dan pemanfaatan wakaf yaitu Pasal 7 yang berbunyi:

1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai aturan wakaf.

2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

3. Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut oleh menteri Agama.17

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2006 tentang aturan Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 secara jelas menjelaskan tentang Nadzir wakaf, dimana mulai pasal 2 hingga pasal 14 memuat tentang Nadzir wakaf, dimulai dari Pasal 2 hingga Pasal 14. Diantara hal yang dimuat dalam PP No.42 Tahun 2006 adalah tentang ketentuan nadzir, baik nadzir perseorangan, organisasi maupun nadzir badan hukum. Pasal 4 PP No.42 tahun 2006 menyebutkan:

1. Nadzir perseorangan ditunjukan oleh wakif dengan memenuhi persyaratan menurut Undang-undang

2. Nadzir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan pada Menteri Agama dan BWI melalui Kantor Urusan Agama setempat.

3. Dalam hal tidak terdapat Kantor Urusan Agama setempat sebagaimana pada ayat (2), pendaftaran nadzir dilakukan melalui Kantor Urusan Agama terdekat, Kantor Departemen Agama, atau Perwakilan Badan wakaf Indonesia di Provinsi/Kabupaten Kota.

4. BWI menerbitkan bukti pendaftaran Nadzir.

5. Nazir perseorangan harus merupakan suatu kelompok yang terdiri dari paling sedikit tiga orang dan salah salah seorang diangkat menjadi ketua.

17 Pagar, Op.Cit, hal. 90

(24)

6. Salah seorang nadzir perseorangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (5) harus bertempat tinggal di Kecamatan tempat benda wakaf berada.

Dalam praktik kehidupan masyarakat, sebidang tanah telah diwakafkan Sebagai akibatnya akan mempunyai kedudukan khusus, yakni terisolasinya tanah wakaf tersebut dari kegiatan transaksi (jual beli, sewa beli, hibah, waris, penjaminan, dan bentuk pengalihan hak lainnya). Sebagai akibatnya pula ia seolah- olah dapat dikategorikan sebagai suatu rechtpersoon (badan hukum), yakni pribadi hukum, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban di dalam kehidupan hukum sebagai subjek hukum. Dikatakan demikian, karena dari tata cara sampai kepada pengurusnya, seluruh kegiatannya dalam masyarakat merupakan kegiatan harta wakaf itu sendiri yang pelaksanaannya diwakili oleh nadzir. Agar harta wakaf kelembagaannya tetap terpelihara dan tujuannya dapat terlaksana, tentulah nadzir sebagai pihak yang diserahi dan diberi amanat untuk mengelola dan memeliharanya mempunyai peranan yang amat penting. Nadzir tidak saja berkewajiban menjaga dan mengurusnya, akan tetapi juga mewakili harta wakaf yang dikelolanya didalam dan diluar hukum, seperti laporan berkala kepada KUA, mempertahankannnya apabila diperkarakan di pengadilan.18

Pada dasarnya, terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksudkan dalam ikrar wakaf, sesuai dengan UU NO.41 Tahun 2004 Pasal 40, “harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan,

18Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 107.

(25)

ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya”. Disinilah peran nadzir sangat diperlukan, sebagai pihak yang memelihara dan mengamankan benda wakaf, untuk menjaga keberadaan dan keutuhan serta fungsi dari wakaf itu sendiri, sehingga tidak menyimpang dari keinginan wakif.

Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, sangat jelas bahwa keberadaan Nadzir sangat memiliki peran penting dalam pengelolaan dan pengurusan tanah wakaf, sebab tidak jarang terjadi penyelewengan penggunaan tanah wakaf karena tidak jelasnya siapa nadzir wakaf dan apa saja kewenangan dari nadzir terhadap tanah wakaf yang dikuasainya. Oleh karena nadzir merupakan orang yang berpengaruh keberadaannya, sebab dengan adanya nadzir akan terwujud pengelolaan tanah wakaf yang tertib hukum dalam masyarakat.

