• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Penanaman dan Pemanenan

IV. SIFAT DASAR ROTAN

Rotan adalah batang dari tumbuhan yang berlignoselulosa yang dapat dimanfaatkan untuk mebel, barang kerajinan dan tikar. Dalam pemanfaatan rotan harus dipahami sifat dasarnya karena tiap jenis rotan pada hakekatnya mempunyai sifat yang berbeda, baik bentuk maupun ukuran. Dalam buku ini dibahas sifat dasar meliputi ciri-ciri umum, struktur anatomi, komposisi kimia, sifat fisis dan mekanis serta keawetan rotan. Dengan mengetahui sifat dasar jenis rotan akan dapat ditentukan peruntukannya secara lebih baik.

A. Ciri–Ciri Umum

Kayu yang dalam dunia tumbuh–tumbuhan digolongkan ke dalam subdivisi Gymnospermae dan kelas Dicotyledons, sel–selnya diproduksi oleh aktivitas meristem apikal (pucuk) dan meristem lateral atau kambium vaskular. Rotan yang digolongkan ke dalam subdivisi Angiospermae kelas

Monocotyledons, sel–selnya seluruhnya diproduksi oleh meristem apikal.

Oleh karena itu, pertumbuhan primer oleh meristem apikal pada pucuk dipandang sebagai aktivitas pertambahan panjang batang dan sekaligus pertambahan diameter batang. Pertambahan diameter batang terjadi tepat di bawah pucuk, tetapi pertambahan ini bukan karena pertumbuhan pada kambium vaskular melainkan karena bertambah besarnya ukuran sel yang sudah terbentuk di pucuk. Namun demikian, Philipson et al. (1970) melaporkan, bahwa sebenarnya pertumbuhan sekunder seperti pada meristem lateral memang tidak terjadi pada Monocotyledons tetapi setelah pembesaran sel terjadi diferensiasi jaringan.

Bentuk batang rotan umumnya silindris dan terdiri dari ruas–ruas yang panjangnya berkisar antara 10 sampai 50 cm. Sedangkan diameter rotan berkisar antara 6 – 50 mm, bergantung pada jenisnya. Ruas satu dengan yang lain dibatasi oleh buku tetapi buku ini hanya ada di bagian luar batang, tidak membentuk sekat seperti pada bambu. Pada beberapa jenis tampak adanya tonjolan dan lekukan pada sisi yang berlawanan sepanjang ruas. Tonjolan dan lekukan ini tampak lebih jelas pada buku yang berasal dari jejak daun, yaitu ikatan pembuluh yang menuju ke daun. Anatomi makro batang rotan adalah seperti pada Gambar 4.

Sumber:Mandang dan Rulliaty, 1990 Gambar 3. Batang rotan

Buku rotan ada yang relatif rendah dan ada pula yang tinggi. Buku yang rendah ditunjukkan oleh perbedaan diameter antar ruas yang bersebelahan sangat kecil sehingga diameter sepanjang batang tampak hampir seragam dan rata. Rotan dengan buku rendah mencirikan mutu penampakan yang baik. Menurut Uhl dan Dransfield (1987), buku yang rendah terdapat pada jenis–jenis dari genera Calamus (manau, tohiti, sega dan lain–lain). Buku agak tinggi terdapat pada jenis–jenis dari genera

Daemonorops (tarumpuh, seel, tabu–tabu dan lain–lain). Sedangkan buku

yang tinggi terdapat pada anggota dari genera Korthalsia, Ceratalobus,

Plectocomiopsis dan Myrialepsis.

Permukaan kulit batang rotan ada yang licin dan ada pula yang mengkerut, ada yang mengandung lapisan silika ada pula yang tidak. Permukaan licin terdapat pada rotan bubuay (Plectocomia elongata Becc.), sedangkan permukaan berkerut pada manau (Calamus manan Miq.). Lapisan silika yang tampak jelas, terdapat pada rotan manau (C. Manan), sega (C. caesius Bl.), tohiti (C. inops) dan batang (C. optimus).

Pada penampang lintang batang dapat dilihat dengan mata telanjang, pertama lapisan kulit yang tipis dan sangat keras kemudian

bagian di bawah kulit yang tampak lebih padat, disebut jaringan tepi atau

perifer atau corteks. Sedangkan, bagian yang lebih ke arah pusat, yang relatif

lunak dinamakan jaringan sentral. Bintik-bintik yang menyebar di antara jaringan yang berwarna lebih pucat disebut ikatan pembuluh dan jaringan berwarna pucat itu sendiri disebut parenkim dasar.

