• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau Suranti

xxii terhadap sumberdaya ini, termasuk lembaga pemerintahan, peneliti,

NO JENIS IKAN

4.2 Kawasan Kapoposan

4.2.4 Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau Suranti

Desa Mattiro Matae memiliki tiga pulau kosong (tidak berpenduduk) yang termasuk dalam kawasan pengelolaan kawasan Kapoposan, yaitu: (1) Pulau Pamanggangan dengan luas total (daratan dan sebaran terumbu karang) sekitar 80,52 ha; (2) Pulau Tambakulu dengan luas total (daratan dan sebaran terumbu karang) sekitar 10,19 ha; dan (3) Pulau Suranti dengan luas total (daratan dan sebaran terumbu karang) sekitar 96,74 ha. Ketiga pulau dimaksud merupakan pulau yang menjadi tempat persinggahan nelayan, baik untuk bermalam maupun sekedar beristirahat.

Kondisi umum ketiga pulau memiliki hamparan pasir dengan terumbu karang yang relatif rusak (diduga akibat aktivitas pengeboman dan penggunaan

racun sianida). Penutupan karang hanya sekitar 5-15% karang hidup, yang didominasi oleh karang keras di sisi baratnya. Hamparan pasir dan karang (reef flat) cukup luas dan dangkal dengan nilai kecerahan perairan umumnya 2-3 meter yang mengindikasikan tingkat kekeruhan yang tinggi. Vegetasi yang ada di ketiga pulau relatif sama, yaitu beberapa jenis rerumputan khas pantai, pohon kelapa dan cemara laut.

Pulau Tambakulu, Pulau Suranti dan Pulau Pamanggangan merupakan tempat peristirahatan bagi nelayan luar kepulauan dan masyarakat lokal saat melakukan aktivitas penengkapan ikan. Pemanfaatan ketiga pulau tersebut oleh Pemerintah Daerah saat ini direncanakan untuk dikembangkan sebagai pulau-pulau penunjang wisata bahari, yaitu diperuntukkan sebagai tempat persinggahan dan rekreasi pantai (sun bathing atau berjemur) bagi para wisatawan yang menginap di Pulau Kapoposan.

Pendekatan Pengelolaan Kawasan

Pendekatan pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan selayaknya dilakukan dengan memperhatikan kekhususan dan prinsip kehati-hatian terhadap kondisi karakteristik biofisik yang meliputi: (1) tangkapan air yang terbatas dan sumberdaya/cadangan air tawar yang sangat rendah dan terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan (stressor) dan pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran; dan (3) memiliki sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keaneka-ragaman yang tipikal dan bernilai tinggi. Retraubun (2005) menyatakan beberapa karakteristik khusus pulau-pulau kecil adalah: (1) terpisah dari pulau besar; (2) sangat rentan terhadap perubahan yang disebabkan alam dan/atau disebabkan manusia; (3) memiliki keterbatasan daya dukung pulau; (4) apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya yang khas; dan (5) ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau, baik pulau induk maupun kontinen.

Khusus bagi ketersediaan pemenuhan kebutuhan air tawar sebagai salah satu prasyarat kehidupan di pulau-pulau kecil, maka arah pengelolaan harus memperhatikan ketersediaan dan pemanfaatan yang bijak terhadap sumberdaya air tawar yang ada. Dahuri (2000), menyatakan bahwa pulau kecil mempunyai tangkapan air (catchment) yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Hal ini harus menjadi perhatian khusus, mengingat sumberdaya air tawar untuk kebutuhan air minum di Pulau Kapoposan selain digunakan oleh masyarakat pulau, pada musim kemarau dimanfaatkan pula oleh masyarakat yang berada di Pulau Gondongbali dan Pulau Papandangan.

Pengalihan pengelolaan Kawasan Kapoposan dari Departemen Kehutanan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), memberikan tanggung jawab kepada DKP untuk bersama-sama Pemerintah Daerah Kabupaten

Pangkep untuk melakukan upaya penanganan pengelolaan yang

mengintegrasikan pembangunan antara wilayah darat, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan tetap memperhatikan keterkaitan: (1) aspek ekologis, yaitu bahwa lingkungan Kawasan Kapoposan ditandai dengan keberadaan dan keanekaragaman sumberdaya hayati seperti ekosistem terumbu karang,

mangrove, padang lamun, dan sumberdaya ikan, hingga jasa-jasa lingkungan yang memerlukan pengaturan, penataan dan penanganan upaya perbaikan atas kerusakan yang ada; (2) aspek ekonomis, yaitu bahwa masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan memerlukan dukungan dan pengaturan agar kegiatan usaha pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan lebih produktif dan pengelolaannya dilakukan secara lebih lestari; (3) aspek geografis, yaitu bahwa Kawasan Kapoposan relatif memiliki aksesibilitas yang rendah, baik yang bersifat antar pulau maupun dengan wilayah daratan, sehingga dibutuhkan penyediaan sarana tranportasi reguler yang memadai untuk membuka keterisolasian yang ada; dan (4) aspek sosio-ekonomis, yaitu bahwa infrastruktur dasar yang tersedia dalam mendukung kehidupan dan penghidupan masyarakat di Kawasan Kapoposan masih sangat terbatas baik dari sisi ketersediaan, kelengkapan, hingga fungsinya, sehingga menjadi tanggungjawab pemerintah (baik pusat maupun daerah) dalam penyediaannya.

