• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Achmad Ichsan dalam pengertian perseroan “naamloos” merupakan suatu sebutan pada zaman Hindia Belanda untuk perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 36 s/d 56. Sebutan “naamloos” dalam arti

tanpa nama ini disebabkan karena N.V itu tidak mempunyai nama seperti firma dan pada umumnya juga tidak menggunakan salah satu nama dari anggota perseroannya identifikasinya terletak dalam obyek perusahaan yang menjadi tujuan usahanya seperti Perusahaan Dagang Beras.1

Hal ini dapat ditelusuri dari banyaknya definisi yang diberikan oleh para sarjana yakni M.H. Tirta Amidjaja mengemukakan bahwa perseroan terbatas itu ialah perseroan yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan modal yang tertentu, yang terbagi atas saham-saham dan tiap-tiap persero pemegang saham turut serta didalamnya sebanyak satu saham atau lebih dengan tidak bertanggungjawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu.2

K.R.M.T Tirtodiningrat mengemukakan bahwa perseroan terbatas adalah suatu persekutuan dengan modal tertentu yang dibagi-bagikan dalam beberapa sero atau saham, dimana tiap-tiap anggota mengambil bagian secara memiliki satu atau beberapa sero, sedang pemegang-pemegang sero bertanggungjawab atas

1

Achmad Ichsan, 1983, Hukum Dagang; Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Pradnya Paramitha, Jakarta, h. 134.

2

pinjaman dari perseroan terbatas hanya hingga jumlah yang tersebut pada sero yang dimiliki itu.3

Pandangan-pandangan di atas secara tidak langsung menunjukkan perjalanan sejarah dari istilah atau nama yang dipergunakan secara khusus dan resmi untuk menggambarkan perseroan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) mulai dari Pasal 36 sampai dengan Pasal 56. Pada intinya istilah Perseroan Terbatas tidaklah merupakan terjemahan dari istilah Naamloze Vennootschap, namun demikian istilah Perseroan Terbatas disamping merupakan istilah yang dimaknai dari perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut lebih relevan dan dapat secara lebih tepat mendeskripsikan bentuk dan sifat perseroan yang diatur dalam pasal-pasal KUHD itu.

Selain itu Prof. Soekardono mengemukakan bahwa pada dasarnya istilah

tersebut lebih sesuai dengan sifat-sifat bentuk perusahaan yang dijalankan.4

Ditambahkan dengan pandangan bahwa Perseroan Terbatas atau yang disingkat dengan PT, terjadi dari dua kata yaitu perseroan dan terbatas. Perseroan ialah persekutuan yang modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham, sedangkan

kata “terbatas” itu tertuju pada tanggungjawab pemegang saham atau persero yang

bersifat “terbatas” pada jumlah nominal saham-saham yang dimilikinya istilah

“perseroan terbatas” lebih tepat dari pada istilah “Naamloze Vennootschap”, sebab arti istilah “perseroan terbatas” lebih jelas dan tepat menggambarkan tentang keadaan

pada saat itu.5

3

K.R.M.T. Tirtodiningrat, 1963, Ihtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang,

Pembangunan,Jakarta, h. 132. 4

R. Soekardono, 1983, Hukum Dagang Indonesia Jilid I (bagian kedua), CV. Rajawali, Jakarta,h. 127.

5

H.M.N. Purwosutjipto, 1984, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2 (Bentuk Bentuk Perusahaan), Djambatan, Jakarta, h. 89.

Sehubungan dengan penjelasan di atas maka makna dari istilah Perseroan Terbatas menjadi semakin jelas dan pada akhirnya istilah tersebut dipergunakan sebagai istilah resmi dalam berbagai keperluan baik yang menyangkut dokumen notaris maupun dokumen-dokumen negara seperti Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI).

Kendati pun pengaturan mengenai Perseroan Terbatas yang dituangkan dalam KUHD mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 56 secara berturut-turut sudah digantikan dengan dikeluarkannya undang No. 1 Tahun 1995 dan Undang-undang No. 47 Tahun 2007, penggunaan istilah Perseroan Terbatas masih tetap dipertahankan. Disamping menggunakan Perseroan Terbatas sebagai nama atau titel, kedua undang-undang tersebut secara khusus juga mencantumkan pengertian atau definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan Perseroan Terbatas. Pengertian tersebut diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 47 Tahun 2007 yang menentukan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Dari pengertian yang ditentukan secara yuridis di atas dapatlah diuraikan adanya 5 (lima) unsur yang pada pokoknya saling berkaitan sebagai berikut:

1. Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, 2. Didirikan berdasarkan perjanjian,

3. Melakukan kegiatan usaha,

4. Modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham,

5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal Pernyataan yang dituangkan dalam Undang-undang No. 47 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) bahwa Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal mengandung dua hal yakni; pertama, memberikan ketegasan dan kedua, UUPT tidak menentukan secara rinci penegasan Perseroan Terbatas sebagai badan hukum persekutuan modal. Mengenai hal yang pertama, hendaknya patut diberikan apresiasi yang tinggi karena dengan ditegaskannya bahwa Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, berarti UUPT telah memberikan suatu kepastian hukum mengenai status hukum Perseroan Terbatas.

Di samping itu penegasan di atas merupakan langkah maju apabila dibandingkan terutama dengan KUHD yang tidak menentukan secara tegas tentang status Perseroan Terbatas sebagai badan hukum. Berkaitan dengan hal yang kedua, perihal badan hukum dan persekutuan modal merupakan pilar-pilar penting bagi Perseroan Terbatas yang menimbulkan keingintahuan untuk mendalaminya lebih jauh lagi, akan tetapi UUPT justru UUPT tidak mengatur secara terperinci mengenai pengertian istilah tersebut. Oleh karena itu pemahamannya dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum sekunder.

Menurut R. Subekti badan hukum adalah suatu perkumpulan/organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dapat memiliki kekayaan, dapat menggugat dan digugat dimuka pengadilan.6 Selanjutnya ditambahkan perseroan terbatas atau NV sebagai badan hukum atau rechtspersoon berarti bahwa perseroan terbatas mempunyai suatu kekayaan tersendiri, terlepas dari kekayaan para pesero atau pengurusnya.7

Perseroan Terbatas didirikan bedasarkan sebuah perjanjian sebagaimana telah dikutip pada halaman terdahulu pada pokoknya merupakan suatu akumulasi atau kumpulan dari berbagai perjanjian yang dibuat diantara berbagai pihak terutama dengan para pemegang saham, direksi, tenaga kerja, para suplier dan pelanggan. Jadi sebenarnya PT itu penuh dengan berbagai perjanjian. Diantara tahap-tahap pendirian (konstruksi), beroperasi (operasional) dan berakhirnya jangka waktu keberadaan Perseroan Terbatas (terminasi), maka keberadaan berbagai perjanjian itu memang sangat dominan ketika PT berada pada tahap operasional.

Akan tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa perjanjian tidak terdapat pada tahap-tahap yang lainnya. Keberadaan perjanjian dalam Perseroan Terbatas sebenarnya sudah dimulai dan berperan ketika PT itu dirancang pendiriannya oleh dua atau lebih calon pendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan melalui perjanjian tersebut kemudian dituangkan ke dalam anggaran dasar PT yang bersangkutan.

6

R. Subekti, 1973, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 14. 7

Pasal 7 ayat (1) UUPT menentukan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan penafsiran secara gramatikal, ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa sebelum datang menghadap dihadapan notaris, para pendiri sebenarnya sudah mempersiapkan kesepakatan-kesepakan yang dihasilkan dari perjanjian pendahuluan diantara mereka sebelumnya. Adanya perjanjian pendahuluan yang sifatnya konsensual atau suatu perjanjian yang didasarkan pada kata sepakat itu dan juga akta notaris yang juga berisi anggran dasar sebagai tonggak awal berdirinya suatu Perseroan Terbatas tersebut keduanya semakin memperlihatkan dengan pasti bahwa Peseroan Terbatas didirikan berdasarkan perjanjian. Oleh karena itu dapat dikemukakan pendirian dan eksistensinya PT sebenarnya merupakan implementasi atau perwujudan dari perjanjian terutama yang terjadi diantara sesama pendiri.

Berkaitan dengan unsur di atas Pasal 2 UUPT menentukan Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pertama yang patut dikemukakan pasal ini pada pokoknya merupakan suatu konsekuensi logis dari pemikiran teoritis bahwa pendirian Perseroan Terbatas didasarkan pada perjanjian dan sebagai hasil implementasi dari perjanjian. Oleh karena itu segala sesuatunya dan dalam hal ini menyangkut maksud, tujuan serta kegiatan usaha perseroan tidak boleh bertentangan dengan ketiga batasan sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata itu.

