• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN BATIK KAYU DI KREBET, BANTUL, YOGYAKARTA TAHUN 1994-2004

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKEMBANGAN BATIK KAYU DI KREBET, BANTUL, YOGYAKARTA TAHUN 1994-2004"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN BATIK KAYU

DI KREBET, BANTUL, YOGYAKARTA

TAHUN 1994-2004

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh

AGUSTINUS BERTHA NIM: 014314018

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(2)

SKRIPSI

PERKEMBANGAN BATIK KAYU DI KREBET, BANTUL, YOGYAKARTA

TAHUN 1994-2004

Oleh Agustinus Bertha NIM: 014314018

Telah disetujui oleh

Drs. H. Purwanta, M.A Tanggal 10 Desember 2007

Pembimbing I

(3)

SKRIPSI

PERKEMBANGAN BATIK KAYU DI KREBET, BANTUL, YOGYAKARTA

TAHUN 1994-2004

oleh

Agustinus Bertha NIM: 014314018

Telah dipertahankan di depan panitia penguji Pada tanggal 19 Desember 2007

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan Ketua : Prof. Dr. Pj. Suwarno, S.H ……… Sekretaris : Drs. H. Purwanta, M.a ………... Anggota : Drs. Silverio R.L. Aji. S, M.Hum ……… Anggota : Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum …..…………....

Yogyakarta, Desember 2007 Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta Dekan,

Dr. Fr. B. Alip, M.Pd, M. A.

(4)

MOTTO

“Kecemasan takkan pernah

merampas esok beserta

kesulitannya Ia hanya akan

melemahkan hari ini dengan

kekuatannya”

(A.j. Cronin)

“Lakukan apa yang bisa, dengan

apa yang kau punya, dan

dimana kau berada”

(Theodore Roosevelt)

(5)

PERSEMBAHAN

◙ Ucap dan syukur yang tak terhingga atas karyaku ini kupersembahkan kepada Bapa disurga dan Bunda

Maria yang telah memberikan segala kasih-Nya hingga

aku mampu menyelesaikan tulisan ini.

◙ Alm. Kakung dan Almh. eyang putri disurga, trimakasih banyak atas doa dan perlindungan yang

kalian berikan kepadaku.

◙ Kedua orang tuaku : Heribertus Suyanto dan Christina Wiwik terimakasih banyak atas segala doa dan kasih

sayang yang berlimpah, bimbingan, dukungan,

dorongan dan kesabaran hingga aku dapat

mempersembahkan karyaku ini.

◙ Cintaku Maria Margaretha Widayanthi yang tak henti-hentinya mengobarkan semangatku, mengikis habis

rasa malasku dan meredam segala amarahku. Makasih

banyak karena kamu slalu ada disetiap hari-hariku

dalam tangis dan tawa. Sekali lagi terimakasih karna

kau mencintaiku.

Mbah putri dan eyang kakung, trimakasih atas doa dan perhatiannya.

◙ Buat kakakku : mba Yenny – mas Ricky, mas wawan

yang telah memberikan cinta dan kasih sayang buatku.

◙ Buat keponakanku tersayang Luis Figo Nanda

( akhirnya om lulus nda…..hehehehe)

◙ Buat keluarga besar di Lubuk Linggau: Ibu Sulastri dan mas Bayu yang telah memberikan dukungan dan

perhatiannya.

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, …..Desember 2007 Penulis

Agustinus Bertha

(7)

ABSTRAK

Agustinus Bertha, Perkembangan Batik kayu di Krebet Tahun 1994-2004. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, 2007

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab empat permasalahan. Pertama, bagaimana latarbelakang kemunculan batik kayu di Krebet tahun 1994. Kedua, bagaimana perkembangan batik kayu di Krebet tahun 1994-2000. Ketiga, bagaimana perkembangan batik kayu di Krebet tahun 2000-2004. Keempat, apa pengaruh yang di timbulkan dari batik kayu tersebut bagi masyarakat Krebet.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode yang digunakan adalah dengan studi dokumen dan wawancara mendalam. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan, mengkaitkan, membandingkan dan interpretasi data yang berhasil dikumpulkan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan batik kayu di Krebet tahun 1994-2004 diawali dari kedatangan Windarti sebagai warga baru di Krebet yang berusaha membantu pendapatan suaminya dengan cara membuat batik kayu.

Masyarakat Krebet kemudian mengikuti langkah Windarti membuat batik kayu. Hal ini dilatarbelakangi keberhasilan Windarti dalam membuat kerajinan batik kayu. Pada tahun 2004, kerajinan batik kayu masyarakat Krebet telah dapat dijual baik didalam maupun luar negeri.

(8)

ABSTRACT

Agustinus Bertha, The Development of Wooden Batik in Krebet in 1994-2004. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Department of History, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, 2007.

This research aimed to answer four problem. First, how is the background of the emergence of wooden batik in Krebet in 1994. Second, how is the development of wooden batik in Krebet in 1994-2000. Third, how is the development of wooden batik in Krebet in 2000 - 2004. Fourth, what is the effect caused by this wooden batik toward Krebet society.

This research is qualitative study. Method used in this research was studying document and deep interview. Analysis was conducted by classification, relating, comparing and interpreting the data which has been gained.

The result of this research revealed that the development of wooden batik in Krebet in 1994-2004 was initiated by the coming of Windarti as the new inhabitant in Krebet who strive to help in increasing her husband’s income by producing wooden batik.

The society in Krebet then followed Windarti’s steps to create wooden batik. It ha background by Windarti’s successfulness in creating wooden batik crafts. In 2004, wooden batik crafts have been sold either domestically or abroad.

(9)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur kepada Bapa disurga serta segala limpahan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Perkembangan Batik kayu di Krebet Tahun 1994-2004.” Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M.Pd, M.A. selaku Dekan beserta staf yang telah memberikan ijin serta kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi.

3. Bapak Drs. Purwanta, M.A. selaku dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dengan sabar dan mengkoreksi dengan teliti skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Prof. Dr. P.J Suwarno, SH, bapak Drs. Silverio R.L. Aji. Sampurna, M.Hum, bapak Drs. Sandiwan Suharso, Romo Dr. F.X Baskara T. Wardaya, dan semua dosen Ilmu Sejarah yang telah membagikan bekal ilmunya kepada penulis.

(10)

5. Pimpinan UPT. Perpustakaan dan seluruh staf Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kemudahan dalam pencarian data dan sumber pustaka yang penulis butuhkan.

6. Sahabat baikku Opet 02’(rendang-rendang…), Hafda 03’, Yoga 03’, Anggie 03’, Lazarus 01’, Henry 01’ yang telah bersedia menemani serta berbagi data selama penulisan skripsi.

7. Teman-teman seperjuangan angkatan 2001 jurusan Ilmu Sejarah : pak Eko, Tatto, Krisna gedhe, Krisna chilik, Eka, Edi, Eno, Maryanto, gagak, Adit, Lina, Erna, Ajeng. Terimakasih atas kebersamaannya selama ini. 8. Mas Tri Sekretariat Sastra yang telah banyak membantu dengan segala

fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada penulis.

9. Masyarakat Krebet: mba Windarti dan mas Puryono, mas Yuan, bapak Kemiskidi. Trimakasih atas bantuan data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penulisan skripsi ini.

10.Semua pihak yang terlibat dalam penulisan ini, penulis mengucapkan terimakasih.

Penulis menyadari atas kekurangan dan kelemahan terhadap penulisan skripsi ini. Maka segala kritik dan saran yang sifatnya membangun akan penulis terima dengan senang hati dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya terlepas dari ketidaksempurnaan tersebut, dengan segala rendah hati penulis berharap semoga hasil penulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta,

Penulis

(11)

DAFTAR ISI

HALAMANJUDUL………...…...i

HALAMAN PERSTUJUAN PEMBIMBING………..……….ii

HALAMAN PENGESAHAN………..…. .iii

HALAMAN MOTTO……….………...……….iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……….v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……….……..vi

ABSTRAK……….……….vii

ABSTRACT ……….………..……….….viii

KATA PENGANTAR ...………..………...ix

DAFTAR ISI ……….………..xi

DAFTAR TABEL ……….xvi

DAFTAR GAMBAR ………..xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………...xvi

BAB PERTAMA: PENDAHULUAN………..………...1

A. Latarbelakang Masalah………….……….…...1

B. Batasan Masalah………...8

C. Rumusan Masalah………8

D. Tujuan Penulisan……….………...8

E. Manfaat Penulisan……….…………...………9

F. Kajian Pustaka……….………...9

G. Metode Penelitian……….………..…11

H. Landasan Teori………..……….12

I. Sistematika Penulisan………..………...15

BAB KEDUA: YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA WISATA DAN BUDAYA……….18

(12)