Permendagri No. PER.16/MEN/2008 menyebutkan bahwa kawasan pulau-pulau kecil adalah kumpulan beberapa pulau-pulau kecil yang membentuk kesatuan ekosistem dengan perairan di sekitarnya, yang memberikan pengertian bahwa adanya pembedaan atau batasan tertentu/khusus terhadap pulau kecil, meskipun pada hakekatnya pulau kecil merupakan wilayah daratan seperti pulau besar. Berdasarkan pengamatan, batasan tertentu/khusus dimaksud sangat berkaitan erat dengan daya dukung yang dimiliki Kawasan Kapoposan meliputi: 1) Daya dukung ekologi. Terumbu karang di sekitar Kawasan Kapoposan

dengan kondisi baik dijumpai pada kedalaman 12-14 m dengan presentase tutupan karang hidup berkisar sekitar 60%. Kondisi sangat baik dijumpai pada kedalaman 4-10 m dengan kisaran presentase tutupan karang hidup berkisar 80% hingga 90%. Potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai gudang dari plasma nutfah, nursery ground (daerah asuhan), spawning ground (daerah berbiak), feeding ground (daerah mencari makanan), dan untuk tujuan wisata bahari, khususnya bagi para wisatawan penikmat keindahan terumbu karang (coral reefs). Nilai keanekaragaman terumbu karang dari Pulau Kapoposan hingga Pulau Suranti berkisar antara 55%-70%, dengan genera yang umum dijumpai antara lain jenis Fungia sp, Montipora sp, Hydnopora sp, Porites sp, Acropora sp, dan Sponge sp.

2) Daya dukung sosial budaya. Masyarakat di tiga pulau, yaitu Pulau Kapoposan, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali, relatif tergolong

masyarakat nelayan subsisten (pendapatan yang diperoleh hanya dapat mencukupi kebutuhan makan sehari-hari). Namun hal tersebut tidak menghalangi kesadaran untuk melakukan upaya preservasi ekologi terumbu karang dengan menghindari kegiatan penangkapan ikan yang cenderung merusak dan ilegal. Meskipun pola kekerabatan dan lembaga adat kurang berkembang, permasalahan yang timbul dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dibahas dan diselesaikan melalui rembug desa. Pelibatan masyarakat secara langsung dalam proses penetapan zonasi, pelaksanaan kegiatan pengawasan dan pengembangan kegiatan pariwisata ke depan menjadi sangat penting, untuk meyakinkan bahwa pembagian zonasi tidak dimaksudkan untuk membatasi usaha masyarakat, namun dapat meningkatkan kesejahteraan melalui pengembangan kegiatan-kegiatan wisata bahari berbasis konservasi.

3) Daya dukung ekonomi. Kawasan Kapoposan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, sehingga dapat menjadi sumber plasma nuftah serta objek wisata bahari yang bernilai ekonomis sangat tinggi. Konsep wisata bahari berbasis konservasi didasarkan kepada fenomena keunikan alam, karakteristik ekosistem terumbu karang, kekhasan budaya, dan karakteristik masyarakat nelayan. Jenis wisata bahari yang dapat dikembangkan antara lain berjemur (sunbathing), berenang (swimming), berperahu (boating), olahraga memancing (sport fishing), snorkling, menyelam (diving), wisata budaya, wisata riset, serta wisata dengan minat khusus bagi orang-orang yang sadar akan lingkungan dan tertarik untuk mengamati alam.

Setelah mengetahui daya dukung kawasan yang dimiliki, langkah pendekatan pengelolaan kawasan berikutnya dalam mencapai pemanfaatan sumberdaya kelautan, perikanan, dan jasa-jasa lingkungan yang ada berdasarkan karakteristik kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya, adalah dengan menyediakan suatu penataan ruang yang diatur berdasarkan fungsi konservasi, dengan arahan penataan ruang berdasarkan keutuhan ekosistem, kesesuaian lahan, daya dukung kawasan (baik ekologi, sosial budaya, maupun ekonomi), dan pembagian zonasi. Berdasarkan konsultansi publik yang dilakukan DKP (2009), pembagian zonasi Kawasan Kapoposan seperti disampaikan pada Gambar 11, 12 dan 13.

