SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Oleh :
DIANA MUMPUNI NIM: 109070000191
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
B) April 2014
C) Diana Mumpuni
D) Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang Mempengaruhi Death Anxiety pada Lansia
E) 110Halaman + Lampiran
F) Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh locus of control, perceived social support, religious orientation, pengalaman mengenai kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety pada lansia. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 150 lansia baik pria maupun wanita di RW 09 Kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur. Penelitian menggunakan metode kuantitatif melalui pemberian kuesioner kepada sampel penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda yang diperoleh dari hasil perhitungan skala death anxiety (Death Anxiety Scale), skala locus of control (I, P, & C Locus of Control Scale), skala perceived social support (Multidimensional Scale of Perceived Social Support), dan skala religious orientation (Religious Orientation Scale-Revised). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara seluruh variabel independen terhadap death anxiety secara simultan. Apabila dilihat dari koefisien regresi masing-masing variabel, ditemukan satu variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap death anxiety yaitu variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel locus of control, perceived social support, religious orientation, dan pengalaman mengenai kematian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap death anxiety. Selanjutnya, jika dilihat berdasarkan proporsi varians masing-masing variabel maka terdapat satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap death anxiety, yaitu extrinsic religious orientation. Pada penelitian selanjutnya diharapkan memperluas jangkauan sampel agar lebih beragam, serta mengukur variabel death anxiety dengan aspek-aspek yang terpisah sehingga terlihat hasil yang lebih menarik.
Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘alasaiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.
Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun dalam rangka menyelesaikan jenjang pendidikan Sarjana Strata Satu (S1) sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini peneliti tidak luput dari proses pembelajaran yang amat panjang. Peneliti telah melewati berbagai macam bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan Terima Kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak yang telah membantu, yaitu sebagai berikut :
1. Prof. Dr. Abdul Mujib, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah beserta jajaran dekanat yang selalu berjuang agar Fakultas Psikologi menjadi lebih baik. 2. Jahja Umar, Ph.D atas kebijakannya yang membuat kami lebih banyak dan giat
belajar serta mengembangkan Fakultas Psikologi menjadi lebih baik dan berkualitas.
3. Dr. Achmad Syahid, M.A, penasihat akademik penulis yang telah banyak memberikan dukungan dan masukan selama masa perkuliahan berlangsung.
4. Ibu S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi, sebagai pembimbing I dan ibu Yufi Adriani, M. Psi, sebagai pembimbing II, terima kasih atas waktu dan kesabaran yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mempu menyelesaikan skripsi ini. Serta kepada ibu Dra. Netty Hartati, M.Si sebagai penguji I, Terima kasih atas segala masukan yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu, teladan, serta kerja kerasnya dalam mendidik kami selama ini.
6. Seluruh warga lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala yang bersedia menjadi sampel penelitian ini, serta para kader lansia RW. 09 kelurahan Kebon Pala, ibu Ummi
Marfu’ah, dan ibu Neneng yang telah membantu penulis dalam pengambilan data
penelitian.
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Musidi dan Ibu Siwiyastiana Anjarhiaswati atas kasih sayang, dukungan, do’a dan ketulusan yang telah menyertai penulis selama ini.
8. Seluruh Staf Akademik yang sangat sabar melayani dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang Penulis butuhkan selama proses penyelesaian skripsi.
membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, Penulis hanya bisa memohon kepada Allah SWT agar memberikan balasan yang sebaik-baiknya kepada semua pihak yang telah berjasa dalam rentang kehidupan Penulis. Amin Allahumma Amin.
Jakarta, 30 April 2014
ABSTRAK………. v
1.2 Pembatasan dan Perumusan masalah ………...… 11
1.2.1 Pembatasan masalah ………. 11
1.2.2 Perumusan masalah ………..……… 12
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 13
1.3.1 Tujuan penelitian ………. 13
1.3.2 Manfaat penelitian ……… 13
1.4 Sistematika Penulisan ………..… 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA ……… 16
2.1 Lansia………... 16
2.1.1 Pengertian lansia...………...…………. . . . 16
2.1.2 Karakteristik Lansia………. 17
2.1.3 Perubahan-perubahan di masa lansia……… 18
2.1.3 Death Anxiety pada Lansia…………... 22
2.2 Death Anxiety ...………... 26
2.2.1 Pengertian death anxiety…... . . . ……… 26
2.2.2 Penolakan terhadap death anxiety …...………..….. 29
2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety... 31
2.2.4 Pengukuran death anxiety... 34
2.3 Locus of Control………...……. 34
2.3.1 Pengertian locus of control………..……….. 34
2.3.2 Dimensi-dimensi locus of control ………. 36
2.3.3 Pengukuran locus of control... 38
2.4 Religious Orientation………. 38
2.4.1 Pengertian religious orientation…………..……….. 38
2.4.2 Dimensi-dimensi religious orientation ………. 41
2.4.3 Pengukuran religious orientation………... 43
2.5 Perceived Social Support……… 43
2.5.1 Pengertian social support………..………… 43
2.5.2 Aspek-aspek social support………..……… 45
2.5.3 Perceived social support……… 47
BAB III METODE PENELITIAN……….... 57
3.1 Sampel dan Teknik Pengambilan Data ……….………... 57
3.2 Variabel Penelitian ………... 57
3.3 Definisi Operasional………. 58
3.4 Pengumpulan Data……... 59
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data……… 59
3.4.2 Instrumen Penelitian……….. 62
3.5 Pengujian Validitas Konstruk... 64
3.5.1 Uji validitas konstruk death anxiety ……...……….. 66
3.5.2 Uji validitas konstruk locus of control... 68
3.5.3 Uji validitas konstruk perceived social support... 71
3.5.4 Uji validitas konstruk religious orientation……… 72.
3.6 Prosedur Pengumpulan Data………... 77
3.7 Metode Analisis Data... 78
BAB IV HASIL PENELITIAN ………..……….……. 81
4.1 Analisis Deskriptif ……….. 81
4.2 Uji Hipotesis Penelitian ………... 88
4.2.1 Analisis regresi variabel penelitian ………. 88
4.2.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV …………. 94
Tabel 3.5 Blue Print Religious Orientation Scale-Revised……… 64
Tabel 3.6 Muatan Faktor dimensi death anxiety ...….. 67
Tabel 3.7 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian internal………. 68
Tabel 3.8 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-chance 70 Tabel 3.9 Muatan Faktor dimensi locus of control bagian external-powerful others ……… 71
Tabel 3.10 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian family 72 Tabel 3.11 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian friends 73 Tabel 3.12 Muatan Faktor dimensi perceived social support bagian significant others ……… 74
Tabel 3.13 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian intrinsic.... 75
Tabel 3.14 Muatan Faktor dimensi religious orientation bagian extrinsic… 77 Tabel 4.1 Tabel subjek berdasarkan jenis kelamin..………...….. 81
Tabel 4.2 Tabel subjek berdasarkan death anxiety………..... 82
Tabel 4.3 Tabel subjek berdasarkan tingkat death anxietyjenis kelamin... 82
Tabel 4.4 Tabel subjek berdasarkan tingkat internal locus of control……... 83
Tabel 4.5 Tabel subjek berdasarkan tingkat external locus of control…….. 84
Tabel 4.6 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support family 84 Tabel 4.7 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support friends 85 Tabel 4.8 Tabel subjek berdasarkan tingkat perceived social support significant others……… 86
Tabel 4.9 Tabel subjek berdasarkan tingkat intrinsic religious orientation… 87 Tabel 4.10 Tabel subjek berdasarkan tingkat extrinsic religious orientation… 88 Tabel 4.11 Tabel Anova………. 89
Tabel 4.12 Tabel R Square……… 90
Tabel 4.13 Tabel Koefisien Regresi……….. 91
1
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah dan pokok bahasan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan skripsi.
1.1 Latar Belakang Masalah
Masa tua adalah periode penutup dari perkembangan masa hidup manusia.