Pasca tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh, persoalan tanah menjadi persoalan yang sangat besar. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus tanah yang timbul. Tidak hanya masalah-masalah hilangnya batas tanah atau bukti-bukti kepemilikan tanah, tetapi karena banyaknya persil (bidang) tanah yang musnah. Dari persoalan tersebut ada beberapa kasus yang menimbulkan sengketa. Sengketa atas tanah ini tidak hanya terjadi pada tanah-tanah yang merupakan hak milik pribadi, tetapi juga terhadap tanah wakaf. Contohnya saja persoalan tanah wakaf di kawasan kecamatan kutaraja, Banda Aceh. Disebutkan Kepala KUA Kutaraja, Drs. H. Nurdin Ali, dari banyaknya tanah wakaf di kawasan ini, ada beberapa tanah wakaf yang bermasalah. Masalah timbul karena tanah wakaf yang ada kini diduduki oleh orang- orang yang sebelum tsunami tidak mendiaminya tanah-tanah tersebut diwakafkan

(26)

oleh Teungku Dianjong. Setelah diwakafkan, penduduk yang saat itu menjadi penerima wakaf, menimbun rawa-rawa dan selanjutnya dijadikan pemukiman, sampai akhirnya tsunami menghantam kawasan tersebut. masalah mulai muncul ketika kemudian para ahli waris yang sebelumnya tinggal di kawasan tanah wakaf itu membangun rumah bantuan pasca tsunami. Sebagian warga dikatakannya menolak keberadaan para ahli waris karena status tanah tersebut adalah tanah wakaf, artinya tidak bisa diwariskan. Selain itu, ada juga kasus di kecamatan Ulee Kareng. Di kecamatan ini, sengketa tanah wakaf terjadi karena peruntukan tanah yang diubah dari perjanjian semula. Tanah tersebut dalam aktanya disebutkan akan digunakan untuk kegiatan keagamaan. Tetapi kini, di atas tanah wakaf tersebut dibangun Poliklinik Desa (Polindes).19 Namun dari beberapa kasus yang di temukan di wilayah Banda Aceh, hanya ada satu kasus yang sampai ke tingkat Mahkamah Syar’iyah, yaitu kasus tanah wakaf Mesjid Jami’ di Kecamatan Lueng Bata Banda Aceh.

Berdasarkan informasi yang di peroleh dari Makamah Syar’iyah Banda Aceh.

Persoalan tanah wakaf terjadi tidak terlepas dari kurangnya tanggung jawab nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut. Nadzir wakaf yang mengelola tanah wakaf tersebut tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban sebagai mana yang sudah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga pemanfaatan tanah wakaf tidak sesuai dengan yang ikrarkan oleh wakif. 20

19Internet, http://www.google.com/idlo.int/wakaf_land_ind.pdf, terakhir di akses pada tanggal 01 Desember 2011

20 Hasil wawancara dengan H. Basri, S.H, Ketua Panitera Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, 8 Januari 2012.

(27)

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka disusunlah penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir”

(Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimana kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf?

2. Apakah yang menjadi kendala-kendala nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf?

3. Bagaimana efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah?

1. Untuk mengetahui kedudukan nadzir sebagai pengelola tanah wakaf menurut Hukum Islam dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala nadzir dalam pengelolaa tanah wakaf 3. Untuk mengetahui efektifitas pengelolaan pengawasan tanah wakaf.

D. Manfaat Penelitian

Dari pembahasan permasalahan dalam kegiatan penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktek.

(28)

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk sumbangan saran untuk perkembangan ilmu hukum pada umumnya serta ilmu kenotariatan khususnya tentang pengelolan tanah wakaf oleh nadzir.

Secara praktek, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan nadzir dalam kegiatan pemanfaatan harta wakaf dan pihak yang berkepentingan dengan tanah wakaf tersebut. selain itu, masyarakat dan praktisi hukum dapat menyadari bahwa kedudukan tanah wakaf adalah untuk mensejahterakan masyarakat dan merupakan milik bersama, bukan milik nadzir atau pihak tertentu yang menguasai tanah tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara di Medan, penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Atas Tanah Wakaf yang Dikuasai Nadzir (Studi Kasus di Kecamatan Lueng Bata Kota Banda Aceh) , ternyata belum pernah disusun oleh peneliti lain. Oleh karena itu penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah asli, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis berdasarkan nilai-nilai objektifitas dan kejujuran.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan teori harus diuji dengan menghadapkan pada fakta-

