• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI

2.2 Sistem pembuktian menurut hukum acara pidana asing

2.2.1 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana

Sistem hukum acara pidana, dikenal sebagai adversary system.88Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan dimana pihak-pihak yang berseberangan tersebut mengajukan bukti-bukti yang saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya.89 Sistem hukum Amerika berasumsi bahwa kebenaran akan muncul melalui pertentangan antara pihak-pihak yang berseberangan yang memberikan intrepretasi berlawanan terhadap bukti-bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta.90

Dalam adversary system dikenal adanya due process of law yang diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukum sebagai standar

Dalam menangani perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat adalah negara, yang mewakili korban dan kepeentingan masyarakat dan tergugat adalah tertuduh.Si teretuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense attorney).Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak biasanya diwakili oleh para juri, serta pihak yang bertugas menerapkan hukum yang berlaku dan juga tidak memihak ialah hakim.Hakim bertugas sebagai penemu kebenaaran atas fakta yang diajukan dalam persidangan.

88 Adversary system dimaksudkan: “a system which arrives at a decision by (1) having each side to dispute present its best case and (2) then permitting a neutral decision-maker to determine the facts and apply the law in light of the opposing presentations of two sides”. Adversay system atau dikenal sebagai accusatorial system mempunyai ciri adanya perlindungan terhadap hak asasi seseorang (tertuduh) yang dilandaskan pada klausula due process of law sebagaimana yang secara tegas telah dicantumkan dalam konstitusi Amerika serikat sebagai berikut: “... No State shall make or enforce any law which shall abridge the privilege of immunities of citizens of the United States;

nor shall any State deprive any person of life, liberty, or property, without due process og law, ...

(Lihat Romli Atmasasmita, SH.,LL.M, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, hlm. 122).

89 Dalam menghendaki agar kebenaran dapat diungkapkan secara akurat dalam suatu keadaan di mana masing-masing pihak yang berperkara berada dalam posisi yang bertentangan (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm. 40).

90Ibid.

beracara yang berlaku universal.91Due process menghasilkan prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu karena setiap prosedur dalam due process menguji dua hal, yaitu: (a) apakah penuntut umum telah menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa adanya prosedur; (b) jika menggunakan prosedur, apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. Oleh karena itu, due process memiliki karakteristik menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan penjatuhan hukum kepada yang tidak bersalah.92 Dalam kaitannya dengan pembuktian due process of law memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah bewijsvoering yaitu cara memperoleh, mengumpulkan dan menyampaikan alat-alat bukti sampai ke pengadilan diuraikan kepada hakim.93Tidak jarang hal-hal yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil.94

Di negara common law seperti Amerika Serikat hukum acara pidananya (crime procedure law) menentukan alat-alat bukti yang terdiri atas:95

1. Real evidence (bukti sesungguhnya)96 2. Documentary evidence (bukti dokumenter)

;

97

3. Testimonial evidence (bukti kesaksian)

;

95 Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 45 (Lihat Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Kedua, Op. Cit., hlm. 258).

96Real evidence ialah objek fisik dari sesuatu yang berkaitan dengan kejahatan. Dalam beberapa literature real evidence diartikan sama dengan physical evidence yang dalam konteks hukum pidana di Indonesia di sebut dengan istilah ‘barang bukti’. (Lihat Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit., hlm.

55).

97Documentary evidence yaitu bukti yang meliputi tulisan tangan, surat, fotografi, transkrip rekaman dan alat bukti tertulis lainnya.

;

98Testimonial evidence atau bukti kesaksian. Bukti kesaksian ini dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu : (a) kesaksian atas fakta yang sesungguhnya (factual testimony) biasanya menyangkut kesaksian secara terbatas mengenai fakta-fakta yang relevan atas apa yang dilihat, didengar atau dialami, dan dia

4. Judicial evidence (pengamatan hakim).

Real evidence yang berupa objek materiil yang meliputi tapi tidak terbatas atas peluru, pisau, senjata api, perhiasan intan permata, televise dll.

