• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMUAN I KULIAH KESATU: PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN

1.4. Penyajian Materi

1.4.3. Pengenalan Teori Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Teori Legislasi)38

Terdapat beberapa teori legislasi yang dapat diterapkan dalam perancangan peraturan perundang-undangan, satu diantaranya adalah yang dikemukakan oleh J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law and development project”.10

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt membahas teori pembentukan agenda, teori ideologi elite, teori politik-biro, dan teori empat lapisan rasionalitas. Menurutnya, teori-teori tersebut di atas kiranya dapat lebih bermanfaat bagi konsultan para pembentuk legislasi jika dikonsolidasikan ke dalam metodologi yang koheren dan komprehensif. Metodologi demikian sejatinya merangkum dan meliputi ke-lima tahapan berikut:

Tabel 3. Tahapan Metodelogi Pembentukan Legislasi

TAHAPAN URAIAN

Tahap I:  Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.

 Melakukan upaya untuk memahami terlebih dahulu apa dan bagaimana legislasi yang sudah ada bekerja dan menelaah apakah ketentuan-ketentuan di dalamnya konsisten, sejauh mana relevan dengan atau memajukan kepentingan kelompok target (addressat) dan terakhir menilai sejauh mana semua mekanisme legal yang terkait terjangkau oleh

masyarakat umum.

Tahap II:  Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif) beranjak dari teori dampak sosial maupun pluralisme hukum, dsb .

 Hendak menganjurkan diadaptasikannya model ini lebih lanjut untuk diselaraskan dengan studi-studi yang secara khusus menyasar lembaga-lembaga pembentuk legislasi dan relasi mereka dengan addressat dari peraturan tersebut.

10

J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2004), “Using legislative theory to improve law and development project”, Jurnal RegelMaat afl. 2004/4. J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt (2008), “Using legislative theory to improve law and development projects”, dalam J. Arnscheidt, B. Van Rooij, dan J. M. Otto, eds., Lawmaking for Development: Explorations into the Theory and Practice of International Legislative Projects, (Leiden: University Press).

39

 Ini sejatinya dilakukan baik dalam konteks pembentukan legislasi maupun berkaitan dengan persoalan penaatan (compliance).

Tahap III:  Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi.

 Dalam hal ini dengan menggunakan metodologi penyelesaian masalah yang dikembangkan pasangan Seidman, kita harus mengidentifikasi perilaku apa yang sebenarnya hendak diubah.

 Ikhtiar ini terdiri dari empat langkah:

Langkah 1: Identifikasi dari tingkat kesulitan yang dihadapi: karena legislasi hanya mungkin menyasar perilaku manusia, maka para pembentuk legislasi harus mampu mengidentifikasi perilaku apa yang memunculkan masalah sosial yang hendak ditata dan juga peran dari mereka (kelompok sasaran) yang perilakunya menimbulkan masalah. Langkah 2: Menganalisis dan mengajukan uraian menjelaskan mengapa dan bagaimana masalah sosial tertentu muncul; pembentuk legislasi harus secara sistematis memeriksa dan turut mempertimbangkan hipotesis alternatif perihal sebab musabab atau akar masalah dari perilaku sosial yang dianggap bermasalah.

Langkah 3: Mengajukan usulan pemecahan masalah (solusi); dengan dukungan bukti-bukti, pembentuk legislasi seyogianya merumuskan tindakan-tindakan legislatif apa yang sebaiknya dilakukan, termasuk mengajukan usulan rancangan peraturan baru. Dalam hal itu, mereka juga harus memperhitungkan biaya sosial-ekonomi yang potensial muncul dari tiap aturan yang dibuat, yaitu untuk dapat menentukan elemen mana yang harus dimasukkan atau justru dikesampingkan dalam perancangan aturan yang hendak diusulkan.

Langkah 4: Pengawasan dan evaluasi terhadap implementasi; terakhir para pembentuk legislasi seyogianya membangun suatu mekanisme pengawasan dan evaluasi implementasi ke dalam rancangan legislasi yang dibuat.

