• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Industri Kerajinan di Yogyakarta

Kerajinan dapat di kategorikan sebagai seni. Seni merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia.39 Daya pikir manusia sering kali memunculkan ide- ide atau kreatifitas. Banyak faktor yang melatar belakangi manusia untuk menghasilkan suatu karya seni, antara lain faktor lingkungan tempat tinggal, bakat dan usaha pemenuhan kebutuhan hidup.40 Misal ketika manusia berada dalam ruang lingkup yang menjadi pusat perhatian, maka akan mendorong lahirnya suatu karya seni berupa barang yang kelak dapat menghasilkan nilai jual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perkembangan pariwisata di Yogyakarta pada tahun 1978 telah membawa

39Jakob sumardjo, 2000. Filsafat Seni. ITB, Bandung, hal 20. 40Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op. cit hal 28

keuntungan bagi instansi dan masyarakat. Bagi pemerintah daerah khususnya dinas pariwisata, para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta telah menambah pendapatan daerah, misal yang diambil dari pajak retribusi obyek pariwisata. Bagi masyarakat Yogyakarta kedatangan para wisatawan dimanfaatkan untuk mencari penghasilan tambahan maupun sumber mata pencaharian utama dengan cara membuka tempat usaha.

Kehadiran wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menambah pendapatan. Khususnya mereka yang tinggal di kawasan objek wisata. Misal dengan membuka rumah makan ataupun mengubah fungsi tempat tinggal mereka menjadi home stay atau tempat menginap sementara bagi wisatawan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kompleks candi Prambanan, mereka seringkali menyediakan jasa layanan tempat menginap bagi para wisatawan dengan cara merubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah penginapan.

Banyaknya pusat pariwisata di Yogyakarta juga telah menumbuhkan kreatifitas masyarakat untuk membuat kerajinan. Masyarakat Yogyakarta yang telah mewarisi keahlian dalam membuat kerajinan kemudian membuat souvenir sebagai pendukung, misal kerajinan batik di Imogiri dan Prawirotaman serta perak di Kota Gede. Selain sumber daya manusia yang kreatif, faktor lain sebagai pendukung untuk menunjang kelancaran produksi kerajinan adalah banyaknya sumber daya alam sebagai media bagi para pengrajin yang mudah diperoleh di daerah sekitar Yogyakarta, seperti misal kulit binatang sebagai bahan dasar pembuatan wayang, kayu mahoni dan sengon sebagai bahan dalam pembuatan topeng kayu.

masyarakat sebagai souvenir wisatawan. Sebelumnya hasil kerajinan tersebut hanya untuk dipakai sendiri dan memenuhi pesanan. Misal kerajinan kulit di Tembi dan pucung yang terletak di Bantul. Sebelumnya para pengrajin hanya membuat wayang apabila ada pemesan. Namun sebagai pendukung dari pariwisata para pengrajin wayang kulit mulai mengusahakan hasil kerajinannya untuk dapat dinikmati para wisatawan sebagai souvenir.

Para pengrajin lain juga mulai mengusahakan kerajinannya sebagai souvenir. Misal kerajinan gerabah yang terletak di desa Kasongan, kerajinan topeng kayu di desa Pucung, Imogiri sampai dengan kerajinan batik tulis kain tradisional yang terpusat di beberapa tempat seperti di kompleks Taman Sari dan di Prawirotaman. Sebagai pengrajin mereka selalu berusaha untuk menghasilkan produk sebagai souvenir ciri khas masyarakat Yogyakarta. Sebab sebagian besar konsumen adalah para wisatawan. Salah satu ciri khas souvenir tersebut misalnya batik yang merupakan pakaian adat Yogyakarta.

1.Kerajinan Perak

Perkembangan dunia pariwisata di Yogyakarta semakin menunjukkan peningkatan. Kedatangan wisatawan kemudian menarik minat para pengusaha untuk membuka industri kerajinan. Hal ini dikarenakan keterbatasan modal serta tenaga industri kecil rumah tangga ketika itu tidak dapat memenuhi permintaan konsumen. Salah satu industri rumah tangga yang kemudian berubah menjadi industri besar adalah kerajinan perak di Kota Gede. Sebelumnya masyarakat hanya membuat perak sebagai pekerjaan sampingan, namun mereka lebih memilih bekerja di perusahaan

perak bermodal besar seperti misal Tom Silver dan HS Silver yang mulai dirintis sejak tahun 1953.

Masyarakat Kota Gede banyak menggantungkan penghasilan mereka dengan bekerja di perusahaan perak bermodal besar. Berdirinya perusahaan perak di Kota Gede membuat hasil kerajinan perak makin luas. Sebelumnya masyarakat dengan industri rumah tangga hanya dapat membuat kerajinan perak seperti misal cincin, anting, giwang dan kalung. Namun dengan berdirinya perusahaan besar seperti Tom Silver dan HS Silver hasil kerajinan perak menjadi bervariasi. Mereka dapat membuat kerajinan perak dengan tema miniatur transportasi tradisional seperti becak, sepeda, andong, gerobag dan lainnya. Hal ini dikarenakan peralatan perusahaan tersebut jauh lebih lengkap.

