• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Risiko Kredit dan Aspek dalam Risiko Kredit 1.Pengertian Risiko Kredit

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

PENGENDALIAN RISIKO KREDIT DAN PENGGUNAAN ANALISIS KREDIT DALAM PERBANKAN

E. Pengertian Risiko Kredit dan Aspek dalam Risiko Kredit 1.Pengertian Risiko Kredit

Risiko kredit adalah risiko kerugian yang diderita bank, terkait dengan kemungkinan bahwa pada saat jatuh tempo, counterparty-nya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank. Singkat kata, risiko kredit adalah risiko kerugian bagi bank karena debitur tidak melunasi kembali pokok pinjamannya yang disertai dengan bunganya112

Namun bagi bank, risiko kerugian menyusul terjadinya risiko kredit merupakan risiko yang wajar terjadi mengingat hal itu terkait dengan bisnis intinya berupa lending-based business. Tambahan pula, sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bank merupakan lembaga dengan tingkat leverage atau debt-equity ratio yang tinggi. Fakta itu telah menyebabkan

.

Sesungguhnya risiko kerugian ini dapat dialami oleh pihak-pihak lain pula di luar bank. Sebagai contoh, personal investor para penabung yang menempatkan pendanaannya pada suatu investasi tertentu diluar cash products, apakah berupa tabungan, dana reksa, obligasi, saham dan sebagainya. Risiko kredit ini telah menyebabkan harapan investor memperoleh bunga serta pokok investasi maupun tabungannya ataupun capital gain berubah menjadi kerugian bila bank jatuh bangkrut atau unit dana reksa gagal membayar redemption atau bila harga saham dan obligasi jatuh.

112

permodalan bank dapat tergerus habis seketika dalam waktu singkat bila para debiturnya default rates yang tinggi.

Risiko kredit juga merupakan risiko yang paling signifikan dari semua risiko yang menyebabkan kerugian potensial. Risiko kredit adalah risiko yang terjadi karena kegagalan debitur, yang menyebabkan tak terpenuhinya kewajiban untuk membayar hutang113

2. Beberapa aspek dalam Risiko Kredit .

Beberapa risiko kredit tak dapat dihindari, karena tanpa risiko tidak akan ada pendapatan. Bank dapat mengkompensasikan dengan mengatur, bahwa pemberian kredit yang mempunyai risiko tinggi harus diimbangi dengan pendapatan yang lebih tinggi, dengan suku bunga di atas normal. Namun, pemberian putusan kredit harus dapat dijamin, apakah akan lebih banyak memberikan kredit dengan tingkat pendapatan dan pengembalian tinggi, atau terlalu berisiko, karena dapat mengakibatkan risiko potensial dalam bisnis. Manajeman Risiko Kredit akan membantu dalam menentukan tingkat risiko yang dapat diterima, dengan membuat sistem, guna menentukan risiko yang dapat diterima sebelum kredit diberikan, sehingga dapat diketahui apakah sebaiknya semua permintaan kredit akan diterima atau ditolak. Sekali kredit diberikan, kondisi dari nasabah harus dapat dipantau, dan bilamana terjadi tanda-tanda kemunduran terhadap posisi nasabah akan dapat diketahui, sehingga risiko kemungkinan pembayaran terlambat dapat diantisipasi secara dini.

a) Kerangka berpikir Bank dalam pengambilan keputusan kredit

113

Terdapat perbedaan utama antara bidang industri pada umumnya dengan industri perbankan. Dalam bidang industri, pengusaha dapat menentukan sendiri secara independen mengenai berapa dan kapan harus mencari pendanaan untuk modal kerja, berapa dan kapan memulai kegiatan produksinya. Posisi independen yang demikian itu tidak terdapat dalam bidang industri perbankan. Dengan peranannya yang utama sebagai lembaga intermediasi, bank hampir dapat dikatakan tidak berada dalam posisi yang independen seperti terjadi pada bidang industri lain pada umumnya. Perbankan setiap hari berada di tengah antara arus cash-inflow dan arus cash outflow yang harus dihadapinya. Dalam posisi yang demikian itu, sisi aktiva dan pasiva pada neraca bank telah menjadi ajang yang tidak hanya mencerminkan transaksi yang dilakukan pada masyarakat pula114

Bersamaan waktunya ketika bank menerima masuknya cash inflow (berupa penempatan dana giro, deposito, tabungan, transfer dana masuk, dan lain-lain), bank juga harus mengendalikan arus cash outflow-nya. Untuk itu, bank tidak dapat berdiam diri dengan terjadinya akumulasi cash-inflow tersebut mengingat dana neto yang berada pada sisi pasiva tersebut justru merupakan porsi yang jauh lebih besar 8% - 15 % saja. Dengan terdapatnya dana masuk secara neto tersebut bank harus juga setiap saat mengambil keputusan berupa penyediaan dana bagi para pemohon kredit yang datang padanya. Dalam kaitan itulah bank memerlukan “risk-reward decision framework” atau kerangka berpikir yang tepat ketika mengambil keputusan sesuatu pemberian kredit.

.

114

Dalam risk-reward decision framework tersebut selayaknya dimuat pedoman bagaimana bank melakukan seleksi atas permohonan kredit, bagaimana bank menyikapi peluang yang terbuka bagi kemungkinan penyediaan dana serta pembelian sekuritas tertentu. Pedoman ini pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari credit appraisal techniques yang ditunjang oleh berbagai perhitungan statistik.