Tahap IV:  Analisis dari proses pembentukan legislasi beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik.

 Pembentukan legislasi yang lebih partisipatoris seharusnya meningkatkan kadar demokratis dan legitimasi peraturan yang dihasilkan.

Pendekatan dari bawah (bottom-up approach) berkaitan dengan

pembentukan legislasi negara diprakarsai pada tingkat lokal, merupakan fenomena penting dan baru muncul di banyak negara berkembang. Tahap V:  Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi dari

sudut pandang teori-teori : pembuatan agenda, ideologi (kelompok) elite, politik-biro dan empat lapisan rasionalitas.

 Penelahaan kritis terhadap pertanyaan apakah dan seberapa jauh transplantasi hukum justru merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan sosial yang muncul.

40

 Mensyaratkan adanya kemampuan dari konsultan asing untuk tidak saja kritis terhadap diri sendiri, juga untuk menyadari bahwa sejumlah teori yang dikembangkan di dunia Barat dilandaskan pada asumsi-asumsi mengenai dinamika masyarakat dan politik di negara-negara maju yang tidak mencerminkan realitas sosial di banyak negara berkembang.

 Asumsi-asumsi demikian mencakup:

bahwa dapat ditemukan konsensus tentang keniscayaan pembentukan legislasi yang partisipatoris dan demokratis;

bahwa warga masyarakat memiliki kebebasan dan keberanian untuk secara terbuka turut serta dalam debat publik tentang apapun juga. bahwa pihak eksekutif yang memprakarsai dan memimpin proses pembentukan legislasi bertanggungjawab terhadap dewan perwakilan daerah yang pada gilirannya mengartikulasikan kepentingan dari masyarakat banyak;

bahwa ada dan terjaga situasi dan kondisi politik yang relatif stabil yang memungkinkan terselenggaranya debat terbuka perihal elemen-elemen terpenting dari ideologi negara maupun kebijakan resmi negara, samping itu juga berfungsinya media yang efektif tetapi sekaligus cukup netral, untuk menyalurkan informasi pada masyarakat luas; dan

bahwa tersedia cukup sumberdaya, personel dan anggaran yang memungkinkan proses pembentukan legislasi yang partisipatoris, dipersiapkan dengan baik oleh para pengambil kebijakan maupun pembentuk legislasi.

Sumber: disusun berdasarkan J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt, “Using legislative theory to improve law and development project”.

Metodelogi pembentukan legislasi dalam kelima tahapan tersebut dapat dipadatkan sebagai berikut:

1. Tahap I: Evaluasi terhadap efektivitas legislasi yang ada sebelum melakukan upaya memperbaiki atau menggantikannya.

2. Tahap II: Pemajuan upaya memahami mengapa hukum efektif (atau justru tidak efektif). 3. Tahap III: Analisis dari permasalahan yang hendak ditata melalui perangkat legislasi,

dengan menggunakan Metode Pemecahan Masalah-ROCCIPPI.

4. Tahap IV: Analisis dari proses pembentukan legislasi juga beranjak dari teori-teori normatif perihal ‘pembentukan legislasi yang baik”.

5. Tahap V: Suatu analisis terhadap kelayakan dari ikhtiar pembentukan legislasi yang mencerminkan realitas sosial masyarakat setempat.

41

Metode Pemecaahan Masalah dan ROCCIPI, mendapat pembahasan dalam teori legislasi yang dikemukakan oleh J.M. Otto, W.S.R. Stoter & J. Arnscheidt. Berikut dilakukan penguraian kembali teori legislasi dari Seidman tersebut, terutama menyangkut teori legislasi ROCCIPI.