A. Yogyakarta Sebagai Kota Budaya………..18

1. Sopan Santun………...19

2. Simbol dan Motif Pada Masyarakat Yogyakarta………...…..20

3. Kerajinan Rakyat………...………..21

B. Yogyakarta Sebagai Kota Wisata………...………...….……...22

1. Pertunjukan Kesenian………...………...25

2. Sarana dan Prasarana Transportasi…..……….…...26

C. Pengembangan Industri Kerajinan di Yogyakarta………...….…...28

1. Kerajinan Perak……….……...………...………30

2. Kerajinan Gerabah…………..…….………31

3. Kerajinan Batik……….……...………32

a. Batik Bagi Lingkungan Keraton Yogyakarta….……….32

b. Batik Bagi Masyarakat Yogyakarta…….………33

c. Batik Sebagai Saouvenir……….……….35

BAB KETIGA: INDUSTRI KERAJINAN BATIK TULIS TAHUN 1980-1990………...………...37

A. Industri……….………...37

1.Muncul Industri Batik Modern………....38

a. Batik Cap……….………...………38

b. Batik Printing……….….41

2. Dampak Kemunculan Batik Cap dan Printing………42

a. Dampak Positif……….…...42

b. Dampak Negatif……….….43

3. Beredar Batik Tulis Asli Tapi Palsu………...44

B. Faktor Kemunduran Industri Kerajinan……….………...…..45

1. Penurunan Daya Beli Terhadap Hasil Kerajinan………....47

a. Inovasi………..………..……….47

b. Permintaan Yang Tidak Beraturan…………..………..……….47

c. Kurang Sosialisasi………..…....….48

d. Kurang Perhatian Pemerintah Daerah Terhadap Pengrajin………....48

C. Kemunduran Batik Tradisional……….……..49

1. Penurunan Pemakaian Batik Tradisional…...…...…...49

2. Upaya Pemerintah Dalam Melestarikan Batik…………....…………...53

BAB KEEMPAT: PERKEMBANGAN BATIK KAYU DI KREBET TAHUN 1994-2000………..56

A. Deskripsi Daerah Penelitian………..……….56

1. Kondisi Fisiogarfis Daerah Penelitian………..…….……….56

a. Letak, Batas dan Luas Wilayah…………..………….………...56

B. Batik Kayu Sebagai Alternatif Dalam Membatik…………...……….57

C. Masa Merintis Tahun 1994………..……….…...60

1. Pelatihan Batik Kayu……….……….………….…63

2. Pemasaran Batik Kayu……….………...….65

D. Kreasi Batu Model Batik Kayu………..………..…67

(13)

1. Jenis Produksi Dari Industri Kerajinan Batik Kayu………...69

E. Krisis Moneter Tahun 1998………..70

1. Upaya Pemerintah Dalam Membangkitkan Dunia Pariwisata Di Yogyakarta………...………...…71

2. Upaya Pengusaha Industri Kerajinan………...…………....73

BAB KELIMA: PERKEMBANGAN BATIK KAYU TAHUN 2000-2004……….…….73

A. Pertumbuhan Pesat Pengrajin Batik Tahun 2000..………....….73

1. Tingkat Pendidikan Pengrajin Batik Kayu……….…76

2. Peningkatan Produksi Batik Kayu……….….76

B. Koperasi Batik Kayu Tahun 2003……….………..77

C. Peran Dinas Perindustrian Perdagangan Dan Koperasi (Disperindagkop)……..……….………...…..79

1. Disperindagkop Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta………...79

2. Disperindagkop kabupaten Bantul………..………....79

D. Peran Dinas Pariwisata………..………....81

1. Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta...81

2. Dinas Pariwisata kabupaten Bantul………...……….81

E. Batik Kayu Menembus Pasar Export Tahun 2004………..…...83

1.Asosiasi Eksportir dan Produsen Handycraft Indonesia (AEPHI) Yogyakarta……….83

F. Pengaruh Bagi Masyarakat Di Krebet………...……….86

1. Penyerapan Tenaga Kerja………...87

2. Peningkatan Perekonomian………90

BAB KEENAM: PENUTUP………..92

DAFTAR PUSTAKA ……….94

DAFTAR INFORMAN………...……...97

LAMPIRAN………..100

(14)

1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Seni rupa memiliki berbagai ragam, di antaranya adalah ukir, pahat dan lukis. Melukis di atas sebuah kain dengan lilin malam disebut membatik. Kata “batik” sendiri berasal dari kata “Tik” artinya titik.1 “ Batik” berarti bertitik, karena membatik merupakan proses memberikan titik-titik serta garis pada sebuah kain. Membatik juga dapat dikategorikan melukis, karena metodenya sama. Perbedaannya adalah melukis dilakukan diatas kanvas dan menggunakan kuas sedangkan membatik menggunakan canting.

Asal mula batik sampai saat ini masih belum jelas kebenarannya. Para seniman dan sejarawan berpendapat bahwa seni batik berasal dari India dan masuk Indonesia khususnya di tanah Jawa pada sekitar abad ke-VI-VII yang dibawa oleh para pedagang dan para penyebar agama Hindu-Budha.2 Dalam perkembangannya kesenian batik dari India dapat diterima, khususnya oleh masyarakat Jawa. Semenjak zaman Majapahit kemudian terus berkembang pada kerajaan-kerajaan berikutnya hingga abad ke-XIX.3 Akulturasi tersebut menghasilkan ragam motif batik yang berbeda-beda dalam setiap daerah. Selanjutnya membatik atau membuat batik

1 Chandra Irawan Soekamto, 1984. Batik dan Membatik, Jakarta, Akodama, hal. 9. 2 Ueoka, Takamasa. 2001. Batik: Sejarah dan Daya Tarik. Skripsi: Jurusan: Bahasa

Indonesia dan Kebudayaan Asia Tenggara. Osaka Jepang, Universitas Setsunan.hal. 9

(15)

berkembang menjadi sebuah tradisi yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Jawa sampai saat ini, bahkan pakaian batik dijadikan sebagai pakaian adat oleh masyarakat Jawa dan pakaian nasional oleh pemerintah.

Semenjak dikenal oleh masyarakat Indonesia, Batik disamping memiliki keindahan juga mengandung filosofi yang cukup dalam. Setiap daerah yang menjadi pusat penghasil batik memiliki keunikan dan ciri khas masing-masing, baik dari motif maupun penggunaan warna. Meskipun demikian, sering juga terdapat perbedaan serta persamaan antara daerah penghasil batik yang satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena latarbelakang budaya, lingkungan serta letak geografisnya, sedangkan persamaannya disebabkan adanya hubungan dagang, pemerintahan, adat, budaya maupun agama.4

Batik merupakan suatu kerajinan daerah yang sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Jawa Tengah. Khusus bagi daerah-daerah penghasil batik tulis kain tradisional seperti Pekalongan, Solo dan Yogyakarta.

“Berkembangnya batik terjadi semenjak berdirinya kerajaan Mataram. Tiap-tiap daerah penghasil batik memiliki perbedaan yang mendasar sebagai ciri khas, misal dalam hal warna. Batik sidomukti buatan Solo memiliki warna yang berbeda dengan buatan Yogyakarta. Sidomukti buatan Yogyakarta berwarna putih dominan sedangkan sidomukti buatan Solo berwarna coklat dominan. Hal ini karena batik Solo dan Yogyakarta lebih menonjolkan simbol, filosofi serta makna magis didalam batik.

Berbeda dengan batik Solo dan Yogyakarta yang memiliki warna sederhana yakni dominan putih dan coklat, batik pekalongan cenderung kaya akan warna, misal kuning, merah, hijau dan lainnya. Hal ini disebabkan Pekalongan terletak dipesisir pantai, dimana para pedagang ketika itu melakukan transaksi. Para pedagang yang datang dari berbagai daerah tersebut membawa pengaruh dalam motif batik yang digunakan.

(16)

Maka batik Pekalongan kaya akan warna, bermotif bebas, naturalis serta realistis.5”

Batik di daerah Yogyakarta mulai berkembang semenjak pemerintahan kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati.6 Pada awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Proses pembuatan batik ketika itu dikerjakan oleh para puteri raja serta para istri abdi dalem. Para abdi dalem yang berasal dari luar lingkungan kraton kemudian membawa kesenian batik ke daerah mereka masing-masing. Mulai saat itulah kesenian batik tersebar diluar lingkungan kraton.

Bahan-bahan dalam membuat batik pada masa itu masih terbatas dengan menggunakan tumbuh-tumbuhan. Bahan untuk pembuatan pola menggunakan kunyit maupun kunir, sedangkan bahan pewarna menggunakan akar serta dedaunan dari pohon mengkudu, tinggi, soga, dan nila.7

Daerah pembatikan pertama di luar kraton Yogyakarta terdapat di desa Plered, Imogiri, Bantul. Para keluarga abdi dalem yang bertugas sebagai penjaga makam raja-raja Mataram di Imogiri mengisi waktu luang mereka dengan membuat batik.8 Hingga saat ini di Yogyakarta misalnya terdapat ratusan industri kerajinan batik kain tradisional yang terpusat di beberapa tempat seperti di Taman Sari, Prawirotaman, dan masih banyak tempat lain. Dalam membuat sebuah batik tulis kain tradisional

5Posted in Batik Indonesia, loc. cit

., hal. 3. 6 Ibid hal. 24

7 Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pelestarian Motif Batik Tradisionil

Melalui Pengembangan Industri Batik. Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Yogyakartahal. 39

(17)

dibutuhkan waktu yang cukup lama, mulai dari proses membuat pola gambar sampai dengan pewarnaan dibutuhkan waktu sekitar dua minggu sampai satu bulan.9

Batik tulis kain tradisional yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta disebut batik pedalaman, karena letaknya yang jauh dari pesisir. Beberapa macam motif

digunakan sesuai dengan status sosial di dalam masyarakat, misalnya batik kalangan Kraton atau ningrat.10 Ciri khasnya terletak pada motif yang digunakan, misal dengan pola gambar parang rusak, kawung, sidomukti dan lainnya sebagai lambang kekuatan dan kewibawaan yang tidak sembarang orang bisa memakainya. Hal ini karena motif batik tersebut biasa dikenakan oleh para raja di kraton Yogyakarta.