Dalam memperhitungkan probability of default yang dilakukan borrower, bank harus mempertimbangkan seberapa jauh hal tersebut dapat berpengaruh terhadap permodalan bank. Probability of default tersebut adalah bahwa debitur tidak membayar bunga dan melunasi pokok pinjaman. Oleh karena itu, di satu sisi bank harus membuat pencadangan tersebut harus diperhitungkan sebagai unsur pengurang atas modal bank. Di sisi lainnya, bank juga dapat membandingkannya dengan seberapa jauh reward yang dapat digali oleh bank berupa penerimaan margin dan fee dari kegiatan lending bila debitur melakukan default.

Dengan demikian, lending atau invesment decision dibuat dengan mencari titik keseimbangan antara risk dan reward tersebut karena berapa pun risiko yang harus dipikul akibat probability of default itu, bank mungkin tetap melakukan lending karena harga yang harus dibayar itu masih sebanding dengan reward yang akan diperoleh. Di sini berlaku hukum dagang universal di mana makin besar reward makin besar pula risiko atau sebaliknya.

b) Gejala Mewabahnya Risiko Kredit

Terdapat gejala yang wajib diwaspadai dalam risiko kredit. Gejala yang dimaksud adalah meluasnya pengaruh berantai yang memicu terjadinya risiko

likuiditas yang merupakan risiko kredit sistemik pada seluruh jajaran perbankan. Risiko kredit berupa probability of default tersebut mengakibatkan cash inflow bank dari penerimaan bunga dan pelunasan pokok pinjaman tidak cukup untuk melayani cash-outflow penarikan dana-dana masyarkat dari bank. Masalah likuiditas yang pada awalnya bersifat temporer ini dapat berubah menjadi struktural bila surutnya cash inflow tersebut disebabkan pula oleh merosotnya kualitas aktiva produktif yang dikelola bank. Permasalahan likuiditas yang sttuktural ini memerlukan waktu dan kucuran tambahan permodalan baru untuk mencegah terjadinya efek domino. Efek ini dapat menimpa jajaran perbankan lainnya yang dapat mengakibatkan timbulnya masalah likuiditas yang meluas115

115

Ibid.hal 223

. Melalui efek domino ini juga terbentuk rantai yang menjalari seluruh perbankan dengan permasalah likuitas yang struktural yang berakar dari terjadinya peningkatan non-performing loan (NPL) itu. Gejala itu dikenal sebagai systemic credit risk.

Oleh karena itu, ketika diketahui bahwa sebuah bank mengalami peningkatan NPL, fakta itu segera mendorong Bank Sentral dan para supervisor bank untuk segera turun tangan. Bila gejala itu terus meluas sehingga seluruh jajaran perbankan terkena, pada saat yang sama seluruh perekonomian akan mengahadapi imbas negatifnya pula. Hal inilah yang secara potensial menimbulkan suatu severe economic downturn karena seluruh jajaran perbankan menjadi lumpuh. Artinya, perbankan menjadi tidak mampu lagi melakukan ekspansi kredit karena peningkatan NPL tersebut dapat menggerus besaran modal bank sehingga tidak lagi memenuhi persyaratan modal.

c) “Zero Sum Game” dalam Market Transaction Contract

Setiap kali suatu bank melakukan market transaction contract, sesungguhnya bank tersebut berada dalam “zero sum game” dengan para counterparty-nya itu. Artinya, salah satu diantaranya pasti ada yang menghasilkan keuntungan dari kerugian yang diderita pihak lainnya dalam kontrak tersebut. Tergantung pada posisi kedua belah pihak yang berkontrak, jenis kontrak yang dilakukan dan perkembangan harga pasar underlying insturments yang melandasi kontrak tersebut.

Di luar kemungkinan kerugian yang diderita bank dalam “zero sum game” tersebut diatas terdapat pula risiko lainnya yang wajib diwaspadai, Risiko itu dikenal sebagai traded counterparty credit risk.

Adapaun traded counterparty credit risk melalui penetapan cash on delivery system sebagaimana dilakukan dalam dunia bisnis, pada kasus perbankan ini tidak dapat dapat diterapkan. Mengapa? Terdapat tiga alasan, yaitu sebagai berikut116 1) Jumlah kewajiban counterparty itu baru jatuh tempo justru ketika kontrak

berhasil menentukan siapa di antara bank dan counterparty tersebut yang menjadi pemenang dalam “zero sum game” tersebut. Dengan demikian, kredit baru terjadi justru ketika kontrak berakhir.

:

2) Jumlah kewajiban counterparty terhadap bank terus-menerus mengalami perubahan sepanjang waktu kontrak berjalan, sesuai dengan perkembangan harga dari underlying instruments yang melandasi kontrak.

3) Pemenang “zero sum game” dapat berubah sepanjang periode kontrak tergantung pada kemungkinan terjadinya perubahan arah tren harga dari

116

underlying instruments yang melandasi kontrak. Dengan demikian, siapa berkewajiban membayar kepada siapa, baru diketahui pada masa akhir kontrak.

Ada tiga langkah yang dapat ditempuh bank untuk memperkecil tingkat kerugian bagi salah satu pihak yang terkait dengan kontrak itu sebagai akibat dari traded markets counterparty credit risk tersebut, yaitu sebagai berikut:

1) Antara para pihak yang terkait dalam kontrak tersebut melakukan settlement pelunasan secara regular.

2) Masing-masing pihak terkait dengan kontrak tersebut memperjanjikan saling menyerahkan agunan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya sebesar nilai neto tagihan, yaitu ketika settlement atas kontrak tersebut jatuh waktu.

3) Para pihak yang terkait membuat perjanjian untuk melakukan “netting”. “Netting” adalah suatu proses off setting atas keuntungan dan kerugian yang terjadi antara pihak-pihak terkait itu. Netting tersebut mencakup sejumlah jenis kontrak yang sejenis atau bahkan dapat diterapkan pula atas jenis kontrak yang berbeda sekalipun.

F. Penggunaan Analisis Kredit (Credit Analysis)