• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTEMUAN XII KULIAH KEEMPAT: PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-

12.2.5. Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Pengukuhan Kesatuan Masyarakat Hukum

Kerangka Konstitusional dan Legal Penyusunan Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengukuhan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat tertentu.

Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menentukan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Persyaratan pengakuan itu dapat dicermati dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota Tual Di Provinsi Maluku terhadap UUD NRI 1945), yang memberikan makna pada masing-masing persyaratan itu, sebagaimana dapat diringkaskan dalam tabel berikut:64

64 Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah”, Disertasi Doktor, Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm. 111-112.

173

Tabel 5 : Persyaratan Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

PERSYARATAN MAKNA

Masih hidup Suatu KMHA secara de facto masih hidup (actual existence) setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur:

1. adanya masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);

2. adanya pranata pemerintahan adat;

3. adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan 4. adanya perangkat norma hukum adat; serta

5. adanya wilayah tertentu, khusus pada KMHA yang bersifat teritorial. Sesuai dengan

perkembangan masyarakat

Apabila suatu KMHA tersebut:

1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria, kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah; dan

2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

Sesuai dengan prinsip NKRI

Apabila suatu KMHA tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, dalam artian:

1. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

2. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Yang diatur dalam undang-undang

Pengaturan berdasarkan undang-undang, baik undang-undang yang bersifat umum, undang-undang yang bersifat sektoral, maupun dalam peraturan daerah.

Sumber: Diolah dari Putusan Nomor 31/PUU-V/2007

Andiko Sutan Mancayo dan Nurul Firmansyah mengemukakan, setidaknya terdapat tiga rute pengakuan masyarakat adat, yaitu rute (1) Pengakuan terhadap wilayah masyarakat adat, (2) rute Pengakuan masyarakat adatnya, dan ke (3) rute Pengakuan masyarakat adat sebagai unit

174

pemerintahan. 65 Rute terakhir ini memasukkan masyarakat adat menjadi bagian struktur Negara yang menjalankan kewajiban Negara sekaligus menjalankan hak-hak adatnya.66

Beranjak dari putusan MK tersebut, sejatinya pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat mencakup: (1) pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum; (2) pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan adat; (3) pengakuan terhadap hukum adat; (4) pengakuan terhadap hak-hak atas harta benda adat, termasuk hak ulayat.67 Atinya, pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat telah mencakup rute-rute pengakuan lainnya.

Di tingkat Undang-Undang, beberapa Undang-Undang di bidang sumber daya alam telah mengatur mengenai pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat atau masyarakat hukum adat, sebagaimana telah diungkapkan berikut ini.

Tabel 6. Figur Hukum Pengakuan Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Sebagaimana Ditentukan dalam Undang-Undang.

UU TENTANG FIGUR HUKUM

UU No 41/1999, Pasal 67

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

dengan Peraturan Daerah

UU No 7/2004, Pasal 6 ayat (3)

Pengukuhan/pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.

dengan peraturan daerah setempat

UU No 18/2004, Pasal 9 &

Penjelasan.

Pengukuhan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat yang menurut kenyataannya masih ada yang pengukuhan dengan peraturan daerah.

dengan peraturan daerah

UU No 21/2001, 1. Pelaksanaan kewenangan khusus dalam dengan Perdasus.68

65 Andiko Sutan Mancayo dan Nurul Firmansyah, 2014, Mengenal Pilihan-Pilihan Hukum Daerah Untuk Pengakuan Masyarakat Adat: Kiat - Kiat Praktis Bagi Pendamping Hukum Rakyat (PHR), Masyarakat Sipil (Pelaku Advokasi) dan Pemimpin Masyarakat Adat, Jakarta: Penerbit Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa)), hlm. 21.

66 Andiko Sutan Mancayo dan Nurul Firmansyah, 2014, Mengenal Pilihan-Pilihan ..., Ibid., hlm 24-25. 67

Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, “Politik Pluralisme ...”, Op.Cit., hlm. 111-112.

68Perdasus yang dapat ditemukenali sebagai pelaksanaan kewenangan khusus tersebut adalah: Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. Pasal 2 menentukan bahwa pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan pengakuan

175 Pasal 4 ayat (2),

Pasal 43, Pasal 50 ayat (2)

rangka pelaksanaan Otonomi Khusus, diatur lebih lanjut dengan Perdasus.

2. Di bidang KMHA adalah (1) mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat, yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, dan diakui adanya peradilan adat di dalam masyarakat hukum adat tertentu.

UU No 32/2004, Pasal 203 ayat (3) dan Pasal 204 & Penjelasan

1. Penetapan berlakunya ketentuan hukum adat setempat tentang pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya yang ditetapkan dalam Perda.

2. Masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Masal jabatan kepala desa dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda.

1. dalam Perda 2. dengan Perda UU No 11/2006, Pasal 99 ayat (3), 114 ayat (4), 117 ayat (2)

1. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat, dan

penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh diatur dengan Qanun Aceh.

2. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota.

3. Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, fungsi, pembiayaan, organisasi dan

perangkat pemerintahan gampong atau nama lain diatur dengan qanun kabupaten/kota.

1. dengan Qanun Aceh. 2. dengan qanun kabupaten/ kota.

keberadaan masyarakat hukum adat yang berada pada lintas Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usulan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah keberadaan masyarakat hukum adat.

176

Pengaturan serupa terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 11 ayat (1) - ayat (3) UU 23/2014 menentukan, urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar. Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Berikutnya Pasal 12 ayat (2) UU 23/2014 menentukan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi, antara lain tercantum dalam huruf d, huruf e, dan huruf g: pertanahan; lingkungan hidup; dan pemberdayaan masyarakat dan Desa. Pasal 15 ayat (1) UU 23/2014 menentukan, pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah kabupaten/kota tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. Menyangkut pengakuan masyarakat hukum adat, pembagian kewenangan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai berikut:

Tabel 7. Pembagian Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Terkait Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Bidang Sub-Urusan Pemerintah Provinsi

Pemerintah Kabupaten/Kota

Pertanahan Tanah Ulayat Penetapan tanah ulayat yang lokasinya lintas Daerahkabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

Penetapan tanah ulayat yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota.

Lingkungan Hidup Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA), kearifan Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan local atau pengetahuan

tradisional dan hak MHA

a. Penetapan pengakuan MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan local atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten

177 lokal dan hak

MHA yang terkait dengan PPLH

terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah

kabupaten/kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan local atau pengetahuan

tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di dua atau lebih Daerah kabupaten/ kota dalam 1 (satu) Daerah provinsi.

/kota.

b. Peningkatan kapasitas MHA, kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak kearifan lokal atau pengetahuan tradisional dan hak MHA terkait dengan PPLH yang berada di Daerah kabupaten /kota. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Penataan Desa Penetapan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat

berdasarkan hukum adat.

Penyelenggaraan penataan Desa.

Mengenai bentuk hukum pengakuan tersebut dapat disimak Pasal 17 ayat (1) UU 23/2014, Daerah berhak menetapkan kebijakan Daerah untuk menyelenggarakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Penjelasannya menyatakan, “Yang dimaksud dengan “kebijakan Daerah” dalam ketentuan ini adalah Perda, Perkada, dan keputusan kepala daerah.”

Pilihan terhadap Perda sebagai bentuk hukum pengaturan atas pengakuan Masyarakat Hukum Adat adalah bahwa Perda lebih mempunyai kekuatan hukum (aspek legalitas) dan dari segi aspek legitimitas, pilihan terhadap Perda menunjukkan adanya keberterimaan rakyat yang diwakili oleh DPRD.

178

Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat (MHA), kearifan lokal dan hak MHA yang terkait dengan PPLH, merupakan ketentuan yang berasal dari dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).

Tabel 8. Kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat

Pasal 63 ayat (2) huruf n UU 32/2009

Pasal 63 ayat (3) huruf k UU 32/2009

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah provinsi bertugas dan

berwenang: menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak

masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi;

Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang: melaksanakan kebijakan

mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat

kabupaten/kota;

Pengaturan mengenai Desa sekarang ini terpisahkan dari Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yakni di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU 6/2014). UU 6/2014 memperkenalkan konsep “Desa Adat” dengan isi konsep unit pemerintahan yang menjalankan dua kewenangan, yaitu pertama, kewenangan asal usul berdasarkan hak asal usul atau hak tradisional masyarakat adat termasuk kewenangan terhadap hak ulayat; dan kedua, kewenangan administrasi pemerintahan desa. Artinya, desa adat memasukkan masyarakat adat beserta hak-haknya kedalam struktur pemerintahan, yang menjadi bagian struktur Negara yang menjalankan kewajiban Negara sekaligus menjalankan hak-hak adatnya. Istilah Desa Desa sebagai bentuk umum yang mencakup, seperti, nagari, huta, marga dan lain-lain.

