• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Corporate Social Responsibility Melalui Program Kemitraan Telkom Community Development Center Surabaya Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Pada Pengrajin Batik Di Jetis - Sidoarjo.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Corporate Social Responsibility Melalui Program Kemitraan Telkom Community Development Center Surabaya Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Pada Pengrajin Batik Di Jetis - Sidoarjo."

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

DI JETIS - SIDOARJO

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP UPN: “Veteran” Jawa Timur

Disusun Oleh : WENNY SETIAWATI

NPM. 0541010071

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGDI ILMU ADMINISTRASI NEGARA

(2)

rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi

yang berjudul “Penerapan Corporate Social Responsibility Melalui Program Kemitraan Telkom Community Development Center Surabaya Timur dalam pemberdayaan Usaha Kecil Pada Pengrajin Batik di Jetis-Sidoarjo”. Tugas ini dibuat dalam memenuhi persyaratan kurikulum pada Program Studi Administrasi

Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional

“VETERAN” Jawa Timur.

Dalam tersusunnya tugas ini penulis mengucapakan terima kasih

sebesar-besarnya kepada Dra. Susi Hardjati, MAP selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis. Disamping itu

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik.

2. Bapak Dr. Lukman Arif, M.Si, selaku Ketua Program Studi Administrasi

Negara.

3. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pembangunan

Nasional “Veteran” Jawa Timur.

4. Seluruh Staf CDC PT. Telkom Surabaya Timur yang telah banyak membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(3)

v 6. Kedua Orang tuaku dan kakak tercinta yang telah memberikan dukungan baik

moril maupun materiil selama proses penyusunan proposal skripsi ini.

7. Teman-teman dan semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu

yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan masukan dan

bantuan dalam penyusunan laporan ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari masih ada

kekurangan-kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu penulis senantiasa bersedia dan

terbuka dalam menerima saran, kritik dari semua pihak yang dapat menambah

kesempurnaan skripsi.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih serta besar harapan penulis

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Surabaya, Juni 2010

(4)

Halaman Pengesahan Revisi Skripsi……… iii

Kata Pengantar ………... iv

Daftar Isi……….. vi

Daftar Gambar………...………... ix

Daftar Tabel………..…….. x

Abstraksi.……….…… xi

BAB I. PENDAHULUAN………...……. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah………. . 11

1.3. Tujuan Penelitian……… 12

1.4. Manfaat Penelitian………. 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ………..………...…………... 13

2.1. Penelitian Terdahulu………. . 13

2.2. Landasan Teori...………... 16

2.2.1. Pengertian Kebijakan Publik ………....……….…... 16

2.2.1.1. Sifat Kebijakan Publik... ...………...…... 17

2.2.1. 2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik... ………….. 18

2.2.1.3. Model Kebijakan Publik ... .. 19

2.2.1.4. Faktor Penghambat dan Pendukung Implementasi Kebijakan... 21

2.2.2. Pengertian Pemberdayaan ………...……... 23

2.2.2.1. Tahap Pemberdayaan...………... 24

2.2.2.2. Tujuan Pemberdayaan ...….……... 25

(5)

2.2.3.1. Model dan Implementasi CSR... 34

2.2.3.2. Program yang dijalankan perusahaan dalam CSR... 37

2.2.4. Program Kemitraan Antara Badan Usaha Milik Negaradengan Usaha Kecil... ... ... 39

2.2.4.1. Usaha Kecil yang tangguh dan Mandiri (Berdaya)... ....42

2..2.4.2 Prinsip-prinsip Program Kemitraan... 42

2.2.4.3. Pola Program Kemitraan... 44

2.3. Kerangka Berpikir... ... 46

BAB III. Metode Penelitian ...………...…... 47

3.1. Jenis Penelitian….………..…....…….... 47

3.2. Fokus Penelitian………..…...…... 48

3.3. Lokasi Penelitian... 49

3.4. Sumber Data...……….………. 49

3.5. Pengumpulan Data……….…...…… 51

3.6. Analisis Data………..…………..…... 53

3.7. Keabsahan Data...………..…..………... 55

BAB IV. Hasil dan Pembahasan.... 58

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian... 58

4.1.1. Organisasi Pusat Pengelolaan Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan...58

4.1.2. Tujuan Program PKBL Telkom CDC Surabaya Timur... 59

(6)

viii 4.1.6. Uraian tentang tugas pokok masing-masing

jabatan di CDC Surabaya Timur... 61

4.1.7. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan………. 65

4.1.8. Komposisi Pegawai...70

4.2 Hasil penelitian... 71

4.2.1. Program CSR melalui Kemitraan dengan Usaha kecil pada Batik di Jetis... 71

4.2.2. Kendala-Kendala Program Kemitraan Pada PT. Telkom Surabaya Timur... ... 90

4.3. Pembahasan... 93

4.3.1. Penerapan CSR melalui Program Kemitraan dengan Usaha Kecil pada Batik di Jetis... 93

4.3.2. Kendala- kendala dalam penerapan Program Kemitraan pada Telkom CDC Surabaya Timur... ...98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……… ……… 100

5.1. Kesimpulan………... 100

5.2. Saran………... 101

Daftar Pustaka …………...………

(7)

Gambar 2. Analisis Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman ..……… 55 Gambar 3 Visi, Misi dan Strategi Telkom CDC………... 59

Gambar 4 Struktur Organisasi CDC PT. Telkom……… 60

Gambar 5 Alur Proses Penyaluran Dana Bergulir

Program Kemitraan PT. Telkom……… 76

(8)

Tabel 1 Segmentasi Kemitraan di CDC Surabaya Timur….. ……… 10

Tabel 2 Penyaluran Dana Persegmentasi... 65

Tabel 3 Jumlah Mitra Binaan Persegmentasi………... 66

Tabel 4 Komposisi Pegawai Menurut Jenis Kelamin……… 70

Tabel 5 Komposisi Pegawai Menurut Pendidikan... 70

Tabel 6 Komposisi Pegawai Berdasarkan Jabatan... 71

Tabel 7 Klasifikasi Bunga Pinjaman... 83

Tabel 8 Daftar Mitra Binaan, Jumlah Pinjaman, dan Jumlah Angsuran per Bulan...84

(9)

Kemitraan Telkom Community Development Center Surabaya Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Pada Pengrajin Batik Di Jetis - Sidoarjo

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan CSR melalui Program Kemitraan dalam memberdayakan Usaha Kecil pada Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo dan untuk mengetahui Faktor-Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan CSR melalui Program Kemitraan dalam memberdayakan Usaha Kecil pada Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan fokus penelitiannya yaitu penerapan CSR melalui Program Kemitraan dan kendala-kendala dalam penerapan CSR dalam memberdayakan Usaha Kecil pada Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo. Sebagai key person adalah Asisten Manajer Officer 1 Telkom CDC Surabaya Timur, dan sebagai informan adalah Staff Telkom CDC Surabaya Timur dan Mitra Binaan Surabaya Timur.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan perekonomian Indonesia yang mulai berkembang

setelah didera krisis ekonomi membuat bangkitnya berbagai sektor

perekonomian, keadaan ini membuat persaingan antar instansi sejenis makin

ketat. Era keterbukaan ini menempatkan setiap perusahaan lebih mudah dilihat

oleh siapa saja, kapan saja, dan darimana saja, artinya siapapun dapat

mengetahui tentang apapun termasuk aktivitas tanggung jawab sosial instansi

dengan cepat.

Seiring dengan perkembangan zaman menjadikan instansi lupa akan

fungsinya yaitu sebagai organisasi bisnis akan tetapi instansi juga sebagai

organisasi sosial. Orientasi bisnis yang hanya terfokus pada tujuan ekonomi

tersebut dewasa ini telah menghadapi tantangan, karena secara langsung

maupun tidak langsung dalam menjalankan kegiatan operasinya instansi harus

berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Peran instansi terhadap kemerosotan kualitas lingkungan hidup dan

sosial masyarakat membawa dampak negatif misalnya polusi, eksploitasi

tenaga keja dan sumber energi, kerusakan lingkungan dan penggunaan energi

yang tidak bertanggungjawab. Ide tanggung jawab sosial awalnya adalah

(11)

dampak yang ditimbulkan dari kegiatan operasional instansi. Pada mulanya

tidak banyak instansi, apalagi di Indonesia yang memperhatikan hal tersebut.