Perlu pula dikemukakan bahwa untuk melakukan kegiatan usaha merupakan kewajiban bagi Perseroan Terbatas. Kewajiban melaksanakan kegiatan usaha yang dibebankan oleh Pasal 2 UUPT disamping karena dirumuskan dengan kata “harus”

sebagai pernyataan perintah yang terdapat dalam pasal itu sendiri, keharusan melaksanakannya juga dikaitkan kewajiban mengisi format isian untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan (Pasal 9 ayat (1) Apabila tidak melaksanakan pasal ini maka berlakulah Pasal 10 ayat (4) dimana sebagai sanksinya Menteri langsung memberitahukan penolakan pengesahan. Secara ringkas dapatlah diuraikan mengingat Perseroan Terbatas juga merupakan wahana bisnis, maka melaksanakan kegiatan usaha merupakan aktivitas yang pokok dan mutlak sifatnya.

Berkaitan uraian mengenai dengan modal perseroan di atas perlu dijelaskan pengertian tersebut murni merupakan pengertian yuridis tidak ada hubungannya dengan pengertian ekonomi dan perihal modal perseroan itu praktis selalu dicantumkan dalam anggaran dasar.8 Pendapat ini semakin relevan karena dalam UUPT memang telah ditentukan kewajiban untuk mencantum jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 9 ayat 1 huruf d). Apabila ketentuan ini tidak dipenuhi, maka Menteri dapat melakukan penolakan (Pasal 10 ayat 4). Dari ketentuan Pasal 31 ayat (1) dapat diketahui modal perseroan terdiri atas seluruh nilai

8

Rudhi Prasetya, 1996, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 180.

nominal saham. Ketentuan ini sejalan dengan pendapat bahwa modal Perseroan Terbatas itu selalu dibagi ke dalam saham-saham.9 Modal perseroan yang kemudian dibagi ke dalam saham-saham tersebut adalah modal dasar sesuai dengan klasifikasi saham menurut UUPT.

Sehubungan hal diatas dengan klasifikasi saham, Pasal 48 ayat (1) UUPT menentukan, saham Perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya. Dalam Penjelasan pasal ini dinyatakan, yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama pemiliknya dan Perseroan tidak boleh mengeluarkan saham atas tunjuk. Sedangkan Pasal 53 ayat (1) UUPT menentukan, anggaran dasar menetapkan 1(satu) klasifikasi saham atau lebih. Pengertian yang terkandung dalam ketentuan-ketentuan UUPT tersebut menunjukkan seluruh saham yang dikeluarkan Perseroan merupakan saham atas nama, tidak ada jenis saham lainya yang boleh dikeluarkan. Jadi setiap saham yang dikeluarkan Perseroan itu menurut UUPT sebenarnya sama jenisnya dan hanya berbeda klasifikasinya seperti yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (4) UUPT antara lain:

a. Selanjutnya berdasarkan Pasal 48 ayat (1), Pasal 53 ayat (1) dan ayat (4), Perseroan hanya diperkenankan mengeluarkan saham atas nama saham dengan hak suara atau tanpa hak suara

b. Saham dengan hak khusus untuk mencalonkan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris

c. Saham yang setelah jangka waktu tertentu ditarik kembali atau ditukar dengan klasifikasi saham lain

d. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian dividen secara kumulatif atau nonkumulatif

9

e. Saham yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain atas pembagian sisa kekayaan Perseroan dalam likuidasi.

Dengan satu klasifikasi atau lebih, dimana menurut Penjelasan Pasal 53 ayat (4), klasifikasi saham tidak berdiri sendiri tetapi dapat merupakan gabungan dua atau lebih klasifikasi. Uraian tersebut di atas memperlihatkan kedudukan modal dalam perseroan dan sehubungan dengan pentingnya peranan modal disetor dalam menunjang operasional Perseroan, maka permasalahan mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan perlu pula diuraikan secara garis besarnya. Mengenai penyetoran atas modal saham Perseroan, Pasal 34 UUPT menentukan:

a. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainnya,

b. Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan,

c. Penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak harus diumumkan dalam 1(satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah akta pendirian ditandatangani atau setelah RUPS memutuskan penyetoran saham tersebut.

Pasal 34 tersebut sebenarnya mengandung makna yang sangat luas dan memberikan kesempatan yang luas pula kepada semua pihak yang berkeinginan menanamkan modal melalui pemilikan saham Perseroan. Dalam hal ini Pasal 34 itu memperbolehkan penyetoran atas modal saham perseroan tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya yang penilaiannya berdasarkan harga wajar sesuai harga pasar atau penilaian ahli yang independen.

