• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Cerpen

Dalam dokumen RATNA SUSANTI S841008024 (Halaman 34-43)

BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

A. Kajian Teori

4. Struktur Cerpen

Kata struktur berasal dari kata struktur, yang mempunyai arti kesatuan yang

terdiri atas bagian-bagian yang hanya bermakna dalam totalitas. Sebuah struktur

karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk

dari serangkaian unsur-unsurnya (Piaget, 1995: viii). Artinya, teori strukturalisme

ini memberikan porsi perhatian yang cukup besar terhadap analisis unsur-unsur

karya. Analisis unsur-unsur tersebut diberlakukan pada setiap karya sastra, baik

karya sastra pada jenis yang sama maupun yang berbeda.

Sebagaimana dikatakan oleh Teeuw, analisis struktural dilakukan untuk

membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semendetail, dan sedalam

mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang

bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu

struktur itu sendiri dengan mencari antarhubungannya dari tiap-tiap unsur

struktural. Di pihak satu, antarhubungan unsur dengan unsur yang lain, sedangkan

di pihak lain, hubungan antarunsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak

commit to user

tetapi juga bersifat negatif, seperti konflik dan pertentangan (Nyoman Kutha

Ratna, 2011: 91). Karya sastra merupakan unsur-unsur yang bersistem, antara

unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Artinya,

struktur yang digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas

pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem.

Sebuah struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan

pengaturan diri. Totalitas ini dimaksudkan bahwa struktur terbentuk dari

serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu harus tunduk pada kaidah-kaidah yang

mencirikan sistem sebagai suatu sistem. Transformasi, dimaksudkan bahwa

perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan

mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Pengaturan diri

dimaksudkan bahwa struktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah intrinsik dari

hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri apabila ada unsur yang berubah

atau hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16).

Unsur pembangun struktur ini, menurut Stanton (dalam Retno Winarni,

2009: 12) adalah sebagai berikut.

”Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. (1) Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. (2) Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imajinasi, serta cara-cara pemilihan judul di dalam karya sastra. (3) Sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imajinasi, dan cara-cara pemilihan judul dalam karya sastra.”

commit to user

Berkaitan dengan unsur pembangun struktur cerpen di atas, Abrams (dalam

Siswantoro, 2010: 64) mengatakan secara jelas sebagai berikut.

”Masih ada lagi studi lain, yaitu studi objektif, yang pada dasarnya memandang karya sastra adalah karya yang mencakup diri sendiri, terbebaskan dari faktor-faktor eksternal sebagai rujukan. Sebagai karya yang mencakupi diri sendiri, karya sastra dibangun oleh bagian-bagiannya dan relasi internalnya, sehingga memberi penilaian terhadap karya sastra adalah berdasar kriteria intrinsiknya sebagai unsur-unsur pembentuk struktur.”

Sebagai cerita rekaan, cerpen merupakan sebuah struktur yang

diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya,

work of a rt, dari gagasan-gagasan pengarang. Cerpen juga memiliki konvensinya

sendiri, yaitu konvensi sastra sesuai ”watak otonom” karya sastra. Hal ini

sebagaimana dikatakan oleh Teeuw (2003: 11), bahwa ”Karya sastra merupakan

keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, serta yang boleh dan

yang harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang

tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.”

Unsur-unsur pembangun cerita rekaan ini memiliki banyak aspek, menurut

Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 137), bahwa unsur-unsur tersebut

meliputi: (1) plot, (2) pelaku, (3) dialog dan karakteristik, (4) setting yang

meliputi timing dan a ction, (5) gaya penceritaan (style), dan (6) filsafat hidup

pengarang. Oleh karenanya, pemahaman terhadap cerita rakaan (cerpen) sudah

seharusnya mempertimbangkan keutuhan struktur karya yang merupakan

keutuhan konstruksi ”bangunan karya” dalam jaringan interaksi unsur-unsur

commit to user

berdasarkan konvensi sastranya. Demikian pula Jakob Sumardjo (1982: 11)

mencantumkan unsur-unsur fiksi (cerpen) sebagai berikut: (1) plot atau alur, (2)

karakter atau penokohan, (3) tema, (4) setting atau latar, (5) suasana, (6) gaya, dan