Ikatan pembuluh menyebar lebih rapat ke arah kulit dan semakin jarang ke arah pusat. Jumlah ikatan pembuluh dihitung sebagai Kerapatan Ikatan Pembuluh (KIP) dengan satuan buah per milimeter persegi. Rotan dengan KIP rata-rata sekitar 3 – 5 buah/ mm² dan perbedaan KIP pada bagian tepi dengan pusat yang tidak terlalu tinggi termasuk rotan yang dicari orang. Pada

Tabel 7. KIP beberapa jenis rotan (buah / mm²)

Jenis rotan Rata-rata Tepi Pusat

Rotan berdiameter besar

Manau (Calamus manan) 3,1 4,2 2,0

Batang (C. Zolingeri) 5,2 6,3 4,0

Tohiti (C. inops) 3,1 4,0 2,1

Seuti (C. ornatus) 2,9 3,6 2,1

Sampang (Korthalsia junghnii) 3,3 4,2 2,3

Tretes (Daemonorops heteroides) 3,4 4,1 2,6

Balukbuk (C. burckianus) 3,3 4,2 2,3

Bubuay (Plectocomia elongata) 2,2 3,8 0,5

Rotan berdiameter kecil

Sega (C. caecius) 2,6 3,1 2,0

Sega batu (C. hateroideus) 4,8 5,2 4,3

Sega air (C. axilaris) 2,3 3,2 1,3

Cemmeti (C. ciliaris) 2,2 2,9 1,5 Kertas (C. sabesis) 3,3 3,8 2,8 Nona (?) 1,9 2,2 1,5 Balam putih (?) 3,0 3,9 2,0 Sesah muda (?) 3,6 4,6 2,5 Cabang (K. laciniosa) 4,3 4,8 3,9 Jernang (D.draco) 4,6 5,6 3,6 Teretes (C.oblonga) 4,9 6,5 3,3

Samare (Plectocomia mulleri) 3,9 5,2 2,6

B. Struktur Anatomi

Untuk menentukan nama suatu jenis rotan tertentu adakalanya dilakukan melalui penilaian ciri-ciri umum seperti warna, kilap, diameter, panjang ruas, bentuk buku dan sifat-sifat lain yang mudah ditangkap oleh panca indera. Hasilnya kerap kali tidak tepat karena sifat yang dikenali lewat panca indera pada umumnya tidak konstan dan subjektif. Warna asli satu jenis rotan yang digoreng dengan campuran minyak nabati bisa dinilai berwarna lebih terang dan mengkilap dibanding tanpa campuran minyak nabati. Panjang ruas satu jenis rotan yang diambil dari bagian ujung batang bisa dinilai lebih panjang dibanding dari bagian pangkal. Oleh karena itu, diperlukan sifat-sifat khas satu jenis yang konstan pada sembarang contoh rotan yang diambil dari jenis tersebut. Dengan demikian, hasil penentuan jenis menjadi tepat dan dapat mencegah pemalsuan jenis rotan. Sifat yang memenuhi syarat itu adalah sifat mikroskopis atau pengetahuan struktur anatomi mikro rotan. Struktur itu dapat dilihat dengan bantuan loupe, dengan mikroskop atau dengan mikroskop elektron.

Struktur anatomi mikro tidak hanya digunakan sebagai kunci identifikasi jenis tetapi juga sebagai penentu sifat-sifat kekuatan, mutu dan pengolahan. Sifat pengolahan yang dipengaruhi antara lain pengeringan, pengawetan, pemolisan, pelengkungan dan finishing. Rotan dengan proposi parenkim (parenchyma) yang tinggi, dinding sel serat yang tipis dan diameter metaksilim (metaxylem) yang besar cenderung cepat mengering, mudah diawetkan tetapi kekuatannya rendah.

Salah satu contoh struktur anatomi batang rotan dilukiskan seperti pada Gambar 4. Lukisan skematis ini merupakan bentuk typical penampang lintang dan longitudinal rotan apabila dilihat dibawah mikroskop (Mandang dan Ruliaty, 1990).

a

b

Sumber:Mandang dan Rulliaty, 1990

Gambar 4. Struktur anatomi mikro batang rotan (a) penampang lintang, (b) penampang longitudinal.

