• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Sosiologi Sastra

Dalam dokumen RATNA SUSANTI S841008024 (Halaman 43-54)

BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

A. Kajian Teori

5. Pengertian Sosiologi Sastra

Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius, yang

artinya kawan dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ilmu.

Soejono Soekanto (1996: 4) menjelaskan sebagai berikut.

”Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Selain itu, sosiologi juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial.”

Menurut Sapardi Djoko Damono (1993: 11), sosiologi adalah suatu cabang

ilmu yang menelaah secara ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat

dan menelaah lembaga dan proses sosial.

Senada dengan pendapat di atas, Soedjono (1990: 2) menyatakan bahwa

commit to user

masyarakat dan tentang sosial maupun proses sosial. Sosiologi menelaah tentang

bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang, dengan mempelajari

lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,

dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa sosiologi adalah

suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat

di dalamnya.

Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam

masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk

mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang)

untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu,

sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari

kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos)

berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sa s (Sanskerta)

berarti mengarahkan, mengajarkan, serta memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran

tra (Sanskerta) berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya

memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian,

hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral.

Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi

dewasa ini (da s sain) dan bukan apa yang seharusnya terjadi (da s solen).

commit to user

Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis

ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup dan menembus permukaan

kehidupan sosial serta menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat

dengan perasaannya. Akibatnya, hasil penelitian bidang sosiologi cenderung

sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara

manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut

pandangan orang-seorang. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan

segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Sapardi,

2003: 7).

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada

semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.

Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan

kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di

sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar

karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi

sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu

pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada

hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita

sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena

itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan,

analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk

commit to user

Lebih lanjut Sapardi (2003: 17) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi

sastra adalah pendekatan telaah sastra berdasarkan sosiologi pengarang yang

mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut

pengarang sebagai penghasil sastra. Sementara itu, Wellek dan Warren (1993:

111) membagi sosiolgi sastra menjadi tiga bagian, yaitu: (1) sosiologi pengarang,

pendekatan ini terutama membicarakan tentang status sosial ideologi sosial

pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra,

membicarakan tentang masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra, (3)

sosiologi sastra yang membicarakan tentang suatu penerimaan masyarakat

terhadap karya sastra.

Wellek dan Warren (dalam Sapardi, 2003: 94) membahas hubungan sastra

dan masyarakat sebagai berikut:

Literature is a socia l institution, using a s its medium la nguage, a socia l creation. They a re conventions and norm which could ha ve a risen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; a nd ‘life’ is, in la rge mea sure, a socia l rea lity, eventhough the natura l world a nd the inner or subjective world of the individua l ha ve a lso been objects of litera ry ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific socia l status; he recieves some degree of socia l recognition and rewa rd; he a ddresses a n audience, however hypothetica l.

Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat

yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra dan nilai kehidupan adalah dua

fenomena sosial yang saling melengkapi. Sastra sebagai produk kehidupan

commit to user

Sebuah karya fiksi, walaupun memiliki daya khayal yang tinggi, tetap tidak

pernah terlepas dari realitas kehidupan, sebab seorang pengarang adalah anggota

masyarakat yang terlibat dengan realitas kehidupan di sekitarnya. Kehidupan

adalah suatu kenyataan sosial, sebagaimana dijelaskan Sapardi (2003: 1), bahwa

sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu

kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan

antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia dan

antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 3) ada beberapa hal yang harus

dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan

dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai

berikut.

(1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (2). Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Tujuan penelitian sosiologi sastra ini adalah untuk mendapatkan gambaran

commit to user

sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan

timbal balik antara ketiga anasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan

pemahaman dan penghargaan terhadap sastra.

Lebih lanjut Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) mengatakan bahwa ada

sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam

rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat,

antara lain sebagai berikut.

(a) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; (b) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; (c) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; (d) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan (e) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas

dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang

dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih

mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.

Wellek dan Warren (1993: 111-1112) membagi sosiologi sastra sebagai

berikut.

(a) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan

commit to user

tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. (b) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (c) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. (Wellek dan Warren, 1993:122).

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam

Sapardi Djoko Damono, 2003: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.

(a) Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. (c) Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Grebsten (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 13) mengungkapkan istilah

pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.

(a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. (b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua,

commit to user

sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. (f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.

Lebih lanjut Sapardi Djoko Damono (2003: 14) mengemukakan bahwa

segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi

yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam

kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan

oleh Teeuw (2003: 220) mengatakan bahwa dunia empiri tak mewakili dunia

sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan

pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan

mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik

harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman

harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.

Suwardi Endraswara (2003: 79) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra

adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering

mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya,

berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara itu, Faruk (1994: 1)

memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf

mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses

sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan

mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan

lembaga-commit to user

lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama

membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan

keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur

sosial. Sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara

menyesuaikan dirinya dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu,

gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang

dengannya, individu-individu dialokasikannya dan menerima peranan tertentu

dalam struktur sosial itu.

Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak

penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi.

Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama

dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami

sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara

keseluruhan.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus

dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan

harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.

(a) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (b) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (c) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (d) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika,

commit to user

bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (e) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat

meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti

menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.

Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.

Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan

sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis

penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian

sastra karena sumber-sumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara

permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih

mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra

biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat.

Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat atau diasumsikan sebagai

salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar

dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat

secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan

sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa,

gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya.

Perkembangan sosiolgi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine,

commit to user

timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang memengaruhi,

yaitu ras, saat, dan lingkungan (dalam Wiyatmi, 2009: 17). Hubungan

timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental

pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Taine, meluruskan

bahwa sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip penelitian

seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multi-interpreta ble tentu

kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti

sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan

lingkungan.

Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai kajian, Eagleton (dalam Faruk,

1994: 75), mengemukakan bahwa sosiologi sastra menonjol dilakukan oleh kaum

Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang

dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra, karenanya, merupakan suatu refleksi

llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi

sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik

yang dikembangkan dalam karya sastra.

Sebagaimana yang dikemukakan Swingewood (dalam Faruk, 1994: 15),

dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus

berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini senada dengan

pendapat Sapardi Djoko Damono, bahwa analisis sosiologi karya sastra

melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara

refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata-mata melukiskan keadaan

commit to user

Berkaitan dengan ini, Teeuw (1984: 18) mengemukakan ada empat cara yang

mungkin dilalui, yaitu: (a) afirmasi, melalui norma yang sudah ada; (b) restorasi,

sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang; (c) negasi, dengan

mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku; (d) inovasi,

dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada.

Berkenaan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (dalam

Faruk, 1994: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagat yang merupakan

tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai

makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah

yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.

Dalam dokumen RATNA SUSANTI S841008024 (Halaman 43-54)

Dokumen terkait