BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
A. Kajian Teori
5. Pengertian Sosiologi Sastra
Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius, yang
artinya kawan dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ilmu.
Soejono Soekanto (1996: 4) menjelaskan sebagai berikut.
”Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Selain itu, sosiologi juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial.”
Menurut Sapardi Djoko Damono (1993: 11), sosiologi adalah suatu cabang
ilmu yang menelaah secara ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat
dan menelaah lembaga dan proses sosial.
Senada dengan pendapat di atas, Soedjono (1990: 2) menyatakan bahwa
commit to user
masyarakat dan tentang sosial maupun proses sosial. Sosiologi menelaah tentang
bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang, dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,
dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa sosiologi adalah
suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat
di dalamnya.
Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang)
untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu,
sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari
kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos)
berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sa s (Sanskerta)
berarti mengarahkan, mengajarkan, serta memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran
tra (Sanskerta) berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya
memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,
hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.
Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi
dewasa ini (da s sain) dan bukan apa yang seharusnya terjadi (da s solen).
commit to user
Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis
ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup dan menembus permukaan
kehidupan sosial serta menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat
dengan perasaannya. Akibatnya, hasil penelitian bidang sosiologi cenderung
sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara
manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut
pandangan orang-seorang. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Sapardi,
2003: 7).
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan
kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di
sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar
karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi
sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu
pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada
hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita
sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena
itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan,
analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk
commit to user
Lebih lanjut Sapardi (2003: 17) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi
sastra adalah pendekatan telaah sastra berdasarkan sosiologi pengarang yang
mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut
pengarang sebagai penghasil sastra. Sementara itu, Wellek dan Warren (1993:
111) membagi sosiolgi sastra menjadi tiga bagian, yaitu: (1) sosiologi pengarang,
pendekatan ini terutama membicarakan tentang status sosial ideologi sosial
pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra,
membicarakan tentang masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra, (3)
sosiologi sastra yang membicarakan tentang suatu penerimaan masyarakat
terhadap karya sastra.
Wellek dan Warren (dalam Sapardi, 2003: 94) membahas hubungan sastra
dan masyarakat sebagai berikut:
Literature is a socia l institution, using a s its medium la nguage, a socia l creation. They a re conventions and norm which could ha ve a risen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; a nd ‘life’ is, in la rge mea sure, a socia l rea lity, eventhough the natura l world a nd the inner or subjective world of the individua l ha ve a lso been objects of litera ry ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific socia l status; he recieves some degree of socia l recognition and rewa rd; he a ddresses a n audience, however hypothetica l.
Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat
yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra dan nilai kehidupan adalah dua
fenomena sosial yang saling melengkapi. Sastra sebagai produk kehidupan
commit to user
Sebuah karya fiksi, walaupun memiliki daya khayal yang tinggi, tetap tidak
pernah terlepas dari realitas kehidupan, sebab seorang pengarang adalah anggota
masyarakat yang terlibat dengan realitas kehidupan di sekitarnya. Kehidupan
adalah suatu kenyataan sosial, sebagaimana dijelaskan Sapardi (2003: 1), bahwa
sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia dan
antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 3) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut.
(1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (2). Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Tujuan penelitian sosiologi sastra ini adalah untuk mendapatkan gambaran
commit to user
sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan
timbal balik antara ketiga anasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan
pemahaman dan penghargaan terhadap sastra.
Lebih lanjut Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) mengatakan bahwa ada
sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam
rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat,
antara lain sebagai berikut.
(a) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; (b) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; (c) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; (d) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan (e) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas
dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih
mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.
Wellek dan Warren (1993: 111-1112) membagi sosiologi sastra sebagai
berikut.
(a) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan
commit to user
tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. (b) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (c) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. (Wellek dan Warren, 1993:122).
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam
Sapardi Djoko Damono, 2003: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.
(a) Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. (c) Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Grebsten (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 13) mengungkapkan istilah
pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.
(a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. (b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua,
commit to user
sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. (f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.
Lebih lanjut Sapardi Djoko Damono (2003: 14) mengemukakan bahwa
segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi
yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam
kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan
oleh Teeuw (2003: 220) mengatakan bahwa dunia empiri tak mewakili dunia
sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan
pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan
mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik
harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman
harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.
Suwardi Endraswara (2003: 79) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering
mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,
berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara itu, Faruk (1994: 1)
memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf
mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses
sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan
mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
lembaga-commit to user
lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama
membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan
keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur
sosial. Sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara
menyesuaikan dirinya dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu,
gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang
dengannya, individu-individu dialokasikannya dan menerima peranan tertentu
dalam struktur sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak
penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi.
Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama
dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami
sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara
keseluruhan.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.
(a) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (b) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (c) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (d) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika,
commit to user
bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (e) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan
sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis
penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.
Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian
sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara
permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih
mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra
biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat atau diasumsikan sebagai
salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar
dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat
secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan
sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.
Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine,
commit to user
timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang memengaruhi,
yaitu ras, saat, dan lingkungan (dalam Wiyatmi, 2009: 17). Hubungan
timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental
pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, meluruskan
bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian
seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpreta ble tentu
kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti
sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan
lingkungan.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian, Eagleton (dalam Faruk,
1994: 75), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum
Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang
dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra, karenanya, merupakan suatu refleksi
llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi
sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik
yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Swingewood (dalam Faruk, 1994: 15),
dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus
berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini senada dengan
pendapat Sapardi Djoko Damono, bahwa analisis sosiologi karya sastra
melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara
refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan
commit to user
Berkaitan dengan ini, Teeuw (1984: 18) mengemukakan ada empat cara yang
mungkin dilalui, yaitu: (a) afirmasi, melalui norma yang sudah ada; (b) restorasi,
sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang; (c) negasi, dengan
mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku; (d) inovasi,
dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.
Berkenaan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (dalam
Faruk, 1994: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagat yang merupakan
tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai
makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah
yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.