Menurut Tomlison (1961), sepuluh macam komponen mikroskopik penyusun batang rotan seperti disebutkan pada Gambar 5 di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga jaringan utama, yaitu: kulit, parenkim dasar dan ikatan pembuluh. Masing-masing jaringan tersebut dan sel-sel penyusunnya diuraikan seperti dibawah ini.

1. Kulit

Jaringan kulit terdiri dari dua lapisan sel, yaitu epidermis dan endodermis. Menurut Siripatanadilok (1974), sel-sel epidermis pada

Ceratalobus berbentuk empat persegi panjang tidak teratur. Pada Calamus spectabilis sel-sel epidermisnya berbentuk bujur sangkar, sedangkan pada C. ornatus, dan C. rhomboides berbentuk pipa panjang. Di antara sel-sel

epidermis dari jenis C. horens, C. unifarius dan C. viminalis terlihat adanya benda mengkilat yang diduga silika. Sel-sel endodermis bersifat lebih

lunak. Sel-sel ini diduga sebagai tempat di mana persenyawaan silika paling banyak dibentuk untuk kemudian diendapkan pada epidermis.

Menurut Wiener dan Liese (1990), sel-sel endodermis pada genera endemis di Afrika berbentuk barisan sel serat (fiber rows) sedangkan pada genera Asia berbentuk pita serat (fibre strands). Di bawah endodermis terdapat korteks yang terdiri dari sel-sel parenkim, berkas serat dan ikatan pembuluh. Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah adanya seludang serat (fibre sheat) yang disebut sebagai “yellow caps“, yaitu serat schlerenchyim yang terdapat di sekitar pembuluh pertama di bawah korteks (Siripatanadilok, 1974). “Yellow caps“ (Gambar 5) ini hanya ditemukan pada genera

Korthalsia, Myrialepsis, Plectocomia dan Plectocomiopsis.

Gambar 5. Yellow Caps pada pada rotan Sampang (Korthalsia

junghunii)

2. Parenkim dasar

Jaringan parenkim dasar (ground parenchyma) bagaikan pengisi batang di mana ikatan-ikatan pembuluh tertanam menyebar di dalamnya. Jaringan ini berbeda dengan parenkim aksial yang terdapat di dalam ikatan pembuluh. Parenkim dasar terdiri dari sel-sel parenkim isodiometrik pedinding tipis dengan noktah sederhana. Wiener dan Liese (1990) membedakan tiga tipe parenkim dasar berdasarkan bentuk dan susunan selnya, yaitu seperti dapat diamati pada Gambar 6.

Gambar 6. Tipe struktur sel parenkim dasar pada penampang lintang dan longitudinal

Keterangan: Tipe A. Pada penampang lintang sel-selnya tampak lunak dengan ruang antar sel yang bulat. Pada penampang longitudinal susunan sel-selnya tampak seperti susunan uang logam (stack coins), d. Contoh, Calamus;

Tipe B. Pada penampang lintang sel-selnya tampak bulat dan lebih kecil

dengan ruang antar sel yang tidak teratur. Pada penampang longitudinal susunan selnya seperti d. Contoh, Daemonorops; Tipe C. Sel-selnya berdinding lebih tipis, besar dan bulat dengan ruang antar sel yang relatif sempit pada penampang logitudinal susunan selnya seperti e. Contoh, Plectocomiopsis.

3. Ikatan pembuluh

Jaringan ikatan pembuluh (vascular bundles) terletak menyebar di antara jaringan parenkim dasar. Pada penampang lintang sepotong rotan, ikatan-ikatan pembuluh dapat dilihat dengan mata telanjang berupa bintik-bintik. Satu buah bintik tersebut bila dilihat di bawah mikroskop cahaya tampak seperti pada Gambar 7.

Gambar 7. Foto penampang lintang ikatan pembuluh (Linda Idrawati, 1993) (Pembesaran 100 X)

Keterangan: a. metaksilim b. phloem c. protoksilim d. parenkim aksial e. berkas serat.

Bila diperhatikan secara seksama, penampilan ikatan pembuluh pada penampang lintang bisa berbentuk hampir bulat, yaitu pada rotan sega (Calamus cesius) atau elipsoid pada rotan batang (Daemonorops crinatus). Diameter tangansial ikatan pembuluh ini pada bagian tengah batang mencapai 0,58 mm pada jenis rotan D. crinatus, 0,60 mm pada sega (C.

caesius), 0,72 mm pada semambu (C. scipionum), 0,76 mm pada C. thwaitesii

(rotan berdiameter besar dari India) dan 0,82 mm pada manau (C. manan).