Motif-motif khusus yang digunakan oleh lingkungan kraton Yogyakarta seperti parang rusak, kawung, sidomukti dan lainnya mulai dapat digunakan secara luas oleh masyarakat pada masa penjajahan Jepang tahun 1942. Ketika itu kraton menghadapi kesukaran dana secara abnormal, akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.11 Mulai saat itu penggunaan batik berkembang luas di dalam masyarakat.

Pada awalnya seni batik hanya tertuju untuk memperindah pakaian. Mereka berusaha memperindah penampilan seseorang dalam berbusana. Akan tetapi manusia memiliki sifat yang selalu merasa tidak puas, sehingga mereka selalu berusaha untuk

9 Wawancara dengan Windarti, di Krebet, tanggal 19 November 2006, pukul11.00

Wib.

10Pelestarian Motif Batik Tradisionil Melalui Pengembangan Industri Batik, op. cit.

.hal. 40

(18)

menciptakan atau mengembangkan sesuatu yang baru, berkreasi dalam membatik misalnya.

Perkembangan dunia pariwisata telah membawa pengaruh bagi perkembangan kerajinan batik. Kerajinan batik sangat diminati oleh wisatawan dan masyarakat. Permintaan dari wisatawan terus meningkat, karena batik merupakan ciri khas Yogyakarta. Namun permintaan dari para wisatawan dan masyarakat selaku konsumen tidak diimbangi dengan jumlah produksi. Hal ini disebabkan proses pembuatan batik tradisional memakan waktu cukup lama. Para pengusaha batik berusaha mengatasi hal ini dengan menambah jam kerja, namun tetap tidak dapat memenuhi permintaan.

Kreasi batik mulai berkembang pada tahun 1970-an. Banyaknya permintaan memunculkan metode baru dalam membatik untuk mempersingkat proses produksi, yakni dengan menggunakan metode cap serta printing sebagai alternatifnya. Proses pembuatan batik dengan cap sangat sederhana, karena tinggal men cap stempel yang telah di beri motif ke sebuah kain sedang printing menggunakan teknik sablon. Dengan metode cap serta printing para pembatik dapat membuat sebuah batik dengan waktu kurang dari satu hari.

(19)

Munculnya batik cap dan printing membuat kreasi berkembang. Batik tidak hanya digunakan untuk membuat busana saja, tetapi juga berupa kain seprei, gorden, taplak serta penutup kepala bagi wanita dan lainnya. Para pelukis Indonesia saat itu juga mulai menaruh perhatiannya terhadap perkembangan batik.12 Dari para pelukis itulah timbul motif-motif batik baru yang mendobrak kehalusan dan keanggunan batik dalam sebuah kanvas. Sejak saat itu batik mulai berkembang dengan motif dan kreasi baru.

Dampak dari munculnya batik cap dan printing membuat pengusaha batik tradisional mengalami kemunduran karena kalah bersaing. Meskipun hasil batik cap dan printing sangat berbeda dengan batik tulis tangan, baik dari segi kualitas maupun harga. Dari batik kain yang dihasilkan batik tradisional memiliki tingkat kehalusan yang lebih tinggi. Dari aspek harga, memiliki selisih yang cukup banyak. Batik cap dan printing dijual dengan selisih harga lebih dari 50% di bawah harga kain batik tulis tradisional. Hal itu membuat masyarakat dan wisatawan beralih, dari batik tulis tradisional ke batik cap dan printing.

Keadaan itu membuat para pengusaha batik tradisional mengalami keterpurukan, bahkan mengalami kebangkrutan. Hal ini di sebabkan semakin menurunnya daya jual batik tradisional, karena kalah bersaing dengan batik cap serta batik printing yang mulai menjadi trend di awal tahun 1980 an.13 Selain itu, dicabutnya ijin importir tunggal GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) oleh pemerintah pada tahun 1966 menjadi faktor naiknya harga bahan baku untuk

(20)

membuat batik.14

Windarti adalah salah seorang pembatik yang mendapat Pemutusan Hubungan Kerja ketika para pengusaha batik mengalami kebangkrutan. Windarti adalah istri dari seorang yang berasal dari Krebet yang mencoba membantu pendapatan suaminya dengan membuat batik kayu. Sejak tahun 1994 ia mulai merintis usaha batik kayu dengan modal awal yang sangat kecil. Usaha keras serta ketekunan membuatnya dapat mengembangkan keahliannya. Bahkan ia menularkan ilmunya kepada masyarakat Krebet untuk mengikuti jejaknya merintis usaha batik kayu.

Dalam penulisan skripsi ini penulis tertarik untuk membahas perkembangan batik, khususnya perkembangan batik kayu di Krebet yang merupakan desa penghasil kerajinan batik kayu pertama di Yogyakarta. Batik kayu merupakan sebuah inovasi baru dalam dunia membatik, dimana sebelumnya masyarakat hanya mengenal batik tulis dengan kain sebagai medianya.

B.

Batasan Masalah

Pada tahun 1994 Windarti menetap di Krebet setelah menikah dengan seorang pria. Saat itu Windarti mulai membatik dengan alasan ingin menmbah pendapatan keluarga, namun karena peluang batik tulis sangat kecil maka ia mencoba merintis usaha batik kayu. Selama tahun 1994, akan dilihat perkembangan batik kayu di

14 Siska Narulia, 2004. Skripsi; Koperasi Batik PPBI Yogyakarta Tahun 1950-1980.

(21)

Krebet sampai tahun 2004.

C.

Rumusan Masalah

Untuk mengetahui secara detail dan jelas tentang perkembangan batik kayu di Krebet, Bantul, Yogyakarta tahun 1994-2004, maka akan dikaji empat permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kemunculan batik kayu di Krebet tahun 1994? 2. Bagaimana perkembangan batik kayu di Krebet tahun 1994-2000? 3. Bagaimana perkembangan batik kayu di Krebet tahun 2000-2004?

4. Apa pengaruh yang di timbulkan dari batik kayu bagi masyarakat Krebet?

D . Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang; 1. Latar belakang kemunculan batik kayu di Krebet tahun 1994

2. Perkembangan batik kayu di Krebet tahun 1994-2000 3. Perkembangan batik kayu di Krebet tahun 2000-2004

4. Pengaruh yang ditimbulkan dari batik kayu bagi masyarakat Krebet.

E. Manfaat Penulisan

(22)

1. Bagi masyarakat Krebet, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pariwisata dan Pemerintah daerah Bantul serta Yogyakarta agar dapat menambah khasanah tentang perkembangan batik kayu di Krebet pada tahun 2000-2004.

2. Dapat mengkaji permasalahan yang penulis ajukan untuk memperoleh pengetahuan serta wawasan yang mendalam mengenai batik kayu di Krebet dan juga bagi perkembangan pariwisata di Indonesia serta bagi ilmu sejarah.

F. Kajian Pustaka

Kajian tentang batik telah banyak dilakukan, tetapi penelitian tentang batik kayu masih sedikit. Salah satunya adalah skripsi karya Suryanta berjudul ; Industri Kerajinan Batik Kayu ; Studi Kasus di Dusun Krebet dan Dusun Dadapong, Desa

Sendang Sari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Yogyakarta, Program Studi

Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian ini membahas mengenai berubahnya mata pencaharian masyarakat Krebet dan Dadapong akibat lahan pertanian yang semakin menyempit sehingga sektor pertanian non industri menjadi rendah. Menyempitnya lahan pertanian tersebut membuat masyarakat di dusun Krebet dan Dadapong membuka industri kerajinan batik kayu sebagai mata pencaharian. Skripsi ini hanya melihat dari aspek geografi bahwa munculnya batik kayu di Krebet dan Dadapong dilatarbelakangi oleh faktor tanah, yakni menyempitnya lahan pertanian.

(23)

Dalam penelitian ini membahas mengenai peran serta Koperasi Pengusaha Batik Indonesia pada tahun 1950 sampai dengan kesulitan bahan baku yang dihadapi para pembatik tahun 1980. Sripsi ini masih memiliki kelemahan, yakni hanya membahas kesulitan para pembatik dalam bahan baku tanpa memaparkan bagaimana cara pembatik untuk terus dapat melanjutkan usaha pembatikan.

Sumber ketiga yakni buku Departemen Perindustrian, 1977. Batik Dengan Proses dan Corak Baru, Jakarta, Departemen Perindustrian. Dalam buku ini

memaparkan tentang proses pembuatan batik dengan metode baru yakni cap serta printing. Selain itu juga mengulas mengenai corak-corak baru dalam batik dengan tema dan corak bebas. Buku tersebut masih memiliki kelemahan, yakni tidak membahas perubahan yang mendasar dalam proses pembuatan batik, seperti misal dalam media yang digunakan.

Seperti yang telah diuraikan pada bagian lain sebelum ini bahwa kajian yang mengangkat tentang perkembangan batik kayu di Krebet masih sangat langka. Kebanyakan hanya mengkaji tentang batik kain tradisional serta perubahan metode baru dalam membatik.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi berjudul “Perkembangan Seni Batik Kayu di Krebet, Bantul, Yogyakarta Tahun 1994-2004” penulis menggunakan metode penelitian sejarah.

