• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penolakan terhadap death anxiety …

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Death Anxiety

2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …

Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992, dalam Hoyer & Roodin, 2003).

Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal tersebut dapat membuat seseorang menghindari pemeriksaan kesehatan menyeluruh

dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin, 2003).

Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau orang tua yang perhatian.

Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett (2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap kematian, yaitu:

1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau religiusitas dan hal ini merupakan pertahanan kunci yang meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian (akhirat).

2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia. Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan harta kekayaan serta kekuasaan.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety

Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a) Religiusitas

Religiusitas adalah salah satu faktor teoritis yang potensial, dan dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam Daaleman dan Dobbs, 2003).

Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki tingkat kepercayaan yang kuat.

Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat perspektif reinkarnasi.

b) Locus of Control

Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran mereka dan hal itu akan menurunkan tingkat death anxiety.

c) Kepribadian

Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan neurotisisme dan behavioral pattern type A.

d) Social Support

Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety. Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain. Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death anxiety.

e) Usia

Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007) dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60 tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo (2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death anxiety dengan faktor usia.

Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian. Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support.

Dokumen terkait