Jaringan ikatan pembuluh terdiri dari beberapa macam sel, yaitu: metaksilim (metaxylem), protoksilim (protoxylem), phloem, parenkim aksial dan serat. Empat macam sel yang disebut pertama berfungsi mengatur kegiatan fisiologis tanaman dalam pertumbuhannya. Karena itu, kumpulan sel-sel ini disebut sebagai jaringan pelaksana. Sedangkan, sel yang disebut terakhir membentuk kumpulan yang dinamakan jaringan penyangga atau berkas serat (fibre sheat) yang berfungsi dominan memberikan kekuatan mekanik pada rotan .

Phloem pada rotan adalah jaringan yang berfungsi menyalurkan dan

membawa hasil fotosintesis dari tajuk ke bagian–bagian lain dari tanaman. Bentuknya seperti pipa yang sambung menyambung dengan bidang perforasi berbentuk tapisan. Diameternya jauh lebih kecil dari metaksilim dan sedikit lebih kecil dari protoksilim. Panjang satu sel pembuluh bervariasi dari satu sampai lebih dari 3,00 mm. Apabila dilihat pada penampang lintang, dalam satu ikatan pembuluh bisa terdapat satu untaian phloem (phloem field) dengan satu metaksilim yang terdapat pada jenis Plectocomia elongata (Gambar 8 a) atau dua untaian phloem mengapit satu metaksilim yang terdapat pada jenis Calamus caesius, C. burchianus,

dua metaksilim yang terdapat pada jenis Myrialepsis paradoxa (Gambar 8c). Selain itu terdapat pula susunan ikatan pembuluh dengan dua untaian

phloem yang mempunyai susunan tabung uniseriate dan biseriate sieve dan

satu metaksilim (Gambar 8 d).

Gambar 8. Diagram ikatan pembuluh (Weiner dan Liese, 1990)

Metaksilim dan protoxylem adalah xilem, yaitu jaringan yang berfungsi sebagai saluran air dan zat hara dari akar ke daun. Protoxylem dibentuk pada saat ruas-ruas baru tumbuh. Dindingnya sangat khas, yaitu seperti spiral dengan gulungan yang rapat (Gambar 9).

Pada waktu ruas tumbuh menjadi dewasa, protoksilim ikut memanjang tetapi diameternya tidak mengalami pertambahan yang berarti (Mandang dan Rulliaty, 1990). Menurut Wiener dan Liese (1990) diameter protoxylem berkisar 30 - 80 mikron. Pada waktu ruas tumbuh salah satu atau dua protoxylem yang ikut memanjang mengalami pembesaran diameter yang cukup menonjol. Xilem yang diameternya besar ini dinamakan metaksilim dengan ukuran diameter 320 mikron pada Calamus caesius , 340 mikron pada Daemonorops crinatus, 400 mikron pada C. scipionum dan 600 mikron pada C. manan.

protoksilim

Gambar 9. Dinding sel pembuluh protoksilim yang khas berbentuk spiral (Pembesaran 100 X)

Parenkim aksial menyebar disekeliling metaksilim, protoxylem dan

phloem di dalam ikatan pembuluh. Dindingnya relatif tipis dengan

noktah sederhana. Parenkim aksial bentuknya berbeda dengan parenkim dasar, yaitu memanjang ke arah vertikal dengan sekat–sekat yang agak miring.

Berkas serat yang terdiri dari sel–sel serat, tersusun satu berkas mirip tapal kuda atau segitiga yang menghadap ke arah pusat batang. Ukuran penampang lintang berkas serat ini berbeda antara jenis. Sel–sel serat berbentuk panjang langsing dengan dinding relatif tebal. Panjang sel serat 1 – 3 mm, sering mengandung “septa“ dan umumnya mempunyai dinding sel “polylamellar“. Pada rotan manau (C. manan) panjang selnya 1,1 – 1,3 mm dengan diameter 17 – 19 mikron. Pada rotan C. thawaitesii dari India panjang sel seratnya 1,7 mm, diameternya 19 mikron dan diameter lumennya 8,0 mikron (Mandang dan Rulliaty, 1990; Bhat dan Thulasidas, 1989; Wiener dan Liese, 1990; Rachman, 1996).

