• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kita mengerti manfaat kebaikan. Kita mengerti bahaya tindak kejahatan, resiko kalau berbuat jahat; mungkin mempunyai reputasi jelek, nama jelek, mungkin juga bisa dikeluarkan dari pekerjaan, dan sebagainya. Tetapi, pengertian itu bisa lenyap total pada saat kotoran batin timbul. Mengapa kotoran batin timbul? Kotoran batin itu muncul karena dipancing untuk muncul. Apakah, siapakah, yang memancing? Yang memancing adalah objek yang diluar diri ini. Yang terpancing adalah pancaindera kita. Mata melihat, telinga mendengar, hidung membaui sesuatu, lidah kita mengecap makanan, fisik kita menyentuh sesuatu; itulah yang memancing atau membuat pancaindera ini terpancing dan kemudian memancing hawa nafsu keburukan untuk muncul. Timbullah kejengkelan, kemarahan, kebencian, keserakahan, kesombongan, dan sebagainya.

Oleh karena itu: KESADARAN merupakan kunci untuk menjaga pancaindera ini. Melihat dengan kesadaran, mendengar dengan kesadaran, membau dengan kesadaran, menyentuh sesuatu dengan kesadaran. Kalau kesadaran muncul, maka pengertian yang kita punyai akan berfungsi. Kalau kesadaran itu absen, maka pengertian apa pun yang kita punyai akan lenyap. Saat pengertian itu menjadi lenyap, kita berani melakukan kejahatan. Betapa pentingnya kesadaran kita. Pada saat mata kontak dengan pemandangan, melihatlah dengan kesadaran. Jangan sampai apa yang dilihat itu membuat pancaindera ini terpancing dan memancing hawa nafsu sehingga kita hanyut pada perbuatan yang merugikan kita.

Ada satu contoh. Kalau suami bekerja di perusahaan yang besar, kemudian mendapatkan tugas keluar kota. Empat hari, dia meninggalkan rumahnya sendiri. Dia melihat orang tua yang berjalan tertatih-tatih,

maka penglihatan atas si orang tua itu memancing ingatannya. Dia ingat orangtuanya yang di rumah, “Bagaimana keadaan ibuku di rumah sekarang ini? Sudah dua, tiga hari saya tidak melihatnya, mudah-mudahan sehat, karena waktu saya pergi ibu sedang sakit.”

Kalau sudah tiga hari atau seminggu meninggalkan rumah, kemudian melihat anak kecil tertawa-tawa lucu sekali, yang dilihat itu memancing ingatannya, ingat pada anaknya yang ada di rumah. “Bagaimana keadaan anak saya sekarang? Sudah saya tinggalkan seminggu. “Tetapi, kalau si suami melihat wanita cantik, yang terpancing dari pikirannya bukan ingat istri di rumah. Yang terpancing, “Eh, wanita ini cantik, saya mau dekat, saya mau kenalan.”

Itulah faktanya, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, apa yang kita sentuh, kalau kita tidak ada kesadaran, maka akan memancing hawa nafsu indera. Tidak peduli kita bisa berkhotbah, mempunyai pengertian agama yang lengkap, jika tidak ada kesadaran, maka hawa nafsu buruk-buruk muncul dan semua menjadi gelap, tidak ingat resiko, tidak ingat nama jelek, dan sebagainya. Tidak ingat semuanya, karena hawa nafsu itu memberikan kenikmatan yang spontan dan manusia mencari kenikmatan yang spontan itu. Hawa nafsu tidak sabar untuk menunggu, untuk dengan tekun dan ulet memperjuangkan kebahagiaan yang sejati, tetapi kalau bisa, konyong kaya saja, sekonyong-konyong enak, sesekonyong-konyong-sekonyong-konyong nikmat, sesekonyong-konyong-sekonyong-konyong maju, itulah tuntutan hawa nafsu.

Lain halnya kalau kesadaran muncul, sewaktu melihat, kesadaran muncul; sewaktu mendengar, kesadaran muncul. Dengan begitu kita akan melihat dengan kesadaran. Kita menggunakan landasan pengertian kita menjadi landasan mengambil keputusan. Melihat dengan kesadaran, mendengar dengan kesadaran, mengecap dengan kesadaran. Inilah sesungguhnya meditasi.

Meditasi sering disalahtafsirkan bahwa meditasi itu hanya semata duduk diam, bertafakur, siapa yang tahan duduk lebih lama, dia akan lebih sukses. Meskipun mungkin dia duduk diam, tetapi kalau pikirannya

mengembara entah kemana, apakah itu meditasi? Tidak! Tidak sekedar duduk! Sadar terhadap aktivitas indera, itulah meditasi.

Meditasi adalah sadar setiap saat, tidak perlu dilakukan di tempat suci, tidak perlu dengan doa atau mantra-mantra, tetapi kesadaran dijaga agar tidak absen. Sejak kita bangun pagi-pagi sampai nanti menjelang lelap tidur kembali berusahalah menggunakan kesadaran atau perhatian. Itulah sesungguhnya meditasi.

21.

Kebebasan

Perasaan yang tidak senang adalah penderitaan. Perasaan yang senang adalah kebahagiaan. Perasaan senang atau tidak senang itu kedua-duanya berbahaya. Meskipun perasaan senang itu didapat dari berbuat baik, yang halal, yang dibenarkan oleh agama sekalipun, perasaan senang itu berbahaya juga, karena perasaan senang hasil dari perbuatan baik itu juga tidak kekal dan kalau ketidak-kekalan itu tidak disadari, nanti akan membuat kita kecewa. Kecewa itu penderitaan yang baru. Buntutnya adalah jengkel, marah.