Umumnya instansi masih berkutat pada aspek finansial atau aspek ekonomis

untuk menunjukan keberhasilannya, namun sering dengan kesadaran

penyelamatan lingkungan instansi-instansi di seluruh dunia kini sudah

memperhitungkan aspek dampak lingkungan dan sosial dalam menjalankan

pengembangan program Tanggung Jawab Sosial / Corporate Social Responsibility (CSR).

Menurut World Council for Sustainable Development definisi

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah komitmen berkelanjutan dari bisnis untuk berperilaku dan berkontribusi bagi pembengunan ekonomi,

sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawannya, serta masyarakat local

ataupun masyarakat luas. CSR merupakan konsep dimana perusahaan

mengintegrasikan masyarakat dan lingkungan dalam kegiatan bisnis dan

interaksi mereka, dengan para stakeholder dengan dasar sukarela.

Sejauh ini definisi yang banyak digunakan adalah pemikiran Elkington

tentang Triple Bottom Line. Csr adalah segitiga dalam kehidupan stakeholders yang mesti diperhatikan korporasi di tengah usahanya mencari keuntungan,

yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial, yang kemudian diilustrasikan dalam

bentuk segitiga (Handayati,2009:7).

Model CSR membagi kegiatan perusahaan menjadi empat jenis

tanggungjawab atau yang dikenal dengan model empat sisi, yaitu adanya

(12)

memperoleh laba bagi pemegang sahamnya; legal, mematuhi peraturan dan

hukum (berhubungan dengan lingkungan dan sebagainya). Selain kewajiban

ekonomis dan legal, ada kewajiban-kewajiban lain terhadap stakeholders di

luar oemegang saham, yaitu ethical dimana perusahaan harus memenuhi

kaidah-kaidah normatif. Seperti berlaku fair, transparan, tidak

membeda-bedakan ras dan gender, dan tidak korupsi. Model tanggungjwab selanjutnya

bersifat discretionary, yaitu anggungjawab yang sebenarnya tidak harus

dilakukan, tetapi atas kemauan sendiri misalnya pemberian beasiswa.

Perusahaan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang sumber daya

alam atau berkaitan dengan sumber daya alam, diwajibkan untuk

melaksanakan CSR sebagaimana diatur dalam Undang-Undang republik

Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74. Pada

perusahaan BUMN yang berbentuk perseroan, selain melekat tujuan

perusahaan untuk memperoleh optimalisasi laba, perusahaan juga dituntut

untuk memberikan pelayanan kepada publik. Peran BUMN dalam pelaksanaan

CSR dituangkan melalui Program Kemitraan dan Usaha Kecil dan Bina

lIngkungan disingkat PKBL BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi

nasional yang termasuk dalam kategori usaha skala besar yang mayoritas

sahamnya dimiliki oleh negara, keberpihakannya kepada UKM dan koperasi

cukup besar dibandingkan pehak swasta.

Pemilihan UKM sebagai obyek dari pelaksanaan tanggung jawab

sosial tidak lepas dari beberapa peraturan perundang-undangan, yang antara

(13)

Pengembangan Usaha Kecil dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

Tentang BUMN yang pada Pasal 2 : ”... BUMN dapat menyisihkan sebagian

laba bersihnya untuk usaha kecil menengah atau koperasi serta pembinaan

masyarakat sekitar BUMN”.

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil,

Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan

memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta

kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. Usaha menengah

dan usaha besar adalah kegiatan ekonomi yang mempunyai kriteria kekayaan

bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.

Usaha Kecil dan menengah merupakan salah satu kekuatan pendorong

terdepan dan pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk

menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan

dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan

pasar. Mereka juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat

dibandingakan sektor usaha yang lainnya, dan mereka juga cukup

terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan

perdagangan. Karena itu UKM merupakan aspek penting dalam pembangunan

ekonomi yang kompetitif. Di Indonesia, sumber penghidupan amat tergantung

pada sektor UKM. Kebanyakan usaha kecil ini terkonsentrasi pada sektor

perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil dan garmen, kayu dan produk

kayu, serta produksi mineral non logam. Mereka bergerak dalam kondisi yang

(14)

makro. Lingkungan usaha yang buruk lebih banyak merugikan UKM daripada

usaha besar.

Dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997

terutama dalam pasal 1 menyatakan bahwa kemitraan adalah kerjasama

usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai

pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar

dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan

saling menguntungkan. Hal ini merupakan suatu landasan pengembangan

usaha.

Selama ini istilah kemitraan ini telah dikenal dengan sejumlah nama,

diantaranya strategi kerjasama dengan pelanggan (strategic customer alliance), strategi kerjasama dengan pemasok (strategic supplier alliance) dan pemanfaatan sumber daya kemitraan (partnership sourcing). Banyak program pemerintah yang dibuat demi majunya usaha kecil. Hal ini

bertujuan untuk mendorong dan menumbuhkan pengusaha kecil tangguh dan

mandiri, pengusaha kecil sebagai kekuatan ekonomi rakyat dan berakar pada

masyarakat, pengusaha kecil yang mampu memperkokoh struktur

perekonomian nasional yang lebih efisien. (http://puslit.petra.ac.id/journals

tanggal 23 Maret 2010).

Usaha Besar (BUMN dan Swasta Nasional) mempunyai kewajiban yang

semestinya harus diwujudkan yakni membina usaha kecil untuk

bersama-sama meningkatkan perekonomian nasional. Namun, agar upaya tersebut

(15)

pembinaan terhadap beberapa aspek yang selama ini dinilai menjadi

permasalahan yang dihadapi UKM meliputi: aspek permodalan, pemasaran,

bahan baku, teknologi, manajemen, birokrasi, infrastruktur, dan perlunya

kemitraan.

Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) pada dasarnya

merupakan wujud tanggung jawab sosial BUMN kepada masyarakat. Secara

umum, PKBL diwujudkan dengan upaya-upaya untuk memberdayakan

masyarakat, meningkatkan kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi

masyarakat secara berkesinambungan, dengan tetap menjaga kelestarian

lingkungan.

Peran BUMN dalam pelaksanaan CSR dituangkan melalui Program

Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Bina Lingkungan yang disingkat PKBL

BUMN sebagai salah satu pelaku ekonomi nasional yang masuk kategori

usaha skala besar yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh negara,

keberpihakannya kepada UKM dan Koperasi cukup besar dibandingkan

pihak Swasta. Hal ini dibuktikan oleh BUMN dengan adanya Surat

Keputusan nomor PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN

dengan Usaha kecil dan Bina Lingkungan (PKBL), di mana BUMN akan

mengalokasikan dana sebesar 2 % dari keuntungan bersih setelah pajak untuk

program Kemitraan.

Aktivitas PKBL merupakan wujud nyata dari Program Penanggulangan

dan Pengentasan Kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, dimana

(16)

depkopgoid2008/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid =625&Itemid= tanggal 23 Maret 2010.)

Program kemitraan berupaya agar masyarakat bisa diberdayakan dan

bisa mengakses sumber-sumber ekonomi terutama adalah permodalan. Oleh

karena itu program kemitraan berupaya bagaimana rakyat miskin dan

pengusaha-pengusaha kecil mikro ini bisa mengakses kepada sumber-sumber

pembiayaan. Untuk mencapai hasil yang optimal semestinya ketiga pelaku

ekonomi dapat saling bersinergi satu sama lain saling terjadi

"ketergantungan" yang dapat dalam kegiatan yang bersifat

komplementer.(http://www.depkop.go.id/ tanggal 23 Maret 2010)

Dalam hal ini, peran pemerintah terhadap pemberdayaan usaha kecil

sangat dibutuhkan karena usaha kecil perlu diberi kemudahan baik

permodalan, perizinan dan pemasaran serta ditingkatkannya usaha dan saling

menguntungkan melalui pola kemitraan dalam meningkatkan peran dan

kedudukan usaha kecil dalam pembangunan.

