• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rotan bahan mentah adalah rotan asalan yang sudah mengalami tahap-tahap proses pencucian, penggorengan, penjemuran, pengasapan, pembelahan kasar, polis kasar dan pemotongan. Sortimen rotan yang dihasilkan proses ini terdiri dari rotan bulat berkulit, rotan kikis buku, rotan polis kasar, rotan belahan kasar. Pada hakekatnya, pengolahan rotan bahan mentah ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengolahan rotan asalan menjadi rotan bulat berkulit atau disebut juga rotan Washed

and Sulphurized (WS) dan pengolahan rotan WS menjadi rotan bahan

mentah. Tahap pengolahan WS hanya meliputi pencucian, penggorengan (khusus rotan berdiameter besar), pejemuran dan pengapasan. Proses ini hanya menghasilkan rotan bulat yang masih berkulit dan telah kering udara. Produk seperti ini dalam perdagangan sering disebut sebagai rotan we-es (WS) atau dalam buku teks dan perdagangan manca-negara disebut sebagai cane. Cara pengolahan rotan WS ini sangat sederhana, bersifat tradisional dan unskilled akan tetapi perlakuan–perlakuan dalam prosesnya sangat berpengaruh terhadap mutu rotan bahan mentah maupun produk akhir rotan. Cara pengolahan ini sudah dikenal sejak lama dan dipakai secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Rotan WS yang dihasilkan selanjutnya dalam tahap pengolahan berikutnya dipotang–potong menjadi sortimen rotan bulat pendek dan rotan kikis buku; dipolis menjadi rotan polis kasar atau dibelah menjadi rotan belahan kasar. Tahapan pengolahan rotan bahan mentah ini berbeda untuk rotan berdiameter besar (manau, tohiti, batang, semambu dan lain–lain) dan rotan berdiameter kecil (sega, jahab, jermasin dan lain– lain). Perbedaan tersebut diuraikan seperti di bawah ini.

1. Rotan besar

Bagan alir pengolahan rotan bahan mentah berdiameter besar dapat dilihat pada Gambar 13. Bagan ini menggambarkan secara menyeluruh rincian langkah-langkah pengolahan yang pada pokoknya dari mengolah rotan asalan menjadi rotan WS atau disebut juga rotan bahan mentah.

Gambar 13. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan besar Keterangan: *) kulit terkelupas, retak/pecah, serangan jamur/insekta

Dalam pengolahan rotan asalan menjadi WS terdapat beberapa tehnik yang pernah berkembang di beberapa daerah di Indonesia, yaitu : x Penggorengan, di Sumatera Barat

x Pelayuran, di Jawa Barat dan Lampung

x Perendaman dalam air (2 – 3 minggu), di Kalimantan Barat

x Pencelupan kedalam lumpur dan kemudian diasapi di atas api, di Sulawesi Selatan.

Kedua teknik yang disebut pertama di atas pada pokoknya bertujuan melakukan pemanasan awal untuk mempercepat pengeluaran air dan bahan getah-getahan dari dalam bahan rotan. Teknik pelayuran

ROTAN ASALAN SORTASI I

LIMBAH ) 5 -20% PENGGORENGAN

PENGGOSOKAN

PENJEMURAN S/D KERING UDARA PENGASAPAN

ROTAN BULAT WS SORTASI II

PELURUSAN PELURUSAN

MUTU A,B 25-40% MUTU C, D ± 40% REJECTED*

PEMOTONGAN PENGASAPAN BUNDLING PEMOTONGAN POLIS KASAR BUANG BUKU BUNDLING NATURAL CANE BUNDLING PENGASAPAN

dilakukan dengan cara menyiram rotan dengan minyak tanah lalu dibakar kemudian api segera dimatikan menggunakan karung goni basah. Dewasa ini, teknik pelayuran hampir sudah tidak ditemui lagi karena bila kurang terampil sebagian rotan bisa terbakar.

Kedua teknik yang disebut terakhir di atas pada dasarnya bertujuan melarutkan zat ekstraktif, terutama pati dan gula yang merupakan bahan atraktan bagi mikroorganisme perusak rotan. Di samping itu cara ini juga dimaksudkan untuk melunakkan kotoran yang menempel pada kulit rotan agar mudah terkelupas.