Tabel 6. Lima perusahaan perak terbesar di Kota Gede tahun 1987-1990 no Nama

Perusahaan

Jumlah Karyawan

Jenis kerajinan

1. Tom Silver 80 orang Perak dan kuningan; miniatur transportasi tradisional dan perhiasan

2. Alono Silver

63 orang Perak;miniatur Transportasi tradisional dan perhiasan

3. HS Silver 20 orang Perak; segala macam perhiasan 4. Kuningan dan

Tembaga “SMD”

20 orang Perak dan kuningan 5. Borobudur

Silver

134 orang Perak; segala macam perhiasan

Sumber tabel 6: Departemen Perindustrian Perdagangan dan Koperasi

2. Kerajinan Gerabah

Kerajinan tradisional berbahan tanah liat di desa Kasongan, Bantul di tahun 1970-an sebelumnya hanya memproduksi alat-alat rumah tangga seperti kuali, kendil

serta genteng. Namun berkembangnya pariwisata tahun 1980-an di Yogyakarta membuat pengrajin di desa Kasongan mulai mengusahakan kerajinannya sebagai souvenir. Usaha yang dilakukan oleh pengrajin yakni dengan menambah bentuk hasil kerajinan dari alat rumah tangga menjadi barang kerajinan yang bercorak seni. Para pengrajin ketika itu mulai membuat kerajinan berupa barang-barang saouvenir seperti patung asmat, patung naga keraton, patung sepasang pengantin Jawa, patung gajah serta vas bunga.

3 . Kerajinan Batik

a. Batik Bagi Lingkungan Kraton Yogyakarta

Batik Yogyakarta merupakan pakaian adat yang berasal dari dalam lingkungan kraton, sehingga keberadaan batik tidak dapat lepas dari kraton. Sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I batik telah menjadi busana keprabon (busana kebesaran) yang diperlukan dalam tatacara penyelenggaraan kehidupan sehari-hari maupun upacara adat. Batik dianggap sebagai simbol kebesaran dan kebangsawanan Raja serta kerabat kraton. Sehingga sampai saat ini keberadaan batik masih bertahan karena kuatnya tradisi yang terdapat di dalam kraton.

Batik ningrat adalah batik yang biasa dikenakan oleh kalangan Kraton atau bangsawan yang memiliki motif gambar parang rusak, kawung, sidomukti dan jenis lain.41 Batik ini dibuat dan dikhususkan bagi para raja serta keluarga kraton sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Dalam hal motif kain batik tulis yang biasa dikenakan oleh keluarga kraton juga memiliki makna simbolis. Seperti Parang Rusak

yang motifnya diambil berdasarkan pegangan keris dari kraton Yogyakarta, sebagai lambang dari kekuatan, motif Gurda atau burung garuda digunakan sebagai gambaran atau kesaktian dan keperkasaan.42 Motif–motif batik tersebut khusus dikenakan raja dan kerabat kraton pada saat-saat tertentu. Namun pada tahun 1942, larangan penggunaan motif batik tersebut dihapuskan, hal ini disebabkan kraton mengalami kesulitan keuangan sehingga terpaksa menjual motif tersebut pada Jepang.

b. Batik Bagi Masyarakat Yogyakarta

Batik bagi masyarakat Yogyakarta merupakan pakaian resmi yang biasa dikenakan pada saat-saat tertentu, sebab merupakan pakaian adat khas Yogyakarta. Batik kain tulis tradisional yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta merupakan batik pedalaman.43 Beberapa macam motif digunakan sesuai dengan status sosial di dalam masyarakat, misalnya batik kalangan Kraton atau ningrat. Ciri khasnya terletak pada motif yang digunakan, misal dengan pola gambar parang rusak, kawung,

sidomukti dan lainnya sebagai lambang kekuatan dan kewibawaan44 yang tidak

sembarang orang bisa memakainya. Hal ini karena motif batik tersebut biasa dikenakan oleh para raja di kraton Yogyakarta.

Penggunaan batik di luar kraton terjadi pada akhir abad XIX, di mana ketika itu para pengusaha asal Belanda mulai menjadikan batik sebagai komoditi

42 Ibid, hal 4

43 Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Katalog Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri dan Kerajinan Batik, Proyek pengembangan dan pelayanan teknologi industri kerajinan dan batik. Hal 78

perdagangan.45 Selain itu, faktor lain yang menjadikan batik keluar dari lingkungan kraton yakni adanya beberapa abdi dalem kraton yang berasal serta bertugas di luar kraton. Para abdi dalem yang berasal dari luar lingkungan kraton kemudian membawa kesenian batik ke daerah mereka masing-masing untuk diajarkan pada keluarga serta tetangga sebagai pengisi waktu luang. Misal pada tahun 1933, ketika itu beberapa abdi dalem ditugaskan sebagai juru kunci makam para raja Mataram di Pered, Imogiri. Sejak saat itu kesenian batik mulai tersebar di luar lingkungan kraton.