PT. Telkom turut membantu pemerintah dalam kemudahan

menyediakan pinjaman modal kerja melalui Program Kemitraan.

Peningkatan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri oleh

PT. Telkom diwujudkan dalam bentuk pemberian pinjaman untuk

membiayai modal kerja atau pembelian aktiva tetap usaha kecil yang berada

(17)

PT. TELKOM sebagai salah BUMN berbentuk Perseroan dan sebagai

bagian dari masyarakat memiliki komitmen yang tinggi untuk mendukung dan

melaksanakan program CSR. Komitmen ini dipicu terutama oleh faktor-faktor

antara lain: adanya tuntutan lingkungan global dalam penerapan CSR,

perubahan persepsi manajemen terkini bahwa CSR adalah bagian dari Good

Corporate Governance, meningkatnya ekspektasi investor global terhadap

implementasi CSR, dan mengantisipasi diterapkannya ISO 26000 pada tahun

2008.

Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial instansi terdiri dari

beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi

manusia, interaksi dan keteribatan instansi dengan masyarakat, standar usaha,

pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan,

kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.

Atas dasar ini maka CSR di TELKOM dijadikan sebagai bagian dari

strategi bisnis instansi, dan untuk melaksanakannya, manajemen telah

mengeluarkan kebijakan yang dituangkan dalam Keputusan Direksi sebagai

acuan dalam pengelolaan CSR di TELKOM.

Program Kemitraan yang dilaksanakan oleh PT Telkom melalui

Telkom Community Development Center (Telkom CDC) selaku unit pengelola PKBL, untuk Program Kemitraan telah menyalurkan pinjaman lunak sebesar

Rp 801,3 milyar untuk mengelola 55.944 mitra binaan yang digunakan untuk

pelatihan, pemagangan/ pendampingan dan promosi/ pameran, dimana

(18)

kepada 1.600 mitra binaan. Sedangkan untuk Program Bina Lingkungan, sejak

2003-2008, Telkom telah menyalurkan bantuan (hibah) senilai Rp 168,9

milyar dalam kegiatan Bina Lingkungan meliputi untuk korban bencana alam,

pendidikan dan pelatihan, peningkatan kesehatan masyarakat, pengembangan

sarana dan prasarana umum dan tempat ibadah.

Pada Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor

Per-05/MBU/2007 dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN Dengan

Usaha Kecil yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program

untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan

mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Usaha kecil

adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria

kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana

diatur dalam Keputusan ini. Mitra Binaan adalah Usaha Kecil yang

mendapatkan pinjaman dari Program Kemitraan.

Dalam pelaksanaan Program CSR diperlukan beberapa kondisi yang

akan menjamin terlaksananya implementasi program CSR dengan baik salah

satunya adalah adanya pengelolaan program yang baik. Pengelolaan program

yang baik hanya dapat terwujud bila terdapat kejelasan tujuan program,

mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang terlibat dan terdapat kejelasan

mengenai durasi waktu pelaksanaan program serta siapa yang

bertanggungjawab untuk memelihara kontinuitas pelaksanaan kegiatan

(19)

Minimnya keinginan masyarakat untuk menjadi mitra binaan Telkom

CDC Surabaya Timur juga disebabkan pemberian pinjaman dana kemitraan

tidak dapat dipastikan kapan akan diberikan kepada mitra binaan sehingga

masyarakat lebih memilih untuk mendapatkan pinjaman modal usaha dari

bank atau koperasi yang lebih cepat dan pasti dalam memberikan pinjaman

modal usaha.

Pada tabel dibawah ini menunjukkan semakin berkurangnya anggota

dari kemitraan di Telkom CDC Surabaya Timur.

Tabel 1. Segmentasi Kemitraan di CDC Surabaya Timur

SEGMENTASI TAHUN/

SEGMENTASI

INDUSTRI JASA PERDAG PERIKANAN PERTANIAN PETERNAKAN JUMLAH

2001 1 5 6 12

2002 46 49 67 4 166

2003 40 33 61 5 16 155

2004 35 43 32 2 28 140

2005 100 260 236 9 5 45 655

2006 77 131 130 2 2 26 368

2007 37 24 41 1 1 104

Sumber : CDC Surabaya Timur 2010

Jumlah pegawai di CDC Surabaya Timur hanya 3 (tiga) orang yang

melayani mitra binaan di wilayah kerja Telkom CDC Surabaya Timur yang

meliputi Mojokerto, Jombang, Trawas, Sidoarjo dan area Surabaya Timur.

Tanggung jawab sosial akan menjadi strategi bisnis dalam instansi

(20)

merek produk atau citra instansi. Kedua hal tersebut akan menjadi keunggulan

kompetitif instansi yang sulit untuk ditiru oleh para pesaing. Di lain pihak,

adanya pertumbuhan keinginan dari konsumen untuk membeli produk

berdasarkan kriteria-kriteria berbasis nilai-nilai dan etika akan merubah

perilaku konsumen di masa mendatang. Implementasi kebijakan tanggung

jawab sosial adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan.

Dengan demikian akan tercipta satu ekosistem yang menguntungkan semua

pihak - konsumen mendapatkan produk unggul yang ramah lingkungan,

produsen pun mendapatkan profit yang sesuai yang pada akhirnya

dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung (Daniri, 2007:1).

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Corporate Social Responsibility Melalui Program Kemitraan Telkom Community Development Center (TCDC) Surabaya Timur Dalam Pemberdayaan Usaha Kecil Pada Pengrajin Batik di Jetis – Sidoarjo”.

1.2. Perumusan Masalah

Atas dasar latar belakang diatas, maka penelitian ini mempunyai

perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan CSR melalui Program Kemitraan Telkom CDC

Surabaya Timur dalam memberdayakan Usaha Kecil pada Pengrajin

(21)

2. Faktor-Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan CSR

melalui Program Kemitraan dalam memberdayakan Usaha Kecil pada

Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui penerapan CSR melalui Program Kemitraan dalam

memberdayakan Usaha Kecil pada Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo.

2. Untuk mengetahui Faktor-Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam

penerapan CSR melalui Program Kemitraan dalam memberdayakan

Usaha Kecil pada Pengrajin Batik di Jetis, Sidoarjo.

1.4. Manfaat Penelitian a. Bagi Instansi

Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan

penerapan tanggung jawab sosial secara efektif bagi instansi-instansi di

Indonesia.

b. Bagi Universitas

Sebagai tambahan khasanah perpustakaan dan bahan masukan bagi

penelitian lebih lanjut dengan topik yang sama .

c. Bagi Peneliti

Penyusunan skripsi ini diharapkan dapat memperluas wawasan berfikir

serta pengetahuan penulis dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

1. Puji Handayati Tri Laksiani (2009) dalam penelitiannya Implementasi

Corporate Social Responbility sebagai Upaya Mengatasi Konflik Saluran

Udara Ekstra Tinggi (SUTET) (Studi Kasus pada PLN Kota Malang),

permasalahan yang pada penelitian ini adalah bagaimana penerapan

Corporate Social Responsibility (CSR) pada PT. PLN (Persero) dalam mengatasi masalah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis

penelitian deskriptif dan pengambilan data melalui wawancara yang

mendalam, observasi dan dokumentasi.. Sedangkan untuk pengambilan data

berupa data primer dan data sekunder. Dalam penulisan ini data primer

diperoleh dari Kepala PLN Kota Malang, Kepala Kelurahan Purwodadi, dan

warga yang tinggal di sekitar SUTET di Kelurahan Purwodadi. Sedangkan

data sekunder atau data pendukung yaitu berupa informasi dari studi

pustaka berupa majalah, koran, buku-buku dan hasil penelitian yang

mendukung, serta artikel atau tulisan yang diakses dari internet. Data-data

yang dihimpun merupakan data yang berhubungan dengan berbagai hal

(23)

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah dilihat dari

bentuk-bentuk kegiatan CSR tidak terimplementasikan. Hal ini disebabkan

kegiatan yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero) pada umumnya masih

bersifat hibah dan bukan merupakan program rutin, misalnya pemberian

kredit dan pemberian dana tali asih. Jika hal tersebut sudah dilakukan secara

rutin dan menjadi salah satu program aktivitas PT. PLN (Persero), maka ini

akan dapat melibatkan hubungan kemitraan antara pihak PT. PLN (Persero)

dengan masyarakat.

