• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP SKRIPSI"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

PUTRI RUMONDANG SIAGIAN 120200064

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul:“KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP.”Skripsi ini merupakan tugas wajib mahasiswa dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Penulis telah melakukan yang terbaik dalam penyusunan skripsi ini.Namun, ‘tak ada gading yang tak retak’

penulis menyadari penyusunan skripsi ini jauh dari kata sempurna, karena masih terdapat kekurangan-kekurangan dari segi substansi maupun penggunaan kata- kata sehingga masih jauh dari kata sempurna.Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran agar kemudian skripsi ini menjadi baik adanya.

Penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada senior, guru, rival sekaligus orang tua terbaik ayahanda Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum dan ibunda Mainilini Butar-Butar, SH yang tidak pernah berhenti mendoakan penulis dalam setiap sujudnya, tidak pernah letih berusaha memberikan yang terbaik untuk penulis serta selalu mengingatkan untuk belajar keras, cerdas dan ikhlas.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.Baik berupa dorongan semangat maupun sumbangan pemikiran.

Oleh sebab itu, penulis dalam kesempatan ini ingin menyampaikan rasa terima

(3)

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang memberikan bantuan, yaitu kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Dr. OK Saidin S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan,S.H., M.H, selaku Ketua Departemen Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekertaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S., selaku Dosen Pembimbing I sekaligus ahli hukum lingkungan yang mengagumkan, yang telah bersedia membimbing, mengarahkan dan memberikan ilmunya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

8. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang begitu mengayomi dan santun dalam memberikan

bimbingan untuk menyelesaikan skripsi ini

(4)

9. Ibu Dr. Agusmidah, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing akademik yang telah membimbing dan memberikan motivasi kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan;

10. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA., yang telah banyak memberikan ilmu dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh penulis, Bapak Muhammad Hayat, SH., Bapak Muhammad Husni, SH., M.Hum.,selaku dosen sekaligus praktisi yang telah banyak memberikan pemahaman mengenai praktik beracara;

11. Seluruh Dosen dan Staff pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan mendidik Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Adik-adikku tersayang Balqis Siagian, Fitria Longgom Siagian, Fajar Hasonangan Siagian dan Safira Aini Siagian yang menjadi penyemangat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

13. Bapak Subhan Zein Siagian, SH., M.H., yang telah banyak memberikan bantuan literatur dalam penulisan skripsi ini;

14. Amalia Williani, Adillah Rahman, Nabillah Siregar, Ainul Mardiyah teman seperjuangan Penulis dari semester awal hingga maut datang menjelang. Semoga kita dapat menjadi penegak hukum yang layak;

15. Sahabat penulis sejak SMA yang dipertemukan dalam sebuah organisasi Dokter Remaja SMA Negeri 3 Medan:Dessy, Selfi, Debby, Umi, Nisa.

(5)

Semoga kita dapat melangkah beringingan sampai batas waktu yang tidak ditentukan;

16. Indah dan Saudari Rumondang Siagian yang tak hanya mempunyai kesamaan nama dengan Penulis tetapi juga pemikiran yang sama.

17. Rekan-rekan pengurus serta anggota kelompok Gemar Belajar;

18. Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (HMI Komisariat FH USU)

19. Sahabat-sahabat Penulis di Grup A FH USU 2012: Felicia, Elgina, Nadet, Eka, Silvia, dan kawan-kawan lainnya yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu;

20. Teman-teman stambuk 2012 dan teman-teman Jurusan Hukum Pidana yang tidak dapat disebutkan penulis satu-persatu.

Akhir kata penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum di Indonesia tentunya. Terima kasih.

Medan, 23 Juli 2016

Penulis,

Putri Rumondang Siagian

(6)

ABSTRAK

Putri Rumondang Siagian*

Alvi Syahrin**

Mohammad Ekaputra***

Tindak pidana lingkungan hidup dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serta merupakan kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan kehidupan dan jiwa manusia bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan di bidang ekonomi dalam arti yang luas, karena cakupan kriminalitas dan pelanggaran lingkungan lebih luas dari kejahatan kovensional lainnya.Disamping itu, besarnya pengaruh ilmu dan teknologi disertai dengan semakin majunya model analisis risiko lingkungan membawa pengaruh pada peran hakim sebagai pembentuk hukum baru. Pentingnya peran ahli untuk memberikan argumentasi kausa yang cermat secara ilmiah untuk mengukur dampak atau perusakan di bidang pidana lingkungan hidup, sehingga diperlukan usaha yang luar biasa untuk menanganinya, salah satunya melalui pembuktian, karena pembuktian yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian inilah membuat terang suatu tindak pidana.

Permasalahan yang akan dibahas mengenai kedudukan keterangan ahli dalam pembuktian tindak pidana dan tindak pidana lingkungan hidup yang mempengaruhi keyakinan hakim dalam membuat putusan tindak pidana lingkungan hidup. Metode yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif yaitu dengan mengkaji atau menganalisis norma hukum berupa bahan-bahan hukumprimer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier agar dapat menjawab setiap permasalahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti itu sama dengan saksi lainnya yaitu sebagai alat bukti yang sah menurut undang- undang sesuai Pasal 184 KUHAP. Kekuatan pembuktian seorang ahli dapat dilihat saat proses pengangkatan sumpah sebelumnya, serta keterangan seorang ahli tidak dapat menjadi alat bukti yang mutlak akan tetapi harus disertai dengan alat bukti lain dalam proses pembuktiannya. Dalam hal ini hakim mempunyai keyakinan menyertakan pertimbangan keterangan ahli atau tidak dalam pengambilan keputusan untuk mencari kebenaran materiil.Pada pembuktian perkara pidana, keterangan ahli mempunyai kekuatan pembuktian bebas dan nilai pembuktiannya tergantung kepada keyakinan hakim. Keberadaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara tindak pidana lingkungan hidup tidak bisa diabaikan begitu saja, sebagai contoh pada Putusan

Putusan Nomor: 155/Pid.Sus/2013/PN.Cms, Putusan Nomor:130/Pid.Sus/2015/PN.Blb, Keterangan ahli dibutuhkan karena jaksa penuntut

umum, penasihat hukum maupun hakim memiliki pengetahuan yang terbatas. Ada kalanya pemeriksaan perkara tindak pidana lingkungan hidup terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR……….i

