• Tidak ada hasil yang ditemukan

xxii terhadap sumberdaya ini, termasuk lembaga pemerintahan, peneliti,

ANALISIS: SDA, KEBIJAKAN, FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

2.3 Pengelolaan Pulau-pulau Kecil

Kebijakan pembangunan dengan paradigma daratan di masa lalu cenderung telah menyebabkan terjadinya miss management dalam pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil beserta perairannya. Menurut Retraubun (2002), apa yang terjadi di masa lampau dalam penerapan model konsep pembangunan kontinental (land based oriented) di seluruh wilayah Indonesia secara seragam dan model konsep pembangunan pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan dua pendekatan yang ekstrim berbeda. Indikasi logis dari kebijakan pembangunan yang keliru (miss management) dalam pengelolaan pulau-pulau kecil pada masa lalu menyebabkan kawasan ini berada dalam kondisi: miskinnya masyarakat pada kawasan ini, kemampuan sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan pengetahuan tradisional, sumberdaya alam hayati maupun nir-hayatinya tidak

dimanfaatkan secara efisien dan efektif, lingkungan laut maupun daratnya mengalami kerusakan serius, dan terjadinya kesenjangan pembangunan yang sangat besar pada pulau kecil dan kontinen.

Martadiningrat (2009), menyatakan bahwa konsep pembangunan berorientasi ke daratan (land base oriented) adalah konsep pembangunan nasional Indonesia masa lalu yang berdasarkan wawasan kontinental (continental pradigm). Konsep ini sesungguhnya kurang tepat, karena jika ditinjau dari aspek geopolitik maupun geostrategis, pembangunan Indonesia seharusnya berorientasi kepada pembangunan maritim berdasarkan wawasan maritim (maritime pradigm). Menurut Buwono (2009), sebagai konsekuensi dari konsep geopolitik dan geostrategis yang melahirkan konsep wawasan nusantara, maka Bangsa Indonesia memerlukan perubahan paradigmatis dari semangat kontinental pembangunan daratan (land base oriented) ke arah pembangunan kelautan (marine base oriented) sesuai dengan kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Lebih lanjut dinyatakan oleh Muladi (2009), bergesernya paradigma land base oriented menjadi maritime oriented, bukan berarti mengabaikan potensi daratan, namun berbagai kegiatan pembangunan di daratan hendaknya bersifat sinergis dan saling menguatkan dengan kegiatan pembangunan kelautan.

Pengelolaan pulau-pulau kecil adalah suatu konsekuensi logis, mengingat negara Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri ribuan pulau-pulau kecil. Menurut Wiludjeng (2007), pengelolaan atau manajemen sudah ada sejak dahulu kala, sejak manusia memenuhi kebutuhannya melalui bantuan orang lain. Pengelolaan atau manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur atau mengelola. Pengelolaan atau manajemen setidaknya memiliki unsur-unsur: (1) sebagai proses/usaha/aktivitas; (2) sebagai art atau seni; (3) terdiri dari individu-individu/orang-orang yang melakukan aktivitas; (4) menggunakan berbagai sumber-sumber dan faktor-faktor produksi yang tersedia dengan cara yang efektif dan efisien; serta (5) adanya tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Purwaka (2003), menyebutkan bahwa manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengejawantahan atau perwujudan, serta pengendalian upaya anggota organisasi dalam proses penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Manajemen adalah ilmu dan seni tentang bekerja dengan dan melalui orang-orang, untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Retraubun (2005), dalam merumuskan kebijakan menyangkut pengelolaan pulau-pulau kecil harus memenuhi segenap kriteria pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi efisien dan optimal (economically sound), secara sosial-budaya berkeadilan dan dapat diterima (socio-culturally acepted and just), dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (enviromentally friendly). Pengelolaan berkelanjutan pada dasarnya merupakan strategi pembangunan yang memberikan suatu ambang batas/limit yang tidak bersifat mutlak/absolut, bahkan cenderung luwes/fleksibel tergantung kondisi pemanfaatan sumberdaya oleh manusia. Dengan kata lain, manajemen lingkungan merupakan prasyarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan manajemen pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang sinergi dengan manajemen lingkungan.

Bengen (2003), menyatakan bahwa manajemen lingkungan umumnya meliputi pemantauan dan modifikasi sumberdaya alam sebagaimana dibutuhkan untuk menghasilkan suatu yang bernilai tambah. Namun demikian sumberdaya merupakan komponen penentu dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil tersebut, sehingga manajemen lingkungan dapat disebut sebagai manajemen hubungan antara manusia dan lingkungan (man-environment). Pendayagunaan potensi kawasan pulau-pulau kecil yang sesuai daya dukung lingkungannya adalah bahwa setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan harus mampu ditolerir oleh kemampuan dan daya dukung wilayah tersebut.

Menurut Dahuri et.al., (2001), pengelolaan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah yang sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak dan tetap terjaga. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil seyogyanya harus memiliki implikasi terhadap pencegahan kerusakan sumberdaya sebagai pilihan utama, walaupun modifikasi lingkungan untuk meningkatkan penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi manusia tidak dapat dihindari.

Pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan sektor-sektor yang memenuhi prasyarat industrialisasi berbasis pada kekuatan sumberdaya alam dalam negeri, sehingga dapat dipilih sebagai sumber pertumbuhan baru yang selanjutnya tampil menjadi salah satu sektor keunggulan lokal, seperti halnya sektor wisata bahari. Dahuri (2000), menyatakan bahwa sektor-sektor pembangunan yang dapat dipilih menjadi sektor keunggulan lokal untuk memulihkan kembali

kemampuan dan kapasitas produksi ekonomi nasional dan melepaskan diri dari ketergantungan ekonomi, mengandung syarat-syarat diantaranya: (1) sektor tersebut mampu menghasilkan devisa yang cukup besar; (2) permintaan sektor tersebut di pasaran nasional dan internasional yang tinggi; (3) faktor-faktor produksi sektor tersebut di dalam negeri relatif tersedia dalam jumlah yang besar; (4) sektor tersebut dapat menyerap jumlah tenaga kerja lokal yang besar untuk menekan jumlah pengangguran yang meningkat akibat pertambahan angkatan kerja baru; (5) sektor tersebut dapat melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses produksi; (6) menarik minat penanaman modal dan investasi yang besar; serta (7) terbebasnya sektor itu dari hambatan-hambatan berusaha, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi maupun kebijakan dan politik.

Secara politik, Pemerintah Pusat bertindak sebagai penyusun kebijakan nasional berupa suatu perencanaan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi saat ini, dengan mendorong pertumbuhan dan berkembangnya kemampuan suatu komunitas masyarakat baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Bratakusumah dan Riyadi (2005), menyebutkan bahwa kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah Pusat dalam rangka penguatan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan adalah pada penetapan kebijakan yang bersifat norma, standar, kriteria, dan prosedur.