(7) sudut pandang penceritaan. Unsur-unsur tersebut saling terkait, jalin-menjalin,

keseluruhan memberi makna pada bagian, serta antara dan keseluruhan juga saling

memberi makna. Makna keseluruhan ditentukan oleh bagian-bagian, sebaliknya

makna bagian ditentukan oleh keseluruhan.

Hal ini senada dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2002: 68), bahwa

unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (cerpen) meliputi berikut ini.

a. Tema

Hutagalung dalam Wiyatmi (2009: 18) mengatakan bahwa tema adalah

persoalan yang berhasil menduduki tempat dalam cerita dan bukan pikiran

pengarang. Penelaah atau pembaca bukan memahami pengarangnya, melainkan

karya sastranya. Panuti Sudjiman (1991: 50) juga menyatakan bahwa tema adalah

gagasan, ide, atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra. Tema

kadang-kadang didukung oleh pelukisan data di dalam penokohan. Tema bahkan dapat

menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa di dalam alur. Tema dapat

dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra (cerpen).

Pengertian tema, menurut Stanton (dalam Wiyatmi, 2009: 10) adalah

makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar

unsur-unsurnya dengan cara yang sederhana, yang dapat bersinonim dengan ide cerita

(centra l idea) dan tujuan utama (centra l purpose). Lebih lanjut Stanton

commit to user

didukung oleh penceritaan yang dihasilkannya, sehingga peristiwa konflik,

pemikiran, dan unsur-unsur lainnya diusahakan mampu mencerminkan dasar

utama dalam membangun karya sastra.

Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh

pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita sehingga berbagai

peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti

penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan

gagasan dasar umum tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 70).

b. Plot

Plot merupakan suatu rangkaian cerita yang dijalin untuk menggerakkan

jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian (Panuti Sudjiman,

1991: 21). Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, antara peristiwa yang satu

dengan peristiwa yang lain, peristiwa yang diceritakan lebih dahulu, kemudian

terdapat hubungan sifat yang berkaitan. Rangkaian itu dapat diwujudkan oleh

adanya hubungan sebab-akibat. Lebih lanjut, William Kenney (1966: 13-14)

menyatakan sebagai berikut.

Plot revea ls event to us, not only in their tempora l, but a lso in rela tionships. Plot ma kes us a wa re of events not merely a s elements in tempora l series, but a lso as an intricate pattern of ca use and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ a rra ngement” we ca ll plot is likely to ta ke. For, underlying the evident diversity of fiction, we ma y discern certain recurring patterns.

Beberapa tahapan mengenai plot menurut Saad Saleh (dalam Burhan

commit to user

(1) Tahap penyituasian (situation). Pada tahap pertama ini berisi pelukisan

dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Pemberian informasi awal dan berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisah pada tahap

berikutnya. (2) Tahap pemunculan konflik (genera ting circumta nces).

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap

berikutnya. (3) Tahap peningkatan konflik (rising a ction). Konflik yang

dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks

semakin tak dapat dihindari. (4) Tahap klimaks (clima x). Konflik atau

pertentangan yang terjadi yang ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya

konflik utama. (5) Tahap penyelesaian (denouement). Konflik yang telah

mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 110), plot merupakan unsur fiksi

yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggapnya sebagai yang terpenting

di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,

2002: 113), mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur

peristiwa-peristiwa sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian

berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik

tertentu. Dengan demikian, plot merupakan perpaduan unsur-unsur yang

membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.