Berawal dari para abdi dalem, kerajinan batik dari kraton terus meluas hingga meliputi beberapa tempat di Yogyakarta46 ;

1. Kota madya Yogyakarta ; Ratawijayan, Ngasem, Nagan, Panembahan, Tirtodipuran, karangkajen.

2. Bantul ; Plered, Ngestiharjo, Pajangan, Sanden, Wanakrama, Imogiri. 3. Kulon Progo ; Gegulu, Wates.

4. Gunung Kidul ; Sumberan, Ngawen. 5. Sleman ; Mlangi, Demak Ijo, Godean.

Para pembatik ketika itu masih menggunakan cara-cara tradisional dalam membatik. Kunir digunakan sebagai pembuat pola. Penggunaan bahan pewarna pun masih terbatas, yakni coklat, hijau, merah, kuning serta hitam. Larutan pewarna yang mereka gunakan biasanya berasal dari akar-daun mengkudu, daun jati, daun mangga, putri malu, tegeran, jambal dan lainnya.Warna hijau biasanya menggunakan daun mangga, warna coklat menggunakan daun jati, sedangkan putri malu digunakan untuk

45 Siska Narulia, 2004. Skripsi ; Koperasi Batik PPBI Yogyakarta Tahun 1950-1980. Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, hal 37

warna kuning. Semua warna untuk batik memakai bahan-bahan alami yang diambil dari kebun dan pekarangan pengrajin.

Motif yang digunakan batik rakyat pun berbeda dengan batik kraton yang lebih menonjolkan keperkasaan. Batik yang berasal dari luar lingkungan kraton lebih menonjolkan kehalusan dan kelembutan. Hal ini terlihat pada motif yang digunakan yakni gambar binatang seperti kijang, ayam, kupu, bunga mawar, daun dan lainnya. Motif yang digunakan oleh masyarakat biasa merupakan simbol dari kemakmuran. Sehingga dilihat dari motif serta gambarnya dapat menunjukkan status sosial orang yang memakai, antara batik kraton dan batik rakyat.

Motif-motif khusus yang digunakan oleh lingkungan kraton Yogyakarta seperti parang rusak, kawung, sidomukti dan lainnya mulai dapat digunakan secara luas oleh masyarakat pada masa penjajahan Jepang 1942. Menurut Ueoka Takamasa ketika itu kraton menghadapi kesukaran dana secara abnormal, akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.47 Mulai saat itu penggunaan batik mulai berkembang luas di dalam masyarakat.

c. Batik Sebagai Souvenir

Wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta selalu mencari souvenir sebagai kenang-kenangan atau buah tangan. Oleh sebab itu berbagai macam kerajinan sebagai souvenir mulai diusahakan oleh pengrajin, salah satunya adalah batik. Batik

47 Ueoka, Takamasa. 2001. Batik: Sejarah dan Daya Tarik. Skripsi: Jurusan: Bahasa Indonesia dan Kebudayaan Asia Tenggara. Osaka Jepang, Universitas Setsunan.hal. 49

yang sebelumnya merupakan pakaian khas bagi masyarakat Yogyakarta mulai dijadikan souvenir bagi wisatawan dengan ragam bentuk serta kegunaan. Dalam berbusana misal seperti kebaya, blangkon serta surjan lurik

Kain batik tulis (tradisional) saat itu menjadi souvenir yang tergolong mahal jika dibandingkan dengan souvenir lain seperti perak atau kulit. Namun motif yang unik serta warna yang khas membuat batik tulis (tradisional) tetap banyak di minati oleh wisatawan domestik maupun asing sebagai souvenir. Banyaknya permintaan batik membuat para pengrajin kewalahan dalam memenuhi permintaan.

Upaya terus dilakukan para pengrajin untuk dapat memenuhi permintaan dari masyarakat dan wisatawan selaku konsumen. Misal dengan menambah jam kerja bagi karyawan untuk meningkatkan jumlah produksi batik. Selain itu para pengrajin juga tetap berusaha mempertahankan kualitas serta keunikan batik yang dihasilkan dengan mengunakan bahan-bahan yang berkualitas, mulai dari lilin, tinta pewarna sampai pada proses pengerjaan. Hal ini dilakukan agar konsumen merasa puas dengan batik yang dihasilkan.

36

TAHUN 1980-1990

Dokumen terkait