Inti dari Metodelogi Pemecahan Masalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan langkah-langkah tersebut adalah dalam rangka perubahan masyarakat yang demokratis yang berdasarkan pada asas-asas kepemerintahan yang baik (good governance). Masing-masing langkah tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, mengenali permasalahan sosial atau perilaku bermasalah, melalui kriteria sebagai berikut:

1. Apakah masalah itu terjadi berulang-ulang? 2. Apakah masalah itu mempunyai dampak negatif?

3. Apakah masalah sosial itu dibentuk oleh perilaku majemuk (banyak orang)?

Jika jawabannya ”ya“, maka masalah itu merupakan masalah sosial. Pihak-pihak yang perilakunya terkait dengan masalah sosial adalah:

a. Pemeran (Role Occupant), yakni orang, kelompok, atau organisasi yang perilakunya menimbulkan masalah.

b. Agen pelaksana (Implementing Agent), yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan pemeran berperilaku sesuai aturan.

Kedua, menemukan penjelasan atau penyebab perilaku bermasalah. Dilakukan dengan menggunakan agenda ROCCIPI yang merupakan akronim dari sejumlah kategori. Ini akan diuraikan dalam bagian berikutnya, khusus megenai Teori ROCCIPI.

Ketiga, menyusun solusi. Ada dua jenis solusi yakni untuk menghilangkan perilaku bermasaalah dan memastikan efektivitas pelaksanaan. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Solusi untuk menghilangkan perilaku bermasalah yang berisi tindakan-tindakan langsung maupun tidak langsung yang bisa menghilangkan perilaku bermasalah. Misalnya, Jika karena faktor peraturan, khususnya pada ancaman sanksi maka ancaman sanksi itu yang

42

perlu diperbaiki atau jika perilaku bermasalah disebabkan kurangnya perilaku berperan maka tindakannya adalah mengembangkan kemampuan.

2. Solusi memastikan efektivitas pelaksanaan peraturan. Langkah yang dapat dilakukan adalah pertama, mempertimbangkan jenis-jenis lembaga pelaksana peraturan seperti perusahaan negara, lembaga administratif, lembaga penyelesaian sengketa atau lembaga swasta. Langkah kedua, menyususn mekanisme tindakan untuk menghindari tindakan seweng-wenang lembaga pelaksana peraturan. Ini dapat dilakukan melalui dua cara: a) menyusun proses pengambilan keputusan yang partisipatif dan transparan dalam

peraturan; dan

b) menyusun mekanisme pertanggungjawaban dan penyelesaian sengketa.

Keempat, Memantau dan Menilai Pelaksanaan. Aktivitas yang dilakukan pada langkah keempat adalah menyusun mekanisme pengawasan dan evaluasi dalam rancangan untuk memastikan peraturan yang dirancang benar-benar mempengaruhi tingkah laku dan menimbulkan dampak yang diinginkan. Mekanisme itu mencakup (1) Klausula Matahari Terbenam; (2) Mengharuskan pejabat memberikan laporan kepada atasan dan/atau legislatif; dan (3) Mengharuskan pejabat pelaksana peraturan membentuk komisi yang akan mengevaluasi pelaksanaan.

TEORI ROCCIPI. Teori perundang-undangan yang yang dikembangkan Ann Seidman, Robert B. Seidman, dan Nalin Abeyserkere adalah untuk mendapatkan masukan penjelasan tentang prilaku bermasalah yang membantu dalam penyusunan undang-undang. Teori ini lebih dikenal dengan ROCCIPPI, yang terdiri 7 kategori, yakni: Rule (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Prosese), dan Ideology (Ideologi). Kategori-kategori ini dapat dipilah menjadi dua kelompok factor penyebab, yakni factor obyektif (yang meliputi: Rule / Peraturan), Opportunity / Kesempatan), Capacity / Kemampuan), Communication / Komunikasi), dan Process/Proseses) dan factor subyektif (yang meliputi: Interest/Kepentingan dan Ideology / Ideologi). Penjelasan masing-masing factor tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, faktor-faktor subyektif, terdiri dari apa yang ada dalam benak para pelaku peran: Kepentingan-kepentingan mereka dan “ideologi-ideologi (nilai-nilai dan sikap)” mereka.