Berdasarkan Gambar 11, 12 dan 13, maka kesesuaian zonasi Kawasan kapoposan sebagai zona inti berada di Selatan Pulau Kapoposan, di Selatan Pulau Tambakulu, dan di Utara Pulau Suranti. Zona inti diperuntukkan bagi aktivitas: (1) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, (2) penelitian, dan (3) pendidikan. Sedangkan zona perikanan berkelanjutan berada di Utara Pulau Kapoposan, dan di Selatan Pulau Suranti, Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, dan Pulau Tambakulu. Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi aktivitas: (1) perlindungan habitat dan populasi ikan, (2) penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, (3) budidaya ramah lingkungan, (4) pariwisata dan rekreasi, (5) penelitian dan pengembangan, dan (6) pendidikan.

Zonasi Kawasan Kapoposan dan perairan di sekitarnya, dilakukan mengingat pemanfaat sumberdaya kawasan ini memiliki beragam kepentingan sehingga kawasan menjadi rentan terhadap konflik, terutama pemanfaatan sumberdaya yang berlebihan bahkan dengan cara-cara yang destruktif. Retraubun (2000), menyebutkan dengan alokasi ruang (zonasi) yang didasarkan pada daya dukung ekologis, jaringan budaya, integrasi kegiatan sosial-ekonomi, pendekatan ekosistem dapat menjadi instrumen kebijakan utama untuk menjaga keamanan ekologis, keselamatan sosial-budaya, serta untuk menekan terjadinya potensi konflik pemanfaatan ruang akibat beragamnya kepentingan para pemanfaat sumberdaya pulau-pulau kecil.

Pengaturan zonasi diharapkan dapat memperlambat laju kerusakan lingkungan (terutama kerusakan terumbu karang) yang selama ini terjadi, khususnya di pulau-pulau yang tidak berpenduduk seperti Pulau Suranti, Pulau Pamanggangan dan Pulau Tambakulu. Berdasarkan wawancara, kerusakan terumbu karang di sekitar ketiga pulau tersebut diduga terjadi akibat aktivitas penggunaan racun (potas/sianida) dan bom yang terjadi sekitar 10-15 tahun yang lalu, dengan pelaku ditenggarai dilakukan oleh para oknum nelayan di luar Kawasan Kapoposan. Hal tersebut dapat saja terjadi karena sebagai konsekuensi logis dari pulau kecil yang tidak memiliki penduduk (kosong), tentunya melemahkan pengawasan masyarakat sekitar kawasan terhadap para pendatang dari luar kawasan, selain memang pada 10-15 tahun yang lalu pengawasan dan perhatian dari Pemerintah Daerah pun masih minim. Retraubun (2001) menyatakan pulau kosong dan tidak berpenghuni dapat menjadi tempat para penyelundup yang melakukan kegiatan ilegal terutama penangkapan ikan di

perairan Indonesia secara leluasa, penyelundupan senjata api, perdagangan minuman keras, peredaran uang palsu, pelanggaran keimigrasian, penyelundupan bahan bakar minyak (BBM), pemasukan barang tanpa pajak, serta perusakan lingkungan dan perairannya akibat cara-cara yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunkan bom ataupun racun.

Berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999, yang seiring dengan dibentuknya Dinas Kelautan dan Perikanan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, menjadi momen penting bagi pengelolaan pulau-pulau kecil di daerah, khususnya daerah-daerah kepulauan seperti halnya Kabupaten Pangkep, dengan catatan daerah-daerah dimaksud memang memiliki good politicall will untuk membangun pulau-pulau kecil di daerahnya masing-masing. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep melalui Dinas Kelautan dan Perikanan dalam mengurangi tekanan terhadap lingkungan pulau-pulau kecil, dan sekaligus membuka kegiatan usaha untuk penyerapan tenaga kerja, adalah dengan memperkenalkan kegiatan budidaya laut, yaitu budidaya rumput laut dan budidaya melalui karamba jaring apung kepada masyarakat pulau-pulau kecil di wilayah Kabupaten Pangkep.