ABSTRAK……….….…….v

DAFTAR ISI………...………vi

BAB I: PENDAHULUAN……….1

A. Latar Belakang………...……1

B. Perumusan Masalah………...……7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………...……...7

D. Keaslian Penulisan ……….….8

E. Tinjauan Kepustakaan……….…………...……9

1. Pengertian Pembuktian………9

2. Alat Bukti Keterangan Ahli………17

3. Putusan………20

4. Tindak Pidana Lingkungan Hidup………...……..23

F. Metode Penulisan………28

G. Sistematika Penulisan………32

BAB II: KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP……….34

2.1 Sistem atau Teori Pembuktian………...……..34

2.2 Sistem pembuktian menurut hukum acara pidana asing …….…41

2.2.1 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Amerika Serikat………41 2.2.2 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara

(8)

Pidana Belanda………..…...…46

2.3 Sistem Pembuktian Menurut KUHAP………..48

2.4 Alat-Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP………51

2.5 Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Pembuktian Tindak Pidana………...62

BAB III: KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI TERHADAP KEYAKINAN HAKIM DALAM UPAYA PEMBUKTIAN PADA PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP………...67

3.1 Pembuktian Dalam Tindak Pidana Lingkungan Hidup...……67

3.2 Kualifikasi Ahli Dalam Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan Hidup………..……..71

3.3 Peran Ahli Sebagai Alat Bukti yang Sah Dalam Pembuktian yang Mempengaruhi Keyakinan Hakim Pada Putusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup………….…..79

3.3.1 Penggunaan Alat Bukti Keterangan Ahli Oleh Hakim Dalam Beberapa Putusan Pengadilan Tindak Pidana Lingkungan Hidup………..…83

BAB IV: KESIMPULAN DAN SARAN……….92

4.1 Kesimpulan………...……92

4.2 Saran………...…..94

DAFTAR PUSTAKA………95

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggundulan hutan, lahan kritis, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global, tumpahan minyak di laut, ikan mati di anak sungai karena zat-zat kimia, punahnya spesies tertentu adalah beberapa contoh dari masalah-masalah lingkungan yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk, yaitu pencemaran lingkungan (pollution), pemanfaatan lahan secara salah (land misuse) dan pengurasan atau habisnya sumber daya alam (natural resource depeletion).1

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, sehingga akibatnya Allah menciptakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka agar mereka kembali“ (Qs. ar-Rum : 41).

Penyebab masalah lingkungan salah satunya adalah akibat ulah tangan manusia, hal ini diperjelas dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya sebagai berikut:

2

Perbuatan mencemari dan menimbulkan kerusakan lingkungan merupakan kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat membahayakan

1Jika dilihat dari perspektif hukum yang berlaku di Indonesia, masalah-masalah lingkungan hanya dikelompokkan ke dalam dua bentuk, yakni pencemaran lingkungan (environmental pollution) dan perusakan lingkungan hidup. Pembedaan masalah lingkungan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang kemudian dicabut oleh Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) lalu kembali dicabut oleh Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. (Lihat Takdir Rahmadi, 2015, Hukum Lingkungan di Indonesia Edisi Kedua, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 1).

2 M. Quraish Shihab, 2009, Tafsir Al-Misbah Volume 10, Lentera Hati, Jakarta, hlm. 236.

(10)

kehidupan dan jiwa manusia serta dapat dikategorikan sebagai kejahatan di bidang ekonomi dalam arti yang luas, karena cakupan kriminalitas dan pelanggaran lingkungan lebih luas dari kejahatan kovensional lainnya.

Dampak pencemaran lingkungan hidup mengakibatkan kerugian ekonomi negara yang luar biasa, selain juga berdampak pada rusaknya lingkungan. Data Walhi mencatat dari tahun 2001 hingga 2006 kerugian akibat pencemaran lingkungan di Sumatera mencapai 7,8 miliar dolar AS dan di Kalimantan mencapai 5,8 miliar dolar AS.3Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan potensi kerugian Negara dari kejahatan di sektor kehutanan pada tahun 2011-2012 mencapai Rp. 691 Triliun.4 Bahkan pada tahun 2013, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan 26 perusahaan pertambangan dan perkebunan yang melakukan perambahan hutan secara ilegal yang mengakibatkan kerugian negara sekitar 7,7 juta dollar AS.5

Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014 disebutkan bahwa permasalahan lingkungan hidup pada tahun 2010- 2014 masih akan dihadapkan pada pencemaran air, udara, sampah, dan limbah B3(Bahan Berbahaya dan Beracun), terutama yang bersumber dari kegiatan industri dan jasa, rumah tangga (limbah domestik), sektor transportasi. Adapun permasalahan kerusakan lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) yang saat ini pada umumnya sudah tercemar sedang hingga berat. Selain itu kerusakan

3Lihat Http:// www.walhi.or.id/wp-content/uploads/2015/01/OutLook-2015_Final diakses pada 1 Maret 2016.

4 Lihat Http:// www.antikorupsi.org/en/node/55444 diakses pada tanggal 2 Mei 2016

5 lihat Http://www.bpk.go.id/magazine/majalah-bpk diakses pada tanggal 13 Juli 2016

(11)

lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan terutama yang terkait dengan pencemaran asap lintas batas negara.6

Persoalan pencemaran lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek keilmuan yang merupakan sarana untuk menyelesaikannya.Persoalan pencemaran lingkungan dapat diselesaikan melalui aspek medik, planalogis, teknologis, teknik lingkungan, ekonomi dan hukum.7Hukum yang berfungsi sebagai sarana penyelesaian pencemaran lingkungan adalah hukum lingkungan.Hukum lingkungan adalah instrumentaris yuridis bagi pengelolaan lingkungan.8

Ketika masalah-masalah lingkungan, terutama pencemaran, telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia, maka banyak orang yang berpendapat bahwa perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan harus dipandang sebagai suatu perbuatan, yang tidak saja bertentangan dengan moral, tetapi juga layak untuk dikenakan sanksi pidana karena perbuatan itu dapat mengancam kesehatan dan jiwa manusia perorangan maupun kelompok. Diperlukannya sanksi pidana dalam penyelesaian kasus pencemaran lingkungan dilandasi dua alasan: pertama, sanksi pidana selain dimaksudkan untuk melindungi manusia dari kepentingan manusia seperti harta benda dan kesehatan, juga untuk melindungi kepentingan lingkungan karena manusia tidak dapat menikmati harta benda dan kesehatannya dengan baik apabila persyaratan dasar tentang kualitas lingkungan yang baik tidak terpenuhi, kedua,

6A’an Efendi, 2014, Hukum Lingkungan; Instrumen Ekonomik dan Pengelolaan Lingkungan Di Indonesia dan Perbandingan dengan Beberapa Negara, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5.