(29)

fakta dapat menunjukkan ketidakbenarannya.21 Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel bersangkutan memang dapat mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.22 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.23 Selain itu teori ini bermanfaat untuk memberikan dukungan analisis terhadap topik yang sedang dikaji. Disamping itu teori ini dapat memberikan bekal kepada kita apabila akan mengemukakan hipotesis dalam tulisan.24 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atas butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.25 Menurut teori konfesional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (recht geverchtyheid), kemanfaatan (recht sulihteit) dan kepastian hukum (recht zekerheid).26 Aveldoorn menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertip dalam masyarakat secara damai dan adil, untuk mencapai kedamaian hukum, harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan penumbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang

21J.JM. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, Jilid 1, FE UI, Jakarta, 1996, hal.

203

22J.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rieka Cipta, Jakarta, 2003, hal. 192

23Lexy J Molloeng, Metodelogi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

24Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.144

25M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80

26Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofi dan Sosiologi), Gunung Agung, Jakarta, 2002, hal.85

(30)

harus memperoleh hak-haknya sesuai hukum yang berlaku dalam hal mewujudkan keadilan.27

Wakaf adalah sesuatu istilah yang terdapat dalam Hukum Islam, oleh karena itu apabila berbicara mengenai wakaf, tidak mungkin terlepas dari konsepsi wakaf dari Hukum Islam. Hukum Islam bersifat elastis, sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman. Tujuan dari Hukum Islam adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Sejalan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori positivisme.

Teori positivisme yang dikembangkan oleh John Austin dalam bukunya yang berjudul Province of Jurisprudence, Jgon Austin mengartikan bahwa:

Hukum itu sebagai a commond of the lawgiver, yang artinya bahwa hukum adalah perintah dari penguasa, yaitu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai sesuatu yang logis, tetap dan bersifat tertutup. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada nilai baik buruk.28 Oleh karena itu, hukum positif harus memenuhi unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Di sinilah letak korelasi antara persoalan kepastian hukum yang merupakan salah satu tujuan hukum dengan peranan negara.

Dalam Hukum Positivisme, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian.

27 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.57

28 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar maju, Bandung, 2002, hal.55.

(31)

Hukum berwakaf ada beberapa macam, menurut pendapat imam-imam diantaranya ialah: Imam Syafi’I berpendapat bahwa berwakaf adalah “suatu ibadah yang disyari’atkan Allah dan berlaku sah bilamana orang yang berwakaf itu telah menyatakan dengan kalimat tanda menyerahkan seperti katanya” saya telah mewakafkan (berwakaf) walaupun tidak diputuskan oleh hakim. Kemudian Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wakaf adalah merupakan suatu sadakah ataupun pemberian dan tidak terlepas dari milik orang yang berwakaf sebelum hakim memutuskannya. Dengan arti kata sebelum hakim mengumumkan bahwa harta itu adalah wakaf atau dengan kata-kata ta’lik yaitu sesudah meninggal orang yang berwakaf seumpama perkataan si wakif: Bila saya telah meninggal dunia maka harta saya (misalnya sawah saya) saya wakafkan untuk kepentingan urusan masjid si polan.29

Pengaturan wakaf di Aceh sebelum kedatangan kaum penjajah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ajaran Islam yang bersumber dari kitab fiqih bermazhab Syafi’i. Karena masalah wakaf ini sangat erat kaitannya dengan Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, dengan tidak mengurangi nilai-nilai ajaran Islam yang terdapat dalam wakaf itu sendiri.30 Sejalan dengan perkembangan zaman yang begitu pesat,

29M. Hasballah Thaib, Hukum Benda Menurut Islam, Fakultas Hukum Dharmawangsa, Medan, 1992, hal.72

30Surawardi K.Lubis dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.151

(32)

sejarah perkembangan perwakafan tanah milik mengikuti pula perkembangan sejarah Islam yang terdapat disuatu Negara. 31

Mengingat betapa pentingnya masalah tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas pemeluknya Agama Islam, maka lembaga wakaf tanah harus di transformasikan ke dalam Hukum Nasional guna melindungi eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat.32