43

Hal-hal ini merupakan apa yang semula diidentifikasikan kebanyakan orang berdasarkan naluri sebagai “alasan” dari perilaku masyarakat. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kepentingan (atau insentif). Kategori ini mengacu pada pandangan pelaku peran tentang akibat dan manfaat untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk bukan hanya insentif materiil tetapi juga insentif non-materiil, seperti penghargaan dan acuam kelompok berkuasa. Fokus pada penjelasan yang berkaitan dengan kepentingan umumnya menghasilkan tindakan perundang-undangan yang menerapkan tindakan motivasi ke arah kesesuaian yang bersifat langsung - hukuman dan penghargaan - yang dirancang untuk mengubah kepentingan-kepentingan tersebut.

2. Ideologi (nilai dan sikap). Ideologi merupakan kategori subjektif kedua dari kemungkinan penyebab perilaku. Bila ditafsirkan secara luas, kategori ini mencakup motivasi-motivasi subjektif dari perilaku yang tidak dicakup dalam “kepentingan”. Motivasi tersebut termasuk semua hal mulai dari nilai, sikap dan selera, hingga ke mitos dan asumsi-asumsi tentang dunia, kepercayaan keagamaan dan ideologi politik, social dan ekonomi yang kurang lebih cukup jelas. Alvin Gouldner memasukkan hal-hal tersebur dalam istilah: “asumsi-asumsi domain”.

Faktor-faktor subjektif − Kepentingan dan Ideologi − memang menawarkan penjelasan secara parsial perilaku bermasalah. Akan tetapi, sesuai dengan hakekatnya, penjelasan tersebut terfokus pada penyebab perilaku perorangan di dalam struktur kelembagaan yang ada. Sebagai akibatnya, pemecahan perundang-undangan dirancang untuk mengubah kepentingan dan ideologi perorangan. Penyelesaian-penyelesaian perundang-undangan yang ditujukan hanya pada penyebab-penyebab subjektif dari perilaku bermasalah tidak dapat mengubah factor-faktor kelembagaan objektif yang dapat menyebabkan bertahannya perilaku tersebut.

Kedua, factor-faktor obyektif. Berbeda dengan faktor subjektif, kategori-ketegori-kategori objektif ROCCIPI - Peraturan, Kesempatan, Kemampuan, Komunikasi dan Proses memusatkan perhatian pada penyebab perilaku kelembagaan yang menghambat pemerintahan yang bersih. Kategori ini harus merangsang seorang penyusun rancangan undang-undang untuk memformulasikan hipotesa penjelasan yang agak berbeda dan usulan pemecahan. Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut:

44

1. Peraturan. Kebanyakan masalah yang mencapai tahap penyusunan rancangan undang-undang tidak ada dengan tiba-tiba. Hampir selalu, batang tubuh undang-undang-undang-undang yang layak mempengaruhi perilaku. Orang berperilaku sedemikian rupa, bukan di hadapan satu peraturan, tetapi di depan kesatuan kerangka undang-undang. Keberadaan peraturan-peraturan tersebut dapat membantu menjelaskan perilaku bermasalah dengan satu atau beberapa dari lima alasan berikut ini:

a. Susunan kata dari peraturan tersebut mungkin kurang jelas atau rancu, sehingga sampai memberikan wewenang tentang apa yang harus dilakukan;

b. Beberapa peraturan mungkin mengijinkan atau mengijinkan perilaku yang bermasalah;

c. Peraturan tersebut tidak menangani penyebab-penyebab dari perilaku bermasalah. d. Peraturan tersebut mungkin mengijinkan pelaksanaan yang tidak transparan, tidak

bertanggung jawab dan tidak partisipatif.

e. Peraturan tersebut mungkin memberikan kewenangan yang tidak perlu kepada pejabat pelaksana dalam memutuskan apa dan bagaimana mengubah perilaku bermasalah tersebut.

