• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran perceived social support

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.5 Perceived Social Support

2.5.4 Pengukuran perceived social support

Untuk mengukur variabel perceived social support, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived Social Support) dari Dahlem, Zimet, & Walker (1991). Alat ukur ini akan diadaptasi

kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.6 Pengalaman Terhadap Kematian

Hampir semua orang akan mengalami kehilangan orang yang dicintainya selama masa hidupnya. Ketika seseorang menua, coping terhadap rasa duka akibat kehilangan orang yang disayangi akan menjadi hal yang sulit (Azaiza et al., 2011). Malkinson & Bar-Tur (2005 dalam Azaiza, et al., 2011) menyatakan bahwa orangtua akan mengalami kehilangan yang signifikan: anggota keluarga dan teman yang sakit dan kemudian meninggal, masa pensiun yang dapat mengurangi relasi sosial, berkurangnya aktifitas yang dulu dilakukan ketika bekerja, serta rumah yang terasa sepi. Kemudian, orangtua atau lansia akan merasa cemas mengenai kematian yang akan datang padanya dan mengkhawatirkan keluarga yang akan terbengkalai ketika dirinya meninggal (Malkinson & Bar-Tur, 1999 dalam Azaiza, 2011).

Hoyer & Roodin (2003) menyatakan terdapat beberapa kematian yang sulit untuk dilupakan. Yaitu kematian anak yang masih kecil, kematian anak yang telah dewasa, kematian saudara, kematian orangtua, dan kematian pasangan. Kematian anak yang masih kecil menyisakan rasa duka yang sulit dipulihkan, terutama jika penyebab kematian adalah kecelakaan atau penyakit berat. Kematian anak yang sudah dewasa juga dapat menyisakan rasa duka yang mendalam, namun

tidak lebih intens dari kehilangan pasangan atau orangtua. Kematian saudara merupakan hal yang sering dirasakan oleh lansia, namun juga menyisakan rasa duka yang mendalam. Kematian orangtua bukan hanya menunjukkan efek jangka panjang ketika terjadi pada masa anak-anak karena perpisahan dengan pengasuhnya, namun juga pada lansia hal tersebut juga merupakan kehilangan yang besar. Kemudian, kehilangan pasangan hidup merupakan kehilangan yang paling umum dirasakan oleh lansia dan membuat lansia harus menghadapi rasa duka yang mendalam serta tantangan-tantangan hidup lainnya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pengalaman mengenai kematian adalah pengalaman mengenai meninggalnya orang-orang yang ada di sekitar kita, baik keluarga, teman, maupun orang lain yang menyisakan duka maupun tidak.

2.6.1 Pengukuran Pengalaman mengenai Kematian

Untuk mengukur variabel pengalaman mengenai kematian, peneliti memberikan pertanyaan apakah responden pernah mengalami kehilangan baik keluarga, teman, maupun orang lain. Kemudian, peneliti membuat skala kebermaknaan kematian tersebut kedalam 2 alternatif pilihan, sangat bermakna dan tidak bermakna. Responden harus memilih salah satu dari dua alternatif pilihan yang paling menggambarkan kebermaknaan tersebut.

Peningkatan populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari peningkatan harapan hidup. Akan tetapi, sebagaimana manusia yang sedang berada di akhir tahap perkembangan, lansia mengalami banyak penurunan fungsi yang kompleks, baik fisik, mental, minat, dan finansial. Lansia juga mengalami lebih banyak paparan terhadap kematian, terlihat dari banyaknya rekan-rekan seusianya serta keluarga yang telah meninggal. Karena hal-hal tersebut, lansia rentan mengalami kecemasan, terutama kecemasan yang berkaitan dengan kematian. Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda terhadap kematian. Persepsi yang positif akan memunculkan penerimaan terhadap kematian dan persepsi negatif akan memunculkan death anxiety.

Death anxiety dapat dirasakan berbeda bagi pria dan wanita. Wanita yang cenderung rentan pada kecemasan, memandang kematian sebagai suatu hal yang emosional sehingga wanita rentan memiliki death anxiety yang tinggi. Sedangkan pria lebih memandang kematian dari segi kognitif, oleh karena itu, pria lebih memiliki sikap terhadap kematian yang lebih positif.

Seseorang yang memiliki ketakutan akan kematian tidak terlepas dari pegalamannya mengenai kematian itu sendiri. Individu yang telah mengalami atau menyaksikan keluarga, kerabat, atau temannya meninggal dapat memiliki death anxiety yang berbeda dengan individu yang mengalami perpisahan dengan orang yang kurang berarti dalam hidupnya. Orang yang lebih sering terpapar oleh kematian diasumsikan memiliki sikap terhadap kematian yang lebih baik dibandingkan orang

yang belum mengalami pengalaman yang berarti mengenai kematian orang yang dicintainya.

