BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,
A. Kajian Teori
4. Struktur Cerpen
Kata struktur berasal dari kata struktur, yang mempunyai arti kesatuan yang
terdiri atas bagian-bagian yang hanya bermakna dalam totalitas. Sebuah struktur
karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk
dari serangkaian unsur-unsurnya (Piaget, 1995: viii). Artinya, teori strukturalisme
ini memberikan porsi perhatian yang cukup besar terhadap analisis unsur-unsur
karya. Analisis unsur-unsur tersebut diberlakukan pada setiap karya sastra, baik
karya sastra pada jenis yang sama maupun yang berbeda.
Sebagaimana dikatakan oleh Teeuw, analisis struktural dilakukan untuk
membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semendetail, dan sedalam
mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang
bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu
struktur itu sendiri dengan mencari antarhubungannya dari tiap-tiap unsur
struktural. Di pihak satu, antarhubungan unsur dengan unsur yang lain, sedangkan
di pihak lain, hubungan antarunsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak
commit to user
tetapi juga bersifat negatif, seperti konflik dan pertentangan (Nyoman Kutha
Ratna, 2011: 91). Karya sastra merupakan unsur-unsur yang bersistem, antara
unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Artinya,
struktur yang digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas
pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem.
Sebuah struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan
pengaturan diri. Totalitas ini dimaksudkan bahwa struktur terbentuk dari
serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu harus tunduk pada kaidah-kaidah yang
mencirikan sistem sebagai suatu sistem. Transformasi, dimaksudkan bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan
mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Pengaturan diri
dimaksudkan bahwa struktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah intrinsik dari
hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri apabila ada unsur yang berubah
atau hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16).
Unsur pembangun struktur ini, menurut Stanton (dalam Retno Winarni,
2009: 12) adalah sebagai berikut.
”Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. (1) Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. (2) Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imajinasi, serta cara-cara pemilihan judul di dalam karya sastra. (3) Sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imajinasi, dan cara-cara pemilihan judul dalam karya sastra.”
commit to user
Berkaitan dengan unsur pembangun struktur cerpen di atas, Abrams (dalam
Siswantoro, 2010: 64) mengatakan secara jelas sebagai berikut.
”Masih ada lagi studi lain, yaitu studi objektif, yang pada dasarnya memandang karya sastra adalah karya yang mencakup diri sendiri, terbebaskan dari faktor-faktor eksternal sebagai rujukan. Sebagai karya yang mencakupi diri sendiri, karya sastra dibangun oleh bagian-bagiannya dan relasi internalnya, sehingga memberi penilaian terhadap karya sastra adalah berdasar kriteria intrinsiknya sebagai unsur-unsur pembentuk struktur.”
Sebagai cerita rekaan, cerpen merupakan sebuah struktur yang
diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya,
work of a rt, dari gagasan-gagasan pengarang. Cerpen juga memiliki konvensinya
sendiri, yaitu konvensi sastra sesuai ”watak otonom” karya sastra. Hal ini
sebagaimana dikatakan oleh Teeuw (2003: 11), bahwa ”Karya sastra merupakan
keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, serta yang boleh dan
yang harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang
tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.”
Unsur-unsur pembangun cerita rekaan ini memiliki banyak aspek, menurut
Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 137), bahwa unsur-unsur tersebut
meliputi: (1) plot, (2) pelaku, (3) dialog dan karakteristik, (4) setting yang
meliputi timing dan a ction, (5) gaya penceritaan (style), dan (6) filsafat hidup
pengarang. Oleh karenanya, pemahaman terhadap cerita rakaan (cerpen) sudah
seharusnya mempertimbangkan keutuhan struktur karya yang merupakan
keutuhan konstruksi ”bangunan karya” dalam jaringan interaksi unsur-unsur
commit to user
berdasarkan konvensi sastranya. Demikian pula Jakob Sumardjo (1982: 11)
mencantumkan unsur-unsur fiksi (cerpen) sebagai berikut: (1) plot atau alur, (2)
karakter atau penokohan, (3) tema, (4) setting atau latar, (5) suasana, (6) gaya, dan
(7) sudut pandang penceritaan. Unsur-unsur tersebut saling terkait, jalin-menjalin,
keseluruhan memberi makna pada bagian, serta antara dan keseluruhan juga saling
memberi makna. Makna keseluruhan ditentukan oleh bagian-bagian, sebaliknya
makna bagian ditentukan oleh keseluruhan.
Hal ini senada dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2002: 68), bahwa
unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (cerpen) meliputi berikut ini.
a. Tema
Hutagalung dalam Wiyatmi (2009: 18) mengatakan bahwa tema adalah
persoalan yang berhasil menduduki tempat dalam cerita dan bukan pikiran
pengarang. Penelaah atau pembaca bukan memahami pengarangnya, melainkan
karya sastranya. Panuti Sudjiman (1991: 50) juga menyatakan bahwa tema adalah
gagasan, ide, atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra. Tema
kadang-kadang didukung oleh pelukisan data di dalam penokohan. Tema bahkan dapat
menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa di dalam alur. Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra (cerpen).
Pengertian tema, menurut Stanton (dalam Wiyatmi, 2009: 10) adalah
makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar
unsur-unsurnya dengan cara yang sederhana, yang dapat bersinonim dengan ide cerita
(centra l idea) dan tujuan utama (centra l purpose). Lebih lanjut Stanton
commit to user
didukung oleh penceritaan yang dihasilkannya, sehingga peristiwa konflik,
pemikiran, dan unsur-unsur lainnya diusahakan mampu mencerminkan dasar
utama dalam membangun karya sastra.
Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh
pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita sehingga berbagai
peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti
penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan
gagasan dasar umum tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 70).
b. Plot
Plot merupakan suatu rangkaian cerita yang dijalin untuk menggerakkan
jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian (Panuti Sudjiman,
1991: 21). Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, antara peristiwa yang satu
dengan peristiwa yang lain, peristiwa yang diceritakan lebih dahulu, kemudian
terdapat hubungan sifat yang berkaitan. Rangkaian itu dapat diwujudkan oleh
adanya hubungan sebab-akibat. Lebih lanjut, William Kenney (1966: 13-14)
menyatakan sebagai berikut.
Plot revea ls event to us, not only in their tempora l, but a lso in rela tionships. Plot ma kes us a wa re of events not merely a s elements in tempora l series, but a lso as an intricate pattern of ca use and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ a rra ngement” we ca ll plot is likely to ta ke. For, underlying the evident diversity of fiction, we ma y discern certain recurring patterns.
Beberapa tahapan mengenai plot menurut Saad Saleh (dalam Burhan
commit to user
(1) Tahap penyituasian (situation). Pada tahap pertama ini berisi pelukisan
dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Pemberian informasi awal dan berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisah pada tahap
berikutnya. (2) Tahap pemunculan konflik (genera ting circumta nces).
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap
berikutnya. (3) Tahap peningkatan konflik (rising a ction). Konflik yang
dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks
semakin tak dapat dihindari. (4) Tahap klimaks (clima x). Konflik atau
pertentangan yang terjadi yang ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya
konflik utama. (5) Tahap penyelesaian (denouement). Konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 110), plot merupakan unsur fiksi
yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggapnya sebagai yang terpenting
di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2002: 113), mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur
peristiwa-peristiwa sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian
berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik
tertentu. Dengan demikian, plot merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.
Pengarang memiliki kebebasan untuk memilih cara dalam
commit to user
sebagainya sesuai dengan selera estetisnya. Dalam usaha pengembangan plot,
pengarang memiliki aturan atau kaidah yang perlu dipertimbangkan. Hal ini
sebagaimana dikatakan Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2010: 135-138)
berikut ini.
(1) Plausibilitas (pla usibility), yaitu plot sebuah cerita haruslah dapat dipercaya oleh pembaca. Plausibilitas bisa saja dikaitkan dengan realitas
kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. (2) Suspense,
artinya mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Unsur suspense, akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita. (3) Surprise, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. (4)
Kesatupaduan, keutuhan, unity. Artinya, unsur yang ditampilkan,
khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa plot merupakan
jalinan urutan peristiwa yang membentuk cerita, sehingga cerita dapat berjalan
beruntun, dari awal hingga akhir, dan pesan-pesan pengarang dapat diungkap oleh
pembaca. Plot juga sebagai suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang
merupakan rangkaian tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik di
dalamnya.
c. Tokoh dan Penokohan
Penokohan adalah salah satu unsur terpenting, sebab keberhasilan suatu
commit to user
diperkenalkan dengan jelas. Istilah tokoh menunjukkan pula penempatan tokoh
tertentu, karakter-karakter tertentu dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro,
2002: 165). Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki unsur fisiologis yang
berkaitan dengan fisik, unsur psikologis yang menyangkut psikis tokoh, serta
unsur sosiologis yang berkaitan dengan lingkungan sosial tokoh.
Tokoh cerita berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu tokoh pipih (datar) dan tokoh bulat. Tokoh pipih adalah tokoh yang disoroti
dari wataknya saja, sikap, atau observasi tertentu saja. Tokoh pipih bersifat statis,
di dalam perkembangannya watak itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya
tidak berubah sama sekali. Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih dari
satu segi watak yang digarap dalam cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari
tokoh yang lain. Watak yang disandang tokoh tersebut sangat kompleks (Panuti
Sudjiman, 1991: 21).
Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165), tokoh cerita
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Kehadiran unsur penokohan ini selanjutnya sangat berarti dalam sebuah
cerita, mengingat semua peristiwa dan berbagai masalah yang muncul
digambarkan melalui tokoh-tokoh cerita. Pengarang dalam ceritanya menciptakan
tokoh tertentu dengan kekhasan karakternya tidak sebagai pelengkap, tetapi lebih
dari itu sebagai alat untuk melukiskan persoalan-persoalan yang dilihat dalam
commit to user
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
penokohan adalah penyajian watak dan penciptaan citra tentang seseorang (tokoh)
yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan
tokoh utama tidak terletak pada frekuensi kemunculan tokoh tersebut, tetapi
berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa-peristiwa yang
membangun cerita (Panuti Sudjiman, 1991: 18).
d. Latar (Setting)
Latar adalah tempat suasana atau lingkungan yang mewarnai peristiwa,
tercakup pula lokasi atau tempat peristiwa, suasana sosial budaya maupun suasana
tokoh cerita (Atmazaki, 1990: 62). Hal ini senada dengan ungkapan Panuti
Sudjiman (1991: 46), bahwa latar adalah segala keterangan mengenai watak,
ruang, dan suasana terjadinya dalam kenyataan. Latar adalah segala ketentuan
mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.
Latar yang baik dapat dapat dideskripsikan secara lebih jelas,
peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga
cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi (Sugihastuti, 2007: 168). Latar juga
dapat diartikan sebagai keterangan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam
Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216).
Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (2002: 227) memberikan deskripsi latar
karya sastra yang dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial. Latar tempat adalah penggambaran lokasi terjadinya peristiwa yang
commit to user
tempat-tempat dan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa
nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah-masalah ”kapan”
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat
di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyaraat mencakup berbagai masalah yang kompleks, misalnya dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir,
dan bersikap.