2. Kesempatan. Apakah lingkungan di sekeliling pihak yang dituju oleh suatu undang-undang memungkinkan mereka untuk berperilaku sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang tersebut? Atau, sebaliknya, apakah lingkungan tersebut membuat perilaku yang sesuai tidak mungkin terjadi? Misalnya, bila kebijakan pemerintah berpihak pada peningkatan penanaman tanaman keras di tengah dominasi petani tanaman pangan, apakah para petani tersebut memiliki akses masuk menembus pasar tanaman keras? Apanila tidak, mereka akan kekurangan kesempatan untuk menjual barang-barang mereka di pasar.

3. Kemampuan. Apakah para pelaku peran memiliki kemampuan berperilaku sebagaimana ditentukan oleh peraturan yang ada? Berangkat dari situasi ini, maka kategori ini memfokuskan perhatian pada ciri-ciri pelaku yang menyulitkan atau tidak memungkinkan mereka berperilaku sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang yang

45

ada. Misalnya, apabila petani tanaman pangan kekurangan kredit atau keahlian teknis, kemungkinan mereka tidak memiliki kemampuan menanam tanaman pangan.

4. Komunikasi. Ketidaktahuan seorang pelaku peran tentang undang-undang mungkin dapat menjelaskan mengapa dia berperilaku tidak sesuai. Apakah para pihak yang berwenang telah mengambil langkah-langkah yang memadai untuk mengkomunikasikan peraturan-peraturan yang ada kepada para pihak yang dituju? Tidak ada orang yang dengan secara sadar mematuhi undang-undang bila dia mengetahui perintah.

5. Proses. Menurut criteria dan prosedur apakah - dengan Proses yang bagaimana - para pelaku peran memutuskan untuk mematuhi undang-undang atau tidak? Biasanya, bila sekelompok pelaku peran terdiri dari perorangan, kategori “Proses” menghasilkan beberapa hipotesa yang berguna untuk menjelaskan perilaku mereka. Orang-orang biasanya memutuskan sendiri apakah akan mematuhi peraturan atau tidak. Akan tetapi, dalam hal organisasi yang kompleks (misalnya, sebuah perusahaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), serikat buruh, dan khususnya instansi pelaksana pemerintah, Proses dapat saja merupakan kategori ROCCIPI yang paling penting.

Dengan perkataan lain, kategori-kategori ROCCIPI tersebut mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Rule (Peraturan Perundang-undangan). Menganalisis seluruh peraturan yang mengatur atau terkait dengan perilaku bermasalah, ini dilakukan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan yang terkandung pada peraturan yang sudah ada.

2. Oppurtunity (Peluang/Kesempatan). Menganalisis berbagai kesempatan bagi timbulnya perilaku bermasalah.

3. Capacity (kemampuan). Mengalisis kemungkinan timbulnya perilaku bermasalah karena faktor kemampuan.

4. Communication (Komunikasi). Perilaku bermasalah mungkin timbul karena ketidaktahuan pemeran akan adanya peraturan. Ini juga harus dianalisis dalam rangka menemukan sebab perilaku bermasalah.

46

5. Interest (Kepentingan). Kategori ini berguna untuk menjelaskan pandangan pemeran tentang akibat dan manfaat dari setiap perilakunya. Pandangan pemeran ini mungkin menjadi penyebab perilaku bermasalah.

6. Process (Proses). Kategori proses juga merupakan penyebab perilaku bermasalah. Ada empat proses utama, yakni: proses input, proses konversi, proses output, dan proses umpan balik. Proses input menyangkut siapa saja yang dimintai masukan. Proses konversi siapa saja yang menyaring dan mempertimbangkan masukan yang ada untuk dijadikan dasar dalam mengambil keputusan. Proses output menyangkut siapa dan dengan cara apa keputusan akan dikeluarkan. Proses umpan balik menyangkut siapa saja yang dimintai umpan balik.

7. Ideology (ideologi). Kategori ini menunjuk pada sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir, dan bertindak.

