• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan barang setengah jadi merupakan proses lanjutan dari hasil pengolahan rotan bahan mentah baik rotan kecil maupun rotan besar. Produk hasil pengolahan ini terdiri dari: rotan bulat kupasan (polis halus), kulit rotan, hati rotan dan komponen mebel terpisah. Pada beberapa industri rotan yang cukup besar, pengolahan barang setengah jadi bersatu dengan barang jadi sehingga sukar membedakan tahap pengolahannya.

Untuk memberikan gambaran tentang besarnya penyusutan yang terjadi mulai dari rotan dipanen sampai menghasilkan produk barang setengah jadi dari rotan besar dan dari rotan kecil dapat dilihat masing – masing pada Lampiran 13 dan 14.

Langkah kegiatan pengolahan barang setengah jadi berbeda untuk rotan besar dengan rotan kecil, seperti diuraikan di bawah ini.

1. Rotan Besar

Proses polis kasar, polis halus dan pengampelasan umumnya dilakukan dengan mesin. Sedangkan proses kikis kulit (scrapping) menggunakan mesin kupas. Pada beberapa pabrik, untuk kikis kulit ada yang dilakukan secara manual dengan menggunakan ketam.

Perbedaan pemolisan dan pengikisan kulit, yaitu proses yang disebut pertama mengeluarkan lapisan kortek lebih tipis dibandingkan proses pengikisan kulit. Besarnya lapisan kortek yang terbuang dalam proses pemolisan berkisar antara 2,4 – 2,8 mm dan rendemen adalah 80 – 90% berdasarkan berat rotan (Basri dkk, 1998)

Bagan alir pengolahan rotan besar disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan besar.

ROTAN BAHAN MENTAH

NATURAL CANE SCRAPPINGS

BARANG SETENGAH JADI BUNDLING / STORAGE PENGIRIMAN PENGAMPELASAN PENGAMPELASAN PEMBENGKOKAN PEMUTIHAN PEMUTIHAN POLIS HALUS

2. Rotan kecil

Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil disajikan pada Gambar 21. Hampir seluruh rotan kecil pengolahannya melalui proses pembelahan lebih dahulu sebelum dipasarkan. Sebagian kecil rotan yang tidak dibelah digunakan sebagai natural cane pada barang jadi. Sebelum pembelahan, rotan bulat biasanya direndam atau tanpa perendaman (lihat juga Gambar 16).

Gambar 21. Bagan alir pengolahan barang setengah jadi rotan kecil

Proses pembelahan menghasilkan rotan belahan kulit dan rotan belahan hati yang masih kasar. Rotan belahan kulit dihaluskan dan diratakan sisi-sisinya dengan mesin trimmer menghasilkan rotan kulit

ROTAN BAHAN MENTAH

PEMBELAHAN MESIN/ TANGAN

PEMUTIHAN ROTAN KULIT

TRIMMING KULIT

ROTAN KULIT BERBAGAI UKURAN PENCUCIAN SISA SILICIOUS

ROTAN HATI PEMBENTUKAN HATI

ROTAN HATI BERBAGAI BENTUK & UKURAN

BUNDLING / STORAGE CONDITIONING

PENCUCIAN SISA BAHAN PEMUTIH PERENDAMAN / TANPA

berukuran lebar maksimum 8 mm dan tebal maksimum 1,3 cm dengan dimensi yang sama sepanjang lembaran. Rotan belahan hati yang masih kasar dilanjutkan pengolahannya dengan proses pembentukan hati menggunakan mesin split dengan memasang berbagai macam pisau sesuai dengan bentuk hati rotan yang diinginkan (bulat, elips, persegi dan lain – lain).

3. Pemutihan

Berbagai macam cara pemutihan baik untuk rotan kulit maupun rotan hati sudah banyak dilakukan orang. Beberapa teori mengemukakan bahwa rotan kulit sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat asam dan sebelum pemutihan rotan kulit direndam dalam larutan Hidrogen Fluorida (HF) untuk mencuci sisa silicious yang terdapat pada kulit. Sedangkan untuk rotan hati sebaiknya diputihkan dengan larutan yang bersifat basa (alkalis). Hasil pemutihan, baik rotan hati dan kulit, dicuci dengan alkohol untuk menghilangkan sisa–sisa bahan pemutih (Simatupang, 1978).

Berbagai cara dan bahan kimia telah dilakukan untuk pemutihan rotan. Pemutihan dengan cara pembakaran belerang dalam ruang tertutup atau disebut juga pengasapan adalah teknik pemutihan yang sudah lama dikenal orang. Pengasapan biasanya dilakukan pada rotan bahan mentah. Sedangkan istilah pemutihan adalah untuk barang setengah jadi yang biasanya dilakukan dengan cara perendaman atau pelaburan dalam bahan kimia.