2. Gendut Sukarno dan Febrin Anggraini (2008) dalam penelitiannya

Corporate Reputation melalui pendekatan Corporate Social Responsibility

Di lingkungan PT.PERKEBUNAN NUSANTARA X, permasalahan pada

penelitian ini adalah bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan

(Corporate Social Responsibility) dalam menciptakan citra/reputasi perusahaan (Corporate Reputation). Teknik analisis yang digunakan adalah

Model Persamaan Struktural (Structural Equation Modelling=SEM) dan untuk memperoleh gambaran yang dapat memberikan profil Corporate Social Responsibility dan Corporate Reputation dilakukan pentabulasian yang selanjutnya diuji realibilitas dan validitasnya.

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah faktor

Corporate Social Responsibility berpengaruh positif dan signifikan terhadap Faktor Stakeholder, faktor Corporate Social Responsibility berpengaruh

(24)

faktor Management Function, faktor Stakeholder berpengaruh positif dan signifikan terhadap faktor Corporate Reputation, faktor management Function berpengaruh positif dan signifikan terhadap Faktor Corporate Reputation .dan faktor Corporate Function berpengaruh signifikan dan negatif terhadap faktor Corporate Reputation.

3. Ronny Irawan (2008) dalam penelitiannya Corporate Social Responsibility: Tinjauan Menurut Peraturan Perpajakan Di Indonesia, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana aspek perpajakan (PPN dan

PPh) menurut peraturan perpajakan di Indonesia pada penerapan

program-program CSR yang dilakukan oleh perseroan. Penelitian ini menggunakan

metode penelitian diskriptif kualitatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemerintah kurang

memperjelas peraturan perpajakan yang berkaitan mengenai bentuk dan

jenis sumbangan yang boleh dikurangkan, daftar normatif atau ketentuan

lainnya sehingga dapat menghambat perusahaan untuk menunaikan

tanggung jawab sosialnya serta menimbulkan keengganan perusahaan

untuk menetapkan program CSR dalam anggaran perusahaan secara

konsisten dan periodik.

Penelitian yang dilakukan saat ini mempunyai persamaan dan

perbedaan dengan penelitian yang lalu. Persamaannya yaitu terletak pada

topik yang diambil oleh masing-masing peneliti. Sedangkan perbedaanya

terletak pada fokus, waktu dan tempat. Peneliti sekarang ini mengambil

(25)

Kemitraan Telkom CDC Surabaya Timur Dalam Pemberdayaan Usaha

Kecil Pada Batik di Jetis – Sidoarjo”.

2.2. Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Heclo dalam Soenarko (2005;41), kebijakan publik adalah

apa saja yang ditetapkan pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Menurut Jenkins dalam Wahab (2004:4), mengatakan bahwa

kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang

diambil oleh seorang aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih

beserta cara-cara untuk mencapainya dalam suatu instansi dimana

keputusan-keputusan itu pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas kewenangan

kekuasaan dari para aktor tersebut.

Menurut Eyestone dalam Winarno (2002:15), menyatakan bahwa

kebijakan publik adalah hubungan suatu pemerintah dengan lingkungannya.

Dapat disimpulkan pengertian-pengertian diatas bahwa kebijakan

publik adalah serangkaian keputusan yang saling berkaitan yang diambil oleh

seorang aktor politik/pemerintah berkenaan dengan tujuan yang dipilih

beserta cara-cara untuk mencapainya, adanya hubungan suatu pemerintah

dengan lingkungannya dan apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan dalam batas-batas kewenangan dari aktor

politik/pemerintah tersebut. Dalam pemberdayaan masyarakat Menteri Badan

(26)

dituangkan dalam program Kemitraan dan bina Lingkungan guna untuk

mencapai tujuan dalam memberdayakan usaha kecil agar menjadi tangguh

dan mandiri.

2.2.1.1. Sifat Kebijakan Publik

  Menurut Winarno (2002:19), sifat kebijakan publik sebagai arah

tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci beberapa

kategori sebagai berikut:

1. Tuntutan-tuntutan kebijakan

Adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau

pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu

sistem politik.

2. Keputusan kebijakan

Adalah keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat

pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah atau substansi

kepada tindakan-tindakan kebijakan publik.

3. Pernyataan-pernyataan kebijakan

Adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi

(penjelasan) kebijakan publik.

4. Hasil-hasil kebijakan

Adalah manivestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik hal-hal yang

sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan

(27)

5. Dampak-dampak kebijakan

Adalah akibat-akibatnya bagi masyarakat baik yang diinginkan atau

tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan

pemerintah.

2.2.1.2. Tahap-Tahap Kebijakan Publik

  Menurut Winarno (2002:28), proses pembuatan kebijakan merupakan

proses yang komplek karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang

harus dikaji. Oleh karena itu,kebijakan publik membagi proses-prose penyusunan

kebijakan publik ke dalam beberapa tahap.Tahap-tahap kebijakan publik sebagai

berikut:

1) Tahap penyusunan ganda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda

publik.Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu

untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.

2) Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh

para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk

kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.

3) Tahap adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh

para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan

tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus

(28)

4) Tahap implementasi

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika

program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus

diimplementasikan.

5) Tahap penilaian kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi

untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu

memecahkan masalah.

2.2.1.3. Model Kebijakan Publik

Dye (1995) merumuskan model-model kebijakan publik dalam sembilan

model formulasi kebijakan, yaitu:

1) Model Kelembagaan (Institusional)

Model ini bermakana bahwa tugas pemerintah yang mendasarkan pada

fungsi-fungsi kelembagaan yang bersifat universal dan fungsi pemaksaan

dari pemerintah di setiap sektor dan tingkat dalam kehidupan bersama.

2) Model Proses

Kebijakan publik merupakan proses politik yang menyertakan rangkaian

kegiatan antara lain: identifikasi permasalahan, menata agenda formulasi

kebijakan, perumusan proposal kebijakan, legitimasi kebijakan,

(29)

3) Model Kelompok

Model ini mengandalkan kebijakan sebagai titik keseimbangan, intinya

adalah interaksi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan dan

keseimbangan adalah yang terbaik.

4) Model elit

Model ini melandaskan diri pada asumsi bahwa dalam setiap masyarakat

terdapat dua kelompok, yaitu pemegang kekuasaan (elit) dan yang tidak

memiliki kekuasaan (massa).

5) Model Rasional

Model ini mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai

maximumsocial gain berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat lebih bagi masyarakat.

6) Model Inkremental (Pragmatis)

Model ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau

kelanjutan dari kebijakan di masa lalu karena para pembuat kebijakan

tidak memiliki cukup waktu, intelektual maupun biaya untuk melakukan

evaluasi kebijakan secara komprehensif.

7) Model Teori Permainan

Model ini adalah model yang sangat abstrak dan deduktif dalam formulasi

kebijakan. Gagasan pokok model ini adalah pertama formulasi kebijakan

berada dalam situasi kompetisi yang intensif dan kedua para aktor berada

(30)

8) Model Pilihan Publik

Model ini melihat kebijakan sebagai sebuah proses formulasi keputusan

kolektif dari individu-individu yang berkepentingan atas keputusan

tersebut.