7 Siti Sundari Rangkuti, 2005, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional Edisi Ketiga, Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 1.

8 Koesnadi Hardjosoemantri, 1999, Hukum Tata Lingkungan Edisi Ketujuh, Gajahmada Universiy Press, Yogyakarta, hlm. 38-39.

(12)

sanksi pidana berfungsi memberi rasa takut kepada pelaku pencemaran potensial.

Kepentingan-kepentingan tersebut merupakan kepentingan yang termasuk dalam lingkup hukum pidana atau yang harus dilindungi oleh hukum pidana.

KUHP sebagai induk dari hukum pidana tidak memuat ketentuan-ketentuan yang dapat didayagunakan secara efektif terhadap pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan, maka dibuatlah Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup yang fungsinya menurut Alvi Syahrin sebagai umbrella act/provision dari undang-undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup bagi penyusunan peraturan perundang- undangan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.9

Sistem peradilan pidana sebagai salah satu cara untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat, memiliki peran yang sangat besar untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan lingkungan hidup. Tahapan pembuktian merupakan hal yang penting dalam proses peradilan pidana di Indonesia guna mencari kebenaran materiil. Dalam tahapan pembuktian tersebut, Undang-Undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup seperti Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan lain-lain.

9Alvi Syahrin, 2009, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, PT. Sofmedia, Medan, hlm.

1.

(13)

agenda sidang pembuktian mencerminkan peristiwa yang terjadi berdasarkan alat bukti yang sah. Pembuktian tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Pasal 96 UUPPLH mengenai alat bukti yang sah terdiri atas : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, dan/ atau alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam perundang-undangan. Pada tahapan pembuktian hakim dapat melihat dari alat bukti yang dihadapkan pada hakim dan hakim berhak menilai dari keterangan dan alat bukti. Pasal 180 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal jika diperlukan untuk menjernihkan persoalan yang timbul di sidang pengadilan maka hakim ketua sidang dapat meminta bantuan keterangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.

Seorang ahli yang memberikan keterangan di sidang pengadilan dapat memberikan gambaran yang berkaitan dengan keahliannya kepada majelis hakim mengenai perkara tersebut. Apalagi jika hal ini dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan putusan harus dengan dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah, sehingga ketika seorang hakim tidak mengetahui akan sesuatu hal maka keterangan ahli diperlukan untuk memberikan gambaran pada hakim dalam membuat pertimbangan hukum terhadap putusan hakim.

Dalam tindak pidana lingkungan hidup, unsur hubungan kausal sangat sulit dibuktikan, apalagi menyangkut pencemaran oleh bahan-bahan kimiawi yang memerlukan scientific proof. Peran ahli sangat penting dalam dalam proses hukum kasus-kasus pencemaran lingkungan, peran itu itu termasuk mengungkap unsur-unsur delik, meneliti keabsahan dokumen (perizinan areal, amdal), penelitian lapangan, legal sampling (pengambilan sampel), dan analisis

(14)

laboratorium. Keterbatasan pengetahuan aparat penegak hukum dan para ahli serta kekurangsempurnaan saran dan metode merupakan kendala dalam pembuktian kasus lingkungan.10

B. Permasalahan

Disamping itu besarnya pengaruh ilmu dan teknologi disertai dengan semakin majunya model analisis risiko lingkungan membawa pengaruh pada peran hakim sebagai pembentuk hukum baru, termasuk pengertian tindak pidana lingkungan dilihat dari makin pentingnya peran ahli untuk memberikan argumentasi kausa yang cermat secara ilmiah untuk mengukur dampak atau perusakan di bidang pidana lingkungan hidup.

Dalam mencapai sebuah kebenaran, diharapkan hakim memerlukan dukungan berbagai pihak termasuk pula keterangan ahli. Dalam memberikan keterangannya seorang ahli didasarkan pada keahlian khusus yang dimilikinya.

Dari hal ini dapat diperoleh bahwa seorang ahli dengan keahliannya memiliki peran untuk membuat terang suatu perkara tindak pidana, sehingga hakim memiliki pandangan Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pembuktian tindak pidana lingkungan hidup. Fungsi ahli dalam pembuktian pidana memang sudah signifikan seiring dengan perkembangan zaman. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan dalam bentuk skripsi dengan judul : “KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN TERHADAP PUTUSAN TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP”

10Alvi Syahrin,Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit, hlm. 70

(15)

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah :

1. Bagaimana peran keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana?

2. Bagaimana kedudukan alat bukti keterangan ahli dalam hal memberikan keyakinan hakim untuk membuat putusan tindak pidana lingkungan hidup?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Penulisan karya ilmiah ini memiliki tujuan yang menjadi sasaran pencapaian dari yang akan dipaparkan oleh penulis. Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1) Untuk mengetahui fakta apa yang terungkap ketika keterangan ahli disampaikan dalam sidang perkara tindak pidana lingkungan hidup.

2) Untuk mengetahui bagaimana kedudukan alat bukti keterangan ahli dalam hal mempengaruhi keyakinan hakim untuk membuat putusan perkara tindak pidana lingkungan hidup.

2. Manfaat Penulisan

(16)

Di samping tujuan yang hendak dicapai sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

a) Manfaat Teoritis

Skripsi ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran pengembangan bidang pengetahuan hukum umumnya maupun hukum pidana khususnya sehingga dapat menambah bahan refrensi dan bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.

b) Manfaat Praktis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran umum tentang nurani hakim dalam memperoleh keyakinannya didasarkan pada apa yang ditemukan pada sidang pengadilan tindak pidana lingkungan hidup serta menjadi bahan masukan bagi masyarakat umum dan aparat penegak hukum untuk menciptakan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

D. Keaslian Penulisan

Mengenai keaslian penulisan, ada beberapa pembahasan mengenai keterangan ahli, tetapi dalam hal ini penulis menitik beratkan pada pembuktian tindak pidana lingkungan hidup. Skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur mupun pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini serta melalui media elektronik seperti internet, sekaligus hasil dari pemikiran penulis sendiri.

