• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat fisis dan mekanis adalah indikator yang penting untuk menentukan perilaku penampakkan, kekuatan dan bahkan mutu rotan. Sifat – sifat ini berbeda untuk tiap jenis rotan sehingga ia menjadi karakter suatu jenis rotan. Secara mendasar nilai sifat fisis mekanis rotan ditentukan oleh susunan dan orientasi sel penyusunan dan komposisi kimia rotan. Sifat fisis mekanis rotan diuraikan sebagai berikut.

1. Kadar air

Dalam penggunaan rotan sebagai bahan baku industri, sangat penting untuk mengetahui, bagaimana air berada dan bergerak di dalam bahan rotan. Hal ini karena hampir semua sifat rotan dan produk rotan dipengaruhi oleh keberadaan air dalam rotan. Pada saat rotan ditebas di hutan, kandungan airnya sangat tinggi bahkan dapat melebihi berat zat rotannya. Apabila sesorang tersesat di dalam hutan dan kehausan, tebaslah sebatang rotan, airnya akan mengucur dari batang yang ditebas. Para pemungut dan petugas survei seringkali memanfaatkan air ini di hutan sebagai penawar dahaga.

Ketika rotan dalam keadaan segar, yaitu rotan yang baru ditebas, air dalam bentuk cairan berada dalam rongga sel, dinding sel dan ruang antar sel rotan. Beberapa waktu setelah rotan ditebas jumlah air yang ada dalam rotan akan terus berkurang sampai air hanya terdapat dalam dinding sel dan uap air–jenuh dalam rongga sel serta ruang antar sel. Keadaan ini disebut sebagai titik jenuh serat (TJS). Setalah melewati titik jenuh serat, jumlah air akan terus berkurang sampai tercapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekelilingnya. Di Indonesia

kandungan air tersebut berkisar 14 – 20% dari berat rotan kering (tanpa air), tergantung pada kondisi lingkungan di mana rotan tersebut berada.

Banyaknya air dalam sepotong rotan dibandingkan dengan berat rotan keringnya dan dinyatakan dalam persen disebut sebagai kadar air. Untuk menghitung kadar air ini secara teliti harus dilakukan di laboratorium, menggunakan timbangan dan oven. Berdasarkan pengertian bahwa kadar air adalah rasio berat air dan berat rotan bebas air maka kadar air dapat dihitung dengan rumus berikut:

Bb - Bo

KA = x 100% Bo

dimana: KA = Kadar air ; Bb = Berat basah ; Bo = berat kering oven Dalam praktek sehari–hari dikenal istilah rotan segar, rotan basah, rotan kering udara atau rotan dengan kadar air 8 – 12% dan sebagainya. Rotan segar adalah rotan yang baru dipanen dengan kadar air melebihi 100%. Biasanya, terdapat pada rotan yang baru ditebas. Rotan basah adalah rotan dengan kadar air di atas titik jenuh serat, biasanya di bawah 100% dan di atas rotan kering udara. Nilai kadar air rotan pada saat titik jenuh serat belum diketahui secara pasti. Nilai ini diduga sekitar 30%. Rotan kering udara atau disebut juga rotan kering adalah rotan dengan kadar air 14 – 20% dan merupakan kadar air keseimbangan dengan kelembaban udara atau keadaan cuaca di sekitar tempat rotan tersebut berada. Kadar air rotan kering udara dapat pula diukur dengan cepat, menggunakan alat moisture meter yang banyak dijual dengan berbagai merek. Alat ini pada hakekatnya mengukur secara elektris hubungan antara kandungan air dalam bahan dengan besarnya tegangan listrik. Oleh karena itu, terdapat sedikit perbedaan antara nilai pengukuran kadar air moisture meter dengan nilai pengukuran laboratoris. Untuk mengetahui kadar air rotan segar dan kering udara secara laboratoris pada beberapa jenis rotan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kadar air rata–rata rotan segar dan pada kondisi kering udara di daerah Bogor Jenis Kadar air segar (%)

Kadar air kering udara (%)

Rotan diameter besar

1. Manau (Calamus manan) 140* 18

2. Sampang (Korthalsia junghunii) 111* 18

3. Seuti (C. ornatus) 225 16

4. Bubuay (Plectocomia elongata) 147 15

Rotan diameter kecil

1. Seel (Daemonorops malanocaetes) 235 14

2. Pelah (Calamus sp) 195 16

Keterangan: *) sekitar 5 – 7 hari setelah panen

Pengeringan rotan pada dasarnya, adalah usaha pengeluaran air dari dalam rotan mulai dari rotan segar sampai mencapai kadar air kering udara. Pengeringan rotan biasanya disertai penyusutan. Pada jenis-jenis rotan tertentu terutama rotan muda atau bagian ujung batang dapat terjadi keriput (kisut) atau collaps selama proses pengeringan sehingga menurunkan mutu rotan. Collaps biasanya terjadi pada bagian ujung rotan diameter besar yang dijemur pada sinar matahari yang terlalu terik.