Adanya perkembangan lembaga perwakafan tanah milik yang berkembang di negara-negara Islam mengilhami pembuat/perancang UUPA Tahun 1960 memasukan salah satu pasal dalam UUPA yang mengatur khusus mengenai perwakafan tanah milik, yaitu pasal 49 yang berbunyi sebagai berikut:33

1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dalam sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

3. Perwakafan tanah milik dilindumgi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Penerapan Hukum Syariat adalah merupakan hukum positif yang diberlakukan di Provinsi Aceh dan dilegalkan atau disahkan oleh negara atas keinginan masyarakat Aceh.34 Didalam penerapan Hukum Syariat di Aceh, merupakan suatu penghormatan terhadap agama dalam praktek kehidupan bernegara,

31Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 134

32Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Tatanusa, Jakarta, 2003, hal. 36.

33Supriadi, Loc. cit

34Amrullah Ahmad, SF, Dimensi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 183

(33)

dalam Hukum Syariat itu tersusun norma hukum nonyuridis dan yuridis sekaligus. Di dalam sistem hukum Indoensia, meski Syariat Islam diberlakukan, namun hukum nasional juga diberlakukan, untuk itu harus ada terciptanya keharmonisan hukum yang tidak bertentangan dan saling melengkapi dengan hukum nasional.35

Menurut Satjipto Raharjo:

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.36

Jadi menurut teori ini pengelolaan wakaf dan pendayagunaannya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan agar tercapainya kepastian hukum, keadilan serta ketertiban hukum. Oleh karenanya, sebagai negara yang berdasarkan hukum, kebijakan di bidang hukum nasional sangat di perlukan. Arah kebijakan harus menyeluruh dan terpadu dengan mengikutsertakan konsep-konsep Hukum Islam serta memperbaharui perundangan-undangan tanah wakaf apabila sudah tidak selaras dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat sehingga hak tanah wakaf yang dimiliki masyarakat dapat terjamin.

35 Ibid.

36 Sajibto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, 2000, hal.53

(34)

Menurut Ultercht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan.

Hukum menjamin kepastian para pihak yang satu terhdap pihak yang lain.37

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.38 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran.”Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.”39

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.40 Untuk menghindari pengertian atau penafsiran yang berbeda dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penulisan tesis ini dirumuskan beberapa defenisi sebagai berikut:

Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang diatasnya dengan pembatasan pasal 4 yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

37M.Solly Lubis, Beberapa Pengertian Umum tentang Hukum, Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU, 2004, hal.21

38Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulisan Ilmiah, Bumi Aksara, 2000, hal.122

39Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal.34.

40Sumardi Suryabrata, Metodeloi Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal.3

(35)

berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lainnya yang lebih tinggi. Dalam hukum tanah nasional sebutan tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah diberi pembatasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria.

Wakaf adalah persoalan pemindahan hak milik yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.41

Nadzir adalah seseorang atau lembaga yang mengelola harta wakaf, baik menunjuk pribadi langsung maupun menyebut sifat-sifatnya saja, seperti pengelola itu harus cerdas, terampil dan bertanggung jawab.42

Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara atau pihak (pemilik) yang kewenangan pelaksanaan sebagian dilimpahkan kepada pemengangnya (nadzir).

Dikuasai adalah dimiliki secara fisik dala arti digarap, dihuni, namun belum tentu dia adalah pemilik atau yang punya tanah itu.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat peneelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkungan permasalahan dan berdasarkan teori dan konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan

41 Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1999, hal. 1905

42 Ibid , hal 1910

(36)

komporasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain.43 Deskriptif artinya mampu memberi gambaran secara jelas dan sistematis tentang masalah yang akan diteliti. Analisis artinya menganalisa secara teliti permasalahan berdasarkan gambaran dan fakta sehingga mampu menjawab permasalahan tesebut.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Artinya dengan pendekatan terhadap permasalahan yang dirumuskan dengan mempelajari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan, membandingkan dengan penerapan hukum dan peraturan didalam masyarakat.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan-bahan kepustakaan dan data yang dikumpulkan melalui dokumen dan wawancara.

