• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi death anxiety

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi death anxiety"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)

Oleh :

DIANA MUMPUNI NIM: 109070000191

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

B) April 2014

C) Diana Mumpuni

D) Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Death Anxiety pada Lansia

E) 110Halaman + Lampiran

F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 lansia baik pria maupun wanita di RW 09 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Penelitian menggunakan metode kuantitatif melalui pemberian kuesioner kepada sampel penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda yang diperoleh dari hasil perhitungan skala death anxiety (Death Anxiety Scale), skala locus of control (I, P, & C Locus of Control Scale), skala perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), dan skala religious orientation (Religious Orientation Scale-Revised). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara seluruh variabel independen terhadap death anxiety secara simultan. Apabila dilihat dari koefisien regresi masing-masing variabel, ditemukan satu variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap death anxiety yaitu variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan proporsi varians masing-masing variabel maka terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap death anxiety, yaitu extrinsic religious orientation. Pada penelitian selanjutnya diharapkan memperluas jangkauan sampel agar lebih beragam, serta mengukur variabel death anxiety dengan aspek-aspek yang terpisah sehingga terlihat hasil yang lebih menarik.

(6)

Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.

Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah beserta jajaran dekanat yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik. 2. Jahja Umar, Ph.D atas kebijakannya yang membuat kami lebih banyak dan giat

belajar serta mengembangkan Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan berkualitas.

3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.

4. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi, sebagai pembimbing I dan ibu Yufi Adriani, M. Psi, sebagai pembimbing II, terima kasih atas waktu dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mempu menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada ibu Dra. Netty Hartati, M.Si sebagai penguji I, Terima kasih atas segala masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu, teladan, serta kerja kerasnya dalam mendidik kami selama ini.

6. Seluruh warga lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala yang bersedia menjadi sampel penelitian ini, serta para kader lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala, ibu Ummi

Marfu’ah, dan ibu Neneng yang telah membantu penulis dalam pengambilan data

penelitian.

7. Kedua orang tua penulis, Bapak Musidi dan Ibu Siwiyastiana Anjarhiaswati atas kasih sayang, dukungan, do’a dan ketulusan yang telah menyertai penulis selama ini.

8. Seluruh Staf Akademik yang sangat sabar melayani dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang Penulis butuhkan selama proses penyelesaian skripsi.

(7)

membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT agar memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam rentang kehidupan Penulis. Amin Allahumma Amin.

Jakarta, 30 April 2014

(8)

ABSTRAK………. v

1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ………...… 11

1.2.1 Pembatasan masalah ………. 11

1.2.2 Perumusan masalah ………..……… 12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 13

1.3.1 Tujuan penelitian ………. 13

1.3.2 Manfaat penelitian ……… 13

1.4 Sistematika Penulisan ………..… 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 16

2.1 Lansia………... 16

2.1.1 Pengertian lansia...………...…………. . . . 16

2.1.2 Karakteristik Lansia………. 17

2.1.3 Perubahan-perubahan di masa lansia……… 18

2.1.3 Death Anxiety pada Lansia…………... 22

2.2 Death Anxiety ...………... 26

2.2.1 Pengertian death anxiety…... . . . ……… 26

2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …...………..….. 29

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety... 31

2.2.4 Pengukuran death anxiety... 34

2.3 Locus of Control………...……. 34

2.3.1 Pengertian locus of control………..……….. 34

2.3.2 Dimensi-dimensi locus of control ………. 36

2.3.3 Pengukuran locus of control... 38

2.4 Religious Orientation………. 38

2.4.1 Pengertian religious orientation…………..……….. 38

2.4.2 Dimensi-dimensi religious orientation ………. 41

2.4.3 Pengukuran religious orientation………... 43

2.5 Perceived Social Support……… 43

2.5.1 Pengertian social support………..………… 43

2.5.2 Aspek-aspek social support………..……… 45

2.5.3 Perceived social support……… 47

(9)

BAB III METODE PENELITIAN……….... 57

3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data ……….………... 57

3.2 Variabel Penelitian ………... 57

3.3 Definisi Operasional………. 58

3.4 Pengumpulan Data……... 59

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data……… 59

3.4.2 Instrumen Penelitian……….. 62

3.5 Pengujian Validitas Konstruk... 64

3.5.1 Uji validitas konstruk death anxiety ……...……….. 66

3.5.2 Uji validitas konstruk locus of control... 68

3.5.3 Uji validitas konstruk perceived social support... 71

3.5.4 Uji validitas konstruk religious orientation……… 72.

3.6 Prosedur Pengumpulan Data………... 77

3.7 Metode Analisis Data... 78

BAB IV HASIL PENELITIAN ………..……….……. 81

4.1 Analisis Deskriptif ……….. 81

4.2 Uji Hipotesis Penelitian ………... 88

4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ………. 88

4.2.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV …………. 94

(10)

Tabel 3.5 Blue Print Religious Orientation Scale-Revised……… 64

Tabel 3.6 Muatan Faktor dimensi death anxiety ...….. 67

Tabel 3.7 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian internal………. 68

Tabel 3.8 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-chance 70 Tabel 3.9 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-powerful others ……… 71

Tabel 3.10 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian family 72 Tabel 3.11 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian friends 73 Tabel 3.12 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian significant others ……… 74

Tabel 3.13 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian intrinsic.... 75

Tabel 3.14 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian extrinsic… 77 Tabel 4.1 Tabel subjek berdasarkan jenis kelamin..………...….. 81

Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan death anxiety………..... 82

Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxietyjenis kelamin... 82

Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control……... 83

Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control…….. 84

Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family 84 Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friends 85 Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant others……… 86

Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation… 87 Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation… 88 Tabel 4.11 Tabel Anova………. 89

Tabel 4.12 Tabel R Square……… 90

Tabel 4.13 Tabel Koefisien Regresi……….. 91

(11)
(12)
(13)

1

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan

masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan

sistematika penulisan skripsi.

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa tua adalah periode penutup dari perkembangan masa hidup manusia.

Masa ini adalah sebuah periode dimana seseorang “berpindah” dari periode

yang lebih diinginkan — atau saat-saat ketika mereka merasa “berguna”

(Hurlock, 1980). Artinya, orang yang berada pada masa tua seharusnya telah

mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini, populasi warga lanjut usia

atau lansia cenderung mengalami peningkatan di Asia Tenggara, terutama

Indonesia. Kementerian Sosial melansir data bahwa jumlah penduduk lansia

Indonesia berjumlah 9,58% dari total populasi pada tahun 2010 dan akan

bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).

Bertambahnya populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari

(14)

menjadi 67,4 tahun pada 2010 serta perkiraan usia harapan hidup hingga 71,1

tahun pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).

Peningkatan usia harapan hidup pada lansia tersebut memang

merupakan suatu kemajuan, namun hal tersebut bukan tanpa masalah. Lanjut

usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai

dengan berbagai perubahan ke arah penurunan fungsi, baik fisik, psikologis,

maupun minat. Mereka mengalami kecemasan-kecemasan karena penurunan

fungsi fisik pada diri mereka dan rekan seusianya, serta karena mereka mulai

dianggap “tua” oleh dirinya sendiri dan lingkungan budayanya (Hoyer &

Roodin, 2003).

Berdasarkan data kuesioner mengenai hal apa yang paling dicemaskan

pada 150 lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur saat ini, 43

responden menyatakan takut terkena penyakit, 37 responden menyatakan

takut pada kematian, 34 responden menyatakan takut tidak bisa bertemu

dengan keluarga, sedangkan 36 lainnya mencemaskan hal lain, seperti

kesepian, keadaan finansial, dan hidup sendiri. Data tersebut menunjukkan

bahwa kecemasan terbesar lansia adalah terserang penyakit. Walaupun bukan

kecemasan yang paling banyak dialami oleh lansia, namun kematian menjadi

hal yang relatif dicemaskan bagi banyak lansia. Oleh karena itu, peneliti

tertarik untuk meneliti lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur

(15)

Yang harus diperhatikan adalah ketika mereka mengalami beragam

penurunan, terutama penurunan kesehatan, mereka cenderung berkonsentrasi

pada kematian dan memberikan perhatian penuh pada hal tersebut (Hurlock,

1981), karena usia tersebut (masa lanjut usia) merupakan masa kritis manusia

menuju ke kematian. Dengan penurunan kondisi fisik dan mental, paparan

terhadap kematian yang meningkat, serta dukungan sosial yang

berangsur-angsur menurun karena meninggalnya orang terdekat, lansia menjadi rentan

mengalami kecemasan, termasuk kecemasan yang berhubungan dengan

kematian.

Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya

yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini

telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya

kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian,

meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini,

persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok

orang.

Kematian dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan

maupun sesuatu yang wajar di dalam kehidupan. Persepsi positif dalam hal ini

menganggap kematian sebagai suatu bentuk pencapaian dalam kehidupan dan

hal yang wajar dialami oleh manusia merupakan penerimaan yang positif pada

(16)

kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan

menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan

positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan

mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna (Tomer & Eliason,

2008). Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh

semua lansia.

Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran

mengenai kematian disebut sebagai death anxiety (Schultz, 1979, dalam Bryant, 2003). Kastenbaum (2000) menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya

mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode

stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang

terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik dan psikologis (Cicirelli, 2002). Death anxiety diasosiasikan dengan kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa

yang akan dialami setelah kematian (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013).

Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09

kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian

sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian.

Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan

(17)

menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih

karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu

orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian (hanya takut),

dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan.

Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka

sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir

Tuhan yang harus diterima.

Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki

sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap

dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu

dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki

perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang

dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan

adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli

(1999) meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap death anxiety. Sementara itu, Swanson & Byrd (1998) meneliti pengaruh religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., (2011) yang meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya

(18)

Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup

dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol (Baltes & Wahl, 1991;

Schmidt, 1990; Santrock, 2002). Locus of control adalah perbedaan individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam

situasi yang sama (Rotter, 1966). Individu-individu yang percaya bahwa

mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa

tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam

hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara

lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya,

mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa

apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan

kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang

berbeda (Rodin & Timko, 2001 dalam Santrock, 2002).

Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak

terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek

kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat

menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada

lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini

(19)

membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki penerimaan terhadap kematian yang lebih baik.

Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka

merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah

(Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial (social support) dianggap mampu

mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang

memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat

berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya.

Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman

dari ikatan dirinya dengan orang lain (Becker, 1973 dalam Daaleman &

Dobbs, 2010). Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib (Mullins & Lopez, 1982 dalam Azaiza et. al., 2010). Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menemukan

hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support.

Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari

(20)

lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di

lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan

yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09

kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian,

sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia

seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah

dihapus karena kurangnya peminat.

Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat

menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan

kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan

tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan

kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif

(Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981). Agama juga berfungsi sebagai sumber

dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis

(Cicirelli, 2002).

Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika

ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan

(21)

Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain

(Allport, 1967 dalam Pargament, 1997).

Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh

religious orientation pada death anxiety. Thorson & Powell (2000, dalam Cicirelli, 2002) menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara

negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson

& Byrd (1998). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin

& Choo (2009) dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara

religious orientation dengan death anxiety.

Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang

berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat

atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan

orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau

orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam

bertahan menghadapi suatu masalah. Florian & Mikulnicer (1997, dalam

(22)

Sedangkan Azaiza et al., (2011) dalam penelitiannya dengan sampel orangtua

yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari

pengalaman kehilangan terhadap death anxiety.

Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya

death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan

wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan

pria (Russac et al., 2007). Holocomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam

Bath, 2010) menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai

ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria.

Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan

sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal

yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya (Holocomb et

al., 1993 dalam Bath, 2010).

Fortner (1995, dalam DePaola et al., 2003) menemukan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac (2007) juga melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara

(23)

Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan

mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti

tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada lansia. Dengan meneliti death anxiety dan beberapa aspek yang menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor

apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi

bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat mencapai hidup yang lebih sejahtera.

Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang

diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang

mempengaruhi Death Anxiety”.

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terarah dan

menghindari kesalahan persepsi, maka penulis membatasi masalah yang

berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu sebagai

(24)

A. Locus of Control dalam penelitian ini adalah dimensi internal locus of control dan external locus of control.

B. Perceived Social Support dalam penelitian ini adalah persepsi dukungan dari keluarga, teman, atau significant others.

C. Religious Orientation dalam penelitian ini adalah dimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation.

D. Death anxiety atau kecemasan terhadap kematian yang bersifat unidimensional, yang menyangkut kematian diri sendiri, baik dalam

proses menuju kematian, saat kematian, maupun kehidupan setelah

kematian.

E. Pengalaman bermakna mengenai kematian dalam penelitian ini adalah

pengalaman meninggalnya keluarga, teman, kerabat, atau orang

terdekat lain yang berarti maupun tidak berarti.

F. Responden dari penelitian ini terdiri dari pria dan wanita.

G. Responden dari penelitian ini dibatasi pada masyarakat lanjut usia

(lansia) yang berusia lebih dari 60 tahun keatas serta masih mampu

membaca serta menulis.

1.2.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini antara lain:

(25)

2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support dengan death anxiety?

4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety?

5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation dengan death anxiety?

6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan

death anxiety?

7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna

mengenai kematian dengan death anxiety?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Dengan mengacu pada latar belakang, rumusan dan batasan masalah diatas,

maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh antara

faktor-faktor psikologis, yaitu locus of control, social support, religious orientation, pengalaman terhadap kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety.

(26)

Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan

perbandingan bagi teori-teori psikologi yang berhubungan dengan

kematian atau psikologi penuaan (aging) yang belum banyak

diterapkan saat ini, serta memperkaya penelitian-penelitian mengenai

death anxiety.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

bagi seluruh individu untuk meningkatkan kesadaran terhadap death anxiety, dan penerapan pembelajaran mengenai kematian sehingga diharapkan para lansia memiliki kesiapan untuk menghadapinya serta

mengurangi kecemasan yang dialaminya, serta mendukung program

persiapan menuju orang tua yang ditujukan pada komunitas lanjut usia

baik secara sosial maupun religius.

1.4 Sistematika Penulisan

Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas

dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan

sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,

(27)

BAB II : KAJIAN TEORI

Terdiri dari teori tentang locus of control, perceived social support, religious orientation, death anxiety, asumsi dasar, kerangka berpikir, dan hipotesis.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Terdiri dari jenis penelitian, definisi konsep dan operasional konsep,

sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik

analisis data, dan prosedur penelitian.

Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi

dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis

instrumen serta metode analisis data.

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian disajikan dengan jelas, dilengkapi dengan tabel, dan

penjelasan berdasarkan teori terhadap hasil penelitian yang diperoleh.

BAB V : DISKUSI DAN SARAN

Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran

DAFTAR PUSTAKA

(28)

16

Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis penelitian mengenai definisi death anxiety, faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety, definisi locus of control, dimensi-dimensi locus of control, definisi religious orientation, dimensi-dimensi religious orientation, definisi perceived social support, dimensi-dimensi perceived social support dan kerangka berpikir beserta hipotesis yang diajukan dalam penelitian.

2.1 Lansia

2.1.1 Pengertian Lansia

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai

kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

keatas dengan dua kategori, yaitu: lansia usia potensial adalah lansia yang masih

mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa,

dan lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga

hidupnya tergantung pada orang lain. Sedangkan menurut WHO (2014), definisi

(29)

Menurut Gorman (2000, dalam WHO, 2014), proses penuaan merupakan

realitas biologis yang memiliki dinamika tersendiri, sebagian besar diluar kontrol

manusia. Namun, hal ini juga merupakan bagaimana sebuah budaya atau komunitas

mengkonstruksikan lansia. Usia 60 atau 65 tahun, usia rata-rata masa pensiun di

negara-negara maju dan berkembang, diartikan sebagai permulaan dari masa tua.

Definisi lainnya adalah berkaitan dengan peran yang dilekatkan dengan orang tua,

yang dalam beberapa kasus, hilangnya peran yang mengikuti penurunan fungsi fisik

yang merupakan definisi yang signifikan dari masa tua. Kemudian, masa tua dalam

banyak negara berkembang terlihat dimulai ketika kontribusi aktif dalam masyarakat

sudah tidak mungkin dapat dicapai (Gorman, 2000 dalam WHO, 2014).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kategori lansia berdasarkan UU

No. 13 tahun 1998 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu lanjut usia (lansia)

adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas.

2.1.2 Karakteristik Lansia

Santrock (2002) menyatakan masa dewasa akhir (lansia) dimulai pada usia 60-an dan

diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, dan memiliki rentang kehidupan yang paling

panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun. Kombinasi

antara panjangnya masa kehidupan dengan peningkatan dramatis orang dewasa yang

hidup menuju usia tua telah membawa peningkatan perhatian pada perbedaan periode

(30)

Peneliti sosial yang fokus mengenai penelitian tentang penuaan

mengemukakan terdapat tiga kelompok dewasa akhir (lansia): lansia “muda” (young old), lansia “tua” (old old), dan lansia “lanjut” (oldest old). Secara kronologis, lansia muda merujuk pada lansia yang berusia 65 sampai 74, yang biasanya lebih aktif dan

bersemangat. lansia tua memiliki rentang usia 75-84 tahun. Sedangkan lansia lanjut

memiliki rentang usia 85 tahun keatas dan biasanya lebih rapuh dan memiliki

kesulitan untuk beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman,

2009). Suzman, Wilis & Manton (1992 dalam Santrock, 2002) menyatakan orang tua

muda ialah seseorang yang masih berada di usia 60 tahun, sedangkan orangtua

berusia lanjut merupakan seseorang yang telah berusia 85 tahun keatas.

Orangtua lanjut lebih banyak kemungkinannya wanita, dan mereka memiliki

angka morbiditas yang lebih tinggi dan jauh lebih besar mengalami ketidakmampuan

dibandingkan orang tua yang lebih muda (Suzman, Wilis & Manton, 1992 dalam

Santrock, 2002) . Hampir di seluruh dunia, wanita hidup lebih lama dibandingkan

laki-laki (Kinsella & Phillips, 2005 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini

dihubungkan dengan kecenderungan mereka untuk lebih merawat dirinya sendiri dan

mencari perawatan kesehatan, tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, peningkatan

status sosioekonomi wanita yang meningkat dalam satu dekade terakhir, dan tingkat

kematian pria yang lebih tinggi selama masa hidup (Gordman & Read, 2007 dalam

Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

(31)

Menurut Erikson (1963, dalam Hoyer & Roodin, 2003), dalam tahun-tahun

terakhirnya, lansia memasuki fase ego integrity vs. despair. Beberapa orang tua mengembangkan perasaan positif mengenai masa lalu mereka dan melihat bahwa

kehidupan mereka penuh arti dan memuaskan (ego integrity). Namun, beberapa orang

tua melihat masa lalunya dengan kepahitan atau ketidakpuasan. Beberapa juga merasa

bahwa mereka tidak dapat menciptakan kehidupan yang mereka inginkan untuk

dirinya sendiri, atau menyalahkan orang lain mengenai rasa tidak puasnya (despair).

Hurlock (1981) menyatakan tugas-tugas perkembangan di masa tua lebih

berkaitan dengan kehidupan personal mereka dibandingkan orang lain. Orang tua

diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan kekuatan dan kesehatan yang menurun.

Hal ini menandakan perubahan peran yang mereka terapkan di dalam lingkungan

rumah dan diluar. Mereka juga diharapkan untuk menemukan aktifitas-aktifitas

sebagai pengganti pekerjaan yang mereka lakukan pada saat masih muda.

Mempertemukan kewajiban sosial dan sipil sangat sulit dilakukan oleh lansia karena

kesehatan yang melemah dan berkurangnya penghasilan karena masa pensiun.

Sebagai hasilnya, mereka seringkali dipaksa untuk tidak aktif secara sosial.

Anak yang sudah besar akan lebih melibatkan diri pada masalah vokasional

dan keluarganya sendiri, jadi lansia akan mengalami berkurangnya ikatan. Hal ini

berarti bahwa mereka harus menemukan ikatan lain dengan rekan sesama usianya jika

(32)

akibat pensiun dan karena mereka sedikit demi sedikit mengurangi kontak dengan

komunitas sosial.

Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa lansia menurut Hurlock

(1981) adalah sebagai berikut:

a. Perubahan penampilan

Tanda-tanda penuaan yang paling mencolok adalah adanya perubahan terutama

pada bagian wajah. Walaupun wanita dapat memakai kosmetik untuk menutupi

tanda-tanda penuaan, banyak yang tidak dapat ditutupi tetapi bagian tubuh lain

bisa. Tangan juga dapat menunjukkan usia seseorang. Seperti wajah, tangan juga

menua lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain dan tidak terlalu bisa

dikamuflase.

b. Perubahan-perubahan internal

Walaupun perubahan-perubahan internal (di dalam tubuh) tidak terlihat,

perubahan tersebut yang paling sering dialami. Perubahan pada tulang karena

mengerasnya tulang, kurangnya asupan mineral, dan modifikasi struktur tulang.

Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah, dan

hal tersebut lebih sulit untuk disembuhkan seiring usia bertambah. Saluran

pencernaan juga berubah pada usia tua. Terdapat penurunan fungsi beberapa

organ dalam, diantaranya limpa, hati, testis, jantung, paru-paru, pankreas, dan

(33)

jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ

yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut.

c. Perubahan-perubahan sensorik

Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut.

Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama

prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan

untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu

dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun.

d. Perubahan-perubahan kemampuan motorik

Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang

terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk

penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari

perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot;

kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu.

Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan

memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan

motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini

memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial.

e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental

Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah

menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi

(34)

mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga

diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari

lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi

yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada

orang dengan inteligensi yang rendah.

f. Perubahan-perubahan minat personal

Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada

dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada

diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang

lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan

ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu

perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai

kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri

dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu,

dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut

menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia.

2.1.4 Death Anxiety pada Lansia

Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan psikososial, fase kedua akhir (generativity vs stagnation) muncul ketika seseorang

menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang

(35)

akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan

manusia (integrity vs. despair), tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara

keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut

memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan

terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang

tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety (Erikson, 1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002).

Hoyer dan Roodin (2003) mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag

merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga

merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety

dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum (2000)

adalah sebagai berikut:

1. Sebagian besar responden dalam sebuah komunitas tidak

menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi.

2. Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi

dibandingkan pria.

3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada

umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi

dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun

(36)

4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi

berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.

5. Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius

tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.

Kastenbaum (2000) juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin

dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau

ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya.

Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap

kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda (Bengston, Cuellar,

& Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007). Kesadaran akan kematian meningkat

seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang

lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan

(Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003). Mereka lebih cenderung

menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan

menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai

kematian.

Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin

dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun

(37)

waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan

kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari

sebulan masa hidupnya (Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007). Menurut

Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari

perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat

menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan

segera datang (Papalia et al., 2007).

Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu

mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan

dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya.

Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal

tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi

kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai

kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para

lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi

lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan

mulai mempersiapkannya (Feldman, 2011).

Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan

yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau

(38)

adalah prediktor yang lebih baik dalam menentukan penerimaan kematian daripada

faktor usia (Hoyer & Roodin, 2003).

Menurut Tomer et. al. (2008), terdapat tiga determinan utama dari death anxiety, yaitu:

1. Penyesalan yang berhubungan dengan masa lalu (past-related regret), yaitu

tipe emosi atau kognisis yang berhubungan dengan masa lalu seseorang

(kesalahan — sesuatu yang dilakukan seseorang namun tidak terlaksana).

2. Penyesalan yang berhubungan dengan masa depan (future related regret),

yaitu sesuatu yang kita rasakan ketika rencana penting atau perbuatan kita di

masa depan menjadi tidak mungkin terlaksana.

3. Kebermaknaan dari kematian, yaitu kenseptualisasi individu tentang kematian

sebagai hal yang positif atau negatif, sebagai sesuatu yang masuk akal atau

sesuatu yang absurd/ tidak masuk akal. Jika penyesalan di masa lalu tidak

teratasi, atau kematian dianggap tidak berarti, maka individu tersebut akan

merasakan death anxiety yang tinggi.

2.2 Death Anxiety

2.2.1 Pengertian Death Anxiety

Teori yang dianggap sebagai teori klasik dari death anxiety adalah Big Theories yang

dikemukakan oleh Sigmund Freud (Kastenbaum, 2000). Ia sebenarnya menolak

(39)

yang biasa jika ketakutan akan kematian terlihat sebagai reaksi yang menonjol, atau

diekspresikan melalui mimpi.

Menurutnya, Hanya karena seseorang yang cemas tiba-tiba membicarakan

kematian, bukan berarti kematian adalah akar dari masalah yang dialami oleh orang

tersebut. Semua masalah yang berkaitan dengan kematian hanyalah sekedar kemasan

yang menutupi masalah yang sebenarnya. Thanataphobia (ketakutan akan kematian)

sebenarnya merupakan ekspresi simbolik dari konflik yang belum terselesaikan dalam

dunia psikis kita yang terdalam.

Dalam Terror Management Theory, Becker (1970 dalam Cicirelli, 2002) bersumsi bahwa pada dasarnya manusia secara tidak sadar selalu didorong oleh

insting untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan eksistensi, sementara pada

waktu yang sama mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak dapat menghindari

kematian. Hasilnya, manusia memiliki kemungkinan secara sadar untuk merasa

diteror oleh kematian.

Kecemasan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal mengenai kematian sering

disebut death anxiety. Tomer (1994, dalam Cicirelli, 2002) menyatakan ketakutan akan kematian dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami di dalam kehidupan

sehari-hari yang disebabkan karena antisipasi kondisi kematian. Hal ini dianggap hal

yang biasa dan berbeda dengan kecemasan ketika seseorang mengetahui ada pistol di

(40)

dalam Templer et. al., 2006) mendefinisikan death anxiety sebagai suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala ia

memikirkan kematian, dan karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian.

Neimeyer (2008, dalam Azaiza et al., 2011) menyatakan death anxiety meliputi berbagai bentuk sikap terhadap kematian, yang dikarakteristikkan dengan

rasa takut, ancaman, ketidaknyamanan, dan reaksi negatif lainnya, bersamaan dengan

kecemasan sebagai ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek yang tidak jelas.

Firestone (1997, dalam Tomer et. al., 2008) mengkonseptualisasikan death anxiety sebagai fenomena kompleks yang mereprentasikan paduan proses

pemikiran-pemikiran dan emosi yang berbeda, termasuk ketakutan akan kematian, teror dari

mental dan fisik yang memburuk, perasaan kesepian, pengalaman kehilangan dan

perpisahan, kesedihan mengingat diri yang akan hilang, dan kemarahan yang

memuncak terhadap keadaan yang sama sekali tidak dapat dikontrol. Walaupun death

anxiety memiliki pengaruh yang luas terhadap emosi-emosi yang negatif, definisi tersebut merujuk kepada realisasi penuh bahwa hidup kita bisa berakhir.

Dalam teori Self-Realization, ketakutan akan kematian muncul dari kesadaran

akan dekatnya kematian seseorang, serta ancamannya terhadap keberfungsian diri

(Maslow, 1968; Rogers, 1989 dalam Cicirelli, 2002). Schultz (1979 dalam Bryant,

2003) menyatakan death anxiety adalah suatu rangkaian perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian. Meskipun merupakan sebuah bentuk

(41)

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa death anxiety merupakan kecemasan yang berhubungan dengan kematian, baik secara sadar maupun tidak sadar yang timbul dari pemikiran individu mengenai kematian dan

hal-hal yang berkaitan dengan kematian.

2.2.2 Penolakan terhadap Death Anxiety

Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya

dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika

dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan

bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang

negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992,

dalam Hoyer & Roodin, 2003).

Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk

mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu

bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker

kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi

tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan

bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut

membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal

tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal

(42)

dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin,

2003).

Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia

membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan

seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke

heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap

penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang

dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau

orang tua yang perhatian.

Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett

(2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama

terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap kematian, yaitu:

1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau religiusitas dan hal ini merupakan pertahanan kunci yang

meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies

lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian

(43)

2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan

warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia.

Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan

harta kekayaan serta kekuasaan.

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety

Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety. Faktor-faktor tersebut antara lain:

a) Religiusitas

Religiusitas adalah salah satu faktor teoritis yang potensial, dan

dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau

disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam

Daaleman dan Dobbs, 2003).

Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death

anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga

menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki

tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar

(44)

Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada

masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang

yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah

keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat

perspektif reinkarnasi.

b) Locus of Control

Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah

cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi

tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang

kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan

Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya

interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir

untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran

(45)

c) Kepribadian

Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang

peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan

bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan neurotisisme dan behavioral pattern type A.

d) Social Support

Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety. Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang

memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih

rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain.

Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana

terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death

anxiety. e) Usia

Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007) dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60 tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo

(2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death

(46)

Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama

lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan

bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan

kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal

yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa

tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian.

Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang

akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support.

2.2.4 Pengukuran Death Anxiety

Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan

skala baku Death Anxiety Scale dari Templer (1970). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia.

Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True (benar) dan False (salah). Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban

menjadi 4, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat

tidak setuju) agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu

dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.

2.3 Locus of Control

(47)

Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi

terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka

setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi

mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang (Zuroff & Rotter, 1985

dalam Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk

menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan,

sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa

perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering

terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru (Rotter, 1992 dalam Feist &

Feist, 2009), atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku

mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan.

Rotter (1990 dalam Feist & Feist, 2009) berpendapat bahwa baik situasi

maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika

seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat

memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya.

Rotter (1989) menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada

bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku

merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah

seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari

(48)

Rotter (1966) menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan

seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson (1981) mengartikan locus of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu kesatuan dan bagian dari perilaku individu (internal control) atau merupakan hasil

dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau

orang yang berkuasa (external control).

Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya apakah karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang

dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan,

kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir).

2.3.2 Dimensi-Dimensi Locus of Control

Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain:

1. Internal Locus of Control

Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan (Friedman & Schutstack,

2009). Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi

pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek

yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi (high

(49)

Menurut Rotter (1966), apabila seseorang mempersepsikan bahwa

suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya

yang relatif permanen.

2. External Locus of Control

External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan

terjadinya konsekuensi yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009).

Sedangkan Rotter (1966) menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap

bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari

keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau

kebetulan.

Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh

Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman &

Schutstack, 2009). Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control

dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup

mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda

dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia

yang sama dengan anak mereka (Twenge, Zhang, & Im, 2004 dalam

Friedman & Schutstack, 2009). Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten

(50)

menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan

kurang memiliki inisiatif untuk mengambil sikap dalam rangka

pengembangan masyarakat (Friedman & Schutstack, 2009). Merton (1946,

dalam Rotter, 1966) menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan

merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis

bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi kegagalan.

Sedangkan Levenson (1981) dalam konsep multidimensionalnya

berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan

bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan

bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang

ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia.

Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin

memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang

yang memiliki kontrol personal yang rendah. (Levenson, 1981).

2.3.3 Pengukuran Locus of Control

Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson (1981). Alat ukur

ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma

yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif

(51)

Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang

paling menggambarkan dirinya.

2.4 Religious Orientation

2.4.1 Pengertian Religious Orientation

Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan

sehari-hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah

entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah

sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan

yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam

Pargament, 1997)

Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama

pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran

perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi

perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002).

Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan

kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi

lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965

dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional,

terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu

sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere &

(52)

Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan

orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai

bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan

oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan

ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik.

Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas

agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya,

sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967).

Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang

yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang

dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan

orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk

ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain.

Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup

yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam

pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious

orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan

(53)

Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali

beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian

menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa

yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal

dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi

religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama,

apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari

keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan

mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam

menjalankan ajaran agamanya.

2.4.2 Dimensi-Dimensi Religious Orientation

Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua

dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensi-dimensi tersebut adalah:

1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross (1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan

motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Berpikir ………………………………………….
Tabel 3.1 Tabel Skor Skala Model Likert
Tabel 3.2 Blue Print Death Anxiety Scale
Tabel 3.4 Blueprint MSPSS (Multidimensional Scale of Perceived
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel Angka Harapan Hidup memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap kemiskinan karena memiliki probabilitas -3.778402 (T statistik) < -2,70 (tabel) artinya apabila

untuk variabel Upah Minimum dan Tingkat Pendidikan dalam jangka pendek berpengaruh negatif dan tidak signifikan, dan dalam jangka panjang berpengaruh negatif dan

itu, variabel CAR memiliki pengaruh negatif yang tidak signifikan terhadap jumlah pembiayaan murabahah, artinya peningkatan CAR akan diikuti oleh penurunan.. jumlah

Tarif/harga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap permintaan jasa pariwisata pemandian air panas. Artinya semakin tinggi tarif/harga objek wisata maka permintaan

Secara parsial dalam jangka pendek variabel Suku Bunga BI (BIRATE) berpengaruh signifikan dan negatif terhadap Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), variabel inflasi (INF)

Berdasarkan hasil penelitian dengan menggunakan PLS, ditemukan bahwa variabel need for achievement memediasi pengaruh internal locus of control dan social support

Siregar, 2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara locus of control internal dengan kematangan karier, artinya semakin tinggi locus of

2 Yuke Irawati (2005) Hubungan Karakteristik Personal Auditor Terhadap Tingkat Penerimaan Penyimpangan Perilaku Dalam Audit Variabel Independen − Locus of Control −