Dewasa ini teknik penggorengan sangat umum ditemui dalam proses pengolahan rotan asalan menjadi rotan WS. Teknologi penggorengan mengunakan peralatan sederhana yang di buat seluruhnya dari bahan-bahan lokal, terdiri dari tungku dan kuali yang berbentuk palung dengan panjang sekitar 4 m, lebar 125 cm dan tinggi 90 cm. Karena itu unit penggorengan rotan banyak dibangun oleh masyarakat lokal dan biasanya didirikan di tempat-tempat yang dekat dengan sumber rotan asalan. Salah satu tipe kuali penggorengan yang dipakai adalah seperti pada Gambar 14.

Gambar 14. Unit penggorengan rotan

Kuali mula-mula diisi sekitar tiga-perlima volumenya dengan minyak penggoreng lalu dipanaskan sampai mencapai suhu sekitar 80 derajat Celcius. Rotan dimasukkan ke dalam kuali lalu digoreng selama lebih kurang 30 menit. Minyak penggoreng biasanya diganti setelah digunakan untuk sekitar 40 kali penggorengan atau bila minyak sudah kelihatan kotor. Sisa minyak penggoreng yang ada di dalam kuali dapat digunakan setelah terlebih dahulu disaring. Konsumsi minyak penggoreng untuk tiap batang rotan adalah sekitar 0,17 – 0,20 liter, tergantung efisiensi pemakaian.

Tujuan penggorengan adalah sebagai berikut : a. Menurunkan kadar air rotan

Penurunan kadar air rotan sebesar 40 – 60% akan menurunkan berat sekitar 15 – 20% dan volume antara 6 – 12% (Maulana, 1997). Selain itu penurunan kadar air yang besar akan menghemat waktu penjemuran atau pengeringan rotan di lapangan. Waktu penjemuran yang relatif pendek setelah penggorengan (1 – 2 minggu) akan menghindarkan rotan dari serangan jamur dan serangga perusak rotan. Dengan demikian penggorengan bukan berarti dapat mengawetkan rotan. Casin (1975) melaporkan, bahwa rotan yang tidak digoreng seperti yang dilakukan di Philipina pada rotan palasan (Calamus maximus Merr. dan Calamus ornatus MAR, sejenis manau atau tohiti di Indonesia) memerlukan waktu penjemuran ± 26 minggu dari basah (kadar air ± 155%) sampai kadar air ± 20% dan masih memerlukan 1 minggu untuk mencapai kadar air keseimbangan (Equilibrium Moisture Content = EMC). Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa jamur Ascomycetes (penyebab bercak biru, blue

stain) tumbuh subur pada kadar air rotan sekitar 100% dan kelembaban

84%. Dengan penggorengan kondisi tersebut dilewati sewaktu rotan dalam penggorengan.

b. Melarutkan getah

Bahan getah seperti gum, lilin, gelatin dan sejenisnya pada batang rotan umumnya tertimbun pada kulit bagian epidermis. Fungsinya sewaktu tanaman masih hidup adalah untuk melindungi penguapan air yang tinggi dari rongga – rongga sel di bawahnya. Seperti halnya pohon jati yang menggugurkan daun pada musim kemarau.

Komposisi minyak penggoreng yang umum digunakan terdiri dari sebagian besar minyak bumi (minyak tanah, minyak solar). Minyak bumi ini merupakan pelarut yang baik untuk getah seperti gum, lilin dan sejenisnya. Daya melarutkan tersebut semakin cepat pada suhu penggorengan yang cukup tinggi (60 - 80ºC). Rotan yang getah–getahnya telah dilarutkan dalam minyak penggoreng akan mempermudah pengeluaran air dan akan memperpendek waktu penjemuran. Dengan demikian, kesempatan rotan untuk diserang jamur akan berkurang.

c. Pemanasan tanpa udara

Berdasarkan hasil-hasil percobaan telah dibuktikan bahwa bahan berlignoselulosa (termasuk rotan) apabila dipanaskan pada udara terbuka

maka penurunan sifat kekuatannya akan terjadi dengan cepat. Potongan-potongan kayu yang dicelupkan ke dalam metal cair pada suhu 320ºC selama 1 menit, 250ºC selama 1 jam dan 160ºC selama 1 minggu menghasilkan penurunan keteguhan patah (MOR) yang hampir sama yaitu sebesar 17% dari keteguhan sebelum dipanaskan. Apabila kayu yang sama dipanaskan pada udara terbuka (ada oksigen) maka penurunan keteguhan patahnya mencapai 50% (Stam, 1964).