Namun menurut pengamatan dan hasil wawancara dengan masyarakat, untuk Kawasan Kapoposan kegiatan budidaya rumput laut dan karamba jaring apung dimaksud belum dapat berjalan dengan baik, bukan disebabkan oleh salahnya program pemerintah daerah, namun diduga karena adanya kesulitan-kesulitan seperti mendapatkan bibit yang berkualitas baik, sulitnya penanganan pasca panen, dan sulitnya pemasaran bagi produksi rumput laut yang dihasilkan. Selain itu, masyarakat belum dapat mengembangkan budidaya ikan dengan karamba jaring apung karena selain sulitnya mencari bibit ikan yang berkualitas, terdapat kesulitan lain yaitu perubahan perilaku (budaya) dari kebiasaan menangkap ke memelihara. Menurut Dahuri (2001), kemampuan teknologi budidaya (mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan, pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, manajemen pemberian pakan, genetika (breeding), dan manajemen kesehatan ikan) sebagian besar masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil masih rendah. Hal ini dapat terjadi karena kegiatan budidaya tidak dapat terlepas dari perubahan budaya masyarakat lokal yang pada awalnya sebagai nelayan tangkap, kemudian menjadi petani ikan di kegiatan budidaya. Untuk itu salah satu upaya untuk mendukung kegiatan budidaya di pulau-pulau kecil adalah

dengan melakukan pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia mencakup pola hidup, keterampilan terapan untuk mendukung usaha seperti budidaya, penangkapan dan pengolahan, keterampilan manajerial dan pemasaran, serta peningkatan pemahaman atas pelestarian lingkungan.

Berkaitan dengan pemahaman atas arti penting pelestarian lingkungan, masyarakat di Kawasan Kapoposan memiliki kearifan lokal (yang meskipun belum dilembagakan seperti misalnya sasi di wilayah Maluku), namun ternyata cukup tercermin dalam perilaku ramah lingkungan sehari-hari masyarakat. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara kelompok terfokus, perilaku ramah lingkungan masyarakat Kawasan Kapoposan tidak terlepas dari peran para tokoh masyarakat dan tokoh agama di Pulau Kapoposan, Gondongbali dan Papandangan yang secara terus menerus melakukan pembinaan akhlak saling menghormati, dan teladan untuk hidup bersih serta mencintai lingkungan. Kearifan lokal masyarakat dimaksud diantaranya adalah ‘sipakalalo dan sipakatau’ yaitu aturan yang mewajibkan anggota masyarakat meminta izin terkebih dahulu kepada pemilik rumpon sebelum melakukan kegiatan penangkapan di sekitar area rumpon. Selain itu adalah ‘digompoi’, yaitu aturan adat masyarakat yang secara bersama-sama mendatangi anggota masyarakat (atau keluarganya) yang terbukti melakukan aktifitas penangkapan yang merusak lingkungan dengan menggunakan racun atau bom.

Kegiatan penangkapan ikan menggunakan alat kompresor untuk menangkap ikan dengan racun potas (sianida) dan penggunaan bahan peledak (bom) dilarang keras dan diawasi bersama-sama oleh masyarakat Kawasan Kapoposan. Bagi masyarakat dari luar kawasan yang tertangkap melakukan aktivitas merusak lingkungan, diserahkan kepada pihak yang berwajib untuk diproses secara hukum formal yang berlaku. Sedangkan bagi masyarakat lokal kawasan, masyarakat lebih cenderung menggunakan hukuman sosial, yang dibuat, diatur dan dilaksanakan atas kesadaran bersama seluruh masyarakat pulau, di bawah pembinaan aparat kecamatan, aparat desa dan tokoh masyarakat/tokoh agama setempat. Kondisi ini akhirnya semakin meningkatkan pemahaman masyarakat bahwa mencegah kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil di mana mereka tinggal, lebih baik daripada memperbaiki, karena biaya mencegah jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya perbaikannya.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembuangan sampah rumah tangga diatur sedemikian rupa demi menjaga kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan pulau, sehingga di jalan sepanjang pulau tidak terlihat sampah yang dibuang sembarangan oleh masyarakat. Penggunaan kebutuhan air minum dan air untuk kegiatan mencuci atau mandi, diatur terpisah berdasarkan sumber-sumber air (sumur) yang telah disepakati, guna menjaga kualitas dan ketersediaan air tawar. Bahkan dalam pembangunan rumah, harus ada kesepakatan bersama seluruh masyarakat mengenai luasan bangunan, bahan yang digunakan, serta mempertahankan bentuk arsitektur tradisional sehingga terlihat rapi dan asri.

Selain itu, pembinaan dari Dinas Kelautan dan Perikanan dalam melakukan sosialisasi pelestarian terumbu karang dapat menekan kerusakan yang terjadi. Masyarakat kawasan pada saat ini melakukan penangkapan ikan-ikan karang ekonomis yang menjadi target penangkapan seperti ikan kerapu (sunu) dan cumi-cumi, dilakukan hanya dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, yaitu pancing. Dari segi pemasaran, hasil tangkapan masyarakat untuk ikan-ikan karang ekonomis dan cumi-cumi tidak menjadi masalah karena hasil tangkapan tersebut langsung dijemput ke lokasi dan dibeli oleh para pengusaha ikan maupun pengusaha rumah makan dari Kota Makassar.