(17)

Sepanjang penulusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis belum terdapat judul yang sama dengan judul yang diangkat oleh penulis dalam skripsi ini. dengan kata lain skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada penulis yakin substansi pembahasannya berbeda, sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang berbeda dengan tulisan yang lain. Dengan demikian, keaslian penulisan skiripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pembuktian

Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, namun sebenarnya kedua kata tersebut memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata

“evidence” dan yang kedua adalah kata “proof”. Kata evidence memiliki arti, yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. dalam wacana hukum, kata proof mengacu kepada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses itu sendiri.11

11Menurut Law Dictionary Evidence “all the means by which any alleged matter of fact, the truth of which is submitted to investigation a judicial trial, is established or disproved. Evidence includes the testimony of witnesses, introduction of records, documents, exhibits, object or any orther probative matter offered for the perpose of inducing belief in the party’s contention by the fact-finder. Sedangkan Proof isthe evidence that tends to establish the existence of a fact in issue;

the persuasion of the trier of fact by the production of evidence of the truth of a fact alleged. (Lihat Steven H. Gifis, Law Dictionary Sixth Edition, 2010, Barrons, New York). Hal ini secara gamblang dikemukakan oleh Ian Dennis: “Evidence is information. It is information that provides

(18)

Dikaji secara umum pembuktian berasal dari kata “bukti” terjemahan dari bahasa Belanda, bewijs yang diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan, guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.12

Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses, cara perbuatan membuktikan; usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di sidang pengadilan.13 R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil dalam suatu persengketaan.14 Syaiful Bakhri juga memberi pengertian pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.15

grounds for belief that a particular fact or set of fact is true. Proof is a term with a variable meaning. In legal discourses it may refer to the outcome of the process of evaluating evidence and drawing inferences from it, or it may bee used more widely to refer to the process tiself and/or to the evidence which is being evaluated” Lihat Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 2.

12Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 83.

13Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 218.

14R. Subekti, 2008, Hukum Pembuktian cetakan ke- 17, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.1.

15Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 4.

Eddy O.S. Hiariej memberi definasi hukum pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan mengenai pembuktian yang meliputi alat bukti, barang bukti, cara mengumpulkan dan memperoleh bukti sampai pada penyampaian bukti di pengadilan serta kekuatan pembuktian dan beban pembuktian dalam perkara

(19)

pidana.16Hari Sasangka dan Lily Rosita memberikan defenisi hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam- macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.17M.

Yahya Harahap tidak mendefinisikan pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang- undang dan mengatur mengenai alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan mengatur mengenai alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa.18

a. ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum. semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang digariskan undang-undang.

Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain:

b. sehubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan harus didasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.19

R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti, Pertama, dalam arti yang luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar, Kedua, dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya

16Ibid.

17Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm. 10.

18Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 4. Lihat M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan sidang pengadilan, Banding Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta, hlm. 252.

19M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 274.

(20)

diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat dibantah oleh tergugat.20Pembuktian menurut Adami Chazawi dapat diartikan secara luas dan sempit. Pembuktian dalam arti luas mengandung dua bagian sebagai berikut:21

a. Pertama, kegiatan persidangan pengadilan dalam usaha mendapatkan fakta-fakta hukum yang sebenarnya dari suatu peristiwa yang terjadi.

Apabila fakta-fakta tersebut dirangkai menurut akal dan digambarkan peristiwa sebenarnya yang dalam surat dakwaan telah dikemukakan perkiraan atau dugaannya.

b. Kedua, kegiatan dalam persidangan pengadilan yang menurut UU membahas dan menganalisis hukum terhadap fakta-fakta dari persidangan- persidangan dengan cara-cara tertentu. Hal itu dilakukan untuk menarik kesimpulan berdasarkan alat-alat bukti, apakah benar atau tidak menurut akal telah terjadi tindak pidana sebagaimana yang didakwakan. Kegiatan pembuktian kedua ini dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Penasihat Hukum (PH), dan Majelis Hakim. Pengertian pembuktian kedua ini diwujudkan dalam bentuk surat tuntutan oleh JPU, dan dalam pembelaan oleh penasihat hukum, sedangkan oleh majelis hakim diwujudkannya dalam vonis.

Adapun pendapat mengenai pembuktian dalam arti sempit adalah pengertian luas pada bagian kedua tersebut yang dapat dilihat dari tiga pihak masing-masing.

a. Pihak JPU

Pembuktian merupakan kegiatan membuktikan yang dilakukan oleh JPU dengan menggunakan alat-alat bukti dan dengan cara-cara tertentu yang menurut undang-undang diarahkan (1) pada terbuktinya tindak pidana yang didakwakan tersebut dan (2) ditujukan untuk membentuk keyakinan hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan telah terbukti dan terdakwa bersalah melakukannya. Kegiatan pembuktian yang dilakukan JPU diwijudkan dalam surat tuntutan dan repliknya yang diajukan dan dibacakan dalam persidangan. Pengertian pembuktian yang seperti itu merupakan pembuktian yang hanya dari sudut tugas dan fungsi jaksa sebagai pihak yang mendakwa dan menuntut sehingga JPU memegang kewajiban untuk membuktikan menurut system pembebanan pembuktian dalam hukum acara pidana.

b. Pihak Penasihat Hukum

20R. Subekti, Op.Cit., hlm 7.

21Adami Chazawi, SH, 2011, Kemahiran & Keterampilan Praktik Hukum Pidana Edisi Revisi, Media Nusa Creative, Malang, hlm. 201-203.

(21)

Dari sudut Penasihat Hukum, pengertian pembuktian adalah kegiatan membuktikan dengan menggunakan alat-alat bukti dan cara-cara tertentu dalam UU yang diarahkan pada (1) tidak terbuktinya tindak pidana yang didakwakan dan (2) tidak terbentuknya keyakinan hakim bahwa tindak pidana terjadi dan terdakwa yang melakukannya. Atau setidak-tidaknya (3) diarahkan pada hal-hal yang dapat menghapuskan kesalahan dana tau menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan, serta (4) hal-hal yang meringankan kesalahan dan beban pertanggungjawaban pidana terdakwa.