Persamaam dasar kadar air dapat dirubah dalam bentuk yang lebih mudah digunakan dalam situasi tertentu sebagai berikut :

Bb Bo =

1 + (%KA/100) Bb = Bo (1 + %KA/100)

Sebagai contoh, perhatikan suatu situasi tumpukan rotan basah, beratnya 10 ton. Rotan ini akan diangkut dari tempat penebangan ke tempat pengolahan. Kadar air rotan tersebut adalah sekitar 100%. Berapa

berat akan dihemat bila rotan dikirim dalam bentuk rotan bulat kering udara (rotan WS) dengan kadar air 20%.

10

Bo = = 5 ton 1 + 1

Bb (K.A 20%) = 5 (1 + 20/100) = 5 x 1,2 = 6 ton

Penghematan berat adalah 10 – 6 = 4 ton. Bila ongkos angkut per ton = Rp 10.000,- maka akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp 40.000,-.

2. Berat jenis

Berat jenis (specific gravity) adalah salah satu sifat fisik yang paling penting karena akan sangat mempengaruhi sifat kekuatan, kembang susut, sifat menyerap bahan kimia dan finishing serta sifat–sifat lain dalam pengolahan dan penggunaan. Berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara berat dan volume bahan dengan perbandingan berat dan volume air. Rumusnya adalah:

B/V bahan BJ =

B/V air dimana: B = berat ; V = volume

Berdasarkan persamaan di atas maka nilai berat jenis tidak memakai satuan. Selanjutnya, karena B/V air = 1 maka BJ diukur berdasarkan B/V bahan. Berat jenis standar selalu dinyatakan Bo/Vb; Bo/Vku atau Bo/Vo (di mana notasi o untuk oven; b untuk basah; ku untuk kering udara). Namun dalam praktek sering digunakan berat jenis atas dasar Bb/Vb atau Bku/Vku.

Rotan berat, sedang atau ringan berkaitan dengan berat jenis yang tinggi, sedang atau rendah. Rotan dengan berat jenis yang terlalu tinggi atau terlalu rendah tidak disenangi karena terlalu kaku/ jeras atau terlalu lemah/ lunak. Rotan manau dan tohiti sangat disukai dalam pemakaian karena BJ-nya 0,48 – 0,55 (sedang). Berat jenis rotan dipengaruhi pula

oleh sebaran ikatan pembuluh (KIP). Semakin tinggi sebaran KIP semakin tinggi BJ rotan, tetapi sebaran yang terlalu tinggi dan terlalu rendah biasanya kurang disukai Di lapangan sering dipakai istilah kerapatan rotan yang pada hakekatnya sama dengan BJ. Kerapatan adalah berat per satuan volume dan selalu dinyatakan dalam satuan gr/cm³, kg/m³ atau lb/ft³. Kerapatan dihitung atas dasar Bo/Vb, Bb/Vb atau Bo/Vku.

Pada kayu daun lebar (hardwood), proporsi sel–sel utama penyusun kayu berpengaruh terhadap berat jenis, seperti dapat dilihat pada Tabel 10. pada tabel tersebut secara umum tampak adanya hubungan, bahwa penurunan volume pori akan meningkatkan berat jenis. Secara nalar ternyata penggantian kedudukan sel pori yang besar oleh sel–sel serat dengan dinding yang lebih tebal dan sel – sel parenkim akan meningkatkan jumlah dinding sel, dengan demikian akan meningkatkan berat jenis. Hubungan yang sama berlaku pula pada rotan (Tabel 10). Tabel 10. Hubungan antara proporsi relatif pori, serat dan parenkim

dengan berat jenis

Jenis Pori (%) Serat (%) Parenkim (%) BJ

Kayu : ¹) Basswood 56 36 8 0,32 Sweetgum 54 26 20 0,46 Birch 21 64 15 0,50 Hickory 6 67 22 0,64 Rotan ²) Tretes 17 30 53 0,40 Galaka 23 33 45 0,50 Seuti 18 28 46 0,51 Manau 20 40 40 0,59 Tohiti 21 38 41 0,61