Pemutihan dapat dilakukan dengan larutan Natrium klorit (NaClO2). Natrium klorit pada konsentrasi 2% bila digunakan untuk pemutihan rotan kulit akan menghasilkan rotan dengan warna yang cerah serta tidak mempengaruhi sifat mekaniknya. Natrium Klorit dapat juga digunakan untuk pemutihan rotan hati.

Penggunaan kaporit untuk bahan pemutih rotan belum banyak di lakukan di Indonesia. Beberapa pengusaha rotan di Tegalwangi Cirebon telah mencoba menggunakan kaporit untuk pemutihan. Hasilnya menunjukan rotan yang bersih dan warna mengkilap. Reaksi yang berlangsung pada pemutihan kaporit adalah sebagai berikut :

On akan mengoksidasi zat warna dan lignin sehingga berwarna putih bersih. Selain tiu kaporit apabila bereaksi dengan air akan terbentuk asam hipoklorit yang akan mengoksidasi zat warna dan melarutkan sebagian lignin sehingga sehingga sifat kekuatan rotan dapat menurun. Hasil penelitian pemutihan dengan kaporit dan NaOH pada berbagai tingkat konsentrasi menunjukan bahwa penigkatan konsentrasi bahan pemutih akan meningkatkan nilai warna namun akan menurunkan sifat kekuatan (Darma, 1987).

Rachman et al. (1994) telah menggunakan larutan perhidrol (H2O2) pada kisaran konsentrasi sekitar 10 – 30% untuk pemutihan rotan batang (C. ornatus) dengan cara pelaburan. Larutan itu dicampur dengan larutan soda api (NaOH) pada konsentrasi 1,5 – 4,5% atau air kaca (Na2SiO3) pada konsentrasi 5 – 15%.

Mekanisme reaksi kimia yang bekerja pada proses pemutihan dengan perhidrol adalah sebagai berikut :

1. HOO ¯ + H + (perhidroksil ion) H2O2

2. H2O + On (oksigen radikal)

Adanya penambahan NaOH (suasana basa) atau air kaca akan membentuk perhidroksil ion dan oksigen radikal yang berfungsi sebagai oksidator untuk memutihkan rotan. Di samping mempunyai efek memutihkan rotan, oksigen radikal dapat menyerang serat selulosa dan kerusakan serat selulosa tersebut ditandai dengan pembentukan oksiselulosa (Trotman, 1968). Akibat dari penggunaan perhidrol yaitu kekuatan mekanis rotan menjadi turun.

Berdasarkan teori tersebut di atas maka keberhasilan pemutihan dapat dinilai melalui derajat putih (JIS-Z-8741), kilap (SII 0437-81) dan kekuatan mekanis rotan, yaitu keteguhan lentur maksimum (BS 373 : 2957).

Hasil penelitian menujukkan, bahwa pemakaian perhidrol 24% dan soda api 3% memberikan hasil yang cukup memuaskan (Gambar 22). Pada kondisi itu nilai derajat putih, kilap dan keteguhan lentur maksimum maing-masing adalah 52,2%, 4,9% dan 442,0 kg/cm2. Peningkatan penggunaan konsentrasi perhidrol dalam pemutihan akan menurunkan kekuatan mekanik rotan tersebut. Pada konsentrasi perhidrol 30% keteguhan lentur maksimum turun menjadi 337 kg/ cm2.

Gambar 22. Hasil produk yang sudah diputihkan.

4. Pembengkokan

Proses pembengkokan atau lazim disebut pelengkungan (bending) bertujuan untuk melengkung dan rotan besar sesuai dengan bentuk yang diinginkan, yaitu untuk memenuhi tujuan fungsional maupun estetika seperti lengkungan pada rangka mebel, kap lampu, tempat tidur dan lain-lain. Prinsip dasar proses pembengkokan adalah penggunaan panas untuk melunakkan (softening) jaringan rotan.

Pada mulanya proses pembengkokan ini dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokan di atas nya api, kemudian bagian tersebut ditekan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar sehingga berwarna hitam.

Pada perkembangan selanjutnya, uap panas digunakan untuk pembengkokan. Dalam industri pembengkokan dengan uap panas dikenal dengan sebutan steaming. Rotan yang akan dibengkokan dimasukan kedalam ketel berbentuk silindris kemudian uap panas dimasukkan kedalamnya selama 15 – 30 menit. Selanjutnya rotan yang sudah dikukus, dikeluarkan untuk dibengkokan sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Alat–alat sederhana sampai alat hidrolis telah banyak digunakan untuk pembengkokan. Permasalahan yang umum dihadapi dalam pembengkokan adalah kerusakan yang terjadi pada bagian rotan

yang dibengkokan. Berbagai jenis kerusakan dilaporkan dan persentase rotan yang rusak dalam proses pembengkokan cukup tinggi.