Kegiatan pembuktian ini diwujudkan dalam nota pembelaan (pleidooi) dan duplik.

c. Pembuktian dari sudut Majelis Hakim

Dari sudut dan fungsi tugasnya, dalam kegiatan pembuktian hakim juga menggunakan alat-alat bukti menurut cara-cara tertentu dalam UU untuk melakukan penganalisisan terhadap fakta-fakta melalui pertimbangan- pertimbangan hukumnya dalam usaha menarik keyakinannya tentang terbukti tidaknya (1) tindak pidana yang didakwakan dan (2) terdakwa melakukan atau tidak melakukan, dan (3) apabila terbentuk keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan pidana. Kegiatan pembuktian oleh Majelis Hakim ini diwujudkan dalam vonis yang dibacakan di muka persidangan.

Proses pembuktian merupakan interaksi antara pemeriksaan yang dilakukan oleh Majelis Hakim dalam menangani perkara tersebut, kemudian adanya penuntut umum yang melakukan penuntutan terhadap terdakwa beserta penasihat hukumnya. Ketiga komponen tersebut saling berinteraksi dalam melakukan pembuktian, hanya saja segmen dan derajat pembuktian yang dilakukan sedikit ada perbedaan.22 Menurut Trapmann terjadinya perbedaan tersebut bergantung kepada sikap, titik tolak dan pandangan para pihak dalam perkara pidana, yaitu:23

1) Pandangan terdakwa/penasihat hukum terdakwa sebagai pandangan subjektif dari posisi yang subjektif;

2) Pandangan Penuntut Umum adalah pandangan subjektif dari posisi yang objektif; dan

22 Setyo Utomo, 2014, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (Asas Praduga Tidak Bersalah Dalam Negara Hukum), PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 160.

23Ibid., hlm. 161.

(22)

3) Pandangan Hakim dinyatakan sebagai pandangan objektif dari sisi objektif pula.

Pembuktian pada hakikatnya mempunyai 2 (dua) dimensi sebagai suatu proses pidana yang dilakukan mulai tahap penyelidikan sebagai awalnya dan tahappenjatuhan pidana (vonis) sebagai tahap akhirnya. Adami Chazawi menandaskan bahwa:24

Aspek pembuktian terbilang unik karena dapat diklasifikasikan dalam kelompok hukum acara pidana/hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil. Apabila dikaji secara mendalam adanya polarisasi pemikiran aspek pembuktian dikategorisasikan kedalam hukum pidana materiil karena dipengaruhi oleh adanya pendekatan dari hukum perdata sehingga aspek pembuktian ini masuk kedalam kategorisasi hukum perdata materiil dan hukum perdata formil

“Kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (1) bagian kegiatan pengungkapan fakta; dan (2) bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum.Bagian pembuktian yang pertama, adalah pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasihat Hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian yang pertama ini akan berakhir pada saat ketua majelis hakim menyatakan (diucapkan secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara selesai (Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP). Dimaksudkan selesai menurut pasal ini tiada lain adalah selesai pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapatkan fakta-fakta dari alat-alat bukti dan barang bukti yang diajukan dalam sidang (termasuk pemeriksaan setempat). Bagian pembuktian yang kedua, ialah bagian pembuktian yang berupa pengnalisisan fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan penganalisisan hukum masing-masing oleh para pihak. Oleh Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini dilakukan dalam surat tuntutannya. Bagi Penasihat hukum pembuktiannya dilakukan dalam nota pembelaan (pleidooi) dan Majelis Hakim akan dibahasnya dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.”

24Ibid., hlm. 163.

(23)

(hukum acara perdata). Akan tetapi, sejak berlakunya KUHAP aspek pembuktian tampak diatur dalam ketentuan hukum pidana formal.25

Pada dasarnya, aspek pembuktian ini sudah dimulai sebenarnya pada tahap penyelidikan perkara pidana. Dalam tahap penyelidikan, tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Begitu pula halnya dengan penyidikan, ditentukan adanya tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti dengan bukti tersebut membuat terang tersangkanya.

Konkretnya pembuktian berawal dari penyelidikan dan berakhir sampai adanya penjatuhan pidana (vonnis) oleh hakim didepan sidang pengadilan baik di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (yudex facti) jikalau perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding (hoger/beroep/ apel/revisi).26

Hukum pembuktian dapat dikategorisasikan ke Dalam hukum pembuktian yang bersifat umum/konvensional, termaktub dalam hukum acara pidana sebagaimana diintrodusir KUHAP dan hukum pembuktian khusus yang menurut Setyo Utomo berorientasi kepada dimenasi-dimensi sebagai berikut:27

1) Mengenai apa yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (Pasal 184 KUHAP).

2) Adanya asas pembuktian Undang-Undang secara negatif untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan suatu tindak pidana yaitu dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).

25Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana; Perspektif, Teoritis, dan Praktik, PT.

Alumni, Bandung, hlm. 92.

26Ibid.

27Ibid., hlm. 164-165.

(24)

3) Mengenai nilai atau kekuatan alat-alat bukti dalam melakukan pembuktian serta bagaimana cara menilainya yaitu secara sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian dengan alat bukti lain, alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya, mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya, kemudian cara melakukan pembuktian dan lain sebagainya.

Proses pembuktian hakikatnya lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil mengenai peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakin dapat memberikan putusan yang seadilnya. Pada proses pembuktian ini ada korelasi dan interaksi mengenai apa yang diterapkan hakim dalam menemukan kebenaran materiil melalui tahapan pembuktian, alat-alat bukti, dan proses pembuktian terhadap aspek-aspek berikut:

a. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti;

b. Apakah perbuatan yang telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya;

c. Delik apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan itu;

d. Pidana apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.28

Adapun peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:

a. Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang hukum pidana, antara lain apakah kelakuan dan hal ikhwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi perbuatan pidana atau tidak;

b. Berkaitan dengan kenyataan yang dapat menjadi perkara pidana, antara lain apakah korban yang dibahayakan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh manusia atau bukan alam;

c. Diselenggarakan melalui peraturan hukum acara pidana, antara lain ditentukan yang berwanang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur undang- undang.29

28Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm. 93.

29Ibid.