Kalau sedang merasa tidak senang, disadari atau diperhatikan saja. Kalau sedang merasa senang, juga disadari atau diawasi saja.

Saya menggunakan istilah berganti-ganti: kesadaran, perhatian, keawasan, kewaspadaan, pengamatan; karena semuanya mempunyai arti yang boleh dikatakan sama dalam hal untuk menjelaskan tentang meditasi.

Kalau sedang tidak senang, tidak usah kebakaran jenggot. Sedang tidak senang, ya sudah, nanti akan hilang sendiri. Tidak perlu mencari selingan pergi ke tempat-tempat yang “buruk”, tidak perlu pergi ke tempat yang remang-remang, minum-minum. Tidak perlu! Sadari saja, perhatikan saja, awasi saja rasa tidak senang yang sedang muncul itu, nanti akan hilang sendiri.

Demikian juga kalau sedang senang, sedang gembira, disadari saja, “Wah sedang senang, sedang bahagia.” Meskipun kesenangan itu tidak berasal dari kejahatan, melainkan dari kebaikan. Perhatikan saja! Sewaktu selesai meditasi duduk misalnya, juga timbul perasaan bahagia, atau puas; itu pun harus disadari atau diamat-amati juga.

Kebahagiaan orang meditasi itu juga tidak kekal. Jangan kaget kalau nanti kebahagiaan itu lalu hilang.

Oleh karena itu, tujuan yang tertinggi kita bukan mencari bahagia. Memang kita tidak ingin menderita, wajar! Orang tidak ingin menderita, ingin bahagia. Betul sekali! Tetapi, kebahagiaan itu juga tidak abadi. Perasaan bahagia itu hanya sepintas saja, sebentar saja. Akhirnya, akan mengecewakan kita. Maka yang tertinggi bukanlah mencari kebahagiaan, tetapi mencari kebebasan. Bebas dari perangkap. Tidak terperangkap oleh kebencian, tidak terperangkap juga oleh kebahagiaan.

Kebencian itu bagaikan pancing. Kalau kita terpancing bagaimana? Marah. Kalau menghadapi yang tidak disenangi, akan muncul marah, jengkel. Kalau sudah jengkel, muncul ucapan dan perbuatan yang tidak bisa dikendalikan; timbullah kejahatan. Itulah pancingan yang berasal dari rasa tidak senang. Rasa senang itu sebetulnya adalah pancingan juga. Yang akan terpancing dari rasa senang itu apa? Serakah, ingin lagi, ingin lagi, ingin lagi. Kalau bisa tiap orang ingin senang seperti itu terus. Itulah hasil pancingan rasa senang, akibatnya keserakahan muncul ke permukaan.

Hasil pancingan atau perangkap dari yang tidak menyenangkan adalah kemarahan, kejengkelan, kebencian. Hasil pancingan dari yang menyenangkan adalah keserakahan. Dua-duanya berbahaya. Oleh karena itu, marilah kita mengasah diri kita dengan menggunakan kesadaran. Memang susah sekali, sangat susah, tetapi kita harus belajar dan berlatih. Pendeknya, apa saja yang timbul atau pun mulai timbul menjadi perasaan dan pemikiran diketahui atau disadari dengan dilandasi pengertian bahwa ini tidak kekal, ini tidak abadi, ini hanya sebentar.

Sangat perlu memelihara dan menjaga kesadaran, dari kita bangun pagi sampai nanti menjelang tidur kembali, meskipun tidak bisa tiap detik. Sebanyak mungkin kita harus menggunakan kesadaran, perhatian

penuh atau keawasan dalam hidup keseharian kita, untuk menyadari atau mengawasi apa saja yang muncul pada perasaan dan pikiran kita. Kalau kita bisa menyadari dengan pengertian ketidak-kekalan, kita akan terbebas meskipun cuma satu detik. Itu berharga sekali. Suatu saat saya merasa sedih, tetapi begitu ingat kesadaran, saya menyadarinya, “Oh, perasaan ini sedang sedih.” Begitu saya menyadari, saya menjadi orang bebas, merasakan kebebasan meskipun sesaat. Saat saya merasa jengkel, tidak enak. Buru-buru harus disadari, “Oh, ini perasaan tidak senang sedang muncul.” Pada saat kita menyadari itu, kita merasa ringan, enteng, bebas, dan jengkel yang mengakibatkan rasa tidak senang itu otomatis menurun, menurun, dan akhirnya lenyap. Detik itu pula terbebas dari kejengkelan, kemarahan, dan kebencian.

Suatu ketika kita makan enak, atau angin sepoi-sepoi menyejukkan, “Waduh, kalau begini rasanya enak.” Eh, hati-hati! Harus segera disadari, supaya tidak terikat atau ketagihan dengan suasana romantis itu, karena suasana yang menyenangkan itu pun, sekali lagi , tidak kekal! Pada saat kita menyadari itu, kita terbebas dari keserakahan dan kebencian. Detik itu kita adalah orang yang terbebas. Kalau kita bisa mempertahankan detik-detik itu terus, itulah yang dikatakan: Kebebasan Sempurna.

22.

Marilah Bermeditasi