Uraian di atas mengenai unsur modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham tersebut pada satu sisi memberikan makna bahwa dibaginya modal dasar kedalam saham sebenarnya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang luas kepada khalayak khususnya investor yang berminat menanamkan modal dengan jalan memiliki saham baik melalui partisipasi langsung ketika Perseroan Terbatas didirikan maupun bursa efek.

Pada sisi lainnya, pembagian kedalam saham juga dimaksudkan seperti diungkapkan oleh Mas Soebagio pada pokoknya adalah untuk mengetahui dan dapat mengukur besarnya tanggungjawab dalam arti hak dan kewajiban setiap pemegang saham dalam hubungannya dengan Perseroan Terbatas. Berdasarkan uraian tersebut diatas jelaslah bahwa Perseroan Terbatas merupakan perjanjian-perjanjian dan berarti tunduk pada Asas Kebebasan berkontrak.10

Di dalam asas tersebut yang dijelaskan di atas terkandung suatu pandangan bahwa orang bebas melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan siapa yang mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian. Asas kebebasan berkontrak perlu didampingi oleh asas yang lainnya yaitu asas yang menghendaki jaminan keseimbangan dan kepantasan menurut hukum. Asas-asas ini dapat dijumpai di dalam undang-undang, kepatutan dan ketertiban umum atau public policy dalam konsep Anglo-Amerikan.11

Pendapat di atas pada pokoknya mengemukakan setiap perjanjian haruslah mengandung kepantasan dan kepantasan itu sendiri dapat dijumpai dalam

10

Mas Soebagio, 1976, Permasalahan Dalam Bidang Hukum Pidana, Perdata & Dagang,

Alumni, Bandung, h. 135. 11

Peter Mahmud Marzuki, 2003, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak dalam : Yuridika Vol 18, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, h. 219.

undang baik secara implisit maupun eksplisit. Oleh karena itu ditentukanlah bahwa Perseroan Terbatas harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang. Disamping itu pendapatan tersebut juga menyiratkan tentang pentingnya kedudukan Undang-undang dalam hubungannya dengan perjanjian. Sehubungan dengan sub bahasan ini sebenarnya terdapat dua istilah yaitu kewenangan dan kompetensi.

Secara garis besar kedua istilah di atas memiliki pengertian yang hampir sama, akan tetapi istilah kewenangan itu sendiri pada pokoknya merupakan suatu istilah yang biasanya dipergunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Hal ini dapat disimak antara lain dari sebuah artikel yang disusun oleh Yosran yakni Pengertian kewenangan adalah Sumber-sumber kewenangan terdiri atas :12

a. ATRIBUSI, yaitu Pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/ pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-Undang. Sebagai contoh : Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk Undang-Undang.

b. DELEGASI, yaitu Penyerahan atau Pelimpahan kewenangan dari badan /lembaga pejabat tata usaha negara kepada Badan atau Lembaga pejabat tata usaha negara lain dengan konsekwensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi. Sebagai contoh : Pelaksanaan persetujuan DPRD tentang pengajuan calon wakil kepala daerah.

c. MANDAT, yaitu Pelimpahan kewenangan dengan tanggung jawab masih dipegang oleh sipemberi mandat. Sebagai contoh : tanggungjawab membuat keputusan-keputusan oleh menteri dimandatkan kepada bawahannya.

Istilah kewenangan dapat dikatakan sudah menjadi bagian dari dalam hukum administrasi negara, tampak pula istilah itu tidak ada relevansinya dengan topik

12

Yosran,2008,Teknik Pembuatan Keputusan Tata Usaha, http://ptunpdg.blogspot.com, h,1,15/09/2013,08:45 WIB.

bahasan tesis ini. Sementara itu istilah kompetensi dapat dijumpai penerapannya dalam Hukum Acara Perdata meliputi absolute kompetentie dan relatief

kompetentie.13 Absolute kompetentie atau kekuasaan mutlak menyangkut pembagian

kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili sedangkan relatief kompetentie atau kekuasaan relatif menyangkut batas wilayah dari satu macam pengadilan.14

Di samping itu istilah kompetensi atau competency dipergunakan baik dalam hukum pembuktian yang menunjukkan kesempurnaan alat bukti dan dalam hukum kontrak. Dalam bidang hukum ini, kompetensi pada pokoknya mengandung pengertian bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak yang tidak memiliki cacat mental atau tidak memiliki kapasitas.