9) Model sistem

Model ini mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output

dari sistem politik.salah satu kelemahan dari model ini adalah terpusatnya

perhatian pada tindakan-tindakan yang dialakukan pemerintah dan pada

akhirnya kita kehilangan perhaian pada apa yang tidak pernah dilakukan

pemerintah.

2.2.1.4. Faktor Penghambat dan Pendukung Implementasi Kebijakan

Hogwood dan Gunn dalam Wahab (2002:61) membagi pengertian

kegagalan (Policy foilure) ke dalam 2 (dua) kategor yaitu non implemetasi (tidak terimplementasikan) dan unsuccessfull implementasi (implementasi yang tidak berhasil). Sedangkan implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala

telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal

tidak menguntungkan, kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan

dampak atau hasil akhir yang dikehendaki.

Kemudian Sunarko (2000:185) mengemukakan bahwa pelaksanaan

kebijakan itu dapat mengalami kegagalan atau tidak membuahkan hasil yang

(31)

tepat, oleh karena itu harus dilakukan ”formulation” terhadap kebijakan tersebut antara lain:

a) Sarana yang dipilih untuk pelaksanaannya tidak efektif.

b) Sarana yang digunakan tidak atau kurang dipergunakan sebagaimana

mestinya.

c) Adanya kekurangan akan tersedianya sumber-sumber pembantu (waktu,

uang, dan sumber daya manusia).

Menurut Winarno (2002:162), untuk memperbaiki implementasi kebijakan

ada beberapa langkah yaitu:

a) Dalam mengusulkan langkah-langkah perbaikan harus dipahami lebih dulu

hambatan yang muncul dalam proses implementasi dan mengapa

hambatan tersebut muncul.

b) Mengubah keadaan yang menghasilkan faktor penghambat tersebut.

Selain faktor penghambat pelaksanaan kebijaksanaan juga dikemukakan

oleh Soenarko (2000:186) yaitu:

a) Persetujuan, dukungan dan kepercayaan masyarakat.

b) Pelaksanaan haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai

(32)

2.2.2.  Pengertian Pemberdayaan

Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris, empowerment. Power dapat

diartikan sebagai kekuasaan (executive power), atau kekuatan (pushing power),atau daya (horse power), selanjutnya kata power yang digunakan dapat diartikan tergantung dari konteksnya. Kata power dalam empowerment diartikan

daya sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur

penguatan yang diserap dari luar (Abipraja,2002:61)

Menurut Wahyono (2001:8) pengertian pemberdayaan masyarakat

sebenarnya mengacu pada kata “empowerment”, yaitu upaya untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat.

Menurut Surjono dan Nugroho (2008:26) pemberdayaan masyarakat

merupakan suatu proses dimana masyarakat (khususnya yang kurang memiliki

akses kepada sumberdaya pembangunan) didorong untuk meningkatkan

kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka.

Konsep pemberdayaan menurut Hary (2004:4), konsep pemberdayaan

dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep

mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan

diletakkan pada kekuatan individu dan sosial. Partisipasi merupakan komponen

penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan. Sebaiknya

orang-orang harus terlibat dalam proses tersebut sehingga mereka dapat lebih

memperhatikan hidupnya untuk memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri

(33)

secara kumulatif sehingga semakin banyak keterampilan yang dimiliki oleh

seseorang semakin baik pula kemampuan berpartisipasinya.

Dapat disimpulkan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya upaya untuk

mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh masyarakat untuk meningkatkan

kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka dengan konsep

mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.

2.2.2.1. Tahap Pemberdayaan

Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007 : 2-6) ada tiga tahapan dalam

pemberdayaan yaitu :

1.Penyadaran

Adalah pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka

mempunyai “sesuatu”.

2.Pengkapasitasan

Pengkapasitasan ini disebut capacity building atau dalam bahasa yang

lebih sederhana yaitu memampukan atau enabling. Pengkapasitasan

manusia dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu

mapun kelompok yaitu dengan training (pelatihan), workshop (loka

latih), seminar, dan sejenisnya.

3.Pemberian daya

Pemberian daya ini disebut empowerment, pada tahap ini target diberikan

daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang.

(34)

2.2.2.2. Tujuan Pemberdayaan

Jamasy (2004:42) menyatakan bahwa pemberdayaan yang merupakan

prasyarat mutlak bagi upaya penanggulangan masalah kemiskinan memiliki

tujuan :

1. Menekan perasaan ketidakberdayaan (impotensi) masyarakat miskin bila

berhadapan dengan struktur sosial politis. Langkah konkretnya adalah

meningkatkan kesadaran kritis pada posisinya.

2. Memutuskan hubungan yang bersifar eksploitatif terhadap lapisan orang

miskin perlu dilakukan bila terjadi reformasi sosial, budaya dan politik

(artinya, biarkan kesadaran kritis orang miskin muncul dan biarkan pula

melakukan reorganisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja

dan kualitas hidupnya.

3. Tertanam rasa persamaan (egalitarian) dan berikan gambaran bahwa

kemiskinan bukan merupakan takdir, tetapi sebagai penjelmaan konstruksi

sosial.

4. Merealisasikan perumusan pembangunan dengan melibatkan

masyarakat-masyarakat miskin seacra penuh (ini hanya bisa tercapai kalau komunikasi

politik antara pemegang kekuasaaan dengan kelompok-kelompok dan

person-person strategis, dan masyarakat miskin tidak mengalami distorsi).

5. Pembangunan sosial dan budaya bagi masyarakat miskin (seperti

perencanaan hidup, perubahan kebiasaan hidup, peningkatan produktivitas

kerja dan kualitas kerja).

(35)

Menurut Sumodiningrat seperti yang dikutip oleh Abipraja (2002:68)

pelaksanaan program-program pemberdayaan masyarakat bertujuan mencapai

keberhasilan dalam:

1. Mengurangi jumlah penduduk miskin.

2. Mengembangkan usaha peningkatkan pendapatan yang dilakukan oleh

penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

3. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan

kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya.

4. Meningkatkan kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin

berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya

permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok, serta

makin lausnya interaksi kelompok dengan kelompok lain di dalam

masyarakat.

5. Meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang

diatndai oleh peningkatan keluarga miskin yang mampu memenuhi

kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya.

2.2.2.3. Model Pemberdayaan Masyarakat

Menurut kamus bahasa Indonesia, model memiliki arti contoh, pola,

acuan, ragam, dan sebagainya. Sementara itu, pengertian pemberdayaan adalah

peningkatan kemampuan dan kemandirian sehingga orang atau lembaga tersebut

mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Dengan

(36)

contoh, pola acuan, ragam, macam upaya peningkatan kemampuan dan

kemandirian sehingga orang atau lembaga yang bersangkutan mampu

mengembangkan kemampuannya secara optimal. (Surjono, Nugroho, 2008:29)

Menurut Surjono dan Nugroho (2008:29) ada 6 (enam) model

pemberdayaan masyarakat, antara lain :

a. Model People Centre Development.

Model ini mencoba mengangkat martabat manusia sebagai mana mestinya

sebagai makhluk yang memiliki harga diri, kemampuan inteleggenci,

perasaan. Manusia tidak dapat disamakan dengan alat produksi untuk

melipatgandaan hasil semata, melainkan manusia hendaknya dihargai dan

dihormati. Dengan meningkatkan sualitas SDM maka akan menempatkan

manusia pada martabat yang lebih baik.