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang, putusan pengadilan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder , yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah dari kalangan hukum yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

43Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 38

(37)

c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Studi Kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data dengan melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

b. Wawancara dengan nara sumber, yaitu KUA Kecamatan Lueng Bata, Nadzir Kecamatan Lueng Bata, Hakin Makamah Syar’iyah Kota Banda Aceh.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif, yaitu penelitian dilakukan dengan menganalisis terhadap data-data atau bahan-bahan hukum yang berkualitas saja. Selanjutnya, ditarik kesimpulan dengan metode deduktif, yakni befikir dari hal yang umum menuju kepada hal yang khusus atau spesifik dengan menggunakan perangkat normative. Analisis data dilakukan setelah diperoleh data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sehingga memberikan jawaban yang jelas atas permasalahan dan tujuan penelitian.

(38)

38

BAB II

KEDUDUKAN NADZIR SEBAGAI PENGELOLA TANAH WAKAF MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO.41 TAHUN 2004

A. Tinjauan Terhadap Wakaf

1. Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam

Wakaf menurut Bahasa Arab berarti al-habsu, yang berasal dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan.

Kemudian, kata ini berkembang menjadi habbasa dan berarti mewakafkan harta karena Allah. Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi ) – yaqifu (fiil mudori’) – waqfan (isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut syara’ adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan untuk kebaikan. 44 Para pakar Hukum Islam berbeda pendapat dalam memberi definisi wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan paham mazhab yang mereka ikuti, mereka juga berbeda persepsi didalam menafsirkan tata cara pelaksanaan wakaf di tempat mereka berada. Al- Minawi yang bermazhab Syafi’I mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda yang dimiliki dan menyalurkan manfaatnya dengan tetap menjaga pokok barang dan keabadiannya yang berasal dari para dermawan atau pihak umum selain dari harta maksiat, semata-mata karena ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan

44Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 25.

(39)

Al Kabisi yang bermazhab Hanafi mengemukakan bahwa wakaf adalah menahan benda dalam kepemilikan wakif dan menyedekahkan manfaatnya kepada orang-orang miskin dengan tetap menjaga keutuhan bendanya. Definisi yang terakhir ini merupakan tambahan saja dari definisi yang telah dikemukakan oleh Imam Abu Hanfiyah yang mengatakan bahwa wakaf itu menahan benda milik si wakif dan yang disedekahkannya adalah manfaatnya saja.45

Dalam Pasal 215 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Dalil-dalil yang dijadikan sandaran/dasar hukum wakaf dalam Agama Islam adalah :

a. Al Qur’an surah Al-Hajj ayat (77), artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, ruku dan sujudlah kamu dan sembahlah Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu bahagia.”

b. Al Qur’an surah An-Nahl ayat (97), artinya :

“Barang siapa yang berbuat kebaikan, laki-laki atau perempuan dan ia beriman, niscaya akan Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan. “ c. Al Qur’an surah Ali Imran ayat (92), artinya :

45Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenata Media Group, Jakarta, 2006, hal.238.

(40)

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaikan, sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.”

d. Hadits Rasulullah Saw. Yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Hurairah yang terjemahannya :

“Apabila mati anak Adam, terputuslah daripadanya semua amalnya kecuali 3 (tiga) hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya.” Imam Muslim meletakkan hadits ini dalam bab wakaf karena para ulama menafsirkan istilah sedekah jariyah dengan wakaf. Hadits yang diriwayatkan oleh 5 (lima) Ahli Hadits dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar r.a. memperoleh sebidang tanah di Khaibar. Beliau menghadap Nabi Muhammad Saw. dan bertanya : “ Aku telah memperoleh sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah kuperoleh sebaik itu, lalu apa yang akan engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah bersabda: “Jika suka, engkau tahanlah pokoknya dan engkau gunakanlah untuk sedekah (jadikanlah wakaf).” Kata Ibnu Umar: “Lalu Umar menyedekahkannya, tidak dijual pokoknya tidak diwarisi, dan tidak pula diberikan kepada orang lain dan seterusnya.”46

Wakaf dalam Islam telah dimulai bersamaan dengan dimulainya masa kenabian Muhammad Shallallahu Alaihin wa Sallam di Madinah yang ditandai dengan pembangunan Masjid Quba’, yaitu masjid yang dibangun atas dasar takwa sejak dari pertama, agar menjadi wakaf pertama dalam Islam untuk kepentingan

46Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002 : hal. 32

(41)

agama. Peristiwa ini terjadi setelah Nabi hijrah ke Madinah dan sebelum pindah ke rumah pamannya yang berasal dari Bani Najjar. Kemudian disusul dengan pembangunan masjid Nabawi yang dibangun diatas tanah anak yatim dari Bani Najjar setelah dibeli oleh Rasullulah Shallallahu Alaihi wa Sallam dengan harga delapan ratus dirham, sebagaimana disebut dalam buku “Sirah Nabawiyah”, dengan demikian Rasullulah telah mewakafkan tanah untuk pembangunan masjid.47

Wakaf lain yang dilakukan pada zaman Rasullulah adalah wakaf tanah Khaibar dari Umar bin Al Khathab Radhiyallahu Anhu. Tanah ini sangat disukai oleh Umar karena subur dan banyak hasilnya. Namun demikian, ia meminta nasehat kepada Rasulullah tentang apa yang seharusnya ia perbuat terhadap tanah itu. maka Rasullulah menyuruh agar Umar menahan pokoknya, dan memberikan hasilnya kepada para fakir miskin, dan Umarpun melakukan hal itu. Peristiwa ini terjadi setelah pembebasan tanah Khaibar yang terlaksana pada tahun ketujuh Hijriyah. Pada masa Umar bin Al Khathab Radhiyallahu Anhu menjadi Khalifah, ia mencatat wakafnya dalam akte wakaf dengan di persaksikan kepada para saksi dan mengumumkannya. Sejak saat itu keluarga Nabi dan para sahabat yang mewakafkan tanah dan perkebunannya. Sebagian diantara mereka ada yang mewakafkan harta untuk keluarga dan kerabatnya, sehingga muncullah wakaf keluarga (wakaf dzurri atau ahli).48

47 Mundzir Qanaf, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta Timur, 2005, hal. 6

48 Ibid. hal.9

(42)

Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa wakaf berarti menahan harta seseorang, baik harta tersebut sebagai benda tidak bergerak seperti tanah maupun benda bergerak seperti uang (wakaf tunai) untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan ibadah dan umat.

Ulama fikih membagi wakaf kepada dua bentuk, pertama wakaf khairi, yaitu wakaf yang sejak semula diperuntukan bagi kemaslahatan atau kepentingan umum, sekalipun dalam jangka waktu tertentu, seperti mewakafkan tanah untuk membangun masjid, sekolah dan rumah sakit. Kedua, wakaf ahli atau zurri, yaitu wakaf yang sejak semula ditentukan kepada pribadi tertentu, sekalipun pada akhirnya untuk kemaslahatan dan kepentingan umum, karena apabila penerima wakaf telah wafat, harta wakaf tidak bisa diwarisi oleh ahli waris yang menerima wakaf.49

Perkembangan mengenai pengertian wakaf, sebelum tahun tujuh puluhan, untuk memahami fiqh wakaf di Indonesia hanya dipergunkan pendapat ahli madzhab Syafi’I, namun setelah para hakim Pengadilan Agama telah banyak dijabat oleh alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN), tampak perubahan orientasi, tampak perumbahan orientasi, tidak terbatas lagi pada fiqh Islam madzhab Syafi’I, tetapi sudah meluas, berkembang meliputi juga paham yang tumbuh dalam mazhab Hukum Islam lainnya.

Kompilasi Hukum Islam yang telah dikeluarkan oleh Presiden melalui instruksinya kepada Menteri Agama Republik Indonesia pada tanggal 10 Juni 1991 dalam bab III juga mengatur tentang wakaf. Pengertian wakaf dalam KHI tercantum

49 Ensiklopedi Hukum Islam, Op.Cit., hal. 1906

(43)

dalam Pasal 215 ayat (1). Wakaf menurut KHI adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebahagian dari benda miliknya dan melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam.

Pengertian wakaf dalam KHI ditemui kata “memisahkan” menunjuk pada pengertian wakaf, sedangkan kata “untuk selama-lamanya” mencerminkan pendapat madzhab Hambali yang kebetulan sejalan dengan paham madzab Syafi’i. kalimat

‘untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum” dalam rumusan itu menunjukkan pada wakaf umum dalam pengertian madzhab Syafi’i. Jadi, pengertian wakaf dalam KHI adalah gabungan pendapat Madzhab Syafi’I dengan madzhab Hambali.