Hal tersebut berbeda dengan kerangka konstitusi, bahwa desa adat, huta, nagari, negeri, dan sebagainya, merupakan bentuk-bentuk yang konkrit ada yang tercakup dalam istilah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat sebagai bentuk umum. Undang-Undang di bidang sumber daya alam yang mengatur juga pengakuan masyakat hukum adat berada dalam kerangka

179

konstitusi tersebut. Di lain pihak UU 6/2014 menganut kerangka berpikir beranjak dari penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang kemudian ditetapkan menjadi desa adat, yakni desa yang menjalankan kewenangan dari Negara dan sekaligus menjalankan kewenangan adat.

Berikut dikemukakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU 6/2014), yang berkenaan atau berkaitan dengan penetapan desa adat, dalam tabel berikut:

Tabel 9. Pasal/ayat dalam UU 6/2014 berkenaan atau berkaitan dengan penetapan desa adat

Pasal/Ayat Penjelasan

Pasal 96

Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.

Penetapan kesatuan masyarakat hukum adat dan Desa Adat yang sudah ada saat ini menjadi Desa Adat hanya dilakukan untuk 1 (satu) kali.

Pasal 97

(1) Penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 memenuhi syarat:

a. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik yang bersifat

teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

b. kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan c. kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan

Ketentuan ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:

a. Putusan Nomor 010/PUU-l/2003 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam;

b. Putusan Nomor 31/PUU-V/2007 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kota

180 Republik Indonesia.

(2) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memiliki wilayah dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur adanya:

a. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam kelompok; b. pranata pemerintahan adat;

c. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau

d. perangkat norma hukum adat

(3) Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila: a. keberadaannya telah diakui

berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan

perkembangan nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral; dan

b. substansi hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan dan masyarakat yang lebih luas serta tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. (4) Suatu kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak tradisionalnya sebagaimana

Tual Di Provinsi Maluku;

c. Putusan Nomor 6/PUU-Vl/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan KabupatenBanggai Kepulauan; dan d. Putusan Nomor 35/PUU–X/2012

tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

181 dimaksud pada ayat (1) huruf c sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, apabila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu keberadaan Negara Kesatuan Republik lndonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum yang:

a. tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik lndonesia; dan

b. substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

(1) Desa Adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Pembentukan Desa Adat setelah penetapan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaa Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, serta pemberdayaan masyarakat Desa, dan sarana prasarana pendukung.

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “penetapan Desa Adat” adalah penetapan untuk pertama kalinya.

Ayat (2) Cukup jelas.

Intinya, penetapan Desa Adat dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketentuan perihal penetapan desa adat terdapat juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut PP 43/2014).

182

Ketentuan-ketentuan dalam PP 43/2014, yang berkenaan atau berkaitan dengan penetapan desa adat, dalam tabel berikut:

Tabel 10. Pasal/ayat dalam PP 43/2014 berkenaan atau berkaitan dengan penetapan desa adat

Pasal/Ayat Penjelasan

Pasal 29

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan inventarisasi Desa yang ada di wilayahnya yang telah mendapatkan kode Desa.

(2) Hasil inventarisasi Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan dasar oleh pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menetapkan desa dan desa adat yang ada di wilayahnya.

(3) Desa dan desa adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)ditetapkan dengan peraturan daerah

kabupaten/kota.

Cukup jelas.

Intinya adalah penetapan Desa Adat, baik menurut UU 6/2014 maupun PP 43/2014, dilakukan dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Desa Adat dalam pengertian ini adalah Desa Adat yang terintegrasi dalam struktur pemerintahan negara, yang menjalankan kewenangan pemerintahan yang berasal dari Negara sekaligus menjalankan kewenangan perintahan adat. Pengakuan yang diusung UU 6/2016 adalah pengakuan pola integrasi, selain itu ada pola lainnya yakni pengakuan pola ko-eksistensi. Pola ini menempatkan kesatuan masyarakat hukum adat menjalankan kewenangan pemerintahan adat, berdampingan dengan Desa Dinas (istilah di Bali) yang menjalankan kewenangan pemerintahan yang berasal dari negara. Penyusunan Rancangan Perda dalam risalah ini berada dalam pola ko-eksistensi.

