• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I: PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi, maka secara garis besar sistematikanya terdiri atas :

Bab I Pendahuluan

Diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan mengenai pengertian pembuktian, alat bukti keterangan ahli, putusan dan jenis putusan serta pengertian dan ruang

lingkup tindak pidana lingkungan hidup, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Berlatar belakang kepada pengaruh alat bukti keterangan ahli yang dihadirkan di sidang pengadilan dihubungkan dengan sifat keyakinan hakim yang subjektif pada diri seorang hakim yang karena profesinya memiliki kewenangan untuk memutus sidang perkata tindak pidana lingkungan hidup.

Bab II Peran Keterangan Ahli Dalam Pembuktian Tindak Pidana

Diuraikan tentang teori dan sistem pembuktian pada umumnya, sistem pembuktian yang dianut di Indonesia pada khususnya, perbandingan sistem pembuktian menurut hukum acara pidana di indonesia dengan di negara lain, kedudukan keterangan ahli dalam upaya pembuktian tindak pidana.

Bab IIIKedudukan Keterangan Ahli Terhadap Keyakinan Hakim Dalam Upaya Pembuktian Pada Putusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup

Diuraikan tentang alat bukti dalam pembuktian tindak pidana lingkungan hidup, klasifikasi ahli, hal-hal yang mempengaruhi keyakinan hakim dalam membuat putusan, peran ahli yang mempengaruhi keyakinan hakim pada putusan tindak pidana lingkungan hidup dalam rangka penegakan hukum lingkungan serta penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam pembuktian tindak pidana lingkungan hidup terhadap beberapa putusan hakim

Bab IV Kesimpulan dan Saran

Diuraikan mengenai kesimpulan dan saran dari penulisan skripsi.

BAB II

KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA

2.1 Sistem atau Teori Pembuktian

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa proses peradilan tanpa hukum materiil akan lumpuh, tetapi sebaliknya tanpa hukum formal akan liar dan bertindak semaunya.70 Hukum pidana materiil haruslah mendapat dukungan penuh dari hukum acara pidana, apabila tidak didukung maka hukum materiil akan menjadi tidak berdaya, begitu pula jika hukum acara pidana tersebut diterapkan tanpa adanya hukum materiil akan menjadi tidak berdasar penerapannya. Oleh karena itu antara hukum pidana materiil dan hukum pidana formil/hukum acara pidana dikonotasikan seperti layaknya simbiosis mutualisme.71

70 Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, Pasca Reformasi, BIP, Gramedia, hlm. 511.

71 Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Teoritis dan Praktik, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 4.

Tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan, dan menggali kebenaran materiil/materieele waarheid atau kebenaran yang

sesungguhnya atau kebenaran yang hakiki.72Karena konsekuensi demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya kebenaran formal/formeele waarheid yang semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum.73 Jika hakim telah dapat menetapkan prihal adanya kebenaran melalui proses hukum acara pidana, maka aspek ini merupakan pembuktian tentang suatu hal dengan tujuan mengetahui bagaimana cara meletakkan suatu hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diadilinya. Adapun dimensi pembuktian melalui hukum pembuktian meliputi:74

a. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau (opsomming van bewijsmiddelen)75

b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan (bewijsvoering)

;

76

72 Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan (lihat Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia:

Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya, Op. Cit., hlm. 6)

73Menurut R. Wirjono Projodikoro kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau.Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran atas keadaan-keadaan itu. Oleh karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputar balikkan lagi, maka kepastian seratus persen, bahwa apa yang diyakini oleh hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenaran, tidak mungkin dicapai maka acara pidana sebetulnya hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dan kebenaran sejati. Untuk mendapaykan keyakinan hakim, maka membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu. (Lihat

74Ibid., hlm. 119.

75Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm 17). Dalam hukum acara pidana di Indonesia, alat bukti yang diakui di pengadilan berdasarkan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah :

;

1. Keterangan saksi;

2. Keterangan ahli;

3. Surat;

4. Petunjuk;

5. Keterangan terdakwa

c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti itu (bewijskracht der bewijsmiddelen).77

Sebelum dunia ilmu hukum mengenal sistem dan metode pembuktian modern, dalam sejarah hukum dikenal sistem pembuktian sebagai berikut:78

Sistem pembuktian ini muncul dalam bentuk pembuktian dengan siksaan (ordeal), dimana Tuhan/roh nenek moyang dianggap akan membantu pihak yang tidak bersalah dari kesakitan/bahaya fisik atas siksaan yang diberikan kepada seorang tersangka. Model siksaan ini ada berbagai macam, termasuk model siksaan dengan memakai api yang menyala, besi panas, air panas, air dingin.

Model pembuktian dengan memakai tangan Tuhan juga muncul dalam wujud 1) Sistem pembuktian bebas

Dalam hal ini tidak diadakannya pembatasan, baik terhadap metode pembuktian maupun jenis alat buktinya, tetapi dibebaskan kepada para pihak untuk membuktikannya dan diserahkan kepada hakim untuk menilainya.Konon sistem pembuktian ini dikenal di berbagai suku bangsa di Eropa, Afrika dan India.

2) Sistem pembuktian dengan memakai ‘tangan tuhan’

76 Secara harfiah Bewijsvoering diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi negara-negara cederung menggunakan due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asai manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali seseorang tersangka di bebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan lantaran alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut denga istilah unlawful legal evidence. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat fornalistis.

Konsekuensi selanjutnya sering kali mengesampingkan kebenaran dari fakta yang ada (Ibid.,hlm 20).

77Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim, hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lainnya. Dalam hukum acara pidana kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya sama, tidak ada satu melebihi yang lain. Tegasnya alat bukti dalam dalam hukum acara pidana tidak mengenai hierarki, hanya saja ada ketentuan yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain. Oleh karena itu dalam hukum acaa pidana terdapat bukti yang bersifat sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain (Ibid.,hlm 26).

78 DR. Munir Fuady, SH., M.H., LL.M. 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 13-14.

penggunaan alat bukti sumpah dengan nama Tuhan. Pembuktian dengan siksaan ini lebih banyak terjadi di negara-negara yang menganut hukum Anglo Saxion, seperti Inggris. Di negara-negara Eropa seperti Inggris dan Jerman, ketika kepercayaan masyarakat terhadap model-model pembuktian dengan siksaan mulai luntur, ajaran Kristen mengambil alih model-model pembuktian tersebut sehingga, pada saat itu banyak pembuktian dengan siksaan dilakukan atas nama gereja dengan upacara kegerejaan. Oleh karena itu sekitar tahun 400 Masehi gereja di beberapa negara di Eropa Barat resmi mengambil alih model-model pembuktian dengan siksaan tersebut. Dalam perkembangannya di Inggris pada tahun 777 Masehi, di bawah Raja Charlemagne, telah dibatasi penggunaan pembuktian dengan siksaan hanya untuk kasus-kasus tertentu, kemudian sampai berlaku sampai beratus-ratus tahun selanjutnya, sampai kemudian para pembuat undang-undang dalam kekuasaan kepausan, yaitu the Fourth Council of Lateran di bawah kekuasaan Paus Innocent III, pada tahun 1215 Masehi melarang penggunaan model pembuktian dengan siksaan dalam lingkungan gereja, dan menggantikannya dengan model-model pembuktian yang lebih efisien dan rasional, seperti pembuktian dengan pemeriksaan saksi dan pengadilan dengan sistem juri. Kebijaksanaan Paus Innocent III tersebut diikuti oleh otoritas-otoritas sekuler, seperti di Inggris, di mana Raja Henry III, pada tahun 1219 Masehi melarang penggunaan segala model pembuktian dengan siksaan.Hanya saja saat ini jiwa dari ordeal itu yaitu pembuktian dengan bantuan magis atau agama masih tersisa di berbagai sistem hukum modern.Sebagai contoh sumpah pemutus sebagai alat bukti yang masih di anut di berbagai negara termasuk Indonesia.Dalam arti,

barang siapa yang berani bersumpah, dia dianggap sebagai pihak yang terbukti benar.Jika nyatanya dia tidak benar, berarti dia telah mengangkat sumpah yang tidak benar sehingga siderahkan kepada Tuhan untuk diberikan kutukan.

Seiring perkembangan zaman terjadi evolusi hukum pembuktian tradisional menuju pembuktian modern yang dianut saat ini, terdapat tiga sistem atau teori mengenai pembuuktian antara lain:

1) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (postief wettelijke bewijs theorie).

Menurut teori ini, sistem pembuktian positif tergantung pada alat-alat bukti sebagaimana disebut limitatif dalam undang-undang. Dikatakan positif, karena didasarkan kepada undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.79Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (fromale bewijstheorie).80

Menurut teori ini, hakim dapat menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan hakim belaka, dengan tidak terikat oleh suatu perturan (bloot gemoedelijke overtuiging).Didasarkan kepada keyakinan hati nurani hakim untuk menetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan, dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat 2) Sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime/conviction raisonce).

79 Menurut Simon, teori pembuktian ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. (Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 251).

80Ibid.

bukti dalam undang-undang.Karena disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak membuktikan kebenaran, pengakuan pun tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.oleh karena itu diperlukan keyakinan hakim sendiri. Dengan demikian, putusan hakim di sini tampak timbul nuansa subjektif, penerapan sistem pembuktian conviction intime mempunyai bias subjektif yaitu:

“Sistem pembuktian conviction intime menentukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata ditentuka oleh penilaian ‘keyakinan’ hakim.

Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.

Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan.Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.Sistem pembuktian conviction intime ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas ‘dasar keyakinan’ belaka tanpa didukung alat-alat bukti yang cukup, sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim.Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa ‘tidak terbukti’ berdasar alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah semata-mata atas ‘dasar keyakinan’ hakim.Keyakinan hakimlah yang ‘dominan’ atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa.Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata.Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini”.81

Dalam perkembangan lebih lanjut sistem pembuktian berdasarkan

‘keyakinan hakim’ mempunyai dua bentuk polarisasi, yaitu conviction intime dan

81 Yahya Harahap, 2009, Op.Cit.,, hlm. 277.

conviction raisonce.82 Pada sistem pembuktian conviction raisonce keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menentukan tentang kesalahan terdakwa, tetapi penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam artian keyakinan hakim ‘dibatasi’ dengan harus didukung oleh ‘alasan-alasan yang jelas dan rasional’ dalam mengambil keputusan.83

“Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan.Yang pertama yang tersebut di atas, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (conviction raisonce) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasar undang-undang (negatief wettelijke bewijs theorie). Persamaan diantara keduanya ialah keduanya sama berdasarkan keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya adalah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak berdasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang ia pergunakan.

Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaannya ada dua yaitu yang pertama pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada ketentuan undang-undang.

Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah konklusi yang tidak didasarkan pada undang-undang, sedangkan pada yang kedua didasarkan pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitative”.

Sebenarnya sistem pembuktian conviction raisonce mirip dengan sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie).Andi Hamzah menyebutkan bahwa:

84

82 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 121.

83Ibid., hlm. 122.

84 Andi Hamzah,Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit.,, hlm 253-254.

3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)

Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut.85 Untuk menentukan terdakwa bersalah atau tidak menurut teori ini terdapat dua komponen yaitu:86

i. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang;

ii. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Yahya Harahap menyatakan bahwa:

“Sistem ini memadukan unsur-unsur subjektif dan objektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa.Tidak ada yang dominan di antara kedua unsur tersebut.Karena kalau salah satu unsur di antara kedua unsur tersebut tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa jelas cukup terbukti, hakim sendiri tidak yakin akan kesalahan terdakwa yang sudah terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakaan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan, tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut tata cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah.Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.”87

85 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 123.

86 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 279

87Ibid.