Ketujuh agenda ROCCIPI bukan suatu urutan prioritas, namun hanya alat bantu agar mudah mengingat. Tidak seluruh kategori harus terpenuhi. Bisa jadi penyebab perilakunya hanya kategori ROCC, karena tidak ada penyebab dalam kategori IPI. Kategori-kategori dalam ROCCIPI bisa jadi belum lengkap, karena itu terbuka untuk ditambahkan dengan kategori baru (Rival Gulam Ahmad, dkk, 2007). Berikut ini dikemukakan Skema Sampath yang memberikan pengertian tentang cara menggunakan agenda ROCCIPI untuk mengindentifikasi penyebab perilaku bermasalah dari pelaku peran yang secara logis mampu membantu menyusun rincian tindakan-tindakan di dalam rancangan peraturan perundang-undangan.

47

Sumber: (Seidman, Ann; Robert B. Seidman; dan Nalin Abeyserkere, 2002).

Untuk memperjelas penggunaan agenda ROCCIPI, dikemukakan contoh kasus pembuangan limbah, sebagaimana tampak dalam kotak berikut:

KOTAK 2. SKEMA SAMPATH : LANGKAH – LANGKAH MENGANALISA MASALAH SOSIAL UNTUK MENYUSUN RANCANGAN UNDANG – UNDANG

YANG DAPAT DILAKSANAKAN SECARA EFEKTIF Pelaku peran yang

perilakunya merupakan masalah sosial Sebab-sebab perilaku bermasalah Pemecahan (tindakan-tindakan dalam rancangan uu yang secara logis diarahkan kepada sebab-sebab)

Rincian

(tindakan-tindakan dalam rancangan uu)

Pelaku Peran #1 Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> } } } } } } } Pelaku Peran #2 Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> RINCIAN TINDAKAN TINDAKAN DALAM RUU, DISUSUN MENJADI GARIS BESAR YANG SESUAI Pelaku Peran #3 Peraturan……….> Kesempatan…….> Kemampuan……> Komunikasi…….> Kepentingan…....> Proses…………..> Ideologi………...> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> <………..> } } } } }

48

KOTAK 3. MENGGUNAKAN ROCCIPI UNTUK MENYUSUN ANALISA MENGGAMBARKAN PENGGUNAAN BUKTI-BUKTI KUALITATIF UNTUK

MEMBENARKAN TINDAKAN-TINDAKAN TERPERINCI SUATU RANCANGAN UNDANG-UNDANG.

(Kasus para pengelola yang perusahaannya secara ilegal membuang limbah industri di sungai di dekatnya) [KATEGORI] [ROCCIPI] Meng-usulkan [PENJELASAN] [HIPOTESA] Yang secara Logis mengarah ke [KEMUNGKINAN] [PEMECAHAN]

Peraturan : Undang-undang melarang pembuangan limbah industri namun tidak mendirikan badan dengan pedoman yang jelas untuk memantau dan melaksanakannya.

Menyusun ulang undang-undang tentang badan pemantau dan

pengumpul bukti lebih lanjut tentang biaya dan manfaat sosial

dari undang-untersebut. Kesempatan : Sebagian besar pengelola memiliki

kesempatan untuk mematuhi atau tidak mematuhi sanksi.

Memastikan bahwa badan

pelaksana memang memantau dan menghukum tanpa takut para pelanggar.

dari undang-untersebut. Kemampuan : Beberapa pengelola tidak

mengetahui teknologi untuk membuang sampah dengan cara lain; dan perusahaan kekurangan dana untuk menggunakan

teknologi tersebut apabila memang para pengelola mengetahuinya.

Badan pelaksana bertanggung jawab untuk memberitahukan kepada para pengelola, membantu perusahaan memperoleh kredit untuk teknologi.

Komunikasi : Beberapa pengelola tidak mengetahui tentang undang-undang yang melarang membuang limbah di sungai.

Badan pelaksana harus

memberitahukan kepada semua manajer tentang undang-undang baru.

