• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.2. Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris, empowerment. Power dapat diartikan sebagai kekuasaan (executive power), atau kekuatan (pushing power),atau daya (horse power), selanjutnya kata power yang digunakan dapat diartikan tergantung dari konteksnya. Kata power dalam empowerment diartikan daya sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar (Abipraja,2002:61)

Menurut Wahyono (2001:8) pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowerment”, yaitu upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat.

Menurut Surjono dan Nugroho (2008:26) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki akses kepada sumberdaya pembangunan) didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka.

Konsep pemberdayaan menurut Hary (2004:4), konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan individu dan sosial. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Sebaiknya orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan

secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki oleh seseorang semakin baik pula kemampuan berpartisipasinya.

Dapat disimpulkan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.

2.2.2.1. Tahap Pemberdayaan

Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007 : 2-6) ada tiga tahapan dalam pemberdayaan yaitu :

1.Penyadaran

Adalah pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai “sesuatu”.

2.Pengkapasitasan

Pengkapasitasan ini disebut capacity building atau dalam bahasa yang lebih sederhana yaitu memampukan atau enabling. Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu mapun kelompok yaitu dengan training (pelatihan), workshop (loka latih), seminar, dan sejenisnya.

3.Pemberian daya

Pemberian daya ini disebut empowerment, pada tahap ini target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang.

2.2.2.2. Tujuan Pemberdayaan

Jamasy (2004:42) menyatakan bahwa pemberdayaan yang merupakan prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan masalah kemiskinan memiliki tujuan :

1. Menekan perasaan ketidakberdayaan (impotensi) masyarakat miskin bila berhadapan dengan struktur sosial politis. Langkah konkretnya adalah meningkatkan kesadaran kritis pada posisinya.

2. Memutuskan hubungan yang bersifar eksploitatif terhadap lapisan orang miskin perlu dilakukan bila terjadi reformasi sosial, budaya dan politik (artinya, biarkan kesadaran kritis orang miskin muncul dan biarkan pula melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas hidupnya.

3. Tertanam rasa persamaan (egalitarian) dan berikan gambaran bahwa kemiskinan bukan merupakan takdir, tetapi sebagai penjelmaan konstruksi sosial.

4. Merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan masyarakat-masyarakat miskin seacra penuh (ini hanya bisa tercapai kalau komunikasi politik antara pemegang kekuasaaan dengan kelompok-kelompok dan person-person strategis, dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi). 5. Pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti

perencanaan hidup, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas kerja dan kualitas kerja).

Menurut Sumodiningrat seperti yang dikutip oleh Abipraja (2002:68) pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat bertujuan mencapai keberhasilan dalam:

1. Mengurangi jumlah penduduk miskin.

2. Mengembangkan usaha peningkatkan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya.

4. Meningkatkan kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta makin lausnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam masyarakat.

5. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang diatndai oleh peningkatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.2.2.3. Model Pemberdayaan Masyarakat

Menurut kamus bahasa Indonesia, model memiliki arti contoh, pola, acuan, ragam, dan sebagainya. Sementara itu, pengertian pemberdayaan adalah peningkatan kemampuan dan kemandirian sehingga orang atau lembaga tersebut mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pemberdayaan masyarakat adalah

contoh, pola acuan, ragam, macam upaya peningkatan kemampuan dan kemandirian sehingga orang atau lembaga yang bersangkutan mampu mengembangkan kemampuannya secara optimal. (Surjono, Nugroho, 2008:29)

Menurut Surjono dan Nugroho (2008:29) ada 6 (enam) model pemberdayaan masyarakat, antara lain :

a. Model People Centre Development.

Model ini mencoba mengangkat martabat manusia sebagai mana mestinya sebagai makhluk yang memiliki harga diri, kemampuan inteleggenci, perasaan. Manusia tidak dapat disamakan dengan alat produksi untuk melipatgandaan hasil semata, melainkan manusia hendaknya dihargai dan dihormati. Dengan meningkatkan sualitas SDM maka akan menempatkan manusia pada martabat yang lebih baik.

Contoh program yang menerapkan model ini antara lain : Inpres Desa Tertinggal (IDT), Proyek Kawasan Terpadu (PKT), Proyek peningkatan petani dan nelayan kecil (P4K), Jaringan Pengaman Sosial (JPS) Batuan Beras untuk Orang Miskin (RASKIN), Bantuan Langsung Tunai (BLT). Program-program tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan dan membantu masyarakat agar bisa keluar dari perangkap kemiskinan.

b. Model Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse

Nurkse mensinyalir bahwa “ a poor country is poor because it is poor” (negara miskin itu miskin karena dia miskin). Selanjutnya dijelaskan bahwa kemiskinan itu merupakan suatu lingkaran yang disebutnya dengan lingkaran kemiskinan yang mengemukakan bahwa kemiskinan diawali dari

adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya prouktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasipada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berpikir tersebut dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, ekonom pembangunan ternama tahun 1953.