(24)

dan peninggalan masa lalu secara imaginatif dari fakta-fakta yang diperoleh melalui proses historiografi.15 Adapun langkah-langkah dalam metode penelitian yakni heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.

Heuristik merupakan suatu proses pengumpulan data yang diperoleh dari literatur dan wawancara.

Langkah selanjutnya ialah kritik sumber (verifikasi data), bertujuan untuk mengetahui otentitas (keaslian) dan kredibilitas sumber.16 Hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kebenaran yang diperoleh dari literatur-literatur tersebut.

Langkah berikutnya adalah interpretasi data, yakni tahap penguraian informasi, fakta dan relasi satu dengan lainnya tanpa meninggalkan ketentuan dalam penelitian sejarah. Dalam penelitian ini dituntut untuk mencermati dan mengungkapkan data secara akurat, maka untuk mengurangi unsur subyektifitas, diperlukan pengolahan data dan analisis secara cermat.17

Historiografi merupakan langkah terakhir dalam metode penelitian sejarah. Langkah tersebut merupakan suatu proses rekonstruksi dari rentetan peristiwa-peristiwa masa lampau berdasarkan data-data yang sudah diperoleh dan diuji kebenarannya. Proses ini dikatakan berhasil apabila mampu menghasilkan sintesis dari tesis dan analisis yang telah diolah.

15 Lois Gottschalk, 1969. Mengerti Sejarah, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 32. 16 Sartono Kartodirjo, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam MetodologiSejarah,

Garmedia, Jakarta, hal. 146.

(25)

H. Landasan Teori

Individu, masyarakat dan institusi dalam perkembangan industri kecil memegang peranan yang sangat penting. Selain membantu menciptakan kesempatan kerja juga membantu meningkatkan pendapatan penduduk kelompok miskin di pedesaan.

Dalam Penulisan Skripsi ini akan mencoba menjelaskan dengan menggunakan pandangan dari Talcott Parsons “ Teori Structural-Fungsional” karena dinilai dekat dengan topik yang dibahas. Teori Struktural-Fungsional adalah teori yang menjelaskan tentang fungsi dan struktur. Teori ini diklaim lebih ilmiah dan empiris, dimana hipotesisnya diuji melalui penelitian-penelitian yang sistematik seperti pengamatan (observation) dan partisipasi observasi (participation Observation).18

Teori struktur dan fungsi aliran Amerika menyebutkan bahwa :

“Sesuatu yang berfungsi itu adalah (1) sesuatu yang berguna, karena memiliki fungsi tertentu untuk memenuhi kebutuhan manusia, seperti perladangan dan pemasaran; (2) harus mendatangkan manfaat bagi yang melakukannya, seperti kerja untuk memperoleh uang; (3) dapat memenuhi keperluan individu untuk meneruskan relasi sosial, atau berkaitan dengan hak dan tanggung jawab dalam melangsungkan tujuan individu dan masyarakatnya; seperti perkawinan untuk membentuk keluarga baru; (4) memenuhi keperluan masyarakat, seperti agama dan politik; (5) struktur bagi setiap individu guna menempati posisi dan melakukan peranan; seperti partai politik.” 19

Talcott Persons dalam bukunya yang berjudul The Evolusion of Societies (1977) dan The Structure of Social Action (1968) menyebutkan sebagai berikut:

18 Judistira K. Gana, Ilmu-ilmu Sosial : Dasar Konsep Posisi, Program Pasca Sarjana

Universitas Padjajaran, Bandung, hal 53-54.

(26)

“ Masyarakat adalah suatu sistem sosial, yang harus memenuhi empat syarat atau azas untuk setiap sistem itu berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan; (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui, dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu; (3) penentuan anggota masyarakat agar dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai, serta menyelesaikan konflik dalam interaksi; dan (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat, individu dan institusi dari keadaan yang ada dalam masyarakat. Individu dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara.”20

Sumbangan pemikiran Parson untuk menjelaskan pembahasan ini adalah pada pola adaptasi dan pencapaian integrasi, yang merupakan bagian dari pemahaman Parson tentang masyarakat sebagai suatu sistem sosial.21

Pola adaptasi (adaptation) bergerak dengan tujuan untuk mencapai keadaan yang lebih baik atau usaha untuk mencapai keadaan yang disetujui. Kata kuncinya adalah asas keseimbangan (equilibrium). Parson mengambil kesimpulan kalau sistem sosial itu cenderung bergerak menuju tatanan keseimbangan atau juga disebutnya dengan istilah stabilitas.22 Norma sistem yang berlaku adalah keteraturan, dengan hukum: ketika terjadi kekacauan (ketidakteraturan) dalam norma-norma itu, maka sistem akan berusaha dengan mencari jalan penyesuaian (adaptasi) untuk mencapai kedaan yang normal.23

Parson juga memaknai pola adaptasi sebagai kebutuhan fungsional, berupa kemampuan sistem menjamin kebutuhan dari lingkungannya dan mendistribusikan

20 A. R. Racdliff Brown, 1980. Struktur dan Fungsi Dalam Masyarakat Primif,

Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Malaysia, Kuala Lumpur, hal 57.

21 Konsep keseimbanagn system (equilibrium) Parson meneruskan fungsionalais

pendahulunya, sosiolog-engineer Vilfredo Pareto, sedangkan konsep integrasi system Parson berkat jasa besar Durkheim.

22 Margaret M. Poloma, 1984. Sosiologi Kontemporer, CV. Rajawali, Jakarta, hal

174.

(27)

sumber-sumber itu keseluruh sistem.24

Menurut Parson, Integrasi (penggabungan) yang juga merupakan kebutuhan fungsional yang berhubungan dengan masalah koordinasi dan penyatuan bagian-bagian sistem menjadi suatu keseluruhan yang fungsional.25 Jadi integrasi adalah hasil dari pencapaian setelah pola adaptasi berhasil.

Pemrakarsa atau prakarsa adalah tindakan atau usaha yang pertama punya inisiatif.26 Berawal dari seorang ibu rumah tangga di Krebet yakni Windarti yang ingin membantu pendapatan suaminya dengan membuat batik kayu. Inovasi yang dilakukan Windarti dalam membatik membuat masyarakat tertarik untuk ikut mempelajari seni batik kayu. Pelatihan tentang cara membatik kayu pada masyarakat di Krebet telah menyebabkan terjadinya perkembangan batik kayu dan perubahan sosial serta peningkatan pendapatan. Perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan perubahan tertuju kepada kemajuan

keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga akan dinikmati pula oleh individu.27 Industri adalah suatu kegiatan proses pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi.28 Masyarakat Krebet yang telah mendapatkan pelatihan tentang pembuatan batik kayu kemudian mulai membuka sanggar batik kayu. Bahan baku setengah jadi sebagai media untuk membatik seperti misal topeng kayu dibeli di daerah Imogiri dan Wonosari

24

Margaret M. Poloma, op. cit., hal 425.

25

Ibid, hal 433.

26

YJS. Purwodarminto. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 767.

27

Menurut Astrid Susanto dalam buku Judistira K. Garna, 1992. Teori-teori Perubahan Sosial, Program Pasca-Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, hal. 73-74.

28

(28)

I. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh mengenai penulisan ini, maka penulis akan mengemukakan sistematika penulisan sebagai berikut.

Bab I, memuat pendahuluan, latarbelakang permasalahan dan rumusan masalah. Selain itu juga mengemukakan mengenai tujuan penulisan dan manfaat penulisan, kajian pustaka, metode penelitian, landasan teori, hipotesis serta sistematika penulisan.

Bab II menguraikan tentang perkembangan kerajinan di Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan budaya

BAB III menguraikan tentang industri batik tulis di Yogyakarta pada tahun 1980 sampai dengan tahun 1990

BAB IV menguraikan tentang perkembangan seni batik kayu di Krebet tahun 1994-2000. Ketika itu Windarti mulai merintis usaha batik kayu sebagai pengisi waktu luang. Setelah dirasa cukup memberikan pemasukan Windarti kemudian memberikan pelatihan kepada beberapa warga tentang cara membatik dengan media kayu.

(29)

bagi pengrajin yang ingin mengikuti pameran baik di dalam kota maupun luar kota. Dari itu pula hasil kerajinan batik kayu Krebet dapat dijual di pasaran lokal hingga menembus pasar ekspor sampai manca negara baik Asia maupun Eropa. Selain itu juga menguraikan tentang Pengaruh yang di timbulkan dari batik kayu bagi masyarakat Krebet, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja serta peningkatan penghasilan keluarga.

(30)

17

YOGYAKARTA SEBAGAI KOTA WISATA BUDAYA

A.