Keterangan: ¹) Wangard (1979), ²) Rachman (1996)

3. Kekuatan lentur statik

Kekuatan lentur statik adalah ukuran kemampuan rotan menahan beban lentur yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk. Perubahan dapat berupa pelengkungan (bending), perpanjangan (tensile) atau torsi (beban putar). Tingkat perubahan bisa sampai batas elastis dan

sampai maksimum. Batas elastis diartikan apabila perubahan bentuk yang terjadi akibat pembebanan akan kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan. Sedangkan, batas maksimum adalah bila perubahan bentuk akibat pembebanan tidak kembali ke bentuk semula jika beban dilepaskan.

Grafik hubungan pembebanan dan perubahan bentuk (stress-strain) dalam uji lengkung (bending) pada kayu berbeda dengan rotan. Setelah mencapai batas lengkungan (deflection) maksimum, kayu akan mengalami patah (Gambar 10a). Sedangkan, pada rotan tidak mengalami patah melainkan pertambahan lengkungan tidak lagi menyebabkan kenaikan beban (Gambar 10b). Titik maksimum, pada beberapa jenis rotan dicapai pada lengkungan sekitar 25 mm. Pengujian lentur statik pada rotan dengan mesin uji lentur disajikan pada Gambar 11.

Keterangan : E = Batas elastis; M = Batas maksimum; ǂ = Lengkungan; P = Beban Gambar 10. Grafik hubungan antara defleksi dan beban pada uji lentur statik

rotan (b) dan kayu (a)

Ukuran kemampuan sampai batas elastis disebut modulus elastisitas (MOE) dan sampai batas maksimum disebut modulus rusak (MOR) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

0.424 Pe L³ MOE = D4 Fe Kayu E E E E M P P M Rotan (a) (b)

1.273 Pm L MOR =

dimana: Pe = beban elastis; L = jarak sanggah, D = diameter rotan; Fe = lengkungan; Pm = beban maksimum. Untuk rotan diameter besar biasanya digunakan MOE dan MOR lengkung dan untuk kulit rotan digunakan MOE dan MOR perpanjangan (tarik).

Gambar 12. Pengujian lentur statik rotan pada mesin uji

Dalam hubungan dengan MOE lengkung dan MOR (lengkung maksimum) pada rotan perlu dibedakan dengan istilah kekerasan yang digunakan dalam standar mutu rotan. Istilah kekerasan dalam standarisasi rotan diartikan, jika sepotong rotan dilengkungkan dengan kedua tangan lalu ia menjadi patah maka dinyatakan kekerasannya rendah dan sebaliknya kekerasannya tinggi. Sedangkan, kekerasan dalam pengertian mekanika adalah besarnya gaya yang diperlukan untuk menancapkan bola baja berdiameter 11,5 mm ke dalam bahan 5,525 mm. Kekerasan adalah indikator yang menunjukkan kegunaan kayu untuk paving block, flooring,

bearing dan bahan lain yang sama. Adapun kekakuan (stiffness) adalah

baik tidaknya bahan sebagai hammer handle, athletic goods dan bahan sejenis lainnya. Sifat mekanis lain yang penting adalah keteguhan belah yang menunjukan mudah tidaknya rotan dibelah dan dikupas.

Rachman (1996) melaporkan bahwa MOE lengkung beberapa jenis rotan berkisar antara 5.000 – 45.000 kg/cm². Selanjutnya hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa rotan tohiti MOEnya 54.000 kg/cm2 (Jasni

et.al, 2007). Menurut Hadikusumo (1990) MOE lengkung rotan jauh

lebih rendah daripada kayu, yaitu sekitar 1/3 kayu pada berat jenis yang hampir sama. Keteguhan lengkung maksimum kayu dan rotan tidak berbeda jauh pada berat jenis yang sama, yaitu sekitar 550 – 650 kg/cm² pada berat jenis 0,55 – 0,65. Adapun keteguhan tekan sejajar serat pada rotan semambu, kayu kelapa dan kayu meranti dengan berat jenis yang sama (0,54) masing–masing adalah 205 kg/cm², 395 kg/cm² dan 411 kg/cm². Sifat fisis dan mekanis beberapa jenis rotan disajikan pada Lampiran 9.