Kematian memang tidak terlepas dari kontrol Tuhan, namun sebaiknya kita sebagai manusia turut mengupayakan hal-hal yang dapat mempertahankan kehidupan kita. Dengan perasaan kontrol yang kuat bahwa kita sudah berusaha mempertahankan kesehatan kita dan meningkatkan religiusitas, maka death anxiety dapat dikurangi.

Individu dengan perasaan kontrol terhadap lingkungannya akan merasa lebih aman, sehingga orang dengan internal locus of control akan memiliki ketakutan akan kematian yang lebih rendah. Sebaliknya, individu dengan external locus of control mempercayai bahwa ia tidak dapat mengontrol kehidupannya, bahwa kejadian-kejadian di dalam hidupnya merupakan suatu takdir akan memiliki ketakutan akan kematian yang lebih tinggi karena ketidakpastian hidup. Hayslip & Stewart-Bussey (1987, dalam Cicirelli, 1999) melaporkan eksternalitas berhubungan dengan death anxiety yang lebih tinggi, dan internalitas berhubungan dengan death anxiety yang lebih rendah.

Tingginya death anxiety memerlukan upaya untuk menurunkannya sehingga lansia dapat hidup lebih sejahtera dan bahagia. Upaya tersebut diantaranya melalui dukungan sosial dan religiusitas. Dukungan sosial (social support) berupa ikatan yang kuat antara lansia dengan orang-orang terdekatnya. Dengan kedekatannya pada orang-orang disekitarnya, hal tersebut dapat memicu persepsi bahwa banyak orang

yang mendukung dirinya yang nantinya akan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada kematian.

Persepsi social support merupakan faktor yang positif, sedangkan death anxiety adalah faktor yang negatif. Oleh karena itu, perceived social support diasumsikan memiliki pengaruh yang negatif dengan death anxiety. Individu yang memiliki perceived social support yang tinggi cenderung memperlihatkan death anxiety yang rendah (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013). Social support dapat diperoleh bukan hanya dari keluarga, namun juga dengan mengikuti komunitas-komunitas dan kegiatan-kegiatan yang bukan hanya dapat dapat memberdayakan lansia, namun juga menambah relasi sehingga lansia mendapatkan social support yang lebih baik.

Selain itu, upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan death anxiety yang lain adalah religiusitas. Sayangnya, orang yang terlihat religius belum tentu benar-bear mengamalkan agamanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Terdapat motif-motif lain seseorang dalam beribadah dan menjalankan agamanya, contohnya motif-motif sosial dan emosional. Individu yang memiliki intrinsic religious orientation cenderung memandang agama sebagian dari hidupnya dan benar-benar ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Sedangkan individu dengan extrinsic religious orientation memandang agama sebagai sebuah agen sumber kenyamanan, solusi bagi masalah-masalah di dunia dan ajang bersosialisasi.

Sebagai catatan penting mengenai penelitian yang melibatkan religiusitas ekstrinsik bergantung pada kepercayaan religius individu. Jika kepercayaan individu menekankan pada hal pembalasan pada kehidupan setelah kematian, maka religiusitas yang tinggi akan membuat ketakutan akan kematian yang tinggi pula (Florian & Kravits, 1983 dalam Cicirelli, 2002). Sebaliknya, jika kepercayaan tersebut lebih condong kepada cinta Tuhan, Tuhan sebagai penyayang utama, dan dengan konsep kehidupan setelah kematian sebagai suatu hal yang indah, berhubungan dengan tingkat death anxiety yang rendah (Rigdon & Epting, 1985 dalam Cicirelli, 2002).

Jadi dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin pada lansia. Gambar 2.1 merupakan rangkuman kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini.

Death Anxiety

Internal Locus Of

Control

External Locus of

Control

Perceived Social

Support Family

Perceived Social

Support Friends

Perceived Social

Support

Significant Others

Intrinsic Religious

Orientation

Extrinsic

Religious

Orientation

Pengalaman

Mengenai

Kematian

Jenis Kelamin

2.8 Hipotesis

2.7.1 Hipotesis Mayor

Ha : ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas dan locus of control terhadap death anxiety

2.7.2 Hipotesis Minor

H1 : ada pengaruh yang signifikan antara internal locus of control terhadap death anxiety

H2 : ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control terhadap death anxiety

H3 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support family terhadap death anxiety

H4 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support friend terhadap death anxiety

H5 : ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support significant others terhadap death anxiety

H6 : ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety

H7 : ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation terhadap death anxiety

H8 : ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna mengenai kematian terhadap death anxiety

H9 : ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan death anxiety

57

Dokumen terkait