Yogyakarta Sebagai Kota Budaya

Yogyakarta merupakan kota yang memiliki banyak julukan. Selain dikenal sebagai kota pendidikan, kota sejarah dan pariwisata juga dikenal sebagai kota budaya. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur yakni; bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian.29

“Di sebut kota budaya karena seluruh kota menyediakan tempat untuk eksposisi budaya dari pentas seni, seni lukis, kerajinan batik, kulit, dan ukir. Ada ruang publik untuk pentas kebudayaan bagi rakyat; alun-alun, sasana hinggil, gedung Purna Budaya, Bentara Budaya, panggung Ramayana, panggung terbuka di depan benteng Vredeburg dan lainnya, disamping pula ada museum kebudayaan Sono Budoyo.30”

Julukan Yogyakarta sebagai kota budaya juga tidak lepas dari Keberadaan kraton Yogyakarta yang menjadi salah satu faktor bertahannya nilai-nilai budaya Jawa dari era modernisasi dalam masyarakat. Masyarakat Yogyakarta masih percaya kepada raja dan kraton sebagai pusat sumber kehidupan kosmis dan numanis. Raja dianggap sebagai pusat kekuatan kosmis yakni sebagai orang yang sakti sesakti-saktinya.31 Masyarakat juga menganggap raja sebagai junjungan, pelindung dan perantara dari sang pencipta. Bagi masyarakat Yogyakarta, kraton bukan hanya pusat

29 Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan,

Yogyakarta, hal. 204.

30 Y.B Adimasana (2007) dalam; Bandar Maulana; Jurnal Sejarah Universitas

Sanata Dharma. Pusat Studi Sejarah Indonesia; Idonesiana, Yogyakarta, hal 31.

(31)

kekuasaan raja, namun juga dianggap sebagai pusat Numanis; pusat keramat kerajaan.32 Kepercayaan itu menjadikan kraton dan raja di tempatkan sebagai sumber adat dan budaya. Sehingga segala kegiatan ataupun dawuh (perintah) yang dilakukan oleh raja dan kraton menjadi panutan dan sedapat mungkin dilaksanakan oleh masyarakat.

1. Sopan Santun

Masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta sangat menjunjung tinggi norma sopan santun. Pendidikan norma sopan santun biasa diberikan oleh keluarga sejak masih kecil. Pendidikan norma sopan santun meliputi tutur kata, sikap serta tingkah laku seorang yang muda terhadap orang yang lebih tua. Dalam tutur kata masyarakat Yogyakarta mengenal tiga tingkat tata bahasa sehari-hari, yakni ngoko, kromo dan kromo inggil.

Ngoko merupakan bahasa kasar. Ngoko digunakan untuk berbicara dengan

orang yang sudah dikenal dekat atau akrab terhadap orang yang lebih muda, serta rendah derajat status sosialnya. Kromo digunakan untuk berbicara orang yang belum dikenal akrab, namun sebaya dalam usia, derajat atau status sosialnya.33 Kromo Inggil merupakan bahasa yang sangat halus, digunakan untuk berbicara dengan orang yang sangat di hormati, lebih tinggi derajat serta status sosialnya.

Selain bahasa, sopan santun dalam sikap serta tingkah laku juga diberikan oleh keluarga masyarakat Yogyakarta. Misal ketika berjalan melewati orang yang

32 Ibid, hal 107.

33 Koentjaraningrat. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta,

(32)

lebih tua sedang duduk atau istirahat, sambil tetap berjalan dengan bersikap membungkuk. Untuk melakukan hal itu biasanya disertai dengan ucapan kata-kata halus “nuwun sewu” yang maksudnya mohon permisi untuk berjalan.

Sopan santun dalam masyarakat Yogyakarta juga dilakukan oleh seseorang mengambil sikap duduk ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Ketika duduk laki-laki harus bersila atau melipat kedua kakinya di depan. Sedang untuk perempuan harus bersimpuh atau melipat kedua kakinya kebelakang. Pendidikan dasar sopan santun tersebut masih sangat kuat dan masih dilakukan di kalangan masyarakat Yogyakarta sebagai bentuk rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

2. Simbol dan Motif Pada Masyarakat Yogyakarta

Simbol serta motif masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia

sebagai warisan leluhur. Masyarakat Yogyakarta masih percaya dan mengenal simbol serta motif sebagai bagian dalam budayanya. Sampai saat ini simbol dan motif masih digunakan sebagai pegangan hidup. Simbol dapat diartikan sebagai tanda atau lambang. Simbol dapat berupa warna atau dari mimpi seseorang. Motif atau gambar dipakai dalam kehidupan masyarakat sebagai penolak bahaya atau keselamatan dan kemakmuran. Motif tersebut dapat berupa gambar binatang, alat perang atau bunga.

Simbol dalam masyarakat misalnya warna putih melambangkan kesucian,

(33)

salah satu anggota keluarganya akan mengalami musibah, baik sakit atau pun meninggal dunia.

Motif atau gambar hias bagi masyarakat Yogyakarta memiliki makna khusus.

Motif serta simbol biasanya di wujudkan dalam sarung keris, ukiran pintu rumah,

patung kala serta motif batik. Motif yang digunakan memiliki fungsi yang berlainan: “misal dalam motif batik, yakni antara sido mukti dengan

parang menang. Sido mukti dalam bahasa Jawa “sido” berarti “jadi”

sedang “mukti” berarti “kebahagiaan”. Maka seseorang yang mengenakan batik bermotif sido mukti berharap agar mendapatkan pangkat dan kedudukan serta hidup bahagiaan. Motif parang menang biasa dipakai oleh perwira dalam kerajaan. “Parang” merupakan simbol dari “kekuatan” sedang “menang” berarti “kejayaan”, seorang perwira yang mengenakan batik bermotif “parang menang” berharap agar dapat memenangkan perang.34”

3. Kerajinan Rakyat

Kerajinan rakyat merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Yogyakarta. Keahlian yang dimiliki dalam membuat suatu kerajinan merupakan warisan turun temurun dan hingga kini masih dapat dinikmati oleh masyarakat umum. Keahlian itu digunakan oleh masyarakat sebagai pekerjaan sampingan ataupun mata pencaharian. Misal kerajinan perak di Kota Gede, kerajinan batik di Imogiri, dan lainnya.

Kerajinan perak di Kota Gede telah ada sejak masa pemerintahan Panembahan Senopati yang merupakan raja Mataram pada abad ke-16. Informasi yang diperoleh dari para pengrajin perak di Kota Gede mengatakan bahwa, ketika itu Panembahan Senopati memberikan tugas kepada beberapa abdi dalem untuk membuat perhiasan

(34)

dari perak dan emas. Perhiasan tersebut nantinya akan digunakan oleh raja serta kerabat kraton. Berawal dari itu, masyarakat di Kota Gede memiliki keahlian dalam membuat perhiasan dari perak serta menekuninya sebagai mata pencaharian.

Selain ahli dalam membuat perak, masyarakat Yogyakarta juga mewarisi keahlian dalam membatik. Membatik ketika itu merupakan pekerjaan pengisi waktu luang para putri raja yang dibantu oleh para abdi dalem. Pada masa kerajaan Mataram penggunaan batik dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat yang berlatar belakang seremonial, ritual, historis, kultural, filosofi sesuai dengan budaya dan kepercayaan masyarakat saat itu.35 Akan tetapi saat ini penggunaan batik telah meluas dan bukan lagi sekedar sebagai busana adat dalam acara-acara tertentu, namun telah berkembang dalam penggunaan serta fungsinya, misal sebagai baju santai, daster dan celana. Selain itu juga digunakan sebagai pelengkap peralatan rumah tangga seperti taplak, seprei dan lainnya.

B.

Yogyakarta Sebagai Kota Wisata

Yogyakarta dikenal sebagai kota wisata yang memiliki beragam obyek wisata. Kota ini juga merupakan salah satu tujuan kota wisata yang banyak di kunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Hal ini tidak lepas dari peran serta pemerintah dalam mengusahakan Yogyakarta sebagai salah satu kota

35 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1993. Dampak Pengembangan

(35)

wisata di Indonesia. Selain itu banyaknya tempat-tempat pemandangan alam maupun cagar budaya yang berpotensi sebagai tempat wisata menjadi salah satu faktor pengembangan wisata oleh pemerintah.

Wisata alam, cagar budaya dan sejarah adalah beberapa tempat yang menjadi andalan Yogyakarta. Wisata alam seperti Kaliurang dan pantai selatan menghadirkan panorama alam yang indah bagi wisatawan. Cagar budaya seperti candi Prambanan serta Kraton Yogyakarta menghadirkan nuansa sejarah yang tak ternilai harganya. Selain itu tempat-tempat bersejarah juga menjadi nilai lebih, misal Benteng Vredeburg, Monumen Yogya Kembali dan lainnya. Selain itu, keberadaan pusat perbelanjaan yakni Malioboro yang terletak berhadapan dengan kraton semakin memanjakan serta memudahkan wisatawan ketika ingin berbelanja.

Perkembangan pariwisata di Indonesia khususnya Yogyakarta di awali sejak tahun 1978, setelah pemerintah berusaha mengembangkan kepariwisataan bagi daerah yang memiliki potensi wisata. Hal ini dilakukan pemerintah untuk menambah pemasukan uang negara memalui obyek wisata.

(36)

menduduki peringkat ke-4 dunia wisata di Asia Tenggara.36 Jumlah wisatawan asing tersebut sebagian berkunjung ke beberapa daearah wisata seperti Bali, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta.

Tabel 1. Jumlah Peningkatan Kunjungan Wisatawan Ke Yogyakarta Tahun 1987-1989

Jumlah Wisatawan Tahun

Asing Domestik

1987 100.000 1.153.173

1988 130.000 2.177.556

1989 160.000 3.920.930

Sumber tabel 1 : Kliping “Membangun Industri Pariwisata” Th II. No,5, mei 1990,hal 94

Peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung setiap tahunnya membuat pemerintah menetapkan Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata ke-2 setelah pulau Bali.

