• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAH YANG BENAR TULISAN SALAH

6. Penulisan Hadis

Dalam praktiknya, pesan yang terkandung dalam wahyu (ayat al-Qur'an) yang baru turun tidak semuanya bisa dengan mudah dimengerti oleh penerima (umat Islam). Di sini, peran Nabi Muhammad s.a.w. sebagai penjelas atau penafsir (QS. Ibrâhîm/14:4)222 keinginan wahyu yang baru saja turun sangat dibutuhkan. Dengan demikian, Nabi Muhammad s.a.w. merupakan utusan Allah s.w.t. yang memproyeksikan sebagai contoh dan penjelas, serta tafsir prinsip umum dari wahyu. Beragam bentuk penjelasan dan penafsiran Nabi atas wahyu yang turun ini kemudian dikenal dengan istilah hadis atau sunnah.223 Secara teknis, sunnah adalah kumpulan ucapan dan perbuatan Nabi. Sunnah meliputi pendapat Nabi tentang masalah kebaikan dan keburukan, yang dianjurkan dan dilarang. Sunnah juga meliputi praktik yang disetujui Nabi bila para