2. Wakaf Dalam Perspektif Hukum Pertanahan Nasional

Wakaf sebagai perbuatan hukum telah lama melembaga dan dipraktekan dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Pengaturan tentang wakaf terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria yang ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 mengatur tentang wakaf, baik dalam pengertian sebagai lembaga hukum, ataupun sebagai hubungan hukum, di dalam Pasal 49 ayat (3) yang menyatakan, perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah yang

(44)

dimaksudkan Pasal 49 ayat (3) diatas, baru muncul setelah 17 tahun berlakunya Undang-undang Pokok Agraria, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977.

Sampai dengan ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, yaitu tanggal 17 Mei 1977, maka sebelumnya baik formil maupun materil perwakafan tanah di atur oleh hukum yang hidup dalam masyarakat, yaitu Hukum Islam yang diterima oleh hukum adat. Akan tapi tidak pula berarti bahwa dengan ditetapkan peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, masalah perwakafan tanah secara materil telah diatur secara lengkap oleh peraturan pemerintah tersebut. pengaturan detil persoalan wakaf, dari segi materilnya atau substansinya, masih terbuka untuk bagian dari hukum tidak tertulis, dalam hal ini hukum adat.50

Pada masa itu, Pemahaman dan pengertian wakaf menurut perundang- undangan yang berlaku di Indonesia hanyalah sebatas mengenai tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yaitu: “wakaf dalam perbuatan hukum seseorang atau badan yang memisahkan sebahagian dari harta kekayaan yang berupa “tanah milik” dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPERNAS) Tahun 2000-2004 dan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/199 tentang GBHN yang antara lain menetapkan bahwa perlunya

50Mohammad Koesnoe, Wakaf Tanah Di Dalam Sistem Tata hukum Nasional Kita, Kumpulanhasil Seminar Wakaf Tanah Dalam Sistem Hukum Nasional, Fakultas Hukum UIR, Pekanbaru, 1991, hal. 43

(45)

arah dan kebijakan dari bidang hukum, maka lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf ini merupakan inhern dengan penataan sistem hukum nasional yang berlaku saat ini. Dalam PROPERNAS 2000-2004 ditentukan bahwa sistem hukum nasional yang akan dibangun adalah besifat menyeluruh dan terpadu dalam mayarakat Indonesia. Diharapkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004, pengembangan wakaf pada masa yang akan datang akan memperoleh dasar hukum yang kuat, terutama adanya kepastian hukum kepada nadzir, wakif, dan peruntukan wakaf. 51

Pengertian wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 disebutkan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna kerperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syar’iyah. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dijelaskan bahwa salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, perlu meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memilki kekuatan ekonomi yang berpotensi, antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga perlu dikembangkan pemanfaatnya sesuai dengan prinsip Syar’iyah.52

51Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenata Media Group, Jakarta, 2006, hal.254

52Ibid, hal. 256

Referensi

Dokumen terkait

Melalui penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk mengungkap fokus permasalahan di atas. Dengan metode tersebut dilakukan wawancara kepada beberapa narasumber

Proses otentikasi jaringan dengan menggunakan Kerberos terpusat pada server Kerberos. Setiap proses yang ada di instant message akan melalui proses

Penelitian ini menguji kaitan antara perubahan harga saham dan aktivitas volume perdagangan (excess trading volume) di Bursa Efek Jakarta dengan adanya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh variabel Return On Equity dan Debt to Equity Ratio terhadap Harga Saham baik secara parsial

Salah satu proses yang terdapat pada domain DSS adalah DSS05 (Manage Security Services), yang merupakan proses yang berfokus pada upaya melindungi informasi organisasi untuk

Salah satu faktor resiko yang menjadi pemicu terjadinya kanker leher rahim adalah pemakaian Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR). Pemakaian AKDR akan berpengaruh

konsumsi minuman bersoda, minuman berenergi, pernah didiagnosis gangguan glomerulus atau tubulo-intersisial ginjal, batu ginjal, hipertensi, dan diabetes mellitus meningkatkan risiko

Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh penanaman modal dalam negeri (PMDN), upah minimum (UMP) dan belanja modal (BM) terhadap daya serap tenaga kerja