Peraturan Daerah mengenai Masyarakat Hukum Adat, menurut Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah, meliputi pengaturan secara umum mengenai kebijakan pengakuan, penghormatan dan pelindungan Masyarakat Hukum Adat, hak-hak dan wilayahnya. Selain itu diperlukan pula

183

Peraturan Daerah yang sifat menetapkan keberadaan masyarakat hukum adat dan wilayahnya (selanjutnya disebut Perda Penetapan).69

Senada dengan itu, Gede Marhaendra Wija Atmaja mengemukakan, ada 2 (dua) karakter peraturan daerah tentang pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat, yakni berkarakter pengaturan dan berkarakter penetapan. Ada 2 (dua) pola pengakuan, yakni (1) pola integrasi yaitu kesatuan masyarakat hukum adat masuk ke dalam struktur pemerintahan daerah serta menjalankan fungsi pemerintahan adat dan fungsi pemerintahan daerah; dan (2) pola ko-eksistensi yaitu kesatuan masyarakat hukum adat tidak masuk ke dalam struktur pemerintahan daerah dan hanya menjalankan fungsi pemerintahan adat.70

Contoh Perda pengakuan berkarakter pengaturan adalah Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tidak berisi pengukuhan suatu desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan memuat unsur-unsur yang mesti terdapat dalam kesatuan masyarakat agar dapat disebut desa pakraman yakni adanya ikatan kahyangan tiga sebagai unsur parhyangan, selain unsur-unsur

69 Myrna A. Safitri dan Luluk Uliyah, 2015, Adat Di Tangan Pemerintah Daerah: Panduan Penyusunan Produk Hukum Daerah untuk Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Jakarta: Epistema Institute, hlm. 85.

Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir melakukan analisis tren produk hukum daerah mengenai masyarakat adat, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas atau materi muatannya. Dari sisi kuantitas hasil analisisnya adalah:

1. Sifat dan bentuk hukum produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat, dari 124 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat, terdapat 71 produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dan 53 yang bersifat penetapan. Produk hukum pengaturan adalah produk hukum daerah sifatnya mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara umum yang tidak menyebutkan nama komunitas atau wilayah adat tertentu. Sementara produk hukum penetapan adalah produk hukum daerah sifatnya menetapkan komunitas tertentu atau wilayah adat tertentu dari komunitas masyarakat adat.

2. Dari segi bentuk produk hukum daerah, diklasifikasikan dalam empat bentuk, yaitu; (1) Peraturan daerah yang bersifat pengaturan; (2) Peraturan daerah yang bersifat penetapan; (3) Peraturan kepala daerah yang meliputi peraturan gubernur dan peraturan bupati; dan (4) Keputusan kepala daerah. Terdapat 64 peraturan daerah yang bersifat pengaturan dimana 43 diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan 21 Peraturan Daerah Provinsi. Sementara itu peraturan daerah yang bersifat penetapan hanya sebanyak 6 produk hukum daerah.

3. Peraturan Kepala Daerah mengenai masyarakat adat sebanyak 5 produk hukum daerah yang terdiri dari 4 Peraturan Gubernur dan 1 Peraturan Bupati. Sementara itu Keputusan Kepala Daerah terdapat sebanyak 49 dimana 47 diantaranya adalah Keputusan Bupati, 1 Keputusan Bersama antara Gubernur NAD dengan Kepala Kepolisian Daerah dan Ketua Majelis Adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat pada Gampong dan Mukim.

Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, 2015, Analisis Tren Produk Hukum Daerah Mengenai Masyarakat Adat, Policy Brief vol. 01/2015, Jakarta: Epistema Institute, hlm. 4.

70

184

yang lazim terdapat dalam suatu kesatuan masyarakat hukum adat, yakni adanya masyarakat hukum adat dan pemerintahan adat (krama desa dan prajuru desa serta pecalang sebagai unsur pawongan), wilayah hukum adat (wilayah desa pakraman sebagai unsur palemahan), perangkat hukum adat (awig-awig desa pakraman), dan harta benda adat (harta kekayaan desa pakraman).71

Contoh Perda pengakuan berkarakter pengaturan lainnya adalah Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua adalah Perda pengakuan berkarakter pengaturan, yang memberikan kriteria dan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota untuk memberikan pengakuan masyarakat hukum adat. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Nomor 22 Tahun 2008 mengenal pula Perda penetapan, yakni Perda Kabupaten/Kota untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat setempat, dan Peraturan Daerah Provinsi untuk untuk pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat yang berada pada lintas kabupaten/kota atas usulan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah keberadaan masyarakat hukum adat.72

Contoh Perda pengakuan berpola integrasi adalah Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Nagari. Nagari bukan sekadar kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan juga sebagai pemerintahan desa dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintahan nagari, dengan demikian, tidak saja menyatukan antara wilayah administrasi pemerintahan dengan wilayah masyarakat hukum adat, melainkan juga menyatukan prinsip dan kaidah pemerintahan desa dalam kerangka UU Pemerintahan Daerah dengan kaidah pemerintahan nagari menurut hukum adat setempat 73

Contoh Perda pengakuan berpola integrasi lainnya adalah Qanun Kota Sabang No 5/2010 bernama Pemerintahan Gampong. Gampong merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang