• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.4 Religious Orientation

2.4.1 Pengertian Religious Orientation

Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan sehari-hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam Pargament, 1997)

Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002).

Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965 dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional, terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) untuk mendasari apa yang disebut dengan „orientasi religius’.

Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik.

Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya, sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967). Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain.

Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam

pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious

orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan beragama tertentu dan menceri tujuan beragama tertentu dalam berbagai situasi.

Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama, apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam menjalankan ajaran agamanya.

2.4.2 Dimensi-Dimensi Religious Orientation

Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross (1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap kurang penting dan sebisa mungkin memiliki harmoni dengan kepercayaan

religius. Individu berusaha untuk menginternalisasikan keyakinannya dan mengikuti ajaran-ajaran agamanya. Inilah yang disebut bahwa seseorang menjalankan keyakinanya.

Keyakinan seperti ini dapat merubah eksistensi seseorang tanpa memaksakannya pada konsep-konsep yang terbatas dan kebutuhan-kebutuhan egosentris. Tipe ini dapat disebut tipe agama yang “interioris” atau “intrinsik” atau “berpusat diluar diri”, yang dalam kasus ini bertolak belakang dengan tipe ekstrinsik yang mengedepankan manfaat, berpusat pada diri sendiri (Allport 1950, dalam Stark dan Glock, 1968).

Intrinsic religious orientation juga didefinisikan sebagai kedewasaan spiritual (Thomas, 1994 dalam Tomer et. al., 2008), atau sebagai cara hidup dan komitmen seseorang terhadap Tuhan. Orang dengan orientasi religius intrinsik cenderung mempercayai adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian (Tomer et. al., 2008).

2. Extrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Ekstrinsik). Allport (1950 dalam Stark dan Glock , 1968) mengkategorikan tipe religius ekstrinsik sebagai religius yang memanfaatkan, mementingkan diri sendiri, berpusat pada keselamatan, status, kenyamanan dan protektifitas dari penganutnya. Orang yang religius dalam artian ini “menggunakan” Tuhan. Mereka adalah orang yang bergantung dan pada dasarnya kekanak-kanakan. Individu dengan orientasi religius ekstrinsik mungkin telah mendapatkan doktrin agama dari lembaga-lembaga atau rumah ibadah, namun karena mereka tidak terlalu

melibatkan agama dalam kehidupannya, mereka memiliki kemungkinan untuk takut terhadap hal-hal yang gaib dan masa depan setelah kematian (Donahue, 1985 dalam Tomer et al., 2008). Selanjutnya, Gorsuch & McPherson (1989) menyatakan terdapat dua komponen yang berbeda dari orientasi religius ekstrinsik, yaitu:

a. Social Extrinsic Orientation (Es), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang mengacu pada pencapaian manfaat-manfaat sosial. Tipe ini mengharapkan manfaat secara sosial (Flere & Lavric, 2007).

b. Personal Extrinsic Orientation (Ep), yaitu orientasi religius ekstrinsik yang menekankan pada penanganan dan kontrol pada masalah-masalah dan tekanan psikologis. Tipe ini mengacu pada mengatasi dan mengontrol masalah-masalah psikologis personal (Flere & Lavric, 2007).

2.4.3 Pengukuran Religious Orientation

Untuk mengukur variabel religiusitas, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Religious Orientation Scale-Revised (ROS-R) dari Gorsuch & McPherson (1989). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia. Alat ukur ini memiliki empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

Dokumen terkait