Masa ini adalah sebuah periode dimana seseorang “berpindah” dari periode
yang lebih diinginkan — atau saat-saat ketika mereka merasa “berguna”
(Hurlock, 1980). Artinya, orang yang berada pada masa tua seharusnya telah
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Saat ini, populasi warga lanjut usia
atau lansia cenderung mengalami peningkatan di Asia Tenggara, terutama
Indonesia. Kementerian Sosial melansir data bahwa jumlah penduduk lansia
Indonesia berjumlah 9,58% dari total populasi pada tahun 2010 dan akan
bertambah menjadi 11,34% pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).
Bertambahnya populasi lansia di Indonesia tidak terlepas dari
menjadi 67,4 tahun pada 2010 serta perkiraan usia harapan hidup hingga 71,1
tahun pada tahun 2020 (Kemensos, 2007).
Peningkatan usia harapan hidup pada lansia tersebut memang
merupakan suatu kemajuan, namun hal tersebut bukan tanpa masalah. Lanjut
usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai
dengan berbagai perubahan ke arah penurunan fungsi, baik fisik, psikologis,
maupun minat. Mereka mengalami kecemasan-kecemasan karena penurunan
fungsi fisik pada diri mereka dan rekan seusianya, serta karena mereka mulai
dianggap “tua” oleh dirinya sendiri dan lingkungan budayanya (Hoyer &
Roodin, 2003).
Berdasarkan data kuesioner mengenai hal apa yang paling dicemaskan
pada 150 lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur saat ini, 43
responden menyatakan takut terkena penyakit, 37 responden menyatakan
takut pada kematian, 34 responden menyatakan takut tidak bisa bertemu
dengan keluarga, sedangkan 36 lainnya mencemaskan hal lain, seperti
kesepian, keadaan finansial, dan hidup sendiri. Data tersebut menunjukkan
bahwa kecemasan terbesar lansia adalah terserang penyakit. Walaupun bukan
kecemasan yang paling banyak dialami oleh lansia, namun kematian menjadi
hal yang relatif dicemaskan bagi banyak lansia. Oleh karena itu, peneliti
tertarik untuk meneliti lansia di RW 09 kelurahan Kebon Pala, Jakarta Timur
Yang harus diperhatikan adalah ketika mereka mengalami beragam
penurunan, terutama penurunan kesehatan, mereka cenderung berkonsentrasi
pada kematian dan memberikan perhatian penuh pada hal tersebut (Hurlock,
1981), karena usia tersebut (masa lanjut usia) merupakan masa kritis manusia
menuju ke kematian. Dengan penurunan kondisi fisik dan mental, paparan
terhadap kematian yang meningkat, serta dukungan sosial yang
berangsur-angsur menurun karena meninggalnya orang terdekat, lansia menjadi rentan
mengalami kecemasan, termasuk kecemasan yang berhubungan dengan
kematian.
Secara umum manusia ingin hidup panjang dengan berbagai upaya
yang dilakukan, proses hidup yang dialami manusia yang cukup panjang ini
telah menghasilkan kesadaran pada diri setiap manusia akan datangnya
kematian sebagai tahap terakhir kehidupannya di dunia ini. Namun demikian,
meski telah muncul kesadaran tentang kepastian datangnya kematian ini,
persepsi tentang kematian dapat berbeda pada setiap orang atau kelompok
orang.
Kematian dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang menakutkan
maupun sesuatu yang wajar di dalam kehidupan. Persepsi positif dalam hal ini
menganggap kematian sebagai suatu bentuk pencapaian dalam kehidupan dan
hal yang wajar dialami oleh manusia merupakan penerimaan yang positif pada
kematian, hal ini merupakan persepsi negatif terhadap kematian dan akan
menimbulkan ketakutan akan kematian. Dengan menerima kematian dengan
positif, hal tersebut dapat membebaskan lansia dari segala kecemasan dan
mendukung kehidupan yang lebih vital dan bermakna (Tomer & Eliason,
2008). Namun, penerimaan terhadap kematian tersebut tidak dialami oleh
semua lansia.
Rangkaian perasaan-perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran
mengenai kematian disebut sebagai death anxiety (Schultz, 1979, dalam Bryant, 2003). Kastenbaum (2000) menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya
mungkin dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode
stres atau ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang
terdekatnya. Tingkat death anxiety juga berhubungan dengan masalah fisik dan psikologis (Cicirelli, 2002). Death anxiety diasosiasikan dengan kecemasan, gejala-gejala depresi, dan keyakinan-keyakinan mengenai apa
yang akan dialami setelah kematian (Khawar, Aslam, & Aamir, 2013).
Dari wawancara singkat peneliti terhadap tujuh lansia di RW 09
kelurahan Kebon Pala, tiga orang menyatakan tidak takut terhadap kematian
sedangkan empat orang lain mengaku merasakan takut terhadap kematian.
Lansia yang memiliki rasa takut terhadap kematian tersebut memiliki alasan
menyatakan mereka takut meninggal karena mereka takut keluarganya sedih
karena ditinggalkan dan karena mereka masih mengurus keluarganya. Satu
orang tidak menyatakan alasan mengapa ia takut pada kematian (hanya takut),
dan satu orang lainnya takut karena merasa kurang beribadah kepada Tuhan.
Sedangkan tiga orang sisanya lebih siap menghadapi kematian karena mereka
sadar bahwa mereka sudah berusia lanjut, bahwa kematian itu adalah takdir
Tuhan yang harus diterima.
Dari data wawancara tersebut dapat terlihat bahwa lansia memiliki
sikap terhadap kematian yang berbeda. Di satu sisi, ada lansia yang siap
dengan kematian, dan di sisi lain merasa takut terhadap kematian. Individu
dengan agama, budaya, dan perspektif yang sama mungkin dapat memiliki
perbedaan sikap terhadap kematian. Tinggi rendahnya death anxiety seseorang
dapat dijelaskan oleh berbagai aspek. Berbagai penelitian telah membuktikan
adanya pengaruh berbagai faktor terhadap death anxiety, diantaranya Cicirelli
(1999) meneliti pengaruh locus of control, perceived social support terhadap death anxiety. Sementara itu, Swanson & Byrd (1998) meneliti pengaruh religious orientation terhadap death anxiety, dan Azaiza et al., (2011) yang meneliti pengalaman terhadap kematian orangtua yang kehilangan anaknya
Suatu faktor yang penting yang terkait dengan kelangsungan hidup
dan juga kesehatan adalah perasaan untuk mengontrol (Baltes & Wahl, 1991;
Schmidt, 1990; Santrock, 2002). Locus of control adalah perbedaan individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan seseorang dalam
situasi yang sama (Rotter, 1966). Individu-individu yang percaya bahwa
mereka memiliki tingkat kontrol yang tinggi lebih cenderung merasa bahwa
tindakan-tindakan mereka dapat membuat sesuatu yang berbeda dalam
hidupnya, sehingga mereka lebih cenderung merawat dirinya sendiri secara
lebih baik dengan memakan makanan yang sehat dan berolahraga. Sebaliknya,
mereka yang memiliki perasaan kontrol yang kurang mungkin merasa bahwa
apapun yang mereka lakukan tidak akan membuat sesuatu yang berbeda, dan
kemudian tidak bersusah-susah untuk berusaha membuat sesuatu yang
berbeda (Rodin & Timko, 2001 dalam Santrock, 2002).
Memang pada dasarnya kematian merupakan suatu hal yang tidak
terelakkan. Namun, dengan adanya perasaan kontrol diri di dalam aspek
kematian yang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat death anxiety. Kepercayaan religius mengenai adanya kehidupan setelah kematian dapat
menjadi sebuah ilusi kontrol terhadap kematian. Perasaan kontrol pada
lingkungan seseorang dapat menghasilkan perasaan aman dan dalam hal ini
membuktikan bahwa orang dengan internal locus of control memiliki penerimaan terhadap kematian yang lebih baik.
Faktor berikutnya yang dapat menjelaskan tinggi rendahnya death anxiety adalah social support. Masa tua merupakan waktu dimana social support terkadang menurun intensitasnya. Lansia mungkin dapat menerima dukungan yang lebih sedikit sebagai akibat dari kehilangan atau mereka
merasa enggan untuk meminta pertolongan ketika mereka memiliki masalah
(Sarafino & Smith, 2011). Dukungan sosial (social support) dianggap mampu
mereduksi kecemasan lansia dalam menghadapi kematian. Setelah seseorang
memasuki masa lansia, maka dukungan sosial dari orang lain menjadi sangat
berharga dan akan menambah ketentraman hidupnya.
Lansia yang memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih rendah terhadap kematian karena adanya perasaan aman
dari ikatan dirinya dengan orang lain (Becker, 1973 dalam Daaleman &
Dobbs, 2010). Social support ditemukan memiliki hubungan dengan death anxiety dan ketakutan akan hal-hal yang gaib (Mullins & Lopez, 1982 dalam Azaiza et. al., 2010). Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menemukan
hubungan yang negatif antara death anxiety dan social support.
Oleh karena itu, banyak lansia yang seharusnya mulai mencari
lingkungannya, contohnya melalui kegiatan-kegiatan atau komunitas di
lingkungannya. Namun terkadang keterlibatan lansia dalam kegiatan-kegiatan
yang disediakan tidak terlihat. Contohnya, satu-satunya kegiatan di RW 09
kelurahan Kebon Pala yang paling digemari lansia adalah pengajian,
sedangkan program kegiatan lain yang disiapkan untuk kesejahteraan lansia
seperti posyandu lansia sangat sepi dan senam rutin minggu pagi telah
dihapus karena kurangnya peminat.
Tingginya keterlibatan lansia dalam kegiatan keagamaan dapat
menjadi suatu strategi dalam menurunkan tingkat death anxiety, karena kematian erat kaitannya dengan religiusitas. Agama dapat meredakan
kecemasan terhadap kematian dan kehidupan setelah kematian. Perasaan
tenang yang dirasakan dari adanya agama dan rendahnya rasa takut akan
kematian cenderung identik dengan kepercayaan agama yang konservatif
(Wade, 1972 dalam Hurlock, 1981). Agama juga berfungsi sebagai sumber
dukungan emosional dan sosial pada individu, terutama pada saat-saat kritis
(Cicirelli, 2002).
Agama seharusnya dapat menurunkan tingkat death anxiety, namun jika agama tidak benar-benar diterapkan dan diyakini seutuhnya, terutama jika
ada motif lain dalam kegiatan beragama, hal tersebut dikhawatirkan akan
Tuhan. Intrinsic religious orientation adalah motivasi beragama yang berpusat pada Tuhan, buka pada diri sendiri. Sedangkan extrinsic religious orientation adalah motivasi beragama untuk mencari keuntungan personal dalam bentuk ketenangan, harga diri dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain
(Allport, 1967 dalam Pargament, 1997).
Beberapa penelitian melaporkan hasil yang berbeda terhadap pengaruh
religious orientation pada death anxiety. Thorson & Powell (2000, dalam Cicirelli, 2002) menemukan bahwa religiusitas intrinsik berhubungan secara
negatif dengan death anxiety. Individu dengan extrinsic religious orientation juga dilaporkan memiliki death anxiety yang tinggi dalam penelitian Swanson
& Byrd (1998). Namun hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian Chuin
& Choo (2009) dimana tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara
religious orientation dengan death anxiety.
Kemudian, peningkatan intensitas paparan terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kematian dan pengalaman kehilangan teman terdekat
atau keluarga juga dapat mempengaruhi sikap terhadap kematian. Kehilangan
orang yang disayangi merupakan hal yang berat karena keluarga, teman, atau
orang terdekat lainnya adalah salah satu sumber kekuatan seseorang dalam
bertahan menghadapi suatu masalah. Florian & Mikulnicer (1997, dalam
Sedangkan Azaiza et al., (2011) dalam penelitiannya dengan sampel orangtua
yang kehilangan anaknya, tidak menemukan pengaruh yang signifikan dari
pengalaman kehilangan terhadap death anxiety.
Selain dapat dijelaskan oleh faktor-faktor tersebut, tinggi rendahnya
death anxiety seseorang juga ditentukan oleh jenis kelamin. Faktor perbedaan jenis kelamin mempengaruhi death anxiety pada individu. Wanita cenderung lebih rentan mengalami kecemasan dibandingkan pria. Hal ini dikarenakan
wanita menunjukkan gejala-gejala depresi dua kali lebih tinggi dibandingkan
pria (Russac et al., 2007). Holocomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam
Bath, 2010) menemukan bahwa wanita cenderung merasa cemas mengenai
ketidakpastian kematian dan kehidupan setelah kematian dibandingkan pria.
Wanita juga cenderung melihat kematian sebagai sesuatu yang negatif dan
sangat emosional, sedangkan pria cenderung melihat kematian sebagai hal
yang tidak terlalu memiliki pengaruh besar terhadap hidupnya (Holocomb et
al., 1993 dalam Bath, 2010).
Fortner (1995, dalam DePaola et al., 2003) menemukan tingkat death anxiety yang lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Russac (2007) juga melaporkan perbedaan tingkat ketakutan akan kematian yang signifikan antara
Dengan melihat uraian masalah tersebut, yaitu lansia yang rentan
mengalami kecemasan termasuk kecemasan terhadap kematian, maka peneliti
tertarik untuk mengangkat tema penelitian mengenai death anxiety pada lansia. Dengan meneliti death anxiety dan beberapa aspek yang menjelaskannya, maka dapat diberikan gambaran mengenai tingkat death anxiety pada lansia RW 09 kelurahan Kebon Pala. Dengan demikian, maka dapat diketahui apa saja yang mempengaruhi death anxiety pada lansia, faktor
apakah yang paling besar pengaruhnya, sehingga dapat dijadikan referensi
bagi upaya-upaya untuk menurunkan death anxiety pada lansia agar dapat mencapai hidup yang lebih sejahtera.
Melihat dari hal-hal yang telah peneliti uraikan, maka judul yang
diangkat pada penelitian ini adalah “Analisis Faktor-Faktor Psikologis yang
mempengaruhi Death Anxiety”.
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah 1.2.1 Batasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini menjadi lebih terarah dan
menghindari kesalahan persepsi, maka penulis membatasi masalah yang
berkaitan dengan faktor-faktor psikologis dalam penelitian ini yaitu sebagai
A. Locus of Control dalam penelitian ini adalah dimensi internal locus of control dan external locus of control.
B. Perceived Social Support dalam penelitian ini adalah persepsi dukungan dari keluarga, teman, atau significant others.
C. Religious Orientation dalam penelitian ini adalah dimensi intrinsic religious orientation dan extrinsic religious orientation.
D. Death anxiety atau kecemasan terhadap kematian yang bersifat unidimensional, yang menyangkut kematian diri sendiri, baik dalam
proses menuju kematian, saat kematian, maupun kehidupan setelah
kematian.
E. Pengalaman bermakna mengenai kematian dalam penelitian ini adalah
pengalaman meninggalnya keluarga, teman, kerabat, atau orang
terdekat lain yang berarti maupun tidak berarti.
F. Responden dari penelitian ini terdiri dari pria dan wanita.
G. Responden dari penelitian ini dibatasi pada masyarakat lanjut usia
(lansia) yang berusia lebih dari 60 tahun keatas serta masih mampu
membaca serta menulis.
1.2.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan diteliti pada penelitian ini antara lain:
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara external locus of control dengan death anxiety?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara perceived social support dengan death anxiety?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara intrinsic religious orientation terhadap death anxiety?
5. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara extrinsic religious orientation dengan death anxiety?
6. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan
death anxiety?
7. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara pengalaman bermakna
mengenai kematian dengan death anxiety?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada latar belakang, rumusan dan batasan masalah diatas,
maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh antara
faktor-faktor psikologis, yaitu locus of control, social support, religious orientation, pengalaman terhadap kematian, dan jenis kelamin terhadap death anxiety.
Manfaat yang akan didapat dari penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
perbandingan bagi teori-teori psikologi yang berhubungan dengan
kematian atau psikologi penuaan (aging) yang belum banyak
diterapkan saat ini, serta memperkaya penelitian-penelitian mengenai
death anxiety.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi seluruh individu untuk meningkatkan kesadaran terhadap death anxiety, dan penerapan pembelajaran mengenai kematian sehingga diharapkan para lansia memiliki kesiapan untuk menghadapinya serta
mengurangi kecemasan yang dialaminya, serta mendukung program
persiapan menuju orang tua yang ditujukan pada komunitas lanjut usia
baik secara sosial maupun religius.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas mengenai isi dan materi yang dibahas
dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan sistematika penulisan
sebagai berikut.
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah,
BAB II : KAJIAN TEORI
Terdiri dari teori tentang locus of control, perceived social support, religious orientation, death anxiety, asumsi dasar, kerangka berpikir, dan hipotesis.
BAB III : METODOLOGI PENELITIAN
Terdiri dari jenis penelitian, definisi konsep dan operasional konsep,
sampel penelitian, teknik pengumpulan data, instrument penelitian, teknik
analisis data, dan prosedur penelitian.
Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi
dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, metode analisis
instrumen serta metode analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian disajikan dengan jelas, dilengkapi dengan tabel, dan
penjelasan berdasarkan teori terhadap hasil penelitian yang diperoleh.
BAB V : DISKUSI DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran
DAFTAR PUSTAKA
16
Bab ini akan menjelaskan landasan teoritis penelitian mengenai definisi death anxiety, faktor-faktor yang mempengaruhi death anxiety, definisi locus of control, dimensi-dimensi locus of control, definisi religious orientation, dimensi-dimensi religious orientation, definisi perceived social support, dimensi-dimensi perceived social support dan kerangka berpikir beserta hipotesis yang diajukan dalam penelitian.
2.1 Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998 mengenai
kesejahteraan lanjut usia, lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
keatas dengan dua kategori, yaitu: lansia usia potensial adalah lansia yang masih
mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa,
dan lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya tergantung pada orang lain. Sedangkan menurut WHO (2014), definisi
Menurut Gorman (2000, dalam WHO, 2014), proses penuaan merupakan
realitas biologis yang memiliki dinamika tersendiri, sebagian besar diluar kontrol
manusia. Namun, hal ini juga merupakan bagaimana sebuah budaya atau komunitas
mengkonstruksikan lansia. Usia 60 atau 65 tahun, usia rata-rata masa pensiun di
negara-negara maju dan berkembang, diartikan sebagai permulaan dari masa tua.
Definisi lainnya adalah berkaitan dengan peran yang dilekatkan dengan orang tua,
yang dalam beberapa kasus, hilangnya peran yang mengikuti penurunan fungsi fisik
yang merupakan definisi yang signifikan dari masa tua. Kemudian, masa tua dalam
banyak negara berkembang terlihat dimulai ketika kontribusi aktif dalam masyarakat
sudah tidak mungkin dapat dicapai (Gorman, 2000 dalam WHO, 2014).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan kategori lansia berdasarkan UU
No. 13 tahun 1998 mengenai Kesejahteraan Lanjut Usia, yaitu lanjut usia (lansia)
adalah seseorang yang telah berusia 60 tahun keatas.
2.1.2 Karakteristik Lansia
Santrock (2002) menyatakan masa dewasa akhir (lansia) dimulai pada usia 60-an dan
diperluas sampai sekitar usia 120 tahun, dan memiliki rentang kehidupan yang paling
panjang dalam periode perkembangan manusia—50 sampai 60 tahun. Kombinasi
antara panjangnya masa kehidupan dengan peningkatan dramatis orang dewasa yang
hidup menuju usia tua telah membawa peningkatan perhatian pada perbedaan periode
Peneliti sosial yang fokus mengenai penelitian tentang penuaan
mengemukakan terdapat tiga kelompok dewasa akhir (lansia): lansia “muda” (young old), lansia “tua” (old old), dan lansia “lanjut” (oldest old). Secara kronologis, lansia muda merujuk pada lansia yang berusia 65 sampai 74, yang biasanya lebih aktif dan
bersemangat. lansia tua memiliki rentang usia 75-84 tahun. Sedangkan lansia lanjut
memiliki rentang usia 85 tahun keatas dan biasanya lebih rapuh dan memiliki
kesulitan untuk beraktifitas dalam kegiatan sehari-hari (Papalia, Olds, & Feldman,
2009). Suzman, Wilis & Manton (1992 dalam Santrock, 2002) menyatakan orang tua
muda ialah seseorang yang masih berada di usia 60 tahun, sedangkan orangtua
berusia lanjut merupakan seseorang yang telah berusia 85 tahun keatas.
Orangtua lanjut lebih banyak kemungkinannya wanita, dan mereka memiliki
angka morbiditas yang lebih tinggi dan jauh lebih besar mengalami ketidakmampuan
dibandingkan orang tua yang lebih muda (Suzman, Wilis & Manton, 1992 dalam
Santrock, 2002) . Hampir di seluruh dunia, wanita hidup lebih lama dibandingkan
laki-laki (Kinsella & Phillips, 2005 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini
dihubungkan dengan kecenderungan mereka untuk lebih merawat dirinya sendiri dan
mencari perawatan kesehatan, tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi, peningkatan
status sosioekonomi wanita yang meningkat dalam satu dekade terakhir, dan tingkat
kematian pria yang lebih tinggi selama masa hidup (Gordman & Read, 2007 dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2009).
Menurut Erikson (1963, dalam Hoyer & Roodin, 2003), dalam tahun-tahun
terakhirnya, lansia memasuki fase ego integrity vs. despair. Beberapa orang tua mengembangkan perasaan positif mengenai masa lalu mereka dan melihat bahwa
kehidupan mereka penuh arti dan memuaskan (ego integrity). Namun, beberapa orang
tua melihat masa lalunya dengan kepahitan atau ketidakpuasan. Beberapa juga merasa
bahwa mereka tidak dapat menciptakan kehidupan yang mereka inginkan untuk
dirinya sendiri, atau menyalahkan orang lain mengenai rasa tidak puasnya (despair).
Hurlock (1981) menyatakan tugas-tugas perkembangan di masa tua lebih
berkaitan dengan kehidupan personal mereka dibandingkan orang lain. Orang tua
diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan kekuatan dan kesehatan yang menurun.
Hal ini menandakan perubahan peran yang mereka terapkan di dalam lingkungan
rumah dan diluar. Mereka juga diharapkan untuk menemukan aktifitas-aktifitas
sebagai pengganti pekerjaan yang mereka lakukan pada saat masih muda.
Mempertemukan kewajiban sosial dan sipil sangat sulit dilakukan oleh lansia karena
kesehatan yang melemah dan berkurangnya penghasilan karena masa pensiun.
Sebagai hasilnya, mereka seringkali dipaksa untuk tidak aktif secara sosial.
Anak yang sudah besar akan lebih melibatkan diri pada masalah vokasional
dan keluarganya sendiri, jadi lansia akan mengalami berkurangnya ikatan. Hal ini
berarti bahwa mereka harus menemukan ikatan lain dengan rekan sesama usianya jika
akibat pensiun dan karena mereka sedikit demi sedikit mengurangi kontak dengan
komunitas sosial.
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada masa lansia menurut Hurlock
(1981) adalah sebagai berikut:
a. Perubahan penampilan
Tanda-tanda penuaan yang paling mencolok adalah adanya perubahan terutama
pada bagian wajah. Walaupun wanita dapat memakai kosmetik untuk menutupi
tanda-tanda penuaan, banyak yang tidak dapat ditutupi tetapi bagian tubuh lain
bisa. Tangan juga dapat menunjukkan usia seseorang. Seperti wajah, tangan juga
menua lebih cepat daripada bagian tubuh yang lain dan tidak terlalu bisa
dikamuflase.
b. Perubahan-perubahan internal
Walaupun perubahan-perubahan internal (di dalam tubuh) tidak terlihat,
perubahan tersebut yang paling sering dialami. Perubahan pada tulang karena
mengerasnya tulang, kurangnya asupan mineral, dan modifikasi struktur tulang.
Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah mengalami fraktur atau patah, dan
hal tersebut lebih sulit untuk disembuhkan seiring usia bertambah. Saluran
pencernaan juga berubah pada usia tua. Terdapat penurunan fungsi beberapa
organ dalam, diantaranya limpa, hati, testis, jantung, paru-paru, pankreas, dan
jantung. Sistem gastrointestinal, sistem urin dan organ berotot lunak adalah organ
yang tidak terlalu mengalami perubahan karena usia lanjut.
c. Perubahan-perubahan sensorik
Seluruh organ fungsi penginderaan mengalami penurunan fungsi pada usia lanjut.
Bagaimanapun juga, perubahan sensorik adalah perubahan yang relatif lama
prosesnya pada sebagian besar kasus, sehingga individu memiliki kesempatan
untuk beradaptasi pada perubahan tersebut. Contohnya kacamata dan alat bantu
dengar yang dapat membantu pengelihatan dan pendengaran yang menurun.
d. Perubahan-perubahan kemampuan motorik
Sebagian besar lansia menyadari bahwa mereka bergerak lebih lambat dan kurang
terkoordinasi dari sebelumnya. Perubahan dalam fungsi motorik ini termasuk
penurunan kekuatan dan energi yang merupakan kompensasi yang normal dari
perubahan fisik yang berhubungan dengan usia tua; kurangnya irama gerak otot;
kekakuan sendi; dan tremor pada tangan, lengan, kepala, dan dagu.
Bagaimanapun juga, walaupun mereka sedang dalam kondisi yang fit dan
memiliki motivasi yang kuat, beberapa individu masih berharap kemampuan
motorik mereka dapat kembali seperti saat mereka muda. Perubahan motorik ini
memiliki efek yang penting dalam adaptasi personal dan sosial.
e. Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental
Para pakar psikologi, dari penelitian-penelitian yang mereka lakukan, telah
menyatakan beberapa kepercayaan bahwa dengan adanya penurunan fungsi
mental juga. Penyebabnya antara lain keadaan fisik yang memburuk yang juga
diikuti oleh kondisi mental yang menurun dan kurangnya stimulasi dari
lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa lansia dengan kemampuan inteligensi
yang tinggi memiliki resiko yang rendah dalam penurunan funsi mental daripada
orang dengan inteligensi yang rendah.
f. Perubahan-perubahan minat personal
Semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi lebih memusatkan perhatian pada
dirinya sendiri. Mereka mungkin akan menjadi lebih egosentris dan berpusat pada
diri sendiri sehingga mereka hanya memikirkan dirinya sendiri daripada orang
lain dan cenderung tidak mempedulikan minat dan keinginan orang lain. Bahkan
ketika mereka berada dalam kondisi kesehatan yang baik, lansia cenderung terlalu
perhatian pada kesehatannya. Mereka cenderung mudah mengeluh mengenai
kesehatannya. Mereka juga sering menunjukkan perhatiannya pada dirinya sendiri
dengan cara membicarakan masa lalunya terus menerus, berharap untuk ditunggu,
dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Pemusatan pada diri sendiri tersebut
menimbulkan kesan sikap yang kurang menyenangkan pada lansia.
2.1.4 Death Anxiety pada Lansia
Melihat death anxiety pada lansia yang mengacu pada teori perkembangan psikososial, fase kedua akhir (generativity vs stagnation) muncul ketika seseorang
menyadari dekatnya kematian dan fase tersebut akan terselesaikan jika seseorang
akan muncul jika seseorang tidak mampu melakukannya. Fase final dari kehidupan
manusia (integrity vs. despair), tercapai jika seseorang mampu melihat dirinya secara
keseluruhan dan mampu mengingat masa lalu tanpa rasa bersalah. Hal tersebut
memunculkan ketakutan terhadap kematian yang rendah, sedangkan penyesalan
terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu serta kesempatan-kesempatan yang
tidak diambil dulu dapat berakhir pada tingginya tingkat death anxiety (Erikson, 1963; Labouvie-Vief, 1982; Cicirelli, 2002).
Hoyer dan Roodin (2003) mengemukakan, seperti halnya kecemasan yag
merupakan emosi yang normal, kecemasan yang berhubungan dengan kematian juga
merupakan suatu hal yang normal. Banyak penelitian lanjutan dari death anxiety
dalam populasi nonklinis. Penemuan-penemuan dari penelitian Kastenbaum (2000)
adalah sebagai berikut:
1. Sebagian besar responden dalam sebuah komunitas tidak
menunjukkan tingkat death anxiety yang tinggi.
2. Wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi
dibandingkan pria.
3. Dalam penelitian lintas budaya, orang dengan usia yang lebih tua pada
umumnya tidak menunjukkan tingkat death anxiety yang lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang usianya lebih muda walaupun
4. Tingkat pendidikan dan status sosial-ekonomi yang lebih tinggi
berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.
5. Tingkat religiusitas yang tinggi dan partisipasi dalam praktek religius
tidak berhubungan dengan tingkat death anxiety yang lebih rendah.
Kastenbaum (2000) juga menyatakan bahwa tingkat death anxiety yang sebagian besar dirasakan oleh individu dalam kehidupan sehari-harinya mungkin
dapat meningkat secara dramatis ketika individu mengalami periode stres atau
ancaman, seperti masalah kesehatan, penyakit, atau kematian orang terdekatnya.
Pada umumnya, orang lanjut usia tidak terlalu merasa cemas terhadap
kematian dibandingkan dengan orang pada usia yang lebih muda (Bengston, Cuellar,
& Ragan, 1975 dalam Papalia et al., 2007). Kesadaran akan kematian meningkat
seiring bertambahnya usia, tetapi orang yang lebih tua menunjukkan penerimaan yang
lebih tinggi daripada individu pada usia yang lebih muda atau pertengahan
(Woodruff-Pak, 1988 dalam Hoyer dan Roodin, 2003). Mereka lebih cenderung
menggunakan strategi coping emosional. Dari tahun ke tahun, selama mereka mengalami kehilangan teman-teman terdekat dan kerabatnya, mereka secara perlahan
menata pemikiran dan perasaannya untuk dapat menerima kenyataan mengenai
kematian.
Kemunduran fisik dan masalah-masalah lain pada masa lanjut usia mungkin
dapat mengurangi kenikmatan seseorang dalam menjalani hidupnya. Namun
waktu yang akan mereka tukar jika mereka ditawarkan untuk menukarnya dengan
kesembuhan dan hidup yang sehat, 2 dari 3 orang tidak ingin memberikan lebih dari
sebulan masa hidupnya (Tsevat et al., 1998 dalam Papalia et al., 2007). Menurut
Erikson, orang-orang di masa lanjut usia harus menghadapi fase kedelapan dari
perkembangan manusia, yaitu integrity versus despair. Seseorang yang dapat melewati fase ini meraih kebijaksanaan yang memungkinkan mereka untuk dapat
menerima apa yang telah mereka lakukan selama hidup dan kematian yang akan
segera datang (Papalia et al., 2007).
Ketika seseorang telah mencapai usia lansia, mereka tahu bahwa waktu
mereka sudah dekat dengan akhir kehidupan. Ditambah lagi, mereka dihadapkan
dengan meningkatnya paparan terhadap kematian di dalam lingkungannya.
Pasangannya, saudara, dan teman mungkin sudah terlebih dahulu meninggal, dan hal
tersebut menjadi pengingat konstan mengenai kematiannya sendiri. Prevalensi
kematian pada lansia membuat mereka lebih kurang merasakan kecemasan mengenai
kematian daripada di awal-awal kehidupan mereka. Hal ini bukan berarti bahwa para
lansia menerima kematian. Justru hal ini mengimplikasikan bahwa mereka menjadi
lebih realistis dan reflektif mengenai hal itu. Mereka berpikir mengenai kematian, dan
mulai mempersiapkannya (Feldman, 2011).
Walaupun banyak yang membuktikan bahwa lansia memiliki penerimaan
yang lebih besar dalam hal kematian daripada orang yang usianya lebih muda atau
adalah prediktor yang lebih baik dalam menentukan penerimaan kematian daripada
faktor usia (Hoyer & Roodin, 2003).
Menurut Tomer et. al. (2008), terdapat tiga determinan utama dari death anxiety, yaitu:
1. Penyesalan yang berhubungan dengan masa lalu (past-related regret), yaitu
tipe emosi atau kognisis yang berhubungan dengan masa lalu seseorang
(kesalahan — sesuatu yang dilakukan seseorang namun tidak terlaksana).
2. Penyesalan yang berhubungan dengan masa depan (future related regret),
yaitu sesuatu yang kita rasakan ketika rencana penting atau perbuatan kita di
masa depan menjadi tidak mungkin terlaksana.
3. Kebermaknaan dari kematian, yaitu kenseptualisasi individu tentang kematian
sebagai hal yang positif atau negatif, sebagai sesuatu yang masuk akal atau
sesuatu yang absurd/ tidak masuk akal. Jika penyesalan di masa lalu tidak
teratasi, atau kematian dianggap tidak berarti, maka individu tersebut akan
merasakan death anxiety yang tinggi.
2.2 Death Anxiety
2.2.1 Pengertian Death Anxiety
Teori yang dianggap sebagai teori klasik dari death anxiety adalah Big Theories yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud (Kastenbaum, 2000). Ia sebenarnya menolak
yang biasa jika ketakutan akan kematian terlihat sebagai reaksi yang menonjol, atau
diekspresikan melalui mimpi.
Menurutnya, Hanya karena seseorang yang cemas tiba-tiba membicarakan
kematian, bukan berarti kematian adalah akar dari masalah yang dialami oleh orang
tersebut. Semua masalah yang berkaitan dengan kematian hanyalah sekedar kemasan
yang menutupi masalah yang sebenarnya. Thanataphobia (ketakutan akan kematian)
sebenarnya merupakan ekspresi simbolik dari konflik yang belum terselesaikan dalam
dunia psikis kita yang terdalam.
Dalam Terror Management Theory, Becker (1970 dalam Cicirelli, 2002) bersumsi bahwa pada dasarnya manusia secara tidak sadar selalu didorong oleh
insting untuk mempertahankan hidupnya dan melanjutkan eksistensi, sementara pada
waktu yang sama mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak dapat menghindari
kematian. Hasilnya, manusia memiliki kemungkinan secara sadar untuk merasa
diteror oleh kematian.
Kecemasan yang terjadi berkaitan dengan hal-hal mengenai kematian sering
disebut death anxiety. Tomer (1994, dalam Cicirelli, 2002) menyatakan ketakutan akan kematian dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami di dalam kehidupan
sehari-hari yang disebabkan karena antisipasi kondisi kematian. Hal ini dianggap hal
yang biasa dan berbeda dengan kecemasan ketika seseorang mengetahui ada pistol di
dalam Templer et. al., 2006) mendefinisikan death anxiety sebagai suatu kondisi emosional yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang manakala ia
memikirkan kematian, dan karena keadaan tidak jelas yang menyertai kematian.
Neimeyer (2008, dalam Azaiza et al., 2011) menyatakan death anxiety meliputi berbagai bentuk sikap terhadap kematian, yang dikarakteristikkan dengan
rasa takut, ancaman, ketidaknyamanan, dan reaksi negatif lainnya, bersamaan dengan
kecemasan sebagai ketakutan yang tidak beralasan terhadap objek yang tidak jelas.
Firestone (1997, dalam Tomer et. al., 2008) mengkonseptualisasikan death anxiety sebagai fenomena kompleks yang mereprentasikan paduan proses
pemikiran-pemikiran dan emosi yang berbeda, termasuk ketakutan akan kematian, teror dari
mental dan fisik yang memburuk, perasaan kesepian, pengalaman kehilangan dan
perpisahan, kesedihan mengingat diri yang akan hilang, dan kemarahan yang
memuncak terhadap keadaan yang sama sekali tidak dapat dikontrol. Walaupun death
anxiety memiliki pengaruh yang luas terhadap emosi-emosi yang negatif, definisi tersebut merujuk kepada realisasi penuh bahwa hidup kita bisa berakhir.
Dalam teori Self-Realization, ketakutan akan kematian muncul dari kesadaran
akan dekatnya kematian seseorang, serta ancamannya terhadap keberfungsian diri
(Maslow, 1968; Rogers, 1989 dalam Cicirelli, 2002). Schultz (1979 dalam Bryant,
2003) menyatakan death anxiety adalah suatu rangkaian perasaan yang dipicu oleh pemikiran-pemikiran mengenai kematian. Meskipun merupakan sebuah bentuk
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa death anxiety merupakan kecemasan yang berhubungan dengan kematian, baik secara sadar maupun tidak sadar yang timbul dari pemikiran individu mengenai kematian dan
hal-hal yang berkaitan dengan kematian.
2.2.2 Penolakan terhadap Death Anxiety
Tidak semua orang yang dekat dengan kematian dapat mengkomunikasikannya
dengan jujur dan terbuka. Penolakan adalah sebuah karakteristik seseorang ketika
dohadapkan dengan kematian. Penolakan akan melindungi seseorang dari kenyataan
bahwa mereka akan segera meninggal. Beberapa ahli melaporkan hubungan yang
negatif antara penolakan dan penerimaan terhadap kematian (Shneidman, 1992,
dalam Hoyer & Roodin, 2003).
Penolakan terhadap kematian memiliki beragam bentuk. Menolak untuk
mengetahui adanya penyakit atau situasi yang mengancam jiwa adalah salah satu
bentuk penolakan. Sebagai contoh, seorang pria yang akan menjalani operasi kanker
kolon mungkin dapat menolak kenyataan dan lebih mempercayai bahwa operasi
tersebut hanya untuk mengangkat polip. Atau seseorang yang menerima kenyataan
bahwa dirinya mengidap gangguan ginjal, namun menyangkal bahwa hal tersebut
membahayakan jiwa. Denial dapat menjadi suatu hal yang maladaptif jika hal
tersebut menyebabkan seseorang persisten dalam menolak kenyataan. Contohnya, hal
dan perawatannya ketika gejala-gejala penyakit berbahaya muncul (Hoyer & Roodin,
2003).
Yalom (1980, dalam Tomer et. al., 2008) menyatakan bahwa death anxiety dimanifestasikan bukan sebagai argumen filosofis, namun lebih kepada penolakan. Ia
membedakan dua bentuk penolakan tersebut, bentuk pertama terdiri dari kepercayaan
seseorang terhadap “spelialitas”, kepercayaan yang berada dalam akar menuju ke
heroisme. Tipe kedua dari mekanisme ini terdiri dari kepercayaan terhadap
penyelamat agung, yaitu Tuhan atau figur pemimpin, atau mungkin figur politik yang
dikagumi atau dokter yang hebat, memutuskan seluruh keputusan untuknya, atau
orang tua yang perhatian.
Penolakan terhadap kematian juga dikemukakan oleh Firestone & Catlett
(2009). ia menyebutkan bahwa penolakan (denial) merupakan pertahanan utama
terhadap death anxiety, dan terdapat dua bentuk dasar dari penolakan terhadap kematian, yaitu:
1. Literal Immortality, seringkali dimanifestasikan kepada agama atau religiusitas dan hal ini merupakan pertahanan kunci yang
meniadakan/menolak fakta bahwa manusia akan mati sama dengan spesies
lainnya, dan tidak ada bukti ilmiah mengenai kehidupan setelah kematian
2. Symbolic Immortality. Yaitu ilusi dalam memperpanjang usia dan arti hidup seseorang lewat pertahanan-pertahanan dengan meninggalkan
warisan yang tetap ada setelah penciptanya/ pemiliknya meninggal dunia.
Warisan tersebut seperti karya, anak, kesombongan dan mengumpulkan
harta kekayaan serta kekuasaan.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Death Anxiety
Beberapa faktor telah diteliti dan memiliki pengaruh dengan death anxiety. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a) Religiusitas
Religiusitas adalah salah satu faktor teoritis yang potensial, dan
dikonseptualisasikan sebagai: totalitas sistem kepercayaan, iman atau
disposisi dari dalam diri, atau praktek ritual keagamaan (Wulff, 1997 dalam
Daaleman dan Dobbs, 2003).
Religiusitas memainkan peran penting sebagai salah satu faktor death
anxiety karena masing-masing agama menjamin umat-umat pengikutnya akan kehidupan setelah kematian. Selain itu, tingkat religiusitas yang berbeda juga
menghasilkan tingkat death anxiety yang berbeda-beda pula. Seperti yang dinyatakan oleh Daaleman dan Dobbs (2010) bahwa orang yang memiliki
tingkat kepercayaan yang moderat memiliki ketakutan yang lebih besar
Perbedaan agama juga membuat persepsi kematian yang berbeda pada
masing-masing pengikutnya. Williams (1990) menyatakan bahwa orang
yahudi dan Kristen menganggap kematian adalah jalan menuju sebuah
keabadian, sedangkan orang Hindu di India mempersepsikan kematian lewat
perspektif reinkarnasi.
b) Locus of Control
Bagaimana cara kita memandang apa yang terjadi pada diri kita, apakah
cenderung ke faktor luar diri atau dalam diri, juga dapat mempengaruhi
tingkat death anxiety. Williams (1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal terlihat lebih mampu mengendalikan lingkungan luar dan juga lingkungan afektif dari dalam yang
kemudian dapat menghasilkan perilaku kematian yang lebih baik. Vargo dan
Black (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya hubungan antara locus of control eksternal dan death anxiety pada mahasiswa kedokteran. Dan Hickson, Housley, dan Boyle (dalam Williams, 1990) melaporkan adanya
interaksi yang signifikan antara locus of control dan usia dengan death anxiety. Fry (dalam Daaleman dan Dobbs, 2010) juga menyatakan bahwa individu dengan keyakinan yang kuat terhadap dirinya cenderung berpikir
untuk mengatur dan memainkan control yang kuat terhadap pikiran-pikiran
c) Kepribadian
Tipe kepribadian yang melandasi bagaimana kita berperilaku juga memegang
peranan penting terhadap death anxiety dan perilaku seperti apa yang akan ditampilkan. Frazier dan Foss-Goodman (dalam Williams, 1990) melaporkan
bahwa death anxiety dengan tingkat yang tinggi berkorelasi dengan neurotisisme dan behavioral pattern type A.
d) Social Support
Dukungan sosial juga dibuktikan memiliki pengaruh terhadap death anxiety. Menurut Becker (1973) dalam Daaleman dan Dobbs (2010), Orang tua yang
memiliki social support yang kuat cenderung memiliki ketakutan yang lebih
rendah karena adanya perasaan aman dari ikatan dirinya dengan orang lain.
Khawar, Aslam, & Aamir (2013) juga menunjukkan hasil penelitian dimana
terdapat hubungan yang negatif antara perceived social support dengan death
anxiety. e) Usia
Death anxiety diketahui memiliki hubungan dengan usia. Russac et. al. (2007) dalam penelitiannya membuktikan bahwa wanita menunjukkan tingkat death anxiety yang tidak terduga selama awal usia 50 tahun. Setelah berusia 60 tahun, kecenderungannya menurun dan menjadi stabil. Namun, Chuin & Choo
(2009) membuktikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara death
Antara pria dan wanita diketahui memiliki pola pikir yang berbeda satu sama
lain, perbedaan pola pikir tersebut juga mempengaruhi death anxiety. Holcomb, Neimeyer, dan Moore (1993, dalam Bath, 2010) membuktikan
bahwa wanita cenderung melihat kematian sebagai suatu kepastian dan
kehidupan selanjutnya dibanding pria. Namun, studi lainnya membuktikan hal
yang tidak sejalan. Neimeyer (1994, dalam Bath, 2010) menemukan bahwa
tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam ketakutan akan kematian.
Dari faktor-faktor tersebut, penulis memutuskan bahwa faktor-faktor yang
akan peneliti gunakan sebagai variabel bebas adalah Religious Orientation, Locus of Control dan Perceived Social Support.
2.2.4 Pengukuran Death Anxiety
Untuk mengukur variabel death anxiety, peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan
skala baku Death Anxiety Scale dari Templer (1970). Alat ukur ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma yang ada di Indonesia.
Alat ukur ini terdiri dari 15 item dan memiliki dua alternatif jawaban, True (benar) dan False (salah). Dalam penelitian ini, peneliti mengganti alternatif pilihan jawaban
menjadi 4, yaitu SS (sangat setuju), S (setuju), TS (tidak setuju), dan STS (sangat
tidak setuju) agar dapat dianalisis lebih lanjut. Responden harus memilih salah satu
dari empat alternatif jawaban yang paling menggambarkan dirinya.
2.3 Locus of Control
Selama tahun 1950-an dan awal 1960-an, Rotter mulai tertarik dengan observasi
terhadap banyak orang yang tidak meingkatkan perasaan kontrol personal mereka
setelah mengalami kesuksesan, dan orang lainnya yang tidak meurunkan ekspektasi
mereka setelah mengalami kegagalan yang berulang-ulang (Zuroff & Rotter, 1985
dalam Feist & Feist, 2009). Dengan kata lain, beberapa orang cenderung untuk
menganggap tercapainya sesuatu yang diinginkan sebagai hasil dari keberuntungan,
sementara orang lain mempertahankan kontrol personal yang tinggi setelah beberapa
perilaku yang dilakukan tidak membuahkan penguatan. Kecenderungan ini sering
terjadi pada situasi yang dianggap ambigu atau baru (Rotter, 1992 dalam Feist &
Feist, 2009), atau pada saat mereka tidak mengetahui apakah akibat dari perilaku
mereka disebabkan oleh kemampuan mereka sendiri atau kebetulan.
Rotter (1990 dalam Feist & Feist, 2009) berpendapat bahwa baik situasi
maupun orangnya berkontribusi pada perasaan kontrol personal. Oleh karena itu, jika
seseorang telah memiliki ekspektasi untuk dapat berhasil dalam suatu kondisi, dapat
memiliki perasaan kontrol personal yang rendah dalam situasi lainnya.
Rotter (1989) menyatakan bahwa kontrol internal dan eksternal mengacu pada
bagaimana seseorang mengharapkan sebuah penguat atau akibat dari sebuah perilaku
merupakan bagian dari perilakunya sendiri atau karakteristik personal versus apakah
seseorang menganggap penguat atau akibat dari perilaku merupakan hasil dari
Rotter (1966) menyatakan bahwa locus of control mengacu pada perbedaan yang terjadi di antara individu dalam hal kontrol personal mana yang akan digunakan
seseorang dalam situasi yang sama. Sedangkan Levenson (1981) mengartikan locus of control sebagai espektasi umum untuk mempersepsikan penguat sebagai suatu kesatuan dan bagian dari perilaku individu (internal control) atau merupakan hasil
dari kekuatan diluar kontrol manusia dan bergantung pada takdir, kesempatan, atau
orang yang berkuasa (external control).
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa locus of control adalah bagaimana individu mempersepsikan kejadian-kejadian disekitarnya apakah karena faktor dari dalam (tingkah lakunya sendiri dan usaha yang
dilakukannya sendiri) atau karena faktor dari luar dirinya (keberuntungan,
kesempatan, orang-orang yang berkuasa atau takdir).
2.3.2 Dimensi-Dimensi Locus of Control
Terdapat dua dimensi dari locus of control. Dimensi-dimensi tersebut antara lain:
1. Internal Locus of Control
Internal locus of control adalah keyakinan bahwa perbuatan seseorang dapat menghasilkan konsekuensi sesuai yang diharapkan (Friedman & Schutstack,
2009). Individu dengan internal locus of control cenderung lebih berorientasi
pada prestasi karena mereka yakin bahwa perilaku mereka menghasilkan efek
yang positif, dan mereka cenderung adalah orang-orang yang berprestasi (high
Menurut Rotter (1966), apabila seseorang mempersepsikan bahwa
suatu kejadian merupakan akibat dari perilakunya ataupun karakteristiknya
yang relatif permanen.
2. External Locus of Control
External locus of control adalah keyakinan bahwa hal-hal yang berasal dari luar diri individu, seperti kesempatan atau kekuatan, dapat menentukan
terjadinya konsekuensi yang diharapkan (Friedman & Schutstack, 2009).
Sedangkan Rotter (1966) menyatakan external locus of control adalah ketika seseorang mempersepsikan penguat yang mengikuti sebuah perilaku dianggap
bukan hasil dari dirinya, namun dalam budaya kita dianggap sebagai hasil dari
keberuntungan, kesempatan, karena kontrol dari kekuatan orang lain, atau
kebetulan.
Individu dengan external locus of control cenderung kurang independen dan lebih mudah depresi dan stress, seperti yang diduga oleh
Rotter (Benassi, Sweeney, & Dufour, 1988; Rotter, 1954 dalam Friedman &
Schutstack, 2009). Dalam 40 tahun terakhir, sebagian besar locus of control
dari anak-anak amerika adalah eksternal. Mereka percaya bahwa hidup
mereka lebih dikontrol oleh kekuatan dari luar diri. Hal tersebut berbeda
dengan apa yang orangtua mereka yakini saat mereka masih muda di usia
yang sama dengan anak mereka (Twenge, Zhang, & Im, 2004 dalam
Friedman & Schutstack, 2009). Sayangnya, hal tersebut menjadi konsisten
menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang mereka alami dan
kurang memiliki inisiatif untuk mengambil sikap dalam rangka
pengembangan masyarakat (Friedman & Schutstack, 2009). Merton (1946,
dalam Rotter, 1966) menyatakan bahwa kepercayaan pada keberuntungan
merupakan perilaku defensif dalam rangka “mempersiapkan fungsi psikologis
bagi seseorang agar dapat melindungi self-esteem mereka dalam menghadapi kegagalan.
Sedangkan Levenson (1981) dalam konsep multidimensionalnya
berpendapat bahwa terdapat dua tipe orientasi eksternal, yaitu kepercayaan
bahwa dunia merupakans suatu hal yang tidak terduga dan kepercayaan
bahwa dunia sebenarnya dapat diprediksi serta ada orang yang berkuasa yang
ikut mengendalikan kejadian-kejadian di dunia.
Seseorang yang mempercayai bahwa kesempatan itu ada mungkin
memiliki kontrol yang berbeda secara perilaku dan kognitif dari orang-orang
yang memiliki kontrol personal yang rendah. (Levenson, 1981).
2.3.3 Pengukuran Locus of Control
Untuk mengukur variabel locus of control peneliti menggunakan alat ukur berdasarkan skala baku Levenson’s I,P, and C Scale dari Levenson (1981). Alat ukur
ini akan diadaptasi kedalam bahasa Indonesia dan akan disesuaikan dengan norma
yang ada di Indonesia. Alat ukur ini terdiri dari 24 item dan memiliki empat alternatif
Setuju (STS). Responden harus memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang
paling menggambarkan dirinya.
2.4 Religious Orientation
2.4.1 Pengertian Religious Orientation
Menurut Pargament (1997) pengertian yang cocok dalam kehidupan
sehari-hari ketika kita berbicara mengenai agama adalah agama mengacu pada sebuah
entitas, ide, kepercayaan, atau praktek yang spesifik. Agama juga merupakan sebuah
sistem kepercayaan kepada kekuatan ketuhanan dan praktek atau ritual peribadatan
yang ditujukan kepada kekuatan tersebut (Argyle & Beit-Hallahmi, 1975 dalam
Pargament, 1997)
Agama berfungsi sebagai sumber pendukung emosional dan sosial, terutama
pada masa-masa krisis. Sebagai tambahan, agama memberikan seseorang gambaran
perilaku dalam kehidupan personal mereka, menegakkan standar-standar bagi
perilaku dan memunculkan ide-ide (Cicirelli, 2002).
Menurut Flere & Lavric (1989), Dasar religiusitas yang multifaset dan
kompleks telah dipola dengan cara yang berbeda-beda yang membuatnya menjadi
lebih komprehensif. Salah satunya adalah klasifikasi dari Glock and Stark (1965
dalam Flere & Lavric, 1989). Dibalik perilaku, perbuatan, dan afiliasi institusional,
terdapat juga motif-motif yang seringkali tidak dapat terpisahkan dari religiusitas itu
sendiri. Pendekatan inilah yang digunakan pula oleh Allport (1950 dalam Flere &
Allport (1950, dalam Flere & Lavric, 2007) pada mulanya menyatakan
orientasi religius sebagai motif-motif dibalik perilaku untuk memahami berbagai
bentuk perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk yang dianggap berlawanan
oleh penganut kristiani. Dimulai dari gagasan bahwa ada bentuk kematangan dan
ketidakmatangan religius, ia sampai kepada tipologi religius intrinsik dan ekstrinsik.
Cara yang paling tepat untuk mendeskripsikan dua kutub dari subjektifitas
agama adalah bahwa orang yang termotivasi secara ekstrinsik “memakai” agamanya,
sedangkan orang dengan motif intrinsik “hidup dengan agamanya” (Allport, 1967).
Allport (1967, dalam Pargament 1997) secara lebih lanjut menjelaskan bahwa orang
yang lebih berorientasi intrinsik mengetahui apa motif dasar dari agama yang
dianutnya. Motif tersebut berpusat pada Tuhan, bukan pada diri sendiri. Sedangkan
orang yang berorientasi ekstrinsik mencari keuntungan personal dalam bentuk
ketenangan, harga diri, dan sosiabilitas, bahkan demi orang lain.
Pargament (1997) mendefinisikan religious orientation sebagai disposisi umum untuk menggunakan kutub yang berbeda dalam rangka meraih tujuan hidup
yang berbeda. Orientasi yang berbeda ini timbul dari keterlibatan Tuhan dalam
pencarian tujuan hidup. Kata “umum” digunakan untuk menekankan bahwa religious
orientation tidak berlaku pada situsi secara keseluruhan, namun merupakan fenomena lintas budaya; yang menjelaskan kecenderungan umum untuk menggunakan tujuan
Kirkpatrick (1988, dalam Gorsuch & McPherson, 1989) menganalisa kembali
beberapa penelitian yang menggunakan skala I-E yang lebih lama. Ia kemudian
menyimpulkan skala ekstrinsik yang terbagi kedalam kategori ekstrinsik, yaitu apa
yang kita sebut dengan “Ep untuk item skala yang cenderung berorientasi personal
dan “Es” untuk item skala ekstrinsik yang lebih berorientasi sosial.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi
religius dapat diartikan sebagai motivasi yang mendasari seseorang dalam beragama,
apakah didasari oleh dorongan-dorongan dari luar diri ataukah didorong dari
keinginan untuk menjadikan agama tersebut sebuah landasan bagi kehidupannya dan
mendekatkan diri pada Tuhan, yang dapat dilihat dari caranya berperilaku dalam
menjalankan ajaran agamanya.
2.4.2 Dimensi-Dimensi Religious Orientation
Allport (1950 dalam Flere & Lavric, 2007) membagi orientasi religius kedalam dua
dimensi yang berbeda, yaitu intrinsic religious orientation (orientasi religius intrinsik) dan extrinsic religious orientation (orientasi religius ekstrinsik). Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1. Intrinsic Religious Orientation (Orientasi Religius Intrinsik). Allport & Ross (1967) berpendapat bahwa individu dengan orientasi ini telah menemukan
motif dasar dari beragama. Kebutuhan lainnya, sekuat apapun, dianggap