“Dalam hal ini Oka.A mengatakan bahwa posisi Yogyakarta sebagai daerah tujuan wisata telah didukung oleh komponen-komponen yang merupakan potensi pariwisata, yakni prasarana dan sarana sebagaiberikut;

1). Faktor-faktor yang memuaskan antara lain rakyat yang bersahabat dan ramah serta dapat berbahasa internasional 2). Lokasi komunikasi yang mudah dikunjungi

3). Memiliki daya tarik bagi wisatawan antara lain meliputi; a). Iklim (lebih dari 200 hari matahari bersinar sepanjang

tahun. Temperatur berkisar antara 15- 25C. Polusi alam masih sedikit.

b). Potensi alamiah meliputi daerah pegunungan, hutan, pantai dan tumbuh-tumbuhan tropis.

c). Potensi bangunan meliputi obyek percandian dan bangunan-bangunan bersejarah serta memiliki keunikan atau kekhususan arsitekturnya.

d). Warisan budaya leluhur yang antara lain meliputi kepercayaan, upacara-upacara adat, kesenian tradisional.

(37)

e). Fasilitas akomodasi yang baik.

f). Hasil-hasil kerajinan yang menarik.37”

1. Pertunjukan Kesenian

Kegiatan budaya yang masih dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta menjadi salah daya tarik bagi para wisatawan selain tempat-tempat bersejarah, wisata alam dan budaya. Kegiatan budaya yang dijadikan hiburan bagi wisatawan yakni, tari kesenian Jawa dengan ciri khas Yogyakarta. Misal, tari Golek; Klana Alus Jungkung Mandiya, tarian yang diambil dari cerita Mahabarata, tentang raja

Dasawasisa. Kesenian lain yang menjadi pusat perhatian wisatawan yakni sendratari

Ramayana. Pertunjukan kedua tari-tarian tersebut biasa diselenggarakan di

panggung teater candi Prambanan pada setiap awal bulan purnama. Selain itu pertunjukan kesenian wayang orang, wayang kulit serta wayang golek biasa diselenggarakan di beberapa tempat seperti di Arjuna Plasa dan RRI Sasana Hinggil.

Kegiatan budaya lain yang menjadi nilai jual bagi wisatawan adalah upacara adat yang biasa diselenggarakan oleh kraton. Misal upacara Grebeg Sekaten yang biasa bertempat di alun-alun utara. Grebeg sekaten biasa di selenggarakan pada tiap bulan Maulud dan di wujudkan dalam bentuk gunungan. Upacara ini merupakan wujud syukur serta memohon perlindungan dengan Yang Kuasa. Dalam setiap penyelenggaraan Grebeg Sekaten, biasanya diikuti dengan pesta rakyat yang dilakukan selama satu bulan penuh. Penyelenggaraan ini menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun asing.

37 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Pengembangan Pariwisata

(38)

Upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan budaya Yogyakarta sebagai nilai jual dalam pariwisata terus dilakukan. Kaitan antara budaya dengan pariwisata dipertegas dalam Tap MPR No. II/MPR/1988 bahwa pembangunan pariwisata diupayakan mampu memperkenalkan alam, nilai, dan budaya bangsa.38 Obyek wisata bagi para wisatawan dimunculkan oleh pemerintah dalam bentuk kesenian (tari-tarian, lagu rakyat, kerajinan tangan) dan adat istiadat (upacara adat).

Tabel 2. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke tempat atraksi kesenian pada tahun 1985-1987

Tahun no Atraksi Kesenian Tempat

1985 1986 1987

1 Wayang Orang

dan golek

Arjuna Plasa 2.660 2.166 1.717 2 Wayang Golek Nitour Inc 947 1.490 1.747 3 Wayang kulit AmbarBudaya 785 1.006 1.332 4 Wayang Kulit RRI Sasana

Hinggil

974 1.150 999 5 Wayang kulit Agastya 6.881 7.320 7.221 6 Sendratari

Ramayana

Prambanan --- 3.479 4.689 7 Sendratari

Ramayana

Pujakusuma 8.590 10.432 10.570 8 Sendratari

Ramayana

THR Hanoman

2.097 2.617 3.178

9 Aneka seni Forest Garden Prawirotaman

6.225 8.435 10.249 Sumber tabel 2 : Statistik Dinas Pariwisata DIY

2. Sarana dan Prasarana Transportasi

Yogyakarta sebagai kota pariwisata yang sedang berkembang, berupaya meningkatkan jumlah wisatawan dengan melakukan pembenahan, menata dan memperluas daerah obyek-obyek wisata. Misal memperluas serta membuat taman

38 Ibid, hal 37.

(39)

wisata Prambanan. Pemerintah melalui Departemen Perhubungan juga menyediakan serta membangun sarana transportasi sebagai pendukung kelancaran wisatawan menuju obyek wisata. Selain itu juga menyediakan bus pariwisata dan taksi untuk mempermudah dalam mencapai tempat wisata. Pemerintah daerah juga tetap mempertahankan sarana transportasi tradisional seperti becak dan andong.

Sarana Transportasi yang disediakan Departemen Perhubungan antara lain melayani rute sebagai berikut ;

Tabel 3. Bus Wisata di Yogyakarta tahun 1989-1990

no Nama Bus Tujuan Biaya (Rp) 1 Birowo Yogya-Wonosari-Baron 500,-

2 Baker Yogya-Kaliurang 300,-

3 Jatayu Yogya-Parangtritis 500,-

4 Mataram Yogya-Glagah-Congot 700,-

5 Purajaya- Suharno Gotong Royong

Yogya-Prambanan 250.-

6 Abadi Yogya-Samas 500,-

7 Eka Sapta Muntilan-Borobudur 200,-

8 Handoyo-Ramayana Yogya-Borobudur 500,-

9 Pemuda Yogya-Prambanan 250,-

Sumber tabel 3 ; Dinas Pariwisata Pariwisata Seni dan Budaya

(40)

rumah makan bagi wisatawan.

Tabel 4. Hotel Berbintang di Yogyakarta tahun 1989-1990 Kabupaten/Kotamadya Akomodasi Kamar Tempat Tidur

Sleman 4 512 1.022

Yogyakarta 7 391 684 D.I. Yogyakarta 11 903 1.706 Sumber tabel 4: Kantor Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta.

Tabel 5. Hotel Melati di Yogyakarta tahun 1989-1990

Kabupaten/Kotamadya Akomodasi Kamar Tempat Tidur

Sleman 14 124 124

Yogyakarta 11 257 257 D.I. Yogyakarta 37 872 872

Bantul 4 35 35

Sumber tabel 5: Kantor Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Pengembangan Industri Kerajinan di Yogyakarta

Kerajinan dapat di kategorikan sebagai seni. Seni merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia.39 Daya pikir manusia sering kali memunculkan ide- ide atau kreatifitas. Banyak faktor yang melatar belakangi manusia untuk menghasilkan suatu karya seni, antara lain faktor lingkungan tempat tinggal, bakat dan usaha pemenuhan kebutuhan hidup.40 Misal ketika manusia berada dalam ruang lingkup yang menjadi pusat perhatian, maka akan mendorong lahirnya suatu karya seni berupa barang yang kelak dapat menghasilkan nilai jual untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Perkembangan pariwisata di Yogyakarta pada tahun 1978 telah membawa

(41)

keuntungan bagi instansi dan masyarakat. Bagi pemerintah daerah khususnya dinas pariwisata, para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta telah menambah pendapatan daerah, misal yang diambil dari pajak retribusi obyek pariwisata. Bagi masyarakat Yogyakarta kedatangan para wisatawan dimanfaatkan untuk mencari penghasilan tambahan maupun sumber mata pencaharian utama dengan cara membuka tempat usaha.

Kehadiran wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menambah pendapatan. Khususnya mereka yang tinggal di kawasan objek wisata. Misal dengan membuka rumah makan ataupun mengubah fungsi tempat tinggal mereka menjadi home stay atau tempat menginap sementara bagi wisatawan. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kompleks candi Prambanan, mereka seringkali menyediakan jasa layanan tempat menginap bagi para wisatawan dengan cara merubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah penginapan.

Banyaknya pusat pariwisata di Yogyakarta juga telah menumbuhkan kreatifitas masyarakat untuk membuat kerajinan. Masyarakat Yogyakarta yang telah mewarisi keahlian dalam membuat kerajinan kemudian membuat souvenir sebagai pendukung, misal kerajinan batik di Imogiri dan Prawirotaman serta perak di Kota Gede. Selain sumber daya manusia yang kreatif, faktor lain sebagai pendukung untuk menunjang kelancaran produksi kerajinan adalah banyaknya sumber daya alam sebagai media bagi para pengrajin yang mudah diperoleh di daerah sekitar Yogyakarta, seperti misal kulit binatang sebagai bahan dasar pembuatan wayang, kayu mahoni dan sengon sebagai bahan dalam pembuatan topeng kayu.

(42)

masyarakat sebagai souvenir wisatawan. Sebelumnya hasil kerajinan tersebut hanya untuk dipakai sendiri dan memenuhi pesanan. Misal kerajinan kulit di Tembi dan pucung yang terletak di Bantul. Sebelumnya para pengrajin hanya membuat wayang apabila ada pemesan. Namun sebagai pendukung dari pariwisata para pengrajin wayang kulit mulai mengusahakan hasil kerajinannya untuk dapat dinikmati para wisatawan sebagai souvenir.