Setiadji (1997) melaporkan bahwa persentase kerusakan dalam pembengkokan dengan bantuan uap panas di industri mencapai rata – rata 18% dengan kisaran antara 12 – 24%. Penelitian ini dilakukan pada dua jenis rotan berdiameter besar, yaitu: tohiti (Calamus inops) dan batang (Daemonorops robustus). Faktor–faktor yang menyebabkan kerusakan adalah jenis rotan, mutu rotan, waktu pengukusan, bentuk lengkungan dan keterampilan pekerja. Tiga jenis kerusakan yang umum terjadi pada proses pembengkokan adalah pecah, patah dan gembos (Gambar 23). Kerusakan pecah adalah yang terbanyak, yaitu 81% dibandingkan dengan dari ketiga jenis kerusakan yang diamati.

Gambar 23. Jenis kerusakan rotan pada proses pembengkokan (Setiadji, 1977). A = pecah, B = gembos, C = patah.

A

B

Berdasarkan teori, maka energi kimia dapat pula digunakan untuk pelengkungan rotan. Sama halnya dengan pelengkungan dengan uap panas (steaming), enersi kimia di sini bertindak untuk memekarkan rantai selulosa pada dinding sel. Dengan pemekaran ini, rotan menjadi relatif lunak atau bersifat plastis sehingga lebih mudah dilengkungkan. Pada dsarnya bahan pemekar atau pelunak untuk kayu dapat pula digunakan untuk rotan, antara lain : urea, dimetilol urea, amoniak cair, pyrogallol, resin penolformaldehis (berat molekul rendah), larutan gliserin 5,1%, dimethyl sulfoxide (DMSO), resorsinol dan lain-lain.

Penggunaan bahan kimia dalam bentuk larutan urea dan larutan amoniak masing-masing dengan konsentrasi 30% telah diteliti untuk pelengkungan rotan manau (Calamus manan) dan batang (Daemonorop

robusta). Pemakaian urea dan amoniak dilakukan setelah rotan dikukus,

yaitu dengan cara perendaman rotan dalam larutan tersebut selama 20 – 30 menit. Perendaman ini dimaksudkan untuk mempermudah pelengkungan.

Evaluasi pelengkungan meliputi kerusakan rotan pada diameter lengkungan tertentu (10 cm, 20 cm, 30 cm dan 50 cm), perubahan warna, kilap, keteguhan lentur, mulur (creep) dan susut volume. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan bahan kimia dalam pelengkungan dapat menurunkan kerusakan pecah tetapi cenderung menurunkan keteguhan lentur. Sedangkan, susut volume cenderung meningkat dalam perendaman dengan amoniak dan sebaliknya dalam urea (Handayani, 1993).

Pelengkungan rotan dengan bahan kimia dimethyl sulfoxide (DMSO) telah dilakukan pada tiga jenis rotan, yaitu manau (Calamus

manan), minong (C. optimus) dan batang (Daemorop robusta). Percobaan ini

menggunakan bahan kimia dimetil sulfoksid (DMSO) yang di larutkan dalam air pada konsentrasi 5 – 15%. Sebelum dilengkungkan, rotan direndam dalam larutan tersebut selama 8 jam pada suhu 80°C. Pengujian terhadap hasil pelengkungan meliputi : keteguhan lentur statis, lentur dinamis, kilap dan penyusutan (Rachman et al, 1997).

Hasil percobaan menunjukan bahwa perendaman dengan DMSO pada konsentrasi 5% untuk rotan manau dan minong sudah cukup meningkatkan kemudahan pelengkungan sampai dengan radius 12,5 cm dan menurunkan tingkat kerusakan fisik rotan. Sedangkan untuk rotan batang, konsentrasi DMSO mencapai 15%. Kemudahan pelengkungan dan kerusakan fisik meningkat dengan meningkatnya kerapatan densiti rotan dan kerapatan ikatan pembuluh. Perendaman rotan dalam larutan

DMSO cenderung menurunkan modulus elatisitas dan rasio elastisplastis, meningkatkan nilai mulur dan susut volume tetapi tidak mempengaruhi kilap rotan. Krisdianto et.al (2007), melakukan pelenngkungan dengan gelombang mikro menggunakan microwave oven SHARP R-240 F dengan kekuatan 800 W, hasilnya menunjukkan bahwa pemanasan dengan gelombang mikro dapat meningkatkan kemampuan dan mengurangi limbah pelengkungan rotan. Waktu pemanasan rotan dengan gelombnag mikro sebaiknya kurang dari 2 menit, karena pemanasan terlalu lama dapat mengakibatkan rotan hangus terbakar.

Dokumen terkait