Contoh program yang menerapkan model ini antara lain : Inpres Desa

Tertinggal (IDT), Proyek Kawasan Terpadu (PKT), Proyek peningkatan

petani dan nelayan kecil (P4K), Jaringan Pengaman Sosial (JPS) Batuan

Beras untuk Orang Miskin (RASKIN), Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Program-program tersebut dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan dan

membantu masyarakat agar bisa keluar dari perangkap kemiskinan.

b. Model Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse

Nurkse mensinyalir bahwa “ a poor country is poor because it is poor”

(negara miskin itu miskin karena dia miskin). Selanjutnya dijelaskan bahwa

kemiskinan itu merupakan suatu lingkaran yang disebutnya dengan

(37)

adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, kurangnya modal

menyebabkan rendahnya prouktivitas. Rendahnya produktivitas

mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya

pendapatan akan berimplikasipada rendahnya tabungan dan investasi.

Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan, dan seterusnya.

Logika berpikir tersebut dikemukakan oleh Ragnar Nurkse, ekonom

pembangunan ternama tahun 1953.

Oleh karena itu, setiap usaha memerangi kemiskinan seharusnya diarahkan

untuk memotong lingkaran dan perangkap kemiskinan ini.

c. Model Kemitraan.

Kemitraan dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:

1. Kemitraan semu, yaitu sebuah persekutuan yang terjadi antara 2 pihak

atau lebih, namun sesungguhnya kerjasama tersebut tidak seimbang satu

dengan yang lainnya. Bahkan satu pihak belum tentu memahami secara

benar akan makna sebuah persekutuan yang dilakukan, atau untuk tujuan

apa semua dilakukan atau disepakati.

2. Kemitraan mutualistis, yaitu persekutuan dua pihak tau lebih yang

sama-sama menyadari aspek pentingnya melakukan kemitraan, yaitu untuk

saling memberikan manfaat dan mendapatkan manfaat lebih sehingga

akan dapat mencapai tujuan secara lebih optimal.

3. Kemitraan konjugasi, yaitu kemitraan yang dianalogikan dari kehidupan

paramecium. Dua paramecium melakukan konjugasi untuk mendapatkan

(38)

pembelahan diri, dua pihak atau lebih dapat melakukan konjugasi dalam

rangka meningkatkan kemampuan masing-masing.

d. Model Grameen Bank.

Model kerja dari Graamen Bank adalah sebagai berikut. Sebuah unit bank

dipimpin oleh manajer lapangan dan sejumlah pekerja yang mencakup area

layanan sekitar 15-20 desa. Manajer dan karyawan datang ke desa untuk

memperkenalkan mereka dan mengenalkan program bank pada masyarakat.

Gramen Bank mempunyai 2.247 cabang dan memberikan pelayanan di

72.096 desa. Mereka juga menerangkan tujuan, fungsi, dan model kerja

bank ke masyarakat daerah. Gramen Bank memberikan kredit kepada

masyarakat tanpa agunan dan mencip[takan sistem perbankan yang berbasis

pada kesalingpercayaan, akuntabilitas, partisipasi, dan kreatifitas. Pada

langkahg pertama, dua orang dari kelompok yang menerima pinjaman,

kelompok akan dipantau selama satu bulan apakah anggota kelompok

mengikuti aturan bank. Jika kedua orang mengembalikan pinjaman dengan

bunganya selama periode 50 minggu maka anggota lain baru dapat

meminjam dana tersebut. Batasan ini menyebabkan anggota lain agar segera

mengembalikan dalam jangka waktu tertentu. Ini membuat rasa tanggung

jawab bersama dalam kelompok seperti sebuah jaminan dari pinjaman.

Di Grameen Bank, kredit merupakan senjata yang efektif memerangi

kemiskinan dan memicu kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin yang

(39)

e. Model Sri Mahila SEWA Sahakari Bank.

Model lain diterapkan oleh Sri Mahila SEWA Sahakari Bank yakni lembaga

keuangan yang memberikan akses keuangan terhadap wanita-wanita yang

lemah/miskin. Peminjaman hanya untuk kegiatan ekonomi bukan untuk

keperluan pribadi. Bank mempekerjakan dan mendorong wanita-wanita

tersebut untuk menyelamatkan kehidupan mereka dengan menabung melalui

bank tersebut. Modal pinjaman terbagi dalam tiga peruntukan, yakni modal

kerja untuk membeli perkakas perdagangan, pembuatan rumah, atau

pembukaan toko atau pekerjaan. Perioritas pertama diberikan untuk

melunaskan kredit ke wanita-wanita berutang sehingga mereka dapat

melepaskan diri dari lilitan utang.

f. Model Sistem Kelompok Tanggung Renteng.

Model ini banyak diadopsi oleh para pengelola koperasi di Indonesia,

khususnya pengelola koperasi simpan pinjamyang pada dasarnya merupakan

upaya penguatan kelompok dalam berinteraksi antara manusia. Sistem

kelompok tanggung renteng dapat dikelaskan melalui uraian berikut:

1. Hakikat sistem tanggung renteng merupakan upaya memperbaiki

kualitas manusia melalui interaksi antar manusia.

2. Kelompok tanggung renteng merupakan suatu sistem yang berfungsi

sebagai sarana pendewasaan manusia melalui interaksi antarmanusia

dalam kelompok menuju manusia berkualitas.

3. Nilai-nilai kelompok tanggung renteng mengembangkan nilai-nilai

(40)

2.2.2.4. Pendekatan Pemberdayaan.

Menurut Soegijono dll. Yang dikutip oleh Surjono dan Nugroho (2008:26)

menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat

miskin , yakni :

1. Pendekatan yang terarah artinya pemberdayaan masyarakat harus terarah

dan berpihak kepada orang miskin .

2. Pendekatan Kelompok, artinya secara bersama-sama untuk memudahkan

pemecahan masalah yang dihadapai.

3. Pendekatan Pendampingan artinya dilakukan selama proses

pembentukan dan penyelenggaraan kelompok masyarakat miskin perlu

didampingi yang profesional sebagai fasilitator, komunikator, dan

dinamisator terhadap kelompok untuk mempercepat tercapainya

kemandirian.

2.2.2.5. Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UKM) termasuk koperasi

memang sangat penting dan strategis dalam mengantisipasi perekonomian ke

depan terutama dalam memperkuat struktur perekonomian nasional. Adanya krisis

perekonomian nasional sangat mempengaruhi stabilitas sosial, ekonomi, dan

politik yang berdampak pada kegiatan-kegiatan besar yang makin memburuk,

usaha kecil dan menengah serta koperasi relatif masih mempertahankan kegiatan

(41)

Dari hasil survei Departemen Koperasi dan UKM (1998) diperoleh

gambaran dari 225 ribu UKM, 64,1 % telah mampu berkembang, 31,0 % berusaha

mengurangi kegiatan usaha, sedangkan 4,0 % terpaksa menghentikan kegiatannya.

Hal ini membuktikan bahwa UKM mempunyai daya bertahan yang lebih lentur.

Penting dan strategisnya kedudukan UKM dalam perekonomian nasional bukan

saja karena jumlahnya yang banyak, namun juga dalam hal penyerapan tenaga

kerja. (Surjono, Nugroho 2008:144)

Menurut Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil,

pemberdayaan usaha kecil dilakukan melalui :

a. Penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan Usaha Kecil;

b. Pembinaan dan pengembangan Usaha Kecil serta kemitraan usaha.

2.2.3. Tanggung Jawab Sosial / Corporate Social Responsibility (CSR)

Sebagai sebuah konsep, Corporate Social Responsibility (CSR) mempunyai definisi dalam beberapa versi karena implementasi yang

dilakukan oleh perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya

berbeda-beda.

(42)

meningkatkan kesejahteraan komunitas dan berkontribusi kepada sumberdaya

perusahaan).

Menurut versi Bank Dunia dalam Laksiani (2008:45) definisi

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah “CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development” (CSR adalah komitmen bisnis sebagai kontribusi untuk keberlanjutan perkembangan ekonomi yang bekerja sama dengan pekerja,

perwakilan mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk memperbaiki

kualitas hidup, dimana keduanya baik untuk bisnis maupun pengembangan).