Para pengrajin lain juga mulai mengusahakan kerajinannya sebagai souvenir. Misal kerajinan gerabah yang terletak di desa Kasongan, kerajinan topeng kayu di desa Pucung, Imogiri sampai dengan kerajinan batik tulis kain tradisional yang terpusat di beberapa tempat seperti di kompleks Taman Sari dan di Prawirotaman. Sebagai pengrajin mereka selalu berusaha untuk menghasilkan produk sebagai souvenir ciri khas masyarakat Yogyakarta. Sebab sebagian besar konsumen adalah para wisatawan. Salah satu ciri khas souvenir tersebut misalnya batik yang merupakan pakaian adat Yogyakarta.

1.Kerajinan Perak

(43)

perak bermodal besar seperti misal Tom Silver dan HS Silver yang mulai dirintis sejak tahun 1953.

Masyarakat Kota Gede banyak menggantungkan penghasilan mereka dengan bekerja di perusahaan perak bermodal besar. Berdirinya perusahaan perak di Kota Gede membuat hasil kerajinan perak makin luas. Sebelumnya masyarakat dengan industri rumah tangga hanya dapat membuat kerajinan perak seperti misal cincin, anting, giwang dan kalung. Namun dengan berdirinya perusahaan besar seperti Tom Silver dan HS Silver hasil kerajinan perak menjadi bervariasi. Mereka dapat membuat

kerajinan perak dengan tema miniatur transportasi tradisional seperti becak, sepeda, andong, gerobag dan lainnya. Hal ini dikarenakan peralatan perusahaan tersebut jauh lebih lengkap.

Tabel 6. Lima perusahaan perak terbesar di Kota Gede tahun 1987-1990 no Nama

Perusahaan

Jumlah Karyawan

Jenis kerajinan

1. Tom Silver 80 orang Perak dan kuningan; miniatur transportasi tradisional dan perhiasan

2. Alono Silver

63 orang Perak;miniatur Transportasi tradisional dan perhiasan

3. HS Silver 20 orang Perak; segala macam perhiasan 4. Kuningan dan

Tembaga “SMD”

20 orang Perak dan kuningan 5. Borobudur

Silver

134 orang Perak; segala macam perhiasan

Sumber tabel 6: Departemen Perindustrian Perdagangan dan Koperasi

2. Kerajinan Gerabah

(44)

serta genteng. Namun berkembangnya pariwisata tahun 1980-an di Yogyakarta membuat pengrajin di desa Kasongan mulai mengusahakan kerajinannya sebagai souvenir. Usaha yang dilakukan oleh pengrajin yakni dengan menambah bentuk hasil kerajinan dari alat rumah tangga menjadi barang kerajinan yang bercorak seni. Para pengrajin ketika itu mulai membuat kerajinan berupa barang-barang saouvenir seperti patung asmat, patung naga keraton, patung sepasang pengantin Jawa, patung gajah serta vas bunga.

3 . Kerajinan Batik

a. Batik Bagi Lingkungan Kraton Yogyakarta

Batik Yogyakarta merupakan pakaian adat yang berasal dari dalam lingkungan kraton, sehingga keberadaan batik tidak dapat lepas dari kraton. Sejak pemerintahan Sultan Hamengkubuwana I batik telah menjadi busana keprabon (busana kebesaran) yang diperlukan dalam tatacara penyelenggaraan kehidupan sehari-hari maupun upacara adat. Batik dianggap sebagai simbol kebesaran dan kebangsawanan Raja serta kerabat kraton. Sehingga sampai saat ini keberadaan batik masih bertahan karena kuatnya tradisi yang terdapat di dalam kraton.

Batik ningrat adalah batik yang biasa dikenakan oleh kalangan Kraton atau bangsawan yang memiliki motif gambar parang rusak, kawung, sidomukti dan jenis lain.41 Batik ini dibuat dan dikhususkan bagi para raja serta keluarga kraton sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Dalam hal motif kain batik tulis yang biasa dikenakan oleh keluarga kraton juga memiliki makna simbolis. Seperti Parang Rusak

(45)

yang motifnya diambil berdasarkan pegangan keris dari kraton Yogyakarta, sebagai lambang dari kekuatan, motif Gurda atau burung garuda digunakan sebagai gambaran atau kesaktian dan keperkasaan.42 Motif–motif batik tersebut khusus dikenakan raja dan kerabat kraton pada saat-saat tertentu. Namun pada tahun 1942, larangan penggunaan motif batik tersebut dihapuskan, hal ini disebabkan kraton mengalami kesulitan keuangan sehingga terpaksa menjual motif tersebut pada Jepang.

b. Batik Bagi Masyarakat Yogyakarta

Batik bagi masyarakat Yogyakarta merupakan pakaian resmi yang biasa dikenakan pada saat-saat tertentu, sebab merupakan pakaian adat khas Yogyakarta. Batik kain tulis tradisional yang dikenal oleh masyarakat Yogyakarta merupakan batik pedalaman.43 Beberapa macam motif digunakan sesuai dengan status sosial di dalam masyarakat, misalnya batik kalangan Kraton atau ningrat. Ciri khasnya terletak pada motif yang digunakan, misal dengan pola gambar parang rusak, kawung,

sidomukti dan lainnya sebagai lambang kekuatan dan kewibawaan44 yang tidak

sembarang orang bisa memakainya. Hal ini karena motif batik tersebut biasa dikenakan oleh para raja di kraton Yogyakarta.

Penggunaan batik di luar kraton terjadi pada akhir abad XIX, di mana ketika itu para pengusaha asal Belanda mulai menjadikan batik sebagai komoditi

42 Ibid, hal 4

43 Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia. Katalog

Batik Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri dan Kerajinan Batik, Proyek pengembangan dan pelayanan teknologi industri kerajinan dan batik. Hal 78

(46)

perdagangan.45 Selain itu, faktor lain yang menjadikan batik keluar dari lingkungan kraton yakni adanya beberapa abdi dalem kraton yang berasal serta bertugas di luar kraton. Para abdi dalem yang berasal dari luar lingkungan kraton kemudian membawa kesenian batik ke daerah mereka masing-masing untuk diajarkan pada keluarga serta tetangga sebagai pengisi waktu luang. Misal pada tahun 1933, ketika itu beberapa abdi dalem ditugaskan sebagai juru kunci makam para raja Mataram di Pered,

Imogiri. Sejak saat itu kesenian batik mulai tersebar di luar lingkungan kraton. Berawal dari para abdi dalem, kerajinan batik dari kraton terus meluas hingga meliputi beberapa tempat di Yogyakarta46 ;

1. Kota madya Yogyakarta ; Ratawijayan, Ngasem, Nagan, Panembahan, Tirtodipuran, karangkajen.

2. Bantul ; Plered, Ngestiharjo, Pajangan, Sanden, Wanakrama, Imogiri. 3. Kulon Progo ; Gegulu, Wates.

4. Gunung Kidul ; Sumberan, Ngawen. 5. Sleman ; Mlangi, Demak Ijo, Godean.

Para pembatik ketika itu masih menggunakan cara-cara tradisional dalam membatik. Kunir digunakan sebagai pembuat pola. Penggunaan bahan pewarna pun masih terbatas, yakni coklat, hijau, merah, kuning serta hitam. Larutan pewarna yang mereka gunakan biasanya berasal dari akar-daun mengkudu, daun jati, daun mangga, putri malu, tegeran, jambal dan lainnya.Warna hijau biasanya menggunakan daun mangga, warna coklat menggunakan daun jati, sedangkan putri malu digunakan untuk

45 Siska Narulia, 2004. Skripsi ; Koperasi Batik PPBI Yogyakarta Tahun 1950-1980.

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta, hal 37

(47)

warna kuning. Semua warna untuk batik memakai bahan-bahan alami yang diambil dari kebun dan pekarangan pengrajin.

Motif yang digunakan batik rakyat pun berbeda dengan batik kraton yang lebih menonjolkan keperkasaan. Batik yang berasal dari luar lingkungan kraton lebih menonjolkan kehalusan dan kelembutan. Hal ini terlihat pada motif yang digunakan yakni gambar binatang seperti kijang, ayam, kupu, bunga mawar, daun dan lainnya. Motif yang digunakan oleh masyarakat biasa merupakan simbol dari kemakmuran. Sehingga dilihat dari motif serta gambarnya dapat menunjukkan status sosial orang yang memakai, antara batik kraton dan batik rakyat.