Benda-benda Real evidence ini berwujud, biasanya disebut alat bukti yang bebicara untuk diri sendiri (speak for it self). Bukti ini dipandang paling bernilai daripada jenis bukti yang lain karenanya, alat bukti ini disebut sebagai “Res Ipsa Liquitor” yang artinya sebagai alat bukti yang sangat dominan menentukan adanya dugaan tindak pidana yang dilakukan seseorang.99Real evidence ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana di Indonesia, pada sistem hukum continental seperti Indonesia real evidence hanyalah sebagai ‘barang bukti’ yang perlu diidentifikasikan oleh saksi ataupun terdakwa, agar barang bukti itu memiliki nilai sebagai alat bukti berdasarkan keyakinan hakim, karena itulah barang bukti berupa objek materiil ini tidak akan bernilai jika tidak diidentifikasi oleh saksi (terdakwa).100

Tidak disebut kesaksian ahli dan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana Amerika Serikat, karena digabungkan dengan bukti kesaksian. Pada California Evidence Code memberikan pengaturan mengenai keterangan ahli/expert testimony Section 800-805 sebagai berikut:101

800. If a witness is not testifying as an expert, his testimony in the form of and opinion is limited to such an opinion as is permitted by law, including

bersumpah atas kesaksiannya bahwa dia benar-benar mengetahui kejadian tersebut; (b) pendapat atas kesaksian (opinion testimony) , dan (c) pendapat ahli (expert opinion).

99 Indriyanto Seno Adji, 2011, KUHAP Dalam Prospektif, Diadit Media, Jakarta, hlm. 147.

100 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit., hlm 258.

101 http://www.leginfo.ca.gov/cgi-bin/displaycode?section=evid&group=00001-01000&file=800-805, diakses pada 11 April 2016.

but not limited to an opinion that is :a. Rationally based on the perseption of the witness; and b. Helpful to a clear understanding of his testimony.

801. If a witness is testifying as an expert, his testimony in the form of an opinion is limited to such an opinion as is :

a. Related to a subject that is sufficiently beyond common experience that the opinion of an expert would assist the trier of fact; and

b. Based on matter (including his special knowledge, skill, experience, training, and education) perceived by or personally known to the witness or made known to him at or before hearing, whether or not admissible, that is of a type that reasonably may be relied upon by an expert in forming an opinion upon the subject to which his testimony relates, unless an expert is precluded by law form using such matter as a basis for his opinion.

802. A witness testifying testimony in the form of an opinion may state

on direct examination the reasons for his opinion and the matter (including, in the case of an expert his special knowledge, skill, experience, training, and education) upon which is based, unless he is precluded by law form using such reasons or matter as a basis for his opinion. The court in its discretion may require that a witness before testifying in the form of an opinion be first examined concerning the matter upon which his opinion is based.

803. The court may, and upon objection shall, exclude, testimony in the form of an opinion that is based in whole or in significant part on matter that is not a proper basis for such an opinion. In such case, the witness may, if the remains a proper basis for his opinion, then state his opinion after excluding form consideration for matter determined to be improper.

804. a. If a witness testifying as an expert testifies that his opinion is based in whole or in part upon the opinion or statment of another person, such other person may be called and examined by any adverse party as if under cross-examination concerning the opinion or statment.

b. This section is not applicable if the person upon whose opinion or statment the expert witness has relied is (1) a party, (2) a person identified with a party within the meaning of subdivision (d) of section 776, or (3) a witness who has testified in the action concerning the subject matter of the opinion or statment upon which the expert witness has relied.

c. Nothing in this section makes admissible an expert opinion that is inadmissible because it is based in whole or in part on the opinion or statment of another person.

d. An expert opinion otherwise admissible is not made inadmissible by this section because it is based on the opinion or statment of a person who is unavailable for eximination persuant to this section.

805. Testimony in the form of an opinion that is otherwise admissible is not objectionable because it emberces the ultimate issue to be decided by the tier of fact.

Berdasarkan pada pengaturan tersebut diatas, maka jelaslah bahwa sesorang dapat memberi keterangan sebagai ahli jika ia mempunyai pengetahuan, keahlian, pengalaman, latihan, atau pendidikan khusus yang memadai untuk memenuhi syarat sebagai ahli tentang hal yang berkaitan dengan keterangannya.

