• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Bab V : KESIMPULAN DAN SARAN

KETENTUAN HUKUM PERBANKAN INDONESIA

A. Pengertian dan Konsep Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

Apabila ditelusuri jauh kebelakang, pendirian BPR dimulai pada abad kesembilan belas dimana pada saat itu sumber untuk memperoleh pinjaman terutama di daerah pedesaan, hanya berasal dari pelepas uang (rentenir) dengan bunga mencapai antara 100% - 200% pertahun. Melihat kondisi masyarakat pedesaan saat itu, muncul beberapa gagasan yang menghendaki diadakannya lembaga perkreditan bagi masyarakat Indonesia dengan bunga yang ringan guna meningkatkan atau mencegah kemerosotan lebih lanjut dari kesejahteraan para petani, di samping untuk daya tahan mereka terhadap bencana – bencana yang mungkin terjadi. Gagasan untuk mendirikan Lembaga Perkreditan Rakyat (LPR) di Indonesia tersebut muncul pada akhir abad 19 atas prakarsa perorangan yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda.Beberapa orang belanda yang mendorong pendirian LPR di Indonesia antara lain F.Fokkens (1894), de Wolffvan Westerrode (1897), Cremer (1900), Mr.Th. Van Deventer (1904)77.

Pendiri Bank Perkreditan Rakyat yang pertama adalah Raden Bei Aria Wiriaatmadja, seorang pribumi yang menjabat sebagai Patih di Purwokerto. Pada

77 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan – Kebijakan Moneter dan Perbankan,

tahun 1895 ia mendirikan “Hulp en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs

Ambtenaren” (Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai Pemerintahan Bangsa

Indonesia) yang memberikan pinjaman kepada para pegawai negeri bangsa Indonesia dan kepada para tukang dan petani dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari jeratan rentenir dan pengijon78.

Selanjutnya ketika diangakat menjadi asisten Residen di Purwokerto pada tahun 1897, De Wolf van Westerrode, kemudian melakukan perbaikan dan pereorganisasian pada Bank Bantuan dan Tabungan tersebut dan mengubahnya menjadi Bank Tabungan, Bantuan dan Kredit Pertanian yang selanjtnya dikenal dengan Bank Kredit Rakyat atau Bank Rakyat. Bank Rakyat tersebut pada dasarnya merupakan lembaga kedemawanan. Pendirian bank perkreditan di Purwokerto tersebut kemudian diikuti oleh pendirian bank – bank sejenis di berbagai daerah lainnya terutama di Pulau Jawa79.

Gagasan de Wolff van Westerrode sebenarnya adalah ppemberian kredit kepada petani di Indonesia yang dilaksanakan menurut asas – asas Koperasi sebagaimana halnya dengan kredit pertanian. Namun pembentukan koperasi kredit secara besar – besaran tentunya sulit dilaksankan dalam jangka waktu singkat. Sementara Pemetintah Belanda menginginkan agar bantuan kredit masyarakat Indonesia, khususnya kepada petani, diperluas dalam jangka waktu yang sesegera mungkin. Pendirian Bank Rakyat tersebut kemudian ditingkatkan oleh pegawai pemerintahan80.

78 Ibid.

79 Ibid.,hal.398. 80 Ibid.

Pada waktu yang hampir bersamaan yaitu tahun 1898 didirikan pula lembaga perkreditan di daerah pedesaan yang memberikan pinjaman dalam bentuk natura berupa padi. Lembaga ini selanjutnya disebut sebagai Lumbung Desa. Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk membantu para petani yang memiliki bibit atau mengalami kekuarangan padi untuk konsumsi pada masa paceklik. Seiring dengan perkembangannya di wilayah pedesaan di mana peredaran sudah semakin meresap ke dalam masyarakat maka pada tahun 1904 didirikan Bank Desa. Lembaga – lembaga perkreditan desa tersebut selanjutnya dikenal sebagai Badan Kredit Desa81.

Selanjutnya pada tahun 1934, Bank – Bank Rakyat digabung ke dalam “Algemene Volkscredietbank” (AVB). Dengan berdirinya AVB tersebut berakhir pulalah peranan bank Rakyat sebagai lembaga kedermawanan. Namun demikian tujuan AVB tetap diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, AVB berubah nama menjadi seperti yang kita kenal sekarang yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan beroperasi sebagai bank komersial yang tetap melayani masyarakat pedesaan dengan meyalurkan kredit kecil serta membuka unit – unit kantor BRI di pedesaan82.

Yang dimaksud dengan Bank Perkreditan Rakyat menurut Undang – Undang nomor 10 tahun 1998 pada pasal 1 angka 4 adalah :

“Bank (Badan Usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak) yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip

81 Ibid. 82 Ibid.

syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”83.