(25)

2. Alat Bukti Keterangan Ahli

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ahli didefinisikan sebagai seseorang yang mahir atau mempunyai keahlian dalam suatu keilmuan.30 Dalam Kamus Hukum, ahli sebagai terjemahan kata ‘deskundige’ yang dalam Bahasa Belanda diartikan sebagai orang yang memiliki keahlian, kecakapan ataus suatu bidang ilmu.31 Dalam konteks hukum pembuktian yang dimaksudkan dengan ahli adalah keterangan seseorang yang memili keahlian khusus mengenai suatu hal yang sedang diperkarakan guna membuat terang suatu peristiwa hukum.32 Phyllis B. Gerstenfeld memberi defenisi saksi ahli atau expert witness sebagai saksi yang berkualifikasi untuk menjadi ahli dalam bidangnya, seperti ilmuan, teknisi, ahli medis, dan ahli khusus lainnya.33 Senada dengan Phyllis B. Gerstenfeld, Arthus Best berpendapat bahwa expert testimony atau kesaksian ahli adalah kesaksian yang didasarkan pengalaman pada umumnya dan pengetahuan yang didasarkan pada keahliannya terhadap fakta-fakta suatu kasus. Kesaksian ahli dibutuhkan ketika penyelesaian sengketa menyangkut informasi atau analisis terhadap suatu pengetahuan untuk meyakinkan juri atau hakim di persidangan.34

Menurut Pasal 184 KUHAP alat bukti yang sah ialah: Keterangan Saksi;

Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.35

30Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., hlm. 11

31Andi Hamzah, Kamus Hukum, Op.Cit., hlm. 32.

32Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit., hlm. 61.

33Ibid

34Ibid., hlm. 62

35 M. Karjadi, R. Soesilo, 1997, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, hlm. 162

Dibandingakan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan

(26)

ahli.36 Sebelum berlakunya KUHAP, menurut HIR ahli tidak termasuk alat bukti, tetapi ada suatu ketentuan yaitu Sbld 1949 Nomor 275 yang menurut pendapat Andi Hamzah tidak bertentangan dengan KUHAP, oleh karena itu, masih berlaku pada Pasal 1 mengatakan bahwa berita-berita tertulis dari orang-orang ahli yang bekerja pada lembaga-lembaga penyelidikan praktis ilmu alam yang diadakan atau yang diakui oleh pemerintah, mempunyai kekuatan bukti di dalam perkara- perkara pidana, asal dibuat atas sumpah khusus seperti yang dimaksud pada Pasal 2 Sbld tersebut yakni menetapkan bahwa sumpah itu dapat dilakukan satu kali, yaitu sumpah yang dilakukan pada waktu menerima jabatan di hadapan Menteri Kehakiman atau di hadapan salah seorang pejabat yang ditunjuknya.37

Keterangan Ahli atau verklaringen van een deskundige/ expert testimony/

expert witness.38

36 Pasal 295 HIR Sebagai upaya bukti menurut undang-undang hanya diakui:

Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan

1. Kesaksian-kesaksian (getuigenissen);

2. Surat-surat (schriftelijke bescheiden);

3. Pengakuan (bekentenis);

4. Isyarat-isyarat (aanwijzingen)

Menurut HIR, hakim tidak terikat pada keterangan ahli (Pasal 306) Lihat Andi Hamzah, Irdan Dahlan, 1984, Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 255.

37 Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.

275.

38Expert witness is a witness having special knowledge of the subject about which he is to testify;

that knowledge must generally be such as is normally possessed by the average person. The expert witness is thus able to afford the tribunal having the matter under consideration a special assistance. This expertise may derive from either study and education, or from experience and observation. An expert witness must be qualified by the court to testify as such. To qualify, he or she need not have formal training, but the court must be satisfied that the testimony presented is of akind which in fact requires special knowledge, skill or experience. (Lihat Steven H. Gifis,Op.Cit., hlm. 201).

(27)

pemeriksaan.39 Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.40

1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Menurut Pasal 179 KUHAP yang berisi sebagai berikut:

2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi yang berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya.

Dalam penjelasan KUHAP dikenal ahli yang mempunyai keahlian tentang surat berdasarkan (Pasal 132 ayat (1) KUHAP) dan keterangan palsu serta ahli yang mempunyai keahlian untuk menentukan korban luka, keracunan, atau mati yang dikenal dengan ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya berdasarkan (Pasal 133 ayat (1) KUHAP). Keterangan ahli diperlukan dalam proses penyidikan ataupun dalam upaya pembuktian di pengadilan hal ini sesuai dengan Pasal 120 KUHAP yang bunyinya adalah:

1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.

2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta.

39M. Karjadi, R. Soesilo, Op.Cit., hlm. 6.

40 Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.Lihat penjelasan Pasal 186 KUHAP Ibid., hlm. 165.

(28)

3. Putusan41

Putusan hakim atau putusan pengadilan, Pasal 1 angka 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang- undang ini. Menurut Leden Marpaung pengertian putusan hakim adalah Putusan adalah ‘hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat benbentu tertulis maupun lisan’.42 Menurut Lilik Mulyadi putusan hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisakan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.43

Putusan hakim pada hakikatnya merupakan:44

a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum

41Putusan (Vonnis) adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbukauntuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri pemeriksaan perkara. Setiap putusan memberikan “kepastian hukum” dan “keadilan”. Setiap putusan diawali dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya bisa dilaksanakan secara paksa. Pencantuman kata-kata demikian sebagai kepala putusan, juga dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar hakim menginsyafi, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya harus bertanggungjawab kepada hukum, pada diri sendiri, dan kepada rakyat tetapi juga bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (lihat di H. Riduan Syahrani SH, 2009, Kata-kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 224).

42Leden Marpaung, 1995, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 406.

43Lilik Mulyadi, 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia (Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya), PT. Citra Adiya Bakti, Bandung, hlm. 131.

44Ibid., hlm 132-137.

(29)

b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya

c. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum

d. Putusan dibuat dalam bentuk tertulis

e. putusan hakim tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara pidana

Putusan hakim merupakan akhir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun mahkamah agung. Sebelum putusan hakim diucapkan/dijatuhkan, prosedural yang harus dilakukan oleh hakim dalam praktik lazim melalui tahapan sebagai berikut:45

1. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

2. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya dalam persidangan.

3. Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa atau catatan dakwaan untuk acara singkat oleh jaksa/penuntut umum.

4. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan/catatan dakwaan tersebut. Apabila terdakwa ternyata tidak mengerti, penuntut umu atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberikan penjelasan yang diperlukan.

5. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.

6. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara, maka sidang dilanjutkan.

7. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa : a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Petunjuk; dan

d. Keterangan terdakwa.

8. Kemudian, pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan selesai lalu penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir).

9. Pembelaan (pledoi) terdakwa atau pensihat hukumnya.

10. Replik dan duplik (bila ada).

11. Pemeriksaan dinyatakan tertutup “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan.

45Ibid.