Menurut Bank Dunia, tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari

beberapa komponen utama, yaitu: perlindungan lingkungan, jaminan kerja,

hak asasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat,

standart usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan

kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.

Sedangkan menurut Petkoski dan Twose (2003) mendefinisikan CSR

sebagai komitmen bisnis yang berperan untuk mendukung pembangunan

ekonomi, bekerjasama dengan karyawan dan keluarganya, masyarakat lokal

dan masyarakat luas, untuk meningkatkan mutu hidup mereka dengan

berbagai cara yang menguntungkan bagi bisnis dan pembangunan.

Sejauh ini definisi yang banyak digunakan adalah pemikiran

(43)

€Laksiani (2008:45) CSR adalah adanya segitiga dalam kehidupan

stakeholders yang mesti diperhatikan korporasi di tengah usahanya mencari

keuntungan, yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial, yang kemudian

diilustrasikan dalam bentuk segitiga.

Dapat disimpulkan dari pengertian-pengertian diatas bahwa CSR

adalah suatu bentuk komitmen perusahaan untuk meningkatkan kualitas dan

mutu kehidupan bagi karyawan perusahaan dan masyarakat lingkungan

sekitar perusahaan maupun masyarakakat luas.

2.2.3.1. Model dan Imlementasi Corporate Social Responsibility (CSR)

Model CSR yang umum diterapkan oleh perusahaan-perusahaan di

Indonesia (Said dan Abidin,2004) sebagai berikut:

a. Keterlibatan langsung

Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan

menyelenggarakan sendiri kegiatan social atau menyerahkan

sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.

b. Melalui yayasan atau organisasi sosial milik perusahaan

Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau

groupnya. Disini perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau

dana abadi yang dapat digunakan untuk operasional yayasan.

c. Bermitra dengan pihak lain

Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan

(44)

atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam

melaksanakan kegiatan sosialnya.

d. Mendukung atau bergabung dengan konsorium

Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu

lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.

Menurut Sedyono (2004), model CSR membagi kewajiban

perusahaan menjadi empat jenis tanggungjawab atau yang dikenal dengan

“Model Empat Sisi”, yaitu adanya empat tanggungjawab perusahaan yang

bersifat ekonomis, artinya memperoleh laba bagi pemegang sahamnya; legal,

mematuhi peraturan dan hukum (berhubungan dengan lingkungan, dan

sebagainya). Selain kewajiban ekonomis dan legal, ada kewajiban-kewajiban

lain terhadap stakeholders di luar pemegang saham, yaitu ethical dimana

perusahaan harus memnuhi kaidah-kaidah normatif. Seperti berlaku fair,

transparan, tidak membeda-bedakan ras dan gender, dan tidak korupsi. Model

tanggung jawab selanjutnya bersifat discretionary, yaitu tanggung jawab yang

sebenarnya tidak harus dilakukan, tetapi atas kemauan sendiri misalnya

pemberian beasiswa.

Sedangakan menurut Harahap (2002), keterlibatan sosial yang

dilakukan oleh perusahaan berdasarkan keadaan di negara Indonesia, yaitu:

1) Lingkungan hidup, antara lain: pengawasan terhadap efek polusi,

(45)

polusi suara, penggunaan tanah, pengelolaan sampah dan air limbah,

riset dan pengembangan lingkungan, kerjasama dengan energi.

2) Sumber daya manusia dan pendidikan, antara lain: keamanan dan

kesehatan karyawan, pendidikan karyawan, kebutuhan keluarga dan

rekreasi karyawan, menambah dan memperluas hak-hak karyawan,

dsb.

3) Praktek bisnis yang jujur, antara lain: memperhatikan hak-hak

karyawan wanita, jujur dalam iklan, kredit, service, produk, jaminan,

mengontrol kualitas produk, pemerintah, universitas, dan

pembangunan lokasi rekreasi.

4) Membantu masyarakat lingkungan, antara lain: memanfaatkan tenaga

ahli perusahaan dalam mengatasi masalah sosial di lingkungannya,

tidak campur tangan dalam struktur masyarakat, membangun klinik

kesehatan, sekolah, rumah ibadah, dsb.

5) Kegiatan seni dan kebudayaan, antara lain: membantu lembaga seni

dan budaya, sponsor kegiatan seni dan budaya, penggunaan seni dan

budaya dalam iklan, dsb.

6) Hubungan dengan pemegang saham, antara lain: sifat keterbukaan

direksi pada semua persero, peningkatan pengungkapan informasi

dalam laporan keuangan, pengungkapan keterlibatan perusahaan

dalam kegiatan sosial.

7) Hubungan dengan pemerintah, antara lain: menaati peraturan

(46)

politik perusahaan, membantu lembaga pemerintah sesuai dengan

kemampuan perusahaan, membantu secara umum peningkatan

kesejahteraan social masyarakat, dsb.

Menurut Solihin (2009:145) dalam implementasi program CSR yang

baik diperlukan beberapa kondisi, yaitu:

a. Kondisi pertama, implementasi CSR memperoleh persetujuan dan

dukungan dari pihak yang terlibat.

b. Kondisi kedua adalah ditetapkannya pola hubungan (relationship)

diantara piha-pihak yang terlibat secara jelas. Hal ini akan

meningkatkan kualitas koordinasi pelaksanaan program CSR.

c. Kondisi Ketiga adalah adanya pengelolaan program yang baik yang

dapat diwujudkan bila adanya kejelasan tujuan program, mendapat

dukungan terhadap program yang tengah dijalnkan dari pihak-pihak

yang terlibat, terdapat kejelasan mengenai durasi waktu pelaksanaan

program serta siapa yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan

program.

2.2.3.2. Program yang Dijalankan Perusahaan dalam Corporate Social Responsibility (CSR)

Menurut Pambudi (2005), program-program CSR yang dijalankan

perusahaan meliputi:

a. Program-program bidang sosial, antara lain: pelayanan dan kampanye

(47)

sekolah, sumbangan sosial untuk bencana alam, sekolah binaan serta

pendidikan dan pelatihan teknologi informasi.

b. Program-program bidang ekonomi, antara lain: pemberdayaan dan

pembinaan UKM dan pengusaha, kemitraan dalam penyediaan

kebutuhan dan bahan baku produksi, kredit pembiayaan dan bantuan

modal untuk pengembangan usaha, pengembangan agrobisnis, serta

pemberdayaan dan pengembangan tenaga kerja lokal.

c. Program-program bidang lingkungan adalah pembinaan dan kampanye

lingkungan hidup, pengelolaan fisik agar lebih asri, pengelolaan

limbah, pembangunan sarana air bersih, penanaman pohon atau

penghijauan dan pertanian anorganik.

Program-program CSR ini biasanya dijalankan dalam waktu yang

berbeda-beda sesuai dengan perusahaann masing-masing: kurang dari 1

tahun, 1-2 tahun, 3-5 tahun, 6-7 tahun, 8--10 tahun serta lebih daari 11 tahun.

Menurut Gurvy Kavei dalam Laksiani (2008:45), CSR dipraktekkan

dalam tiga wilayah atau area antara lain: di tempat kerja; seperti aspek

keselamatan kerja, pengembangan skill karyawan dan kepemilikan saham. Di

komunitas; antara lain dengan memberikan beasiswa dan pemberdayaan

ekonomi terhadap lingkungan, antara lain pelestarian lingkungan dan pross

produksi yang ramah lingkungan.

(48)

2.2.4 Program Kemitraan Antara Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil

Dalam ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun

1997 tentang Kemitraan terutama dalam Ketentuan Umum Pasal 1

menyatakan bahwa Kemitraan adalah kerjasama usaha antara Usaha Kecil

dengan Usaha Menengah dan atau dengan Usaha Besar dengan

memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling

menguntungkan.

Dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

dalam Ketentuan Umum Pasal 1 menyatakan bahwa Usaha Kecil adalah

kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria

kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

No. PER-05/MBU/2007 menjelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN

dengan Usaha Kecil yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah

program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh

dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.

Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara

No. PER-05/MBU/2007 menjelaskan bahwa BUMN mempunyai kewajiban

antara lain :

(49)

b. Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pelaksanaan

Program Kemitraan dan Program BL yang dituangkan dalam Surat

Keputusan Direksi.

c. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Program Kemitraan

dan Program BL.

d. Melakukan evaluasi dan seleksi atas kelayakan usaha dan menetapkan

calon Mitra Binaan secara langsung.

e. Menyiapkan dan menyalurkan dana Program Kemitraan kepada Mitra

Binaan dan dana Program BL kepada masyarakat.

f. Melakukan pemantauan dan pembinaan terhadap Mitra Binaan.

g. Mengadministrasikan kegiatan pembinaan.

h. Melakukan pembukuan atas Program Kemitraan dan Program BL

i. Menyampaikan laporan pelaksanaan Program Kemitraan dan Program

BL yang meliputi laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan

kepada Menteri.

j. Menyampaikan laporan berkala baik triwulanan maupun tahunan

kepada Koordinator BUMN Pembina di wilayah masing-masing.

Dalam Surat Keputusan tersebut juga menjelaskan bahwa Dana

Program Kemitraan bersumber dari :

a. Penyisihan laba setelah pajak sebesar 1% (satu persen) sampai dengan

3% (tiga persen);

b. Hasil bunga pinjaman, bunga deposito dan atau jasa giro dari dana

(50)

c. Pelimpahan dana Program Kemitraan dari BUMN lain, jika ada

Program Kemitraan dan Bina Lingkugan (PKBL) menyalurkan dana program kemitraan dalam bentuk :

a. Pinjaman untuk membiayai modal kerja dan atau pembelian aktiva tetap

dalam rangka meningkatkan produksi dan penjualan b. Pinjaman khusus :

1) Untuk membiayai kebutuhan dana pelaksanaan kegiatan usaha Mitra Binaan yang bersifat jangka pendek dalam rangka memenuhi

pesanan dari rekanan usaha Mitra Binaan;

2) Perjanjian pinjaman dilaksanakan antara 3 (tiga) pihak yaitu BUMN Pembina, Mitra Binaan dan rekanan usaha Mitra Binaan dengan kondisi yang ditetapkan oleh BUMN Pembina.

c. Beban Pembinaan.

1) Untuk membiayai pendidikan, pelatihan, pemagangan, pemasaran,

promosi, dan hal-hal lain yang menyangkut peningkatan

produktivitas Mitra Binaan serta untuk pengkajian/penelitian;

2) Beban Pembinaan bersifat Hibah dan besarnya ditetapkan

maksimal 20% (duapuluh persen) dari dana Program Kemitraan

yang disalurkan pada tahun berjalan.

3) Beban Pembinaan hanya dapat diberikan kepada atau untuk

(51)

2.2.4.1. Usaha Kecil yang tangguh dan Mandiri (Berdaya).

Menurut Prawirokusumo (2001:78) secara umum UKM yang tangguh dan

mandiri memiliki karakteristik sebagai berikut :

a. Fleksibel.

b. Permodalan tidak bergantung pada modal dari luar, berkembang

dengan modal kekuatan sendiri.

c. Dalam pinjaman, UKM sanggup mengembalikan dengan bunga yang

cukup tinggi.

d. UKM tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai kegiatan usaha

merupakan sarana distributor barang dan jasa dalam rangka melayani

kebutuhan masyarakat.

2.2.4.2. Prinsip-Prinsip Program Kemitraan

Menurut Marrioti dalam Hafsah (1999:51) berkaitan dengan pengertian

kemitraan menurut ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997

tentang Kemitraan terutama dalam Ketentuan Umum Pasal 1 seperti yang telah

disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang

merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling

memperkuat dan saling memerlukan yaitu :

a. Prinsip Saling menguntungkan

(52)

yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar

yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha

terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan

antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai

adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disinilah letak

kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut.

b. Prinsip saling memperkuat

Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai untuk

bekerjasama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh

masing-masing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan

dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan,

perluasan pangsa pasar, tetapi juga ada nilai tambah yang non ekonomi

seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan

kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan

alamiahdari adanya kemitraan. Keinginan tersebut harus didasari sampai

sejauh mana kemampuan untuk memanfaatkan keinginan tersebut dan

untuk memperkuat keunggulan-keunggulan yang dimilikinya, sehingga

dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra

sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikiaan

terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan

masing-masing pihak yang bermitra. Dengan motivasi ekonomi tersebut maka

(53)

c. Prinsip Saling Memerlukan

Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat

menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan

tenaga kerja yang dimiliki oleh perusahaan yang kecil. Sebaliknya

perusahaan yang lebih kecil, yang umumnya relatif lemah dalam hal

kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui teknologi

dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan

demikian sebenarnya ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara

kedua belah pihak yang bermitra.

2.2.4.3. Pola Program Kemitraan

Dalam rangka merealisasikan kemitraan sebagai wujud dari keterkaitan

usaha, maka diselenggarakan melalui pola-pola yang sesuai dengan sifat dan

tujuan usaha yang dimitrakan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1997

tentang Usaha kecil pasal 27 adalah sebagai berikut:

a. Inti Plasma

Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha

besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan ini

melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana produksi,

bimbingan teknis sampai dengan pemasaran hasil produksi.

(54)

Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha kecil memproduksi

komponen yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar sebagai

bagian dari produksinya.

c. Dagang Umum

Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha

menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha

besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok

kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar

mitranya.

d. Waralaba

Adalah hubungan kemitraan yang didalamnya pemberi waralaba

memberikan hak penggunaan lisensi, merk dagang saluran distribusi

perusahaannya kepada penerima waralaba dengan disertai bantuan

bimbingan manajemen.

e. Keagenan dan

Adalah hubungan kemitraan yang di dalamnya usaha kecil diberi

hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha menengah atau

usaha besar mitranya.

f. Bentuk-bentuk lain

Adalah pola kemitraan yang pada saat ini sudah berkembang tetapi

bekum dibakukan, atau pola baru yang akan timbul di masa yang akan

(55)

2.3. Kerangka Berpikir

Kerangka berfikir merupakan bagian dari penelitian yang menggambarkan

alur peneliti dalam memberikan penjelasan kepada orang lain. Untuk lebih

jelasnya akan disajikan dalam gambar berikut:

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha

Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL)

Penerapan CSR pada Telkom CDC Surabaya Timur

Menjadikan Usaha Kecil Tangguh dan Mandiri Program Kemitraan

Meliputi 2 bentuk, yaitu: 1. Bantuan pinjaman dana 2. Hibah (Pembinaan)

a. Kejelasan dan dukungan dari program Kemitraan.

b. Prosedur dan syarat Program Kemitraan

(56)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

deskriptif, yang mencoba menggambarkan secara mendalam suatu obyek

penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan maksud ingin

memperoleh gambaran yang komprehensif dan mendalam tentang Program

Kemitraan PT. Telkom khusunya PT. Telkom Surabaya Timur. Secara teoritis,

menurut Bagdan dan Taylor (dalam Moleong, 2004:4), penelitian kualitatif

sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Prosedur penelitian ini diarahkan pada situasi dan individu secara utuh

sebagai obyek penelitian sebagaimana dinyatakan Moleong (2004:4) bahwa

pendekatan kualitatif diarahkan pada situasi dan invidu tersebut secara holistic

(utuh) dalam hal peneliti tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke

dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai suatu keutuhan.

Sejalan dengan definisi tersebut, Kirk dan Miller mengungkapkan, bahwa

penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam

Gambar

Tabel 1. Segmentasi Kemitraan di CDC Surabaya Timur
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Gambar 2. Analisis Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman
TABEL II PENYALURAN DANA PERSEGMENTASI
+6

Referensi

Dokumen terkait