Saluran getah (musilage canal) tersebar di antara jaringan parenkim dasar dan dapat ditemui pada beberapa jenis rotan tertentu. Saluran ini dikelilingi oleh sel–sel epithel dan membentang ke arah vertikal dengan diameter rongga saluran kurang dari 50 mikron. Saluran ini mengeluarkan zat ekstraktif yang komposisinya belum banyak diketahui. Kehadiran saluran getah adalah khas pada Daemonorops, Ceratalobus dan beberapa jenis Calamus (C. burckianus, C. ciliaris, C. horens dan C. polystachys).

Stegmata adalah sel khusus yang berisi partikel silika. Partikel silika yang terdapat di dalam stegmata ini disebut badan–silika (silica bodies). Ada dua tipe badan–silika yang berguna untuk diagnostik, yaitu bentuk topi (hat) dan bentuk bola (spherical). Tomlison (1961) menyatakan bahwa stegmata biasanya semakin banyak terdapat semakin ke arah jaringan kulit, yaitu antara ikatan pembuluh pertama dan epidermis. Selain itu, stegmata terdapat juga dekat ikatan pembuluh, di antara sel–sel serat dan jaringan parenkim dasar. Uhl dan Dransfield (1987) menyatakan bahwa kekerasan batang rotan sebagian ditentukan oleh kehadiran partikel silika ini. Schmitt, Wiener dan Liese (1995) memperlihatkan dengan jelas bentuk badan–silika pada jenis rotan Calamus axillaris dengan alat scanning

electron microscop (SEM) dan transmission electron microscop (TEM).

Rachman (1996) menyatakan bahwa sel serat, sel parenkim dan pori adalah sel–sel utama penyusun rotan. Komposisi sel–sel ini dan dimensi sel serat sangat berperan dalam menentukan sifat fisis dan mekanis rotan. Pada Lampiran 6 dan 7 dapat dilihat komposisi sel dan dimensi serat, diameter metasilim dan diameter protoxylem beberapa jenis rotan Indonesia.

C. Komposisi Kimia

Rotan disusun oleh berbagai komponen kimia yang sangat komplek. Komponen ini dapat mempengaruhi proses pengolahan, yaitu pada proses pembelahan, pembengkokan, pemutihan dan finishing. Secara garis besar komponen tersebut di kelompokan menjadi tiga komponen pokok, yaitu: selulosa, lignin dan zat ekstraktif.

1. Selulosa

Selulosa berasal dari fotositensis, berbentuk rantai panjang. Rantai selulosa tersebut tersusun pada dinding sel rotan. Orientasi rantai selulosa ini pada satu bagian tersusun rapat (daerah kristalit) dan pada bagian lain tersusun tidak teratur (daerah amorf). Daerah amorf inilah yang mudah dimasuki atau mengeluarkan air sehingga rotan bisa

mengembang atau mengerut. Pada rotan muda banyak daerah amorf sehingga mudah keriput. Jumlah selulosa dalam rotan ± 38 – 60%. Selulosa ini mempunyai sifat mudah teroksidasi. Larutan hidrogen-peroksi (H2O2), ca-hipoklorit dan oksidator lainnya mengoksidasi selulosa bila dipakai dalam proses pemutihan rotan.

2. Lignin.

Lignin adalah bagian terbesar kedua setelah selulosa. Jumlahnya berkisar antara 18 - 35%. Lignin terutama berfungsi sebagai bahan pengikat antara satu dan lain sel dalam bahan rotan. Ibarat semen dalam susunan batu bata. Dengan demikian lignin memberi kekuatan kepada rotan. Sifat fisikokimia lignin adalah tidak berwarna (colourless) dan mudah dioksidasi oleh larutan alkalik maupun oksidator seperti halnya pada selulosa. Reaksi ini juga digunakan untuk pemutihan.