Kepentingan: Para pengelola berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaan dimana mereka mendapat bagian;tidak memiliki kepentingan dengan air sungai bersih.

Dengan mengenakan denda, badan pelaksana mengurangi keuntungan mengubah kepentingan para pengelola.

49

Kepustakaan dan praktik pembentukan legislasi juga mengenal metode legislasi, diantaranya adalah Analisis Dampak Regulasi. Istilah aslinya adalah Regulatory Impact Analysis dengan akronim RIA. Terjemahan lainnya adalah Analisis Dampak Peraturan, Analisis Pengaruh Regulasi, dan Analisis Pengaruh Peraturan.

Regulatory Impact Assessment (RIA) adalah sebuah metodologi untuk meningkatkan

mutu peraturan yang sudah ada dan peraturan baru. Metodologi tersebut memberikan peluang bagi pengguna untuk memeriksa apakah peraturan sudah sesuai dengan kriteria mutu yang dijabarkan dalam checklist yang dikembangkan dan direkomendasikan oleh OECD. Melalui RIA akan ditinjau peraturan yang ada dan mengubah prosedur yang birokratif menjadi prosedur yang smart dengan merumuskan peraturan yang lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik dalam hal investasi bagi sebuah daerah.11

Tujuan RIA adalah terciptanya good regulatory governance – tata kelola pemerintahan yang mengembangkan perumusan peraturan yang efektif, berorientasi pasar, melindungi lingkungan dan kehidupan sosial. Prinsip-prinsip RIA adalah:

1. Minimum Efective Regulation. Regulasi bibuat apabila benar-benar diperlukan.

2. Competitive Neutrality. Netralitas terhadap persaingan dengan menggunakan mekanisme pasar.

11 KPPOD, 2013, Panduan Pembuatan Kebij akan (Perda Ramah Investasi), Jakarta: Ford Foundation dan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, hlm. 5.

Proses : Beberapa pengelola mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan siapapun untuk melanggar undang-undang;tidak

memasukkan masukan dari masyarakat dan pekerja dalam proses pengambilan keputusan mereka

Undang-undang mengharuskan diadakannya sidang terbuka, dan laporan tertulis kepada masyarakat, pekerja dan pemberi kerja tentang kebijakan pembuangan limbah di

masa yang akan datang. dari undang-untersebut.

Ideologi : Beberapa pengelola tidak percaya bahwa pembuangan limbah akan bahaya mencemarkan sungai Bahaya pencemaran air.

Badan pelaksana menginformasikan kepada para pengelola, masyarakat tentang bahaya pencemaran.

50

3. Transparancy & Participation. Transparan dengan pelibatan stakeholder.12

Secara lebih spesifik, metode RIA merupakan alat untuk mencapai standar internasional untuk kebijakan berkualitas sebagaimana tercantum dalam OECD checklist sebagai berikut:

1. Apakah masalah yang dihadapi sudah didefinisikan dengan benar? 2. Sudahkah tindakan pemerintah diupayakan?

3. Apakah PPu itu merupakan bentuk terbaik dari tindakan pemerintah? 4. Apakah ada landasan hukum untuk PPu?

5. Apa jenjang pemerintahan yang tepat untuk melakukan tindakan ini? 6. Apakah manfaatnya sesuai dengan biaya yang dikeluarkan?

7. Apakah distribusi usaha di masyarakat transparan?

8. Apakah PPu tersebut jelas, dapat dipahami dan mudah diakses oleh pemakai?

9. Apakah semua pihak yang berkepentingan telah diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat/pandangan mereka? Bagaimana dapat mencapai kepatuhan?

10. Bagaimana pelaksanaan regulasi tersebut?13

Penerapan RIA sebagai sebuah metode yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan perundang-undangan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan, mengikuti langka-langkah seperti pada tabel berikut:14

12 Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia, Balitbang Deperindag, Dinas Perindag Bali, PEG, USAID., hlm. 4-7

13Emmy Suparmiatun, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact