• Tidak ada hasil yang ditemukan

xxii terhadap sumberdaya ini, termasuk lembaga pemerintahan, peneliti,

ANALISIS: SDA, KEBIJAKAN, FAKTOR INTERNAL DAN EKSTERNAL

2.2 Potensi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil

Terumbu Karang (Coral Reefs)

Terumbu karang (coral reefs) terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat. Karang

dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang hermatipik merupakan koloni. Jaringan tubuh karang terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus), dan sejumlah nematokis. Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm dan berbentuk seperti agar-agar. Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam dan sebagian besar berisi zooxanthellae. Karang hidup menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni menjadi terumbu (Nybakken, 1988).

Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal dan merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Pertumbuhan maksimum kehidupan terumbu karang berada pada perairan yang jernih, suhu yang hangat, gerakan gelombang yang cukup besar dengan sirkulasi yang lancar agar terhindar dari proses sedimentasi. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur sangkar per tahun (gC/m2

/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas hanya berkisar 50-100 gC/m2

1). Fungsi pariwisata berupa keindahan karang, kekayaan biologi, dan kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal sebagai tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, scuba diving dan fotografi;

/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun, sedangkan potensi perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal, pelagis kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824 ton/tahun. Perairan Indonesia memiliki sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera (Supriharyono, 2000).

DKP (2007), menyebutkan terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia dan sedikitnya memiliki empat fungsi meliputi:

2). Fungsi perikanan, sebagai tempat ikan-ikan karang ekonomis tinggi yang menjadi target penangkapan. Jumlah produksi ikan, kerang, dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12% dari jumlah tangkapan perikanan dunia. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun;

3). Fungsi pelindung pantai, sebagai terumbu tepi (fringing reef) dan terumbu penghalang (barrier reef) terumbu karang merupakan pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan peristiwa perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu karang juga memberikan kontribusi untuk penumpukan pantai dengan memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-desa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuk lahan terumbu karang dimaksud;

4). Fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity), dimana ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Produktivitas terumbu karang yang tinggi memungkinkan kawasan dimaksud sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan jenis ikan, yang secara otomatis membuat produksi ikan di daerah ini pun menjadi tinggi. Selain itu, terumbu karang berfungsi pula sebagai pelindung pantai dari abrasi, dan dari segi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif dalam meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir dan pulau-pulau kecil, serta dapat menjadi sumber pemasukan devisa bagi negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata. Dewasa ini, ditenggarai berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika.

Padang Lamun (Seagrass Beds)

DKP (2007), menyebutkan bahwa lamun merupakan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae yang memiliki rhizoma, daun dan akar sejati yang hidup terendam di dalam laut. Lamun mengkolonisasi suatu daerah melalui penyebaran buah (propagule) yang dihasilkan secara sexual (dioecious). Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari untuk mendukung pertumbuhannya. Padang lamun di perairan Indonesia sering dijumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang, sehingga interaksi ketiga ekosistem ini satu sama lain sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik

ketiga ekosistem ini saling mendukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain pun akan terpengaruh. Fungsi padang lamun di antaranya adalah menangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air, sumber makanan dan habitat beberapa jenis hewan air, serta menjadi substrat organisme yang menempel. Meskipun produktivitas primer komunitas lamun mencapai 1 kg C/m2/thn, dari jumlah tersebut hanya sekitar 3% yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke perairan dan dimanfaatkan oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang beragam, berhubungan satu sama lain dengan jaringan makanan yang kompleks.

Menurut Supriharyono (2000), padang lamun (seagrass beds) merupakan ekosistem yang memiliki arti penting secara ekologis dan ekonomis dengan fungsi meliputi:

1). Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan serta menjernihkan air,

2). Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui), penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-hewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke perairan di sekitar padang lamun,

3). Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran kecil) dan udang,

4). Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang lamun, 5). Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun

menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar. Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva tersebut, 6). Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni

7). Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.