(30)

Secara substansial putusan hakim dalam perkara pidana amarnya hanya mempunyai tiga sifat yaitu:46

1) Pemidanaan/veroordeling;

Putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah memperoleh keyakinan dan dalam persidangan alat bukti telah cukup, bahwa terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan dan hakim memiliki keyakinan bahwa perbuatan terdakwa dapat dipidana.

2) Putusan bebas/vrijspraak;

Putusan bebas diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang bunyinya

“Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

3) Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum atau onslag van alle rechtsvervolging.

Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur daam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang bunyinya “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Menurut Van Bammelen menyatakan bahwa:

“Dalam putusan hakim itu perlu dijelaskan mengenai alasan-alasan yang telah dipaakai oleh para hakim sebelum sampai pada putusannya, hingga orang yang membaca putusannya tersebut akan mengetahui alsan-alasan yang telah dipakai oleh hakim, dan mampu menarik satu kesimpulan yang sama seperti yang telah ditarik hakim”.47

Hakim tidak mudah untuk membuat putusan, karena idealnya putusan hakim harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 (tiga) unsur yakni: (1) keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit) dan kemanfaatan

46Ibid.

47Hoge Raad dalam arrestnya tanggal 3 April 1939, N.J 1939 Nomor 947 hanya mensyaratkan, bahwa putusan hakim itu dapat dilihat : “dat voor ieder onderdeel van het telastgelegde een bewijsmiddel aanwezig is” atau “bahwa bagi tiap-tiap unsur dari tindak pidana yang didakwakan itu terdapat suatu alat bukti (Lihat di Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 422).

(31)

(zwechtmassigkeit).48Ketiga unsur tersebut semestinya harus dipertimbangkan dan diterapkan secara proporsional oleh hakim dalam membuat putusan, sehingga putusan yang dihasilkan adalah putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.49

Pengertian tindak pidana lingkungan hidup secara harfiah, berasal dari kata Tindak Pidana danLingkungan Hidup.

4. Tindak Pidana Lingkungan Hidup

50

48Gustav Redbruch sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, hlm. 15.

49Bambang Sutiyoso, 2009, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Pres, Yogyakarta, hlm. 6.

50 Secara etimologis kata Tindak Pidana dan Lingkungan Hidup berasal dari kata:

Dalam setiap tindak pidana yang

a) Istilah Tindak Pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda Strafbaar Feit atau Delict dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi siapa saja yang melanggarnya.

Dalam kepustakaan ilmu hukum pidana istilah Strafbaar Feit atau Delict ini ada yang menterjemahkannya dengan istilah-istilah:

1. Tindak Pidana, istilah resmi dalam perundang-undangan pidana kita seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme dan seterusnya.

2. Perbuatan Pidana (Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 3.

3. Perbuatan Kriminal menurut A. Z. Abidin, istilah ‘perbuatan pidana’ yang dipakai oleh Moeljatno kurang tepat karena dua kata benda bersambungan, yaitu

‘perbuatan’ dan ‘pidana’ (Lihat Andi Hamzah, 2015, Hukum Pidana, PT.

Sofmedia, Jakarta, hlm. 119).

4. Peristiwa Pidana, Prof. Drs. E. Utrecht, SH mempergunakan istilah ‘peristiwa pidana’ dikarenakan menerjemahkan istilah ‘feit’ menjadi peristiwa, tetapi Moeljatno menolak istilah ‘peristiwa pidana’ karena peristiwa itu adalah pengertian konkret yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja (Lihat Andi Hamzah, 2015, Hukum Pidana, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm.

118).

5. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latinDelictum. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya Prof. DR. Jur. Andi Hamzah, SH (Andi Hamzah, 2012, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia &

Perkembangannya, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 118).

b) Istiah Lingkungan Hidup dalam bahasa asingnya disebut environment (bahasa Inggris), l’

evironnment (bahasa Prancis), umwelt (bahasa Jerman), Milieu (bahasa Belanda) secara harfiah diterjemahkan menjadi life environment namun pada kenyataannya selalu diterjemahkan sebagai enviment. Menurut Emil salim (1982:14-15) lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati yang mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Menurut Danusaputro (1980:65) lingkungan adalah semua benda dan kondisi

(32)

dilakukan terdapat unsur-unsur tindak pidana.Unsur tindak pidana secara garis besar dibagi dalam dua macam unsur yaitu unsur yang bersifat objektif yakni unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat tentang perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan objek tindak pidana.Kemudian unsur subjektif yakni unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. Unsur-unsur tindak pidana dapat juga dilihat setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni :51 (1) dari sudut teoritis; dan (2) dari sudut undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yakni yang tercermin pada bunyi rumusannya.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:52

termasuk didalamnya manusia dan tingkah laku perbuatannya, yang terdapat dalam ruang dimana manusia berada dan mepengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya. (lihat Prof. syamsul Arifin SH., M.H, 2014, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Edisi Revisi, PT.

Sofmedia, Jakarta, hlm. 47). Menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 ayat (1) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, 2009, Fokus Media, Bandung). Fuad Amsyari mengelompokkan lingkungan hidup terdiri atas 3 (tiga) macam yakni :

(a) perbutan; (b) yang dilarang (oleh aturan hukum); (c) ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan).

Sementara sudut undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertetu daam pasal-pasal peraturan perundang-

1. Lingkungan fisik (physical environment), yaitu segala sesuatu yang di sekitar kita yang berbentuk benda mati, seperti rumah, kenderaan, gunung, udara, sianr matahari, dan lain-lain yang semacamnya;

2. Lingkungan biologis (biological environment), yaitu segala sesuatu yang berada di sekitar manusia yang berupa organisme hidup lainnya selain dari manusia sendiri, binatang, tumbuh-tumbuhan, jasad renik (plankton) dan lain-lain;

3. Lingkungan sosial (social environment), yaitu manusia-manusia lain yang berada di sekitarnya seperti tetangga, teman dan lain-lain (Lihat DR. Ruslan Renggong, SH., M.H, 2016, Hukum Pidana Khusus (Memahami Delik-delik di Luar KUHAP), Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 157).

51 Adami Chazawi, 2013, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 79.

52Ibid.