Oleh karena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini.

c. Model Kemitraan.

Kemitraan dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Kemitraan semu, yaitu sebuah persekutuan yang terjadi antara 2 pihak atau lebih, namun sesungguhnya kerjasama tersebut tidak seimbang satu dengan yang lainnya. Bahkan satu pihak belum tentu memahami secara benar akan makna sebuah persekutuan yang dilakukan, atau untuk tujuan apa semua dilakukan atau disepakati.

2. Kemitraan mutualistis, yaitu persekutuan dua pihak tau lebih yang sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk saling memberikan manfaat dan mendapatkan manfaat lebih sehingga akan dapat mencapai tujuan secara lebih optimal.

3. Kemitraan konjugasi, yaitu kemitraan yang dianalogikan dari kehidupan paramecium. Dua paramecium melakukan konjugasi untuk mendapatkan energi kemudian terpisah satu sama lain, selanjutnya dapat melakukan

pembelahan diri, dua pihak atau lebih dapat melakukan konjugasi dalam rangka meningkatkan kemampuan masing-masing.

d. Model Grameen Bank.

Model kerja dari Graamen Bank adalah sebagai berikut. Sebuah unit bank dipimpin oleh manajer lapangan dan sejumlah pekerja yang mencakup area layanan sekitar 15-20 desa. Manajer dan karyawan datang ke desa untuk memperkenalkan mereka dan mengenalkan program bank pada masyarakat. Gramen Bank mempunyai 2.247 cabang dan memberikan pelayanan di 72.096 desa. Mereka juga menerangkan tujuan, fungsi, dan model kerja bank ke masyarakat daerah. Gramen Bank memberikan kredit kepada masyarakat tanpa agunan dan mencip[takan sistem perbankan yang berbasis pada kesalingpercayaan, akuntabilitas, partisipasi, dan kreatifitas. Pada langkahg pertama, dua orang dari kelompok yang menerima pinjaman, kelompok akan dipantau selama satu bulan apakah anggota kelompok mengikuti aturan bank. Jika kedua orang mengembalikan pinjaman dengan bunganya selama periode 50 minggu maka anggota lain baru dapat meminjam dana tersebut. Batasan ini menyebabkan anggota lain agar segera mengembalikan dalam jangka waktu tertentu. Ini membuat rasa tanggung jawab bersama dalam kelompok seperti sebuah jaminan dari pinjaman. Di Grameen Bank, kredit merupakan senjata yang efektif memerangi kemiskinan dan memicu kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin yang dipinggirkan oleh bank konvensional karena dianggap tidak layak bank.

e. Model Sri Mahila SEWA Sahakari Bank.

Model lain diterapkan oleh Sri Mahila SEWA Sahakari Bank yakni lembaga keuangan yang memberikan akses keuangan terhadap wanita-wanita yang lemah/miskin. Peminjaman hanya untuk kegiatan ekonomi bukan untuk keperluan pribadi. Bank mempekerjakan dan mendorong wanita-wanita tersebut untuk menyelamatkan kehidupan mereka dengan menabung melalui bank tersebut. Modal pinjaman terbagi dalam tiga peruntukan, yakni modal kerja untuk membeli perkakas perdagangan, pembuatan rumah, atau pembukaan toko atau pekerjaan. Perioritas pertama diberikan untuk melunaskan kredit ke wanita-wanita berutang sehingga mereka dapat melepaskan diri dari lilitan utang.

f. Model Sistem Kelompok Tanggung Renteng.

Model ini banyak diadopsi oleh para pengelola koperasi di Indonesia, khususnya pengelola koperasi simpan pinjamyang pada dasarnya merupakan upaya penguatan kelompok dalam berinteraksi antara manusia. Sistem kelompok tanggung renteng dapat dikelaskan melalui uraian berikut:

1. Hakikat sistem tanggung renteng merupakan upaya memperbaiki kualitas manusia melalui interaksi antar manusia.

2. Kelompok tanggung renteng merupakan suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana pendewasaan manusia melalui interaksi antarmanusia dalam kelompok menuju manusia berkualitas.

3. Nilai-nilai kelompok tanggung renteng mengembangkan nilai-nilai khusus sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki koperasi.