Campuran minyak penggoreng yang identik dengan metal cair dalam percobaan Stam di atas yang umum ditemui adalah sebagai berikut:

x Minyak solar + minyak kelapa x Minyak solar + minyak sawit x Minyak solar + minyak tanah x Minyak solar + air

x Minyak tanah + minyak kelapa x Minyak tanah + minyak sawit x Minyak tanah + air

x Minyak tanah + oli motor (motor oil) S.A.E 20 -120 x Minyak tanah

x Minyak solar

Berdasarkan hasil percobaan Rachman (1986) pada rotan manau dan tohiti dapat diketahui pengaruh berbagai komposisi minyak penggoreng dan lama waktu penggorengan terhadap penurunan kadar air, kecerahan warna dan penurunan sifat kekuatan atau keteguhan rotan. Percobaan ini menggunakan 5 macam minyak penggoreng, yaitu: minyak tanah (MT), minyak solar (MS), campuran minyak tanah dan solar (MT.MS), campuran minyak tanah dan oli SAE – 40 (MT.MO), serta campuran minyak solar dan minyak kelapa (MS.MK). Pengamatan kecerahan warna dinilai menggunakan skor 5 – 1, yaitu dari warna kuning terang sampai coklat kekuning–kuningan. Hasil percobaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

Seperti disajikan pada Gambar 15 A penurunan kadar air semakin meningkat dengan meningkatnya waktu penggorengan. Penurunan kadar air tertinggi terjadi pada rotan yang digoreng dengan campuran minyak penggoreng MTMS, yaitu mencapai sekitar 70 %. Pada Gambar 15 B tampak bahwa kecerahan warna menurun dengan meningkatnya waktu

Gambar 15. Grafik hubungan waktu penggorengan dengan kadar air (A), penggorengan. Sedangkan Gambar 15 C menunjukkan bahwa waktu penggorengan yang semakin lama akan menurunkan sifat kekuatan rotan.

Hasil percobaan secara keseluruhan dapat memberikan informasi sebagai berikut:

x Pemakaian minyak tanah saja dalam penggorengan rotan memberikan nilai warna yang lebih cerah dibandingkan dengan minyak penggoreng lainnya. Akan tetapi penggorengan dengan minyak tanah harus hati – hati karena laju penurunan warna dan keteguhan sangat cepat.

x Penggunaan minyak nabati seperti minyak kelapa atau minyak sawit dalam campuran minyak penggoreng bertujuan untuk mengurangi laju penurunan keteguhan dan kecerahan warna rotan.

A

B

Pada awalnya, hampir seluruh hasil proses penggorengan yang menghasilkan rotan WS ditujukan untuk mendapatkan kulit rotan yang baik, yaitu berwarna cerah dan mengkilap. Rotan ini disebut juga sebagai

natural cane yang langsung dapat dibuat barang jadi, seperti mebel dengan

harga yang tinggi. Produk seperti ini memerlukan penampilan kulit alami dan warna asli rotan. Produk semacam ini sudah sangat jarang diproduksi kecuali pesanan khusus karena harganya yang sangat mahal.

Rotan WS, oleh pengolah biasanya diklasifikasikan mutunya menjadi kualitas A, B, C dan D. Semakin banyak banyak terdapat cacat pada kulit dan semakin berwarna buram semakin rendah kualitas rotan. Praktek di lapangan menunjukkan, bahwa penggorengan hanya menghasilkan 25 – 40% berkualitas A dan B. Sedangkan rotan berkualitas A atau yang termasuk natural cane tidak lebih dari 20%, sisanya berupa rotan yang kulitnya mengandung cacat. Bahkan, dewasa ini jumlah natural cane yang diperoleh semakin menurun.