Hutan Bakau (Mangrove)

Hutan bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Beberapa manfaat hutan mangrove diantaranya adalah: (1) kayunya memiliki kalori yang tinggi sehingga dapat digunakan menjadi kayu bakar atau arang; (2) kulit kayunya merupakan sumber tannin, lem ply wood, dan zat pewarna; (3) daunnya dapat

digunakan sebagai obat tradisional dan juga sebagai makanan ternak; (4) akarnya efektif untuk menangkap sedimen, memperlambat kecepatan arus

dan erosi pantai; (5) tempat mencari makan dan berlindung berbagai juvenile ikan dan hewan lainnya; dan (6) merupakan suatu penyangga antara komunitas lautan dan pesisir. Hutan bakau merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai produktivitas tinggi mencapai 5.000 gC/m2

DKP (2003), menyatakan bahwa secara ekologis, pulau-pulau kecil di daerah tropis dan subtropis sangat berasosiasi dengan terumbu karang,

/tahun (Supriharyono, 2000).

Hutan bakau kadang disebut juga hutan payau atau hutan pasang surut, umumnya memiliki vegetasi yang terdiri atas jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia dan Rhizophora. Perakaran hutan bakau yang kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan. Hutan bakau (mangrove) memiliki beberapa fungsi diantaranya adalah: (1) secara fisik, dengan menjaga dan menstabilkan garis pantai dan tepian sungai, serta mempercepat pertumbuhan lahan baru; (2) secara biologi, yaitu sebagai tempat asuhan (nursery ground), mencari makan (feeding ground), tempat berkembang biak berbagai jenis crustacea, ikan, burung, anggrek dan paku pakis; (3) merupakan penghasil zat hara seperti nitrogen, magnesium, natrium, kalsium, fosfor dan sulfur; (4) pemanfaatan secara ekonomi dengan tujuan budidaya ikan, udang, kepiting, dan tiram; serta (5) berpotensi sebagai kawasan pariwisata (Bengen, 2003).

sehingga kawasan ini memiliki spesies-spesies ekonomis yang menggunakan karang sebagai habitatnya seperti ikan kerapu, napoleon, kima raksasa (Tridacna gigas), teripang dan lain-lain. Komoditas dimaksud dapat dikatakan sebagai komoditas spesifik pulau kecil, dengan ciri utama memiliki sifat penyebaran yang bergantung pada terumbu karang sehingga keberlanjutan stoknya dipengaruhi oleh kesehatan karang. Potensi sektor kelautan dan perikanan mencakup potensi perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan pulau-pulau kecil secara keseluruhan memiliki nilai sekitar US$ 72 milyar pertahun.

Menurut Dahuri (2003), rendahnya produktivitas perikanan tangkap di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil nelayan disebabkan karena tiga faktor utama meliputi: (1) sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Hanya sekitar 17 persen dari total armada perikanan nasional yang dapat dikategorikan sebagai nelayan modern. Hal ini sekaligus mencerminkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia nelayan dan kemampuan IPTEK penangkapan ikan; (2) adanya ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan perairan laut lainnya. Di satu pihak, terdapat kawasan-kawasan perairan yang stok ikannya sudah mengalami kondisi overfishing, seperti Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Selat Bali, dan Selatan Sulawesi; dan sebaliknya masih cukup banyak kawasan perairan laut yang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya belum optimal atau bahkan belum terjamah sama sekali; dan (3) telah terjadinya kerusakan lingkungan ekosistem laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (seagrass beds), yang padahal mereka itu merupakan tempat (habitat) ikan dan organisme laut lainnya berpijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.

Sedangkan dalam usaha budidaya perikanan, faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas meliputi: (1) kemampuan teknologi budidaya (mencakup pemilihan induk, pemijahan, penetasan, pembuahan, pemeliharaan larva, pendederan, pembesaran, manajemen kualitas air, manajemen pemberian pakan, genetika (breeding), manajemen kesehatan ikan, dan teknik perkolaman) sebagian besar pembudidaya ikan masih rendah; (2) kompetisi penggunaan ruang (lahan perairan) antara usaha budidaya perikanan

dengan kegiatan pembangunan lainnya (pemukiman, industri, pertambangan, dan lainnya) pada umumnya merugikan usaha budidaya perikanan. Belum ada Pemerintah Daerah (propinsi atau kabupaten/kodya) yang menjadikan kawasan budidaya perikanan (tambak udang) sebagai kawasan khusus/tertentu, yang harus dilindungi dari segenap upaya konversi lahan atau pencemaran, dalam tata ruangnya; (3) semakin memburuknya kualitas air sumber untuk budidaya perikanan, khususnya di kawasan padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, sehubungan dengan berkembangnya kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga (pemukiman dan perkotaan) yang tidak ramah lingkungan atau membuang limbahnya ke lingkungan alam (perairan) tanpa memenuhi ambang batas baku mutu air buangan limbah; dn (4) struktur dan mekanisasi diseminasi teknologi yang lemah disebabkan kelangkaan tenaga penyuluh perikanan serta tenaga penyuluh pertanian, sehingga tingkat inovasi teknologi sulit ditingkatkan (Dahuri, 2003).

Pertambangan

Aktivitas pertambangan banyak dilakukan di negara-negara pulau kecil di dunia maupun di Indonesia pada provinsi-provinsi tertentu. Struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lain-lain. Beberapa aktivitas pertambangan baik tahap penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi di pulau-pulau kecil antara lain yaitu: (1) timah di Pulau Kundur dan Pulau Karimun (Riau); (2) nikel di Pulau Gag (Papua), Pulau Gebe (Maluku Utara), dan Pulau Pakal (Maluku); (3) batubara di Pulau Laut dan Pulau Sebuku (Kalsel); (4) emas di Pulau Wetar dan Pulau Aruku (Maluku), dan (5) migas di Pulau Natuna (Riau) (DKP, 2003).

Retraubun (2003), menyebutkan bahwa beberapa negara-negara pulau kecil memiliki aktivitas pertambangan yang tinggi seperti di Nauru (fosfat), Kriribati (fosfat), Fiji (emas) dan New Caledonia (Nikel). Bahkan New Caledonia di tahun 1980an merupakan negara produser nikel terbesar nomor 2 di dunia sesudah Kanada. Walaupun demikan, banyak contoh kerusakan lingkungan akibat aktivitas tersebut, misalnya erosi tanah dan pencemaran pesisir karena pertambangan nikel di New Caledonia; erosi tanah dan pencemaran air karena

pertambangan emas dan tembaga di Papua New Guinea; dan hilangnya permukaan tanah akibat pertambangan fosfat di Nauru dan Ocean Island. Pengelolaan pulau-pulau kecil untuk wilayah pertambangan harus dilakukan dengan pendekatan lingkungan yang didukung pemberdayaan masyarakat lokal setempat, agar akumulasi modal yang terkumpul dari sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil dapat dikembalikan ke kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil.

Energi Kelautan

Retraubun (2003) menyatakan, luas wilayah laut Indonesia lebih besar dibandingkan daratan. Hal ini bermakna bahwa potensi energi kelautan memiliki prospek yang baik sebagai energi alternatif untuk mengantisipasi berkurangnya minyak bumi, LNG, batubara, dan lain-lain sepanjang kemampuan negara diarahkan untuk pemanfaatannya. Sumberdaya kelautan yang mungkin digunakan untuk pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konversi energi panas samudera atau ocean thermal energy conversion (OTEC), panas bumi (geothermal), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, serta konversi energi dari perbedaan salinitas. Keberadaan potensi ini dimasa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menipis.

Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20°C dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, D.I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan

masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter (DKP, 2003).