2.2.2.4. Pendekatan Pemberdayaan.

Menurut Soegijono dll. Yang dikutip oleh Surjono dan Nugroho (2008:26) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat miskin , yakni :

1. Pendekatan yang terarah artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah dan berpihak kepada orang miskin .

2. Pendekatan Kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan pemecahan masalah yang dihadapai.

3. Pendekatan Pendampingan artinya dilakukan selama proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu didampingi yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya kemandirian.

2.2.2.5. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) termasuk koperasi memang sangat penting dan strategis dalam mengantisipasi perekonomian ke depan terutama dalam memperkuat struktur perekonomian nasional. Adanya krisis perekonomian nasional sangat mempengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan politik yang berdampak pada kegiatan-kegiatan besar yang makin memburuk, usaha kecil dan menengah serta koperasi relatif masih mempertahankan kegiatan usahanya. (Surjono, Nugroho 2008:144)

Dari hasil survei Departemen Koperasi dan UKM (1998) diperoleh gambaran dari 225 ribu UKM, 64,1 % telah mampu berkembang, 31,0 % berusaha mengurangi kegiatan usaha, sedangkan 4,0 % terpaksa menghentikan kegiatannya. Hal ini membuktikan bahwa UKM mempunyai daya bertahan yang lebih lentur. Penting dan strategisnya kedudukan UKM dalam perekonomian nasional bukan saja karena jumlahnya yang banyak, namun juga dalam hal penyerapan tenaga kerja. (Surjono, Nugroho 2008:144)

Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, pemberdayaan usaha kecil dilakukan melalui :

a. Penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan Usaha Kecil; b. Pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil serta kemitraan usaha.

2.2.3. Tanggung Jawab Sosial / Corporate Social Responsibility (CSR)

Sebagai sebuah konsep, Corporate Social Responsibility (CSR) mempunyai definisi dalam beberapa versi karena implementasi yang dilakukan oleh perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya berbeda-beda.

Menurut Kotler dan Lee dalam Solihin (2009:5) ”Corporate Social Responsibility is a commitment to improve community well being through discretionary business practices and contribution of corporate resources”(tanggung jawab sosial perusahaan adalah kegiatan yang semata-mata merupakan komitmen perusahaan secara sukarela untuk turut

meningkatkan kesejahteraan komunitas dan berkontribusi kepada sumberdaya perusahaan).

Menurut versi Bank Dunia dalam Laksiani (2008:45) definisi

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah “CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development” (CSR adalah komitmen bisnis sebagai kontribusi untuk keberlanjutan perkembangan ekonomi yang bekerja sama dengan pekerja, perwakilan mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk memperbaiki kualitas hidup, dimana keduanya baik untuk bisnis maupun pengembangan).

Menurut Bank Dunia, tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak asasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standart usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.

Sedangkan menurut Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis yang berperan untuk mendukung pembangunan ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.

Sejauh ini definisi yang banyak digunakan adalah pemikiran Elkington tentang triple bottom line. Menurut Elkington (1997) dalam

€Laksiani (2008:45) CSR adalah adanya segitiga dalam kehidupan stakeholders yang mesti diperhatikan korporasi di tengah usahanya mencari keuntungan, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial, yang kemudian diilustrasikan dalam bentuk segitiga.

Dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa CSR adalah suatu bentuk komitmen perusahaan untuk meningkatkan kualitas dan mutu kehidupan bagi karyawan perusahaan dan masyarakat lingkungan sekitar perusahaan maupun masyarakakat luas.

2.2.3.1. Model dan Imlementasi Corporate Social Responsibility (CSR)

Model CSR yang umum diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia (Said dan Abidin,2004) sebagai berikut:

a. Keterlibatan langsung

Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan social atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.

b. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan

Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Disini perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan.

c. Bermitra dengan pihak lain

Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga/organisasi non pemerntah, instansi pemerintah, universitas

atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.

d. Mendukung atau bergabung dengan konsorium

Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.

Menurut Sedyono (2004), model CSR membagi kewajiban perusahaan menjadi empat jenis tanggungjawab atau yang dikenal dengan “Model Empat Sisi”, yaitu adanya empat tanggungjawab perusahaan yang bersifat ekonomis, artinya memperoleh laba bagi pemegang sahamnya; legal, mematuhi peraturan dan hukum (berhubungan dengan lingkungan, dan sebagainya). Selain kewajiban ekonomis dan legal, ada kewajiban-kewajiban lain terhadap stakeholders di luar pemegang saham, yaitu ethical dimana perusahaan harus memnuhi kaidah-kaidah normatif. Seperti berlaku fair, transparan, tidak membeda-bedakan ras dan gender, dan tidak korupsi. Model tanggung jawab selanjutnya bersifat discretionary, yaitu tanggung jawab yang sebenarnya tidak harus dilakukan, tetapi atas kemauan sendiri misalnya pemberian beasiswa.