Motif-motif khusus yang digunakan oleh lingkungan kraton Yogyakarta seperti parang rusak, kawung, sidomukti dan lainnya mulai dapat digunakan secara luas oleh masyarakat pada masa penjajahan Jepang 1942. Menurut Ueoka Takamasa ketika itu kraton menghadapi kesukaran dana secara abnormal, akibatnya terpaksa melepaskan dan menjual batik corak larangan dan batik berharga. Akhirnya batik larangan dihapuskan dan orang awam boleh memakainya.47 Mulai saat itu penggunaan batik mulai berkembang luas di dalam masyarakat.

c. Batik Sebagai Souvenir

Wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta selalu mencari souvenir sebagai kenang-kenangan atau buah tangan. Oleh sebab itu berbagai macam kerajinan sebagai souvenir mulai diusahakan oleh pengrajin, salah satunya adalah batik. Batik

47 Ueoka, Takamasa. 2001. Batik: Sejarah dan Daya Tarik. Skripsi: Jurusan: Bahasa

(48)

yang sebelumnya merupakan pakaian khas bagi masyarakat Yogyakarta mulai dijadikan souvenir bagi wisatawan dengan ragam bentuk serta kegunaan. Dalam berbusana misal seperti kebaya, blangkon serta surjan lurik

Kain batik tulis (tradisional) saat itu menjadi souvenir yang tergolong mahal jika dibandingkan dengan souvenir lain seperti perak atau kulit. Namun motif yang unik serta warna yang khas membuat batik tulis (tradisional) tetap banyak di minati oleh wisatawan domestik maupun asing sebagai souvenir. Banyaknya permintaan batik membuat para pengrajin kewalahan dalam memenuhi permintaan.

(49)

36

TAHUN 1980-1990

A. Industri

Industri adalah suatu kegiatan proses pengolahan bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi.48 Aktivitas manusia dalam usaha memperjuangkan hidup dapat diwujudkan melalui kegiatan ekonomi. Aktivitas manusia dalam bidang ekonomi salah satunya melalui industri. Industri dapat dikategorikan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan menjadi empat, yakni;

a. Industri rumah tangga, menggunakan tenaga kerja 1 sampai 4 orang. b. Industri kecil, menggunakan tenaga kerja 5 sampai 19 orang.

c. Industri sedang, menggunakan tenga kerja 20 sampai 99 orang. d. Industri besar, menggunakan tenga kerja 100 orang atau lebih.49

Industri kerajinan yang diusahakan oleh masyarakat Yogyakarta mencakup empat kategori industri di atas. Industri kerajinan masyarakat Yogyakarta tersebut banyak berkembang di daerah pedesaan atau pinggiran kota. Hal ini dikarenakan selain bahan baku mudah didapat juga karena kebanyakan masyarakat dalam membuat kerajinan dilakukan pada waktu senggang. Industri kerajinan yang banyak berkembang dipedesaan salah satunya adalah batik tradisional yang mulai dijadikan sebagai salah satu cindera mata khas Yogyakarta.

Industri kerajinan yang diusahakan oleh masyarakat Yogyakarta sebagian

(50)

besar menggunakan bahan-bahan serat alam, kulit binatang, tanah liat dan lainnya. Semua bahan dasar pembuatan kerajinan tersebut sebagian besar dapat dipenuhi oleh masyarakat Yogyakarta, tanpa harus mencari keluar daerah. seperti misal kayu mahoni sebagai bahan dasar pembuatan topeng, dapat dengan mudah didapat di daerah pedesaan. Tanah liat sebagai bahan dasar pembuatan gerabah di Kasongan juga dapat dengan mudah diperoleh.

Merebaknya industri kerajinan di Yogyakarta membuat persaingan antar para pengrajin menjadi ketat. Berbagai upaya dilakukan oleh para pengrajin untuk dapat mempertahankan kualitas serta menarik minat konsumen. Selain membutuhkan kejelian dalam melihat peluang serta inovasi, penggunaan alat-alat modern dalam proses produksi pun ditingkatkan. Hal ini yang menyebabkan munculnya kreasi-kreasi baru dalam proses pembuatan kerajinan.

1. Muncul Industri Batik Modern a. Batik Cap

Banyaknya permintaan dari wisatawan atas batik tidak diimbangi dengan jumlah batik yang tersedia, membuat para pembatik mencari jalan pintas untuk mempercepat proses produksi. Selain itu harga yang tergolong mahal untuk masyarakat menjadi pertimbangan para pengusaha batik tulis tradisional. Mereka berupaya menghasilkan kain batik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat dan wisatawan.

(51)

gambar yang diinginkan sebelumnya.50 Batik cap merupakan alternatif yang digunakan para pengusaha untuk memenuhi permintaan masyarakat selaku konsumen. Sehingga untuk membuat sebuah kain batik tidak memerlukan waktu yang lama karena tinggal menempelkan cap tersebut ke sebuah kain.

Metode membatik dengan menggunakan cap sebenarnya telah lama ditemukan oleh orang-orang Eropa saat terjadinya revolusi industri di Inggris. Namun di Yogyakarta penggunaan cap dalam proses membatik mulai menjadi trend di tahun 1970-an. 51 Hal itu dikarenakan permintaan para konsumen baik wisatawan maupun masyarakat yang terus meningkat. Proses membatik dengan metode cap dibuat dengan cara yang lebih sederhana dan praktis yang digabungkan dengan pengolahan tata susunan warna yang serasi sehingga diperoleh hasil kain batik yang indah.52 Proses pembuatan batik cap tidak serumit seperti batik tulis kain tradisional yang lebih mengandalkan keahlian, ketelitian serta kelincahan jari tangan pembatik dalam menggoreskan canting pada kain.

Membatik dengan menggunakan cap atau dikenal dengan istilah batik modern membuat hasil kreasi batik makin luas. Pembuatan batik cap yang relatif singkat menjadikan para pengusaha batik kain tulis tradisional beralih menggunakan cara tersebut. Hal ini sangat berpengaruh terhadap munculnya desain batik baru. Para pembatik tidak lagi hanya memproduksi kain jarik serta busana bermotif batik saja, tetapi juga beberapa perlengkapan rumah tangga yang berupa kain seprei, gorden,

50

Departemen Perindustrian, 1977. Batik Dengan Proses dan Corak Baru, Departemen Perindustrian Jakarta, hal 34.

51 Ibid, hal 38

(52)

taplak serta penutup kepala bagi wanita dan lainnya. Meskipun mulai bermunculan desain batik yang baru, namun media yang digunakan para pembatik masih tetap sama yakni menggunakan kain.

Para pelukis Indonesia saat itu juga mulai menaruh perhatiannya terhadap perkembangan batik.53 Banyak seniman mulai menciptakan motif-motif baru, di samping motif tradisional. Pelukis selaku pekerja seni mulai tertarik untuk melukis dengan tema batik di atas sebuah kanvas. Mereka menyadari bahwa batik merupakan salah satu bagian dari seni yang merupakan warisan budaya dan harus dilindungi dari kepunahan. Dari para pelukis itu timbul motif-motif batik baru yang mendobrak kehalusan dan keanggunan batik dalam sebuah kanvas yang diwujudkan dalam sebuah lukisan dinding. Para seniman mengkreasikan lukisan batik dengan menggambarkan cerita-cerita dalam wayang atau kehidupan khas Indonesia. Sejak saat itu kerajinan batik semakin berkembang dengan motif dan kreasi baru.

Perkembangan dalam dunia batik modern dengan menggunakan metode cap menjadikan dampak yang kurang baik bagi para pembatik tradisional. Batik cap yang saat itu mulai banyak beredar di pasaran telah mematikan para perajin batik kain tradisional. Sehingga berdampak pada turunnya daya beli masyarakat terhadap hasil kerajinan batik kain tradisional. Hal tersebut dikarenakan harga kain batik modern lebih murah jika dibandingkan dengan batik tradisional, meskipun dalam hal kualitas, kerapian dan kesempurnaan masih lebih bagus batik tradisional. Harga sebuah batik cap sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan batik tulis tradisional :

“Batik tulis harganya jauh lebih tinggi dari pada batik cap,

(53)

kadang sampai lebih dari 10 kali. Kenapa? karena batik tulis adalah hasil curahan perasaan dari pembatik dengan karya tangan diatas mori. Ia adalah barang kesenian, sama dengan lukisan. Membuatnya memakan waktu yang lama. Sedang batik cap adalah barang cetakan, dan bukan curahan perasaan, karena tingginya teknik pencetakan batik, orang awam sukar membedakan antara batik tulis dengan batik cap, apalagi jika dilihat dari jarak jauh.54”

Di satu sisiinovasi batik cap telah mempercepat proses pembuatan batik dan di sisi lain telah membuat persaingan baru di kalangan pembatik tulis tradisional dengan pembatik cap. Mereka saling bersaing dalam hal kualitas dan harga

Gambar

Tabel 13. Cara Peningkatan Hasil Produksi

Referensi

Dokumen terkait

Kemiskinan merupakan kondisi yang bertentangan dengan maqashid syariah (menjaga jiwa/ nafs). Urgensi pemberdayaan perempuan, baik di bidang ekonomi, maupun di

1) Biaya produksi dikelompokkan menurut besarnya pemakaian biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan biaya lain – lain, namun pada perusahaan membebankan

Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu entitas akuntansi di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan,

Daerah penelitian dipilih di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hal tersebut dikarenakan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kenampakan fisik yang cukup

Kajian Indikator Pariwisata Berkelanjutan di Kawasan Wisata Pantai Parangtritis Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.. Yogyakarta: Progran Studi Magister Kajian

Animasi ini adalah penggabungan antara berbagai tipe animasi. Tidak jarang film-film menggunakan teknik animasi ini untuk membangun cerita atau sebagai peran pengganti. Film

Kriteria ketimpangan distribusi pendapatan menggunakan indeks Gini yang diduga dari model sebaran pendapatan Pareto tipe I maupun dari data BPS untuk Provinsi Jawa Barat,

Nilai bobot biji per tanarnan tertinggi untuk kedua varietas temyata tidak diperoleh daTi perlakuan yang menghasilkan bobot kering bintil akar clan kandungan N