2.2 Sistem Pembuktian Hukum Acara Pidana Asing

2.2.1 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Amerika Serikat

Sistem hukum acara pidana, dikenal sebagai adversary system.88Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan dimana pihak-pihak yang berseberangan tersebut mengajukan bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya.89 Sistem hukum Amerika berasumsi bahwa kebenaran akan muncul melalui pertentangan antara pihak-pihak yang berseberangan yang memberikan intrepretasi berlawanan terhadap bukti-bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta.90

Dalam adversary system dikenal adanya due process of law yang diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar

Dalam menangani perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang mewakili korban dan kepeentingan masyarakat dan tergugat adalah tertuduh.Si teretuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense attorney).Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak biasanya diwakili oleh para juri, serta pihak yang bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak ialah hakim.Hakim bertugas sebagai penemu kebenaaran atas fakta yang diajukan dalam persidangan.

88 Adversary system dimaksudkan: “a system which arrives at a decision by (1) having each side to dispute present its best case and (2) then permitting a neutral decision-maker to determine the facts and apply the law in light of the opposing presentations of two sides”. Adversay system atau dikenal sebagai accusatorial system mempunyai ciri adanya perlindungan terhadap hak asasi seseorang (tertuduh) yang dilandaskan pada klausula due process of law sebagaimana yang secara tegas telah dicantumkan dalam konstitusi Amerika serikat sebagai berikut: “... No State shall make or enforce any law which shall abridge the privilege of immunities of citizens of the United States;

nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process og law, ...

(Lihat Romli Atmasasmita, SH.,LL.M, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, hlm. 122).

89 Dalam menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan di mana masing-masing pihak yang berperkara berada dalam posisi yang bertentangan (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 40).

90Ibid.

beracara yang berlaku universal.91Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu karena setiap prosedur dalam due process menguji dua hal, yaitu: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa adanya prosedur; (b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. Oleh karena itu, due process memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan penjatuhan hukum kepada yang tidak bersalah.92 Dalam kaitannya dengan pembuktian due process of law memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah bewijsvoering yaitu cara memperoleh, mengumpulkan dan menyampaikan alat-alat bukti sampai ke pengadilan diuraikan kepada hakim.93Tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil.94

Di negara common law seperti Amerika Serikat hukum acara pidananya (crime procedure law) menentukan alat-alat bukti yang terdiri atas:95

1. Real evidence (bukti sesungguhnya)96 2. Documentary evidence (bukti dokumenter)

;

97

3. Testimonial evidence (bukti kesaksian)

;

95 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 45 (Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 258).

96Real evidence ialah objek fisik dari sesuatu yang berkaitan dengan kejahatan. Dalam beberapa literature real evidence diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum pidana di Indonesia di sebut dengan istilah ‘barang bukti’. (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm.

55).

97Documentary evidence yaitu bukti yang meliputi tulisan tangan, surat, fotografi, transkrip rekaman dan alat bukti tertulis lainnya.

;

98Testimonial evidence atau bukti kesaksian. Bukti kesaksian ini dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (a) kesaksian atas fakta yang sesungguhnya (factual testimony) biasanya menyangkut kesaksian secara terbatas mengenai fakta-fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar atau dialami, dan dia

4. Judicial evidence (pengamatan hakim).

Real evidence yang berupa objek materiil yang meliputi tapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televise dll.

Benda-benda Real evidence ini berwujud, biasanya disebut alat bukti yang bebicara untuk diri sendiri (speak for it self). Bukti ini dipandang paling bernilai daripada jenis bukti yang lain karenanya, alat bukti ini disebut sebagai “Res Ipsa Liquitor” yang artinya sebagai alat bukti yang sangat dominan menentukan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang.99Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia, pada sistem hukum continental seperti Indonesia real evidence hanyalah sebagai ‘barang bukti’ yang perlu diidentifikasikan oleh saksi ataupun terdakwa, agar barang bukti itu memiliki nilai sebagai alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, karena itulah barang bukti berupa objek materiil ini tidak akan bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (terdakwa).100

Tidak disebut kesaksian ahli dan keterangan terdakwa sebagai alat bukti

Tidak disebut kesaksian ahli dan keterangan terdakwa sebagai alat bukti

Dokumen terkait