Jasa-jasa Lingkungan

Retraubun (2002) menyatakan, pulau-pulau kecil merupakan suatu prototype kongkrit dari suatu unit kesatuan utuh dari sebuah ekosistem (suatu unit utuh suatu ekosistem yang terkecil), yang terdiri dari berbagai komponen yang ada di dalamnya. Komponen yang sangat signifikan dalam hal ini adalah komponen masyarakat lpulau kecil yang mempunyai budaya dan kearifan tradisional tersendiri dan memiliki nilai komoditas wisata yang tinggi. Salah satu contoh adalah masyarakat Suku Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mempunyai budaya heroic “berburu ikan paus secara tradisional (traditional whales hunter)”. Kegiatan berburu paus secara tradisional tersebut dilakukan setelah melalui ritual-ritual budaya yang sangat khas, yang hanya di miliki oleh Suku Lamalera, sehingga merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Selain itu, pulau-pulau kecil mempunyai potensi wisata teresterial (wisata dengan pemanfaatan lahan daratannya), yang juga mempunyai daya tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata, mengingat kawasan pulau-pulau kecil adalah pulau-pulau yang sangat sepi (bahkan tidak terjamah oleh penduduk), sehingga alamnya masih sangat asri, disamping itu juga akan banyak ditemui flora-fauna endemik di kawasan tersebut. Sebagai ilustrasi, Kawasan Pulau Moyo di Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan pulau kecil yang dijadikan sebagai kawasan wisata teresterial karena kawasan ini mempunyai kawasan hutan yang masih asri. Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh para pengusaha pariwisata untuk dijadikan sebagai kawasan ekowisata teresterial berupa “wisata camping” yang dikemas secara ekslusif untuk ditawarkan, sehingga di kawasan tersebut terdapat resort yang tarifnya relatif sangat mahal, yang berkisar US $ 150-250 per malam, dengan fasilitas resort yang ditawarkan adalah berupa tenda-tenda.

DKP (2003), menyatakan bahwa pulau-pulau kecil memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya yang dapat dimanfaatkan terutama

untuk pengembangan pariwisata dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis. Beberapa pemanfaatan jasa-jasa lingkungan di pulau-pulau kecil untuk kegiatan pariwisata meliputi: (1) Wisata Bahari. Kawasan ini berhubungan sangat erat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard corals. Di sisi lain, kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya; (2) Wisata Teresterial. Wisata terestrial misalnya adalah Taman Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur, sebagai lokasi Situs Warisan Dunia (World Herritage Site); dan (3) Wisata Kultural. Budaya dan kearifan tradisional masyarakat lokal mempunyai nilai komoditas wisata yang tinggi sebagai obyek wisata kultural, seperti misalnya di masyarakat Suku Lamalera di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur yang mempunyai budaya heroik berburu paus secara tradisional (traditional whales hunter).

Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Buatan

Sumberdaya manusia pulau-pulau kecil diarahkan untuk memenuhi indikator kesejahteraan masyarakat pulau kecil yang diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, terhindarnya dari resiko-resiko lingkungan, dan tetap lestarinya aset pendukung kehidupan untuk menuju masyarakat pulau yang maju dan mandiri. Kebutuhan dalam sumberdaya manusia pulau-pulau kecil mencakup beberapa aspek sebagai berikut: (1) sumberdaya manusia yang handal dan terampil sebagai syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu wilayah, mengingat kawasan ini banyak memiliki permasalahan dan kendala dalam pengembangannya; (2) berkembangnya mata pencaharian alternatif atau usaha masyarakat sebagai penunjang keberlanjutan kehidupan di pulau-pulau kecil; dan (3) peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pembinaan dan pendampingan kelembagaan yang sifatnya rutin dan wajib (DKP, 2007).

Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya, yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam sebuah masyarakat di wilayah tertentu. Kelembagaan menurut Purwaka (2003), memiliki kapasitas potensial, kapasitas daya dukung, dan kapasitas daya tampung/daya lentur, dengan kinerja yang merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. Kearifan lokal, hukum adat dan kelembagaan yang bersifat bottom up dapat berperan lebih aktif, efisien dan mengikat masyarakat dibandingkan dengan hukum positif, atau pun kelembagaan yang bersifat top down, yang seringkali berbenturan dengan masyarakat lokal bahkan adakalanya menimbulkan terjadinya konflik-konflik horizontal.

Retraubun (2003) menyebutkan kelembagaan masyarakat pulau-pulau kecil adalah wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, yang diharapkan dapat membantu kelancaran usaha masyarakat lokal dalam hal pengaturan alokasi sumberdaya meliputi penerapan teknologi, akses permodalan, penyerapan tenaga kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain yang kadang kala timbul dalam dengan usaha pengembangan wilayah pulau-pulau kecil.