Sedangakan menurut Harahap (2002), keterlibatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan keadaan di negara Indonesia, yaitu:

1) Lingkungan hidup, antara lain: pengawasan terhadap efek polusi, perbaikan pengrusakan alam, keindahan lingkungan, pengurangan

polusi suara, penggunaan tanah, pengelolaan sampah dan air limbah, riset dan pengembangan lingkungan, kerjasama dengan energi.

2) Sumber daya manusia dan pendidikan, antara lain: keamanan dan kesehatan karyawan, pendidikan karyawan, kebutuhan keluarga dan rekreasi karyawan, menambah dan memperluas hak-hak karyawan, dsb.

3) Praktek bisnis yang jujur, antara lain: memperhatikan hak-hak karyawan wanita, jujur dalam iklan, kredit, service, produk, jaminan, mengontrol kualitas produk, pemerintah, universitas, dan pembangunan lokasi rekreasi.

4) Membantu masyarakat lingkungan, antara lain: memanfaatkan tenaga ahli perusahaan dalam mengatasi masalah sosial di lingkungannya, tidak campur tangan dalam struktur masyarakat, membangun klinik kesehatan, sekolah, rumah ibadah, dsb.

5) Kegiatan seni dan kebudayaan, antara lain: membantu lembaga seni dan budaya, sponsor kegiatan seni dan budaya, penggunaan seni dan budaya dalam iklan, dsb.

6) Hubungan dengan pemegang saham, antara lain: sifat keterbukaan direksi pada semua persero, peningkatan pengungkapan informasi dalam laporan keuangan, pengungkapan keterlibatan perusahaan dalam kegiatan sosial.

7) Hubungan dengan pemerintah, antara lain: menaati peraturan pemerintah, membatasi kegiatan lobbying, mengontrol kegiatan

politik perusahaan, membantu lembaga pemerintah sesuai dengan kemampuan perusahaan, membantu secara umum peningkatan kesejahteraan social masyarakat, dsb.

Menurut Solihin (2009:145) dalam implementasi program CSR yang baik diperlukan beberapa kondisi, yaitu:

a. Kondisi pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan dukungan dari pihak yang terlibat.

b. Kondisi kedua adalah ditetapkannya pola hubungan (relationship)

diantara piha-pihak yang terlibat secara jelas. Hal ini akan meningkatkan kualitas koordinasi pelaksanaan program CSR.

c. Kondisi Ketiga adalah adanya pengelolaan program yang baik yang dapat diwujudkan bila adanya kejelasan tujuan program, mendapat dukungan terhadap program yang tengah dijalnkan dari pihak-pihak yang terlibat, terdapat kejelasan mengenai durasi waktu pelaksanaan program serta siapa yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan program.

2.2.3.2. Program yang Dijalankan Perusahaan dalam Corporate Social Responsibility (CSR)

Menurut Pambudi (2005), program-program CSR yang dijalankan perusahaan meliputi:

a. Program-program bidang sosial, antara lain: pelayanan dan kampanye kesehatan, beasiswa pendidikan, pembangunan dan renovasi sarana

sekolah, sumbangan sosial untuk bencana alam, sekolah binaan serta pendidikan dan pelatihan teknologi informasi.

b. Program-program bidang ekonomi, antara lain: pemberdayaan dan pembinaan UKM dan pengusaha, kemitraan dalam penyediaan kebutuhan dan bahan baku produksi, kredit pembiayaan dan bantuan modal untuk pengembangan usaha, pengembangan agrobisnis, serta pemberdayaan dan pengembangan tenaga kerja lokal.

c. Program-program bidang lingkungan adalah pembinaan dan kampanye lingkungan hidup, pengelolaan fisik agar lebih asri, pengelolaan limbah, pembangunan sarana air bersih, penanaman pohon atau penghijauan dan pertanian anorganik.

Program-program CSR ini biasanya dijalankan dalam waktu yang berbeda-beda sesuai dengan perusahaann masing-masing: kurang dari 1 tahun, 1-2 tahun, 3-5 tahun, 6-7 tahun, 8--10 tahun serta lebih daari 11 tahun.

Menurut Gurvy Kavei dalam Laksiani (2008:45), CSR dipraktekkan dalam tiga wilayah atau area antara lain: di tempat kerja; seperti aspek keselamatan kerja, pengembangan skill karyawan dan kepemilikan saham. Di komunitas; antara lain dengan memberikan beasiswa dan pemberdayaan ekonomi terhadap lingkungan, antara lain pelestarian lingkungan dan pross produksi yang ramah lingkungan.

2.2.4 Program Kemitraan Antara Badan Usaha Milik Negara Dengan

Dokumen terkait