Rotan yang sudah dipilah menurut kualitasnya, selanjutnya diluruskan dengan mesin pelurus atau secara manual. Pelurusan secara manual dikerjakan dengan cara menjepit salah satu ujung rotan dengan kayu dan mendorong atau menarik ujung yang lain berulang-ulang dangan tangan sampai potongan rotan menjadi lurus. Rotan bermutu A yang sudah lurus dibuang bukunya agar berpenampilan lebih bersih. Untuk meningkatkan mutu rotan ini biasanya dilakukan lagi pengasapan. Kelompok rotan dengan mutu yang lebih rendah dikupas kulitnya menjadi produk yang disebut sebagai rotan polis.

Mengingat sebagian besar rotan WS dikupas kulitnya untuk dijadikan rotan polis kasar maka untuk menghemat penggunaan enersi, seharusnya rotan yang akan dijadikan natural cane saja yang digoreng. Sisanya, tidak harus digoreng tetapi cukup dilakukan pengupasan kulit pada saat rotan masih basah, lalu rotan dijemur sampai mencapai kering udara.

2. Rotan kecil

Pada rotan kecil biasanya tidak dilakukan penggorengan karena batangnya lebih kecil daripada rotan besar, sehingga lebih mudah mengeringkannya dan membutuhkan waktu penjemuran yang relatif pendek. Skema umum pengolahannya disajikan pada Gambar 16.

Dalam skema pengolahan tersebut dapat dilihat bahwa ada 2 versi cara pengolahan. Pertama, melakukan pencucian setelah rotan asalan disortir. Kedua, melakukan pengasapan secara langsung setelah rotan

asalan disortir. Tujuan yang kedua dimaksudkan untuk mengawetkan rotan selama penjemuran meskipun tujuan tersebut belum terbukti secara ilmiah. Hal ini disebabkan asam belerang (SO2) pada dasarnya tidak mempunyai efek membunuh jamur atau insek akan tetapi lebih banyak sebagai oksidator untuk memucatkan warna rotan.

Gambar 16. Bagan alir pengolahan bahan mentah rotan kecil

ROTAN ASALAN (runti/tanpa)

ROTAN KERING UDARA

LIMBAH ROTAN BULAT MUTU P

BUANG BUKU NATURAL CANE BUNDLING / STORAGE SORTASI II SORTASI I PENGASAPAN*) PENJEMURAN JEMUR ULANG PENGASAPAN PENCUCIAN PENJEMURAN PENGASAPAN PENCUCIAN LIMBAH

ROTAN BULAT MUTU D,T,E PERENDAMAN / TANPA PEMBELAHAN MESIN / TANGAN

ROTAN BELAHAN KASAR BUNDLING / STORAGE

Pada langkah selanjutnya, yaitu sebelum proses pembelahan rotan, sebagian industri pengolahan melakukan perendaman. Secara fisik perendaman menyebabkan penyerapan air oleh bahan rotan sehingga terjadi pengembangan jaringan rotan karena air memasuki rongga sel, ruang antar sel dan dinding sel rotan. Secara kimia air yang memasuki dinding sel akan meregangkan rantai-rantai selulosa yang tersusun dalam

mikrofibril. Kondisi seperti tersebut di atas akan menyebabkan rotan

menjadi lunak. Proses pelunakan (softening) ini akan memberikan beberapa keuntungan :

x Memudahkan pembelahan

x Mengurangi penggunaan tenaga mesin atau tenaga orang karena air yang diserap berfungsi pula sebagai pelumas antara rotan dan pisau pembelah.

x Meningkatkan rendemen pembelahan karena dapat mengurangi terjadinya rotan putus selama pembelahan.

Pembelahan rotan sega, jahab dan jermasin yang dilakukan pada kondisi basah menghasilkan rendemen kulit dan hati lebih tinggi sekitar 3 – 8% dibandingkan kondisi kering (Tabel 17). Badhwar (1961), menyarankan, bagi rotan di India sebaiknya dibelah dalam keadaan segar atau segera setelah dipanen. Keuntungannya adalah :

x Rotan lebih mudah dibelah dan lebih hemat tenaga

x Hasil pembelahannya lebih cepat kering sehingga terhindar dari serangan jamur dan insekta. Apalagi bila setelah pembelahan dicelupkan dalam bahan pengawet.

Tabel 17. Rendemen rotan sega, jahab dan jermasin pada kondisi pembelahan basah dan kering (%)

Jenis rotan/hasil Kondisi pembelahan

Kering Basah S e g a - rotan kulit 16,7 19,1 - rotan hati 51,1 54,1 - Jumlah 67,8 73,2 J a h a b - rotan kulit 20,3 22,8 - rotan hati 38,5 44,8 - Jumlah 58,8 67,6

Jermasin

- rotan kulit 13,9 19,1

- rotan hati 47,1 58,7

- Jumlah 61,0 77,8

Sumber : Rachmat, et al. (1981)

3. Pengeringan rotan

Sebagian besar hasil–hasil pertanian dikeringkan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan atau diolah lebih lanjut. Tujuan utamanya adalah memudahkan dalam penanganan dan menghindari dari kerusakan, terutama biologis di samping kerusakan fisis. Pengeringan adalah pengeluaran air dari dalam bahan dengan bantuan energi panas ke udara terbuka sampai mencapai kadar air tertentu. Biasanya bahan dikeringkan sampai keadaan bahan mencapai kering udara atau mencapai kadar air keseimbangan. Pengeringan rotan di Indonesia sampai saat ini baik pada rotan besar maupun kecil masih seluruhnya dilakukan dengan cara alami atau penjemuran oleh sinar matahari, karena sinar matahari jumlahnya berlimpah di daerah tropis seperti di Indonesia. Akan tetapi teknik penjemuran yang dilakukan masih sederhana yaitu dengan menyusun rotan secara silang–menyilang hampir vertikal khususnya bagi rotan besar dan menghamparkan untuk rotan kecil. Namun kebersihan lingkungan, sistem drainase, arah susunan, arah angin, perlindungan dari kebasahan dan lain – lain belum mendapat perhatian memadai (Gambar 17).

Rujehan (2001) melaporkan, bahwa pengeringan alami rotan kecil, yaitu sega (Calamus caesius) mengalami susut berat sekitar 35 – 40% dari rotan basah. Sedangkan rotan pulut mengalami susut berat sekitar 45 – 50% dari berat rotan basah.

Usaha – usaha untuk mendapatkan cara pengeringan rotan yang lebih baik telah dilakukan baik dengan cara pengeringan alami (penjemuran) maupun dengan pengeringan buatan (klin dryer). Percobaan pengeringan alami dengan memodifikasi tiga cara penjemuran, sebagai berikut :

a. Pengeringan rotan di dalam bangunan beralas yang diberi atap dan dinding plastik tembus cahaya.

b. Pengeringan di tempat teduh atau di bawah atap. c. Penjemuran di bawah matahari langsung.

Hasil percobaan pengeringan tersebut di atas disajikan seperti Tabel 18. Tabel 18. Hasil pengeringan alami dengan tiga perlakuan terhadap rotan

ukuran besar yang sudah digoreng

Kelas mutu Hasil proses pengeringan, %

Transparan Naungan Langsung A 0 0 10 B 4 0 24 C 28 17 28 D 68 83 38 Jumlah : 100 100 100 Sumber : Sudiwinardi (1985).

Berdasarkan tabel tersebut dapat disimpulkan hal – hal sebagai berikut : x Cara pengeringan yang terbaik adalah pada lapangan terbuka dan

terkena langsung oleh sinar matahari. Hal ini dibuktikan oleh jumlah rotan berkualitas A & B yang dihasilkan tertinggi.

x Cara pengeringan di bawah naungan tanpa terkena sinar matahari langsung tidak dianjurkan karena akan memperoleh hasil pengeringan terburuk.

Usaha untuk mempercepat waktu pengeringan alami dilakukan dengan cara mengerik (scrape) rotan segar kemudian dijemur. Hasilnya disajikan seperti pada Tabel 19.

Tabel 19. Kecepatan pengeringan rotan kerik Waktu (Minggu) Kadar air (%) RH (%) Suhu (ºF) Palasan Limoran 1 102.7 138.1 78.5 75.3 2 55.0 50.6 84.2 76.6 3 27.2 21.3 82.1 78.1 4 27.7 15.5 85.0 77.1 5 13.1 12.6 81.4 78.5 Sumber: Cortes (1939)

Hasilnya menunjukkan bahwa rotan yang dikerik mengering lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dikerik. Jenis rotan yang sama jika tanpa dikerik memerlukan waktu 26 minggu untuk mencapai kadar air sekitar 20%. Dengan demikian, bagi rotan segar yang mengalami cacat pada kulit seharusnya dikerik, kemudian dikeringkan sehingga waktu pengeringan relatif cepat. Sisanya, rotan segar dengan kulit yang bersih dapat digoreng untuk mendapatkan natural cane.

Penelitian yang hampir sama dilakukan oleh Rachman dan Santoso (1996). Penelitian ini mempelajari perilaku penurunan kadar air rotan segar (124 – 220%) sampai kering udara dengan cara penimbangan berat rotan setiap hari. Contoh rotan berukuran panjang 2 meter dan diameter berkisar 18 – 29 mm; terdiri dari tiga jenis, yaitu: tretes (Daemonorops

heteroides), omas (Calamus sp) dan kesur (C. ornatus). Rotan dikeringkan

melalui 4 macam perlakuan, yaitu:

x Konvensional (Konv): rotan segar digoreng kemudian dikeringkan, setelah kering udara lalu dipolis.

x Aiternatif I (Alt1); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, dibiarkan sampai setengah kering, dipolis, diawetkan kembali, akhirnya dikeringkan.

x Alternatif II (Alt2); rotan segar dicelupkan bahan pengawet, lalu dipolis, akhirnya dikeringkan.

x Alternatif III (Alt3); rotan segar dipolis, dicelupkan bahan pengawet, akhirnya dikeringkan.

Perilaku penurunan kadar air rotan hasil percobaan itu disajikan pada Gambar 18.

Cara pengeringan buatan, yaitu dengan menggunakan kilang pengering (kiln dryer) telah dilakukan di Philipina. Hasil percobaannya disajikan seperti Tabel 20.

Tabel 20. Pengeringan rotan dengan kilang pengering.

Jenis bahan Kadar air awal,% Kadar air akhir,% pengeringan Waktu (hari) Tumalin (berkulit) 145 – 117 5 10 Tumalin (dikerik) 150 - 119 4.6 1.5

Sumber: Casin (1985)

Dilihat dari segi praktis dan produktifitas pengeringan dengan kiln tampaknya memberikan harapan baik. Akan tetapi dari hasil percobaan di atas dinyatakan pula, bahwa dengan pengeringan kiln tersebut warna rotan yang dihasilkan kurang cerah dan tidak berkilap. Sedangkan faktor kecerahan warna dan kilap sangat menentukan standar mutu rotan. Dari hasil penelitian tersebut diduga bahwa sinar ultra violet dalam spektrum sinar matahari berfungsi meningkatkan kilap dan kecerahan warna rotan. Hal ini juga memperkuat bukti tiga cara pengeringan alami terdahulu bahwa penjemuran rotan pada sinar matahari langsung memberikan hasil pengeringan terbaik. Namun demikian kemungkinan pengembangan pengeringan kiln tetap ada dengan cara melengkapi ruang pengeringan dengan fraksi sinar – sinar tertentu.

4. Pengasapan

Pengasapan dilakukan dengan cara mengasapi rotan dalam rumah asap. Berbagai bentuk rumah asap dapat ditemui di lapangan. Salah satu contoh rumah asap, yaitu berukuran panjang, lebar dan tinggi masing– masing sekitar 650 x 200 x 270 cm. Rumah asap seperti ini berkapasitas muat sekitar 4.000 potong rotan besar atau sekitar 6 ton rotan kecil (Gambar 19).

Gambar 19. Rumah asap

Rotan disusun di atas bantalan sejajar dengan arah panjang rumah asap. Setelah rumah asap penuh dengan rotan, pintu didorong sampai tertutup rapat. Wadah pembakaran pada dasar rumah asap diisi dengan belerang ± 7,5 kg lalu dibakar. Lamanya pengasapan sekitar 1 malam atau 12 jam, pengasapan dengan belerang dapat meningkatkan warna dan kilap rotan akan tetapi menurunkan keteguhan tarik sejajar serat.

Dokumen terkait