Para peneliti rotan tampaknya juga sependapat bahwa keberadaan berkas serat berpengaruh terhadap sifat fisik dan mekanik rotan. Bhat dan Thulasidas (1989) melaporkan, bahwa tebal dinding sel serat adalah parameter anatomi yang paling penting yang menentukan perilaku sifat fisik rotan. Dinding yang lebih tebal mengakibatkan rotan lebih keras dan lebih berat. Selanjutnya Yudodibroto (1984) melaporkan bahwa jumlah sel–sel schlerenchyma yang terdapat di sekitar ikatan pembuluh berkolerasi dengan kekuatan tarik (tensile strength) rotan, yaitu kenaikan persentase sel–sel ini, yang diukur pada penampang lintang akan meningkatkan kekuatan tarik rotan seperti terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Hubungan antara jumlah sel schlerenchyma dan kekuatan tarik rotan

Jenis rotan

Daerah yang ditempati (%) Kekuatan tarik (kg/cm2) Sel–sel

schlerenchyma Sel–sel lain

Tohiti (Calamus

inops) 43,9 56,1 1.239,15

(Calamus sp) 28,4 71,6 847,34

Umbul (Calamus

Pada Tabel 11. diatas dapat dilihat bahwa C. inops mengandung 43,9% sel serat. Sedangkan C. symphysipus yang mengandung 25,8% sel serat mempunyai kekuatan tarik sekitar 30% lebih rendah dari C. inops. Hadikusumo (1994) menyatakan bahwa dari pengamatan 17 jenis rotan diperoleh rata–rata proporsi sel serat sekitar sepertiga bagian (33,3%), sepertiga berikutnya adalah sel vascular dan sepertiga terakhir adalah sel parenkim.

Bhat dan Thulasidas (1989) mencoba menjelaskan penyebab terjadinya pecah dan patah pada rotan Calamus metzianus yang tergolong berdiameter kecil berdasarkan hasil pengamatan struktur anatomi secara mikroskopis seperti pada Tabel 12. Pada tabel tersebut dapat dilihat, bahwa C. metzianus yang mengandung rata–rata 16% sel serat adalah setengah dari nilai persentase serat rotan jenis lainnya. Diameter pembuluh metaksilim yang besar juga dapat menambah volume rongga pada jaringan batang sehingga menurunkan kekuatan rotan. Selain itu pada diameter serat yang hampir sama, diameter lumen C. metzianus jauh lebih tinggi sehingga ketebalan dindingnya kecil.

Tabel 12. Struktur anatomi tiga jenis rotan dari Kerala, India

Sifat C. metzianus (ø kecil) C. travancoricus (ø kecil) C. thawaitesii (ø besar) Jumlah ikatan pembuluh/mm2 6,0 4,0 3,0 Diameter ikatan pembuluh (mm) 0,61 0,31 0,76 Jumlah serat (%) 16,0 32,0 32,0 Jumlah xylem (%) 25,2 27,0 23,0 Jumlah phloem (%) 8,7 8,5 7,5 Diameter metaksilim (μ) 283,0 130,0 290,0 Panjang serat (μ) 1.576 1.400 1.700 Diameter serat (μ) 19,0 17,0 19,0 Lebar lumen (μ) 13,0 7,0 8,0 2x tebal dinding sel (μ) 6,0 10,0 11,0

Menurut Hadikusumo (1994) sifat kelengkungan rotan (radius terkecil dari pelengkungan rotan) lebih banyak dipengaruhi oleh diameter dan kandungan lignin dan sedikit dipengaruhi oleh berat jenis dan kandungan silika, dalam bentuk hubungan regresi linier berganda. Hasil beberapa jenis radius lengkung rotan seperti terlihat pada Lampiran 10.

E. Keawetan

Keawetan rotan adalah ketahanannya terhadap serangan organisme perusak yang melakukan perusakan secara alami pada substrat rotan. Biasanya yang dimaksud organisme perusak pada rotan adalah mikroorganisme berupa jamur dan serangga, baik pada tanaman masih hidup maupun setelah panen. Dengan demikian istilah keawetan mengacu kepada daya tahan rotan terhadap serangan organisme tersebut.

Beberapa jenis rotan sangat tahan terhadap serangan jamur dan serangga, disamping penampakannya yang sangat baik. Karena itu, jenis– jenis rotan ini disebut sebagai rotan elite Indonesia, yaitu: jenis manau (Calamus manan), tohiti (C. inops), sega (C. caesius) dan irit (C. trachycoleus). Faktor penyebab tingginya keawetan jenis–jenis rotan ini belum diketahui dengan jelas. Akan tetapi, adanya kandungan ekstraktif tertentu dalam rotan diduga mampu menahan serangan organisme perusak sehingga bahan ini berfungsi sebagai fungisida atau insektisida.