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. BPR tidak diperkenankan menerima simpanan dalam bentuk giro dan memberikan jasa – jasa dalam lalu lintas pembayaran. Wilayah operasional BPR dibatasi dimana BPR hanya diperkenankan membuka kantor cabang di wilayah provinsi yang sama dengan kantor pusatnya. Modal disetor BPR dibedakan berdasarkan wilayah pendiriannya. Modal disetor bagi BPR yang didirikan di DKI Jakarta sebesar Rp.5 Miliar. Sementara BPR yang didirikan yang didirikan di ibukota provinsi di pulau Jawa dan Bali dan di wilayah Kabupaten atau Kodya Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi, modal disetornya sebesar Rp.1 Miliar. Sementara BPR yang didirikan di wilayah lain di luar yang disebutkan diatas, modal disetor sebesar Rp.500 juta84.

Pemberian izin dari Dewan Gubernur Bank Indonesia diberikan secara bertahap yaitu 85:

a) Persetujuan Prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank, dan

b) Izin usaha, yaitu izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha bank setelah persiapan selesai dilakukan.

83

Frianto Pandia, S.E, Elly Santi Ompusunggu, S.E, Achmad Abror, S.E, Lembaga

Keuangan, 2005, Jakarta, PT.Rineka Cipta, hal.31. 84 Dahlan Siamat, Op.cit, hal.58.

Berdasarkan ketentuan perundangan, bentuk hukum BPR dapat berupa 86: a) Perusahaan daereah

b) Koperasi

c) Perseroan Terbatas

d) Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Jumlah BPR yang beroperasi sampai dengan akhir tahun 2003 sebanyak 9.107 bank. Selanjutnya, sebagai konsekuensi diundangkannya undang – undang perbankan, BPR yang ada saat ini dapat dibedakan sebagai berikut 87:

a) BPR baru b) Bank Pasar c) Bank Desa d) Lumbung Desa.

e) LDKP (Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan

Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana halnya dengan bank umum dapat melakukan usaha sebagai bank konvensional maupun bank bendasarkan prinsip sayariah.Bank Perkreditan Rakyat yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dengan sendirinya Bank Perkreditan Rakyat bukan pencipta uang giral, sebab Bank Perkreditan Rakyat tidak ikut dalam lalu lintas pembayaran88.

86

Ibid.

87 Ibid.

88 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi VI, Jakarta, PT. Raja Grafindo

Kegiatan usaha yang diperkenankan bagi BPR secara umum adalah sebagai berikut 89:

a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b) Memberikan kredit;

c) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah; d) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito

berjangka, sertifikat deposito dan atau tabungan pada bank lain.

Fungsi BPR tidak hanya sekedar menyalurkan kredit kepada para pengusaha mikro, kecil dan menengah tetapi juga menerima simpanan dari masyarakat. Dalam penyaluran kredit kepada masyarakat BPR menggunakan prinsip 3T, yaitu Tepat waktu, Tepat jumlah, dan Tepat sasaran karena proses kreditnya yang relative cepat, persyaratan lebih sederhana, dan sangat mengerti kebutuhan masyarakat90.

Usaha – usaha yang dilarang bagi BPR berdasarkan undang – undang adalah 91: a) Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran; b) Melakukan kegiatan usaha dalam bentuk valuta asing;

c) Melakukan penyertaan modal; d) Melakukan usaha perasuransian;

e) Melakukan usaha lain di luar kegiatan yang telah ditetapkan di atas.

89 Dahlan Siamat, Loc.cit., hal.404.

90 “Mengenal Bank Perkreditan Rakyat”, www.bi.go.id, diakses tanggal 29 Agustus 2009 91 Dahlan Siamat, Op.cit.

Landasan hukum pendirian dan beroperasinya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah Undang – Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang – undang no.10 tahun 1998. Keberadaan BPR dalam masyarakat sudah ada jauh sebelum diundangkannya Undang – undang no.14 tahun 1967 yang kemudian diubah dengan UU No.7 tahun 199292.

Sebagai konsekuensi diberlakukanya Undang –Undang no.10 Tahun 1998, semua proses perizinan di bidang perbankan, termasuk BPR yang sebelumnya dilakukan oleh Mentri Keuangan dialihkan kepada Bank Indonesia. Dengan demikian setelah undang – undang ini dikeluarkan maka semua pengaturan dibidang perbankan, termasuk perizinan, dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia no.6/22/PBI/2004 tentang BPR, Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat diartikan dan dimiliki oleh 93:

a) Warga Negara Indonesia;

b) Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya bersatatus WNI; c) Pemerintah Daerah;

d) Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c.

Salah satu pertimbangan dalam pemberian izin BPR oleh BI adalah hasil analisis atas potensi dan kelayakan pendirian BPR yang harus disampaikan sebagai salah satu persyaratan, yang meliputi penialaina terhadap 94:

a) Aspek demografi dan ekonomi wilayah;

b) Jumlah pertumbuhan lembaga perbankan termasuk lembaga keuangan mikro;

92 Ibid., hal.397 93 Ibid., hal.402 94 Ibid., hal.403

c) Rencana kegiatan usaha yang mencakup sumber dana dan penyaluran dana serta langkah – langkah kegiatan yang dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud;

d) Proyeksi keuangan secara bulanan untuk tahun pertama, dan secara tahunan untuk dua tahun berikutnya, sejak BPR melakukan kegiatan operasioanal; dan e) Perencanaan sumber daya manusia.