Pengarang memiliki kebebasan untuk memilih cara dalam

commit to user

sebagainya sesuai dengan selera estetisnya. Dalam usaha pengembangan plot,

pengarang memiliki aturan atau kaidah yang perlu dipertimbangkan. Hal ini

sebagaimana dikatakan Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2010: 135-138)

berikut ini.

(1) Plausibilitas (pla usibility), yaitu plot sebuah cerita haruslah dapat dipercaya oleh pembaca. Plausibilitas bisa saja dikaitkan dengan realitas

kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. (2) Suspense,

artinya mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Unsur suspense, akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita. (3) Surprise, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. (4)

Kesatupaduan, keutuhan, unity. Artinya, unsur yang ditampilkan,

khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa plot merupakan

jalinan urutan peristiwa yang membentuk cerita, sehingga cerita dapat berjalan

beruntun, dari awal hingga akhir, dan pesan-pesan pengarang dapat diungkap oleh

pembaca. Plot juga sebagai suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang

merupakan rangkaian tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik di

dalamnya.

c. Tokoh dan Penokohan

Penokohan adalah salah satu unsur terpenting, sebab keberhasilan suatu

commit to user

diperkenalkan dengan jelas. Istilah tokoh menunjukkan pula penempatan tokoh

tertentu, karakter-karakter tertentu dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro,

2002: 165). Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki unsur fisiologis yang

berkaitan dengan fisik, unsur psikologis yang menyangkut psikis tokoh, serta

unsur sosiologis yang berkaitan dengan lingkungan sosial tokoh.

Tokoh cerita berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu tokoh pipih (datar) dan tokoh bulat. Tokoh pipih adalah tokoh yang disoroti

dari wataknya saja, sikap, atau observasi tertentu saja. Tokoh pipih bersifat statis,

di dalam perkembangannya watak itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya

tidak berubah sama sekali. Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih dari

satu segi watak yang digarap dalam cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari

tokoh yang lain. Watak yang disandang tokoh tersebut sangat kompleks (Panuti

Sudjiman, 1991: 21).

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165), tokoh cerita

adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh

pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti

yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Kehadiran unsur penokohan ini selanjutnya sangat berarti dalam sebuah

cerita, mengingat semua peristiwa dan berbagai masalah yang muncul

digambarkan melalui tokoh-tokoh cerita. Pengarang dalam ceritanya menciptakan

tokoh tertentu dengan kekhasan karakternya tidak sebagai pelengkap, tetapi lebih

dari itu sebagai alat untuk melukiskan persoalan-persoalan yang dilihat dalam

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

penokohan adalah penyajian watak dan penciptaan citra tentang seseorang (tokoh)

yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan

tokoh utama tidak terletak pada frekuensi kemunculan tokoh tersebut, tetapi

berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa-peristiwa yang

membangun cerita (Panuti Sudjiman, 1991: 18).

d. Latar (Setting)

Latar adalah tempat suasana atau lingkungan yang mewarnai peristiwa,

tercakup pula lokasi atau tempat peristiwa, suasana sosial budaya maupun suasana

tokoh cerita (Atmazaki, 1990: 62). Hal ini senada dengan ungkapan Panuti

Sudjiman (1991: 46), bahwa latar adalah segala keterangan mengenai watak,

ruang, dan suasana terjadinya dalam kenyataan. Latar adalah segala ketentuan

mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

Latar yang baik dapat dapat dideskripsikan secara lebih jelas,

peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga

cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi (Sugihastuti, 2007: 168). Latar juga

dapat diartikan sebagai keterangan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam

Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216).

Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (2002: 227) memberikan deskripsi latar

karya sastra yang dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,

dan sosial. Latar tempat adalah penggambaran lokasi terjadinya peristiwa yang

commit to user

tempat-tempat dan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa

nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah-masalah ”kapan”

terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat

di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial

masyaraat mencakup berbagai masalah yang kompleks, misalnya dapat berupa

kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,

dan bersikap.

Dalam dokumen RATNA SUSANTI S841008024 (Halaman 34-43)

Dokumen terkait