Sebaliknya, kebanyakan jenis–jenis rotan sangat mudah diserang oleh organisme perusak rotan. Bahkan, serangan itu sudah mulai terjadi setelah 24 jam rotan dipanen. Demikian pula dalam penumpukan, pengangkutan, pengolahan dan selama pemakaian rotan tidak luput dari kemungkinan serangan organisme perusak rotan. Faktor yang menyebabkan rotan mudah diserang terutama adalah karena adanya kandungan zat pati, gula dan protein yang cukup tinggi pada rotan. Zat ini merupakan makanan organisme perusak. Selain itu, organisme tersebut dapat pula memakan komponen kimia utama penyusun rotan, yaitu selulosa dan lignin serta mampu merombaknya menjadi gula dan pati.

Saat ini sudah ada klasifikasi ketahanan jenis–jenis rotan Indonesia yang berlaku secara umum seperti pada kayu, namun belum ada peraturan yang mengharuskan pengawetan rotan yang diperdagangkan. Klasifikasi keawetan rotan Indonesia telah dilakukan

Jasni dan Supriana (1999) menyusun klasifikasi rotan kering berdasarkan pengurangan berat pada 8 jenis rotan yang ditulari dengan

bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 2 cm dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan bubuk rotan kering seperti Tabel 13.

Tabel 13. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk

Kelas ketahanan Kehilangan berat (mg) Ketahanan

I < 42 Sangat tahan

II 43 – 62 Tahan

III 63 – 82 Sedang

IV 83 – 102 Buruk

V >102 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Tabel 14.

Tabel 14. Kelas ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus Farb).

Jenis rotan Kehilangan berat (mg) Kelas awet

Manau (Calamus manan) 13,0 I

Tohiti (C. inops) 25,0 I

Galaka (Calamus sp) 35,0 I

Batang (C. zolingerii) 47,5 II

Balukbuk (C. burckianus) 50,0 II

Semambu (C. spicionum) 75,0 III

Tretes (Daemonorops heteroides) 65,0 III Bubuay (Plectocomia elongata) 185,0 V

Selanjutnya Jasni dan Roliadi (2011) telah menyusun klasifikasi ketahanan rotan terhadap serangan bubuk rotan kering. Klasifikasi ditetapkan berdasarkan kehilangan berat pada 16 jenis rotan kecil yang

ditulari dengan bubuk rotan kering (Dinoderus minutus) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 % masing – masing berukuran panjang 5 cm, rotan dibelah dua dan tiap contoh ditulari 10 ekor bubuk rotan kering. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh ditulari selama satu bulan. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 15.

Tabel 15. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap bubuk

Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) Ketahanan

I <0,81 Sangat tahan

II 0,82 – 1,33 Tahan

III 1,34 – 1,98 Sedang

IV 1,99 – 2,76 Buruk

V >2,76 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Lampiran 11.

Kemudian Jasni dan Roliadi (2010) juga menyusun klasifikasi berdasarkan kehilangan berat pada 25 jenis contoh rotan, diuji dengan rayap tanah (Cototermes curvignathus Holmgren) di laboratorium. Contoh rotan dengan kadar air berkisar 12 – 19 %. Pengamatan kehilangan berat dilakukan setelah contoh selama 4 minggu pengujian rayap tanah. Kriteria penentuan kelas ketahanan yang didasarkan pada kehilangan berat adalah seperti Tabel 16.

Tabel 16. Kriteria kelas keawetan rotan terhadap rayap tanah Kelas ketahanan Kehilangan berat (%) Ketahanan

I <17,0 Sangat tahan II 17,1 – 24,0 Tahan III 24,1 – 31,7 Sedang IV 31,8 – 39,8 Buruk V >39,8 Sangat buruk

Berdasarkan kriteria tersebut disusun klasifikasi ketahanan rotan seperti pada Lampiran 12.

V. PENGOLAHAN ROTAN

Rotan sebagai bahan untuk mebel, tikar, lampit, keranjang dan sebagainya sudah banyak diketahui dan digunakan sehari-hari, namun rotan sebagai material hayati yang berasal dari hutan dan tahap-tahap pengolahannya secara menyeluruh belum banyak diketahui, mulai dari bahan baku di hutan sampai barang jadi. Pengolahan yang tepat akan menghasilkan rendemen yang tinggi dan produk dengan kualitas yang konsisten

Dokumen terkait