Justifikasi terhadap diterimanya keterangan ahli dalam keluarga dengan sistem common law, menurut Stanley A. Scriff harus memenuhi 2 (dua) elemen penting, yaitu:

a. The subject-metter of the inquiry must be such that ordinary people are unlikely to form a correctjudgement about it, if unassisted by persons with special knowledge.

b. The witness offering expect evidence must have gained his specia knowledge by a course of study or previous habbit which secures his habitual familiarity with the matter in hand.

Elemen pertama yang harus dipenuhi oleh keterangan ahli tersebut adalah kemampuan menyampaikan materi (dari suatu fakta atau bukti) secara pasti, keeterangan ahli diperlukan jika dalam persidangan alat bukti yang lain tidak membantu menemukan fakta. Elemen kedua, yang harus dipenuhi adalah seorang ahli haruslah memuhi kelayakan, kelayakan dalah hal ini dapat dinilai dari keilmuan yang dimiliknya, pengalaman pribadi yang secara konsisten ditekuni serta hal lain yang membuat menjadi ahli.

2.2.2 Sistem Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana Belanda

Menurut sejarah hukum acara pidana Belanda dulunya pernah diberlakukan sistem pembuktian conviction in time yang mereka kenal dalam perundang-undangan Prancis, namun sistem pembuktian conviction in time itu digantikan dengan sistm pembuktian menurut undang-undang yang bersifat negatif (negatief-wettelijke).102 Salah satu keuntungan dari dianutnya sistem pembuktian undang-undang yang bersifat negatif, seperti halnya yang dianut oleh KUHAP Indonesia dewasa ini adalah, bahwa menurut sistem pembuktian ini hakim dipaksa menjelaskan alasan atau dasar apa ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.103

Di Negara Belanda hukum acara pidananya dalam Sv. Yang telah diubah pada tahun (1926) Pasal 339 menyebutkan alat-alat bukti sebagai berikut:104

Pengamatan hakimatau eigen waarneming van de rechter sangatlah esensial karena hakimlah yang menguasai eksistensi proses persidangan.

a. eigen waarneming van de rechter (pengamatan sendiri oleh hakim);

b. verklaringen van de verdachte (keterangan terdakwa);

c. verklaringen van een getuige (keterangan seorang saksi);

d. verklaringen van een deskundige (keterangan seorang ahli);

e. schriftelijke bescheiden (surat-surat).

105

102Lamintang, 1984, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm.

421.

103Ibid.

104 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua,Op. Cit., hlm 259.

105 Indriyanto Seno Adji, Op. Cit., hlm. 149.

Dalam membuat putusan, hakim harus berpikir secara logis, mereka akan berusaha untuk menjelaskan dan memberikan arti mengenai sejumlah gejala yang mereka jumpai, dengan cara menghubungkan secara timbal balik gejala yang satu dengan gejala

yang lain. dalam bentuk sebuah pengamatan.106 HOGE RAAD dalam arrestnya tanggal 3 April 1939, N.J. 1939 Nomor 947 hanya mensyaratkan, bahwa dari suatu putusan hakim itu harus dapat dilihat: “dat voor onderdeel van het telastgelegde een bewijsmiddel aanwezig is” atau “bahwa tiap-tiap unsur dari tindak pidana yang didakwakan itu terdapat suatu alat bukti.107 Penilaian atas kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke depan persidangan oleh penuntut umum itu sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim.108

Fungsi hukum acara pidana dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan, sebagai berikut:

Kalau dibandingkan antara ketentuan alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP Indonesia dengan Pasal 339 Ned. Sv. tersebut, maka tidak semua pembaruan dalam Ned. Sv. tersebut ditiru KUHAP. Selain tata susunannya berbeda, juga masih tetap tercantum dalam KUHAP petunjuk (aanwijzing) sebagai alat bukti yang sama dengan HIR dan Ned. Sv. yang lama.

Dokumen terkait