(33)

undangan. Berdasarkan rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:53

a. Unsur tingkah laku;

b. Unsur melawan hukum;

c. Unsur kesalahan;

d. Unsur akibat konstitutif;

e. Unsur keadaan yang menyertai;

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana;

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana;

h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana;

i. Unsur objek hukum tindak pidana;

j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana;

k. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Di dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa jenis tindak pidana, diantaranya adalah:54

1. Delik Materiil (materieel delict) delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

2. Delik Formil (formil delict) delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang atau yang diancam dengan hukuman oleh undang-undang.

3. Delik Commisionis (delicta commisionis) delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-;aranagan di dalam undang-undang.

4. Delik Omissionis (delicta omissionis) delik yang berupa pelanggaran terhadap keharusan menurut undang-undang.

5. Dolus dan Culpa (opzettelijk delicten dan culpooze delicten) dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja sedangkan Culpa adalah tindak pidana yang dilakukan dengan kelalaian atau kealpaan.

6. Delik Aduan (klachtdelicten) adalah tindak pidana yang hanya dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan.

Ketentuan hukum pidana dalam Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 97-120

53Ibid., hlm. 82

54 Andi Hamzah, Op.Cit.,hlm. 226.

(34)

secara tegas menetapkan bahwa tindak pidana lingkungan termasuk kejahatan dan delik lingkungan dalam undang-undang tersebut meupakan delik materiil dan delik formil.55

“pengertian tindak pidana lingkungan hidup atau delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam denganpenjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan, satwa, lahan, udara, dan air serta manusia, oleh sebab itu, dengan pengertian ini delik lingkungan hidup tidak hanya ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam UUPPLH, tetapi juga ketentuan-ketentuan pidana yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan lain sepanjang rumusan ketentuan itu ditujukan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan atau bagian-bagiannya”.

Takdir Rahmadi menyatakan bahwa:

56

Pengertian tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UUPPLH sampai Pasal 115 UUPPLH, melalui metode kontruksi hukum dapat diperoleh pengertian bahwa inti dari tindak pidana lingkungan hidup (perbuatan yang dilarang) adalah “mencemarkan atau merusak lingkungan”.

Konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delict genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delict species).

57

55Kejahatan atau rechtdelicten menurut Prof. Moeljatno adalah perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum (lihat Prof. Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 78).

56Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 221.

57Kata “mencemarkan” dengan “pencemaran” dan “merusak” dengan “perusakan” adalah memiliki makna substansi yang sama, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan, tetapi keduanya berbeda dalam memberikan penekanan mengenai suatu hal yakni dengan kalimat aktif dan dengan kalimat pasif (kata benda) dalam proses menimbulkan akibat (lihat di Alvi Syahrin, 2011, Ketentuan Pidana Dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PT. Sofmedia, Jakarta, hlm. 35). Menurut Muhammad Erwin pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, atau komponan lain ke dalam

(35)

Teknik perumusan tindak pidana lingkungan hidup begitu luas dan abstrak, hal ini dapat menyulitkan penegak hukum pidana lingkungan, sebab jika aparat penegak hukum (termasuk hakim) tidak peka dalam mengikuti perkembangan di bidang lingkungan hidup, akan dapat memberi peluang bagi penegak hukum untuk menyelewengkan hukum untuk kepentingan lain.58

1. Pencemaran air (air permukaan) akibat berbagai kegiatan sektor pembangunan (indrustri, pertambangan, perhotelan, rumah sakit, dan lain- lain);

Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UUPPLH) merupakan payung dari undang-undang sektoral lainnyadi bidang lingkungan hidup. Sehingga, rumusantindak pidana lingkungan hidup sangat berkaitan dengan industri, kehutanan, pertambangan, keanekaragaman hayati dan lain-lain. Adapun ruang lingkup perkara lingkungan hidup adalah:

2. Pencemaran udara dan gangguan (kebisingan, getaran, kebauan) akibat kegiatan sektor pembangunan (industri, pertambangan dan kegiatan lainnya);

3. Pengelolaan limbah B3 tanpa izin, tidak mengelola limbah B3, atau pembuangan limbah B3, impor limbah, B3 atau limbah B3;

lingkungan hidup oleh karena kegiatan manusia sehingga malampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan, sedangkan perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (lihat di Muhammad Erwin, 2015, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia, PT. Rafika Aditama, Bandung, hlm. 39).

58Alvi Syahrin,Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan,Op.Cit, hlm. 23.

(36)

4. Pencemaran air laut atau perusakan laut (terumbu karang, mangrove &

padang lamun);

5. Kerusakan lingkungan akibat illegal logging dan pembakaran hutan;

6. Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan illegal mining;

7. Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan, usaha perkebunan illegal;

8. Pelanggaran tata ruang, pelanggaran tata ruang yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Jenis tindak pidana lingkungan adalah :

1. Tindak pidana materiil

Tindak pidana lingkungan materiil diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 98, 99, 112), Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Pasal 47, 48, 50), Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Pasal 78 ayat (1), ayat (11)).

2. Tindak pidana formil

Tindak pidana lingkungan formil diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 100-111, 113-115), Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Pasal 78 ayat (3) - (6)), Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Pasal 46), Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Pasal 158- 162), Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

Gambar

Tabel I: Pasal-pasal dalam KUHAP dan UUPPLH yang memuat ketentuan  mengenai Keterangan Ahli

Referensi

Dokumen terkait

TQC sebagai totalitas pengendalian terhadap mutu produk, secara bertahap merupakan rangakaian suatu proses produksi yang menjadi tanggung jawab masing-masing

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

Kajian ini adalah untuk mengkaji bentuk-bentuk sokongan pelajar yang diperlukan oleh pelajar termasuklah sokongan instruksi, sokongan pengurusan, sokongan motivasi dan sokongan

(dalam jutaan Rupiah) BANK CIMB NIAGA LAPORAN LABA RUGI DAN PENGHASILAN KOMPREHENSIFb. Periode 1 Januari - 30

Untuk tahap dream, pada kelompok ini berharap dengan mempunyai kemampuan yang meningkat dalam pencatatan keuangan usaha, maka dapat bersinergi dengan Lembaga Keuangan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa keadilan prosedural berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja, yang berarti bahwa semakin pegawai

Kemudian baja diambil lalu dibersihkan terlebih dahulu dengan air biasa lalu ditimbang berat material baja tersebut (Wa), dan didapat hasil seperti pada Tabel 2.

Untuk penggunaan bahan baku selama satu minggu berbeda, untuk hari senin dan jumat lebih banyak menggunakan bahan baku yaitu, sebanyak 11 Kg kacang kedelai