3. Zat ekstraktif.

Zat ekstraktif adalah bahan organik dan anorganik dengan berat molekul rendah. Zat ekstraktif ini pada mulanya merupakan cairan yang terdapat dalam rongga sel (protoplasma) pada waktu sel-sel masih hidup. Setelah sel-sel tua atau mati cairan tadi menempel pada dinding sel berupa getah, lilin, zat warna, gelatin, gula-gula, mineral dan silika. Jumlah zat ekstratif pada rotan lebih kurang 13%. Dibandingkan dengan bahan berselulosa lain seperti kayu (± 9%) jumlah ini cukup tinggi. Peranan zat ekstraktif dalam pengolahan sangat penting sekali karena : x Gula-gula merupakan bahan makanan jamur dan serangga,

x Lilin dan getah menghambat proses pengeringan ,

x Zat warna menyebabkan rotan berwarna lebih gelap atau kecoklatan, kemerah-merahan bahkan ada yang kehitaman,

x Silika merupakan zat vertikal keras yang dapat menumpulkan pisau dalam proses pengerjaan rotan.

Dalam cara pengolahan rotan tradisional ditemui perendaman rotan dalam air mengalir atau lumpur dalam waktu yang cukup lama. Cara ini sebenarnya bertujuan :

x Melarutkan zat warna supaya rotan berwarna lebih cerah,

x Melarutkan gula-gula agar rotan tidak lagi diserang oleh jamur dan serangga sehingga rotan menjadi lebih awet (pengawetan).

Hasil penelitian komponen rotan dan kayu yang dihimpun dari berbagai pustaka disajikan seperti pada Tabel 8. Pada Tabel 8 terlihat, bahwa selulosa rotan lebih tinggi dibandingkan dengan kayu daun jarum dan daun lebar. Sedangkan persentase lignin lebih kecil dibandingkan dengan kayu daun jarum (Kollman dan Cöté, 1968). Karakteristik lignin rotan sama dengan lignin dari daun lebar artinya tersusun dari prazat koniferil dan sinafil alkohol atau disebut sebagai lignin guayasil-siringil. Komponen silika dari 12 jenis rotan asal Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya berkisar antara 0.54 - 8,00% (Hadikusumo, 1994).

Chang et al. (1988) menyatakan bahwa rotan mengandung lignin relatif kecil, apabila di bandingkan dengan kayu keras (hardwood) atau kayu lunak (softwood) tetapi sejumlah besar polisacharida, terutama hemiselulosa. Pada bagian epidermis rotan terdapat sebagian besar senyawa silika.

Tabel 8. Komposisi kimia rotan dan kayu

Komponen kimia Rotan Kayu

Daun lebar Daun jarum

1. Holoselulosa 71 – 76 - -

2. Selulosa 39 – 60 40 – 44 44

3. Hemiselulosa - 15 – 35 20 – 32

4 Lignin 18 – 48 18 – 25 25 – 35

5. Prazat lignin Mirip d. lebar Gua/syr Guaiasil

6. Abu - 0.1 – 1,0 0,2 – 1,4

7. Silika 0,54 – 8,00 - -

9. Pati 14,00 – 29,00 - -

Sumber : Kollman and Cöte (1968), Simatupang (1975), Hadikusumo (1994), Fengel and Wegener (1984) dan Rachman (1996), Jasni et.al (2008, 2012).

Menurut Fengel dan Wagener (1984) elemen silika termasuk kedalam kelompok abu, yaitu bahan anorganik yang diperoleh setelah pengabuan kayu pada suhu 600 – 8500C. Elemen penyusun kelompok abu yang utama adalah Ca (dalam kebanyakan kayu mencapai 50% dari total abu); K dan Mg masing-masing menduduki tempat kedua dan ketiga; lalu dilanjutkan oleh elemen-elemen Mn, Na, P, Cl, Si, S, Mg dan lain–lain. Pada kayu–kayu tropis, persentase silika yang tinggi dapat melebihi kandungan Ca dalam beberapa jenis.

Kelompok abu yang dapat diamati dengan mikroskop cahaya atau elektron tampak terakumulasi dalam saluran damar, sel jari-jari, lamela tengah, lapisan dinding tersier, noktah dan daerah penebalan spiral. Deposit silika paling banyak terdapat dalam bentuk silikat (SiO2) dan tampil sebagai butiran (grain) atau butiran agregrat.

Analisis kualitatif dan kuantitatif silika dapat dilakukan secara gravimetri mengikuti prosedur TAPPI standard T 15.06–58 atau ASTM D1102 – 56. Analisis yang lebih teliti dapat menggunakan alat spektroskopi (Fengel dan Wagener, 1984). Sedangkan analisis pati secara kuantitatif berdasarkan SII 70-1979 (Anonim, 2979). Komponen kimia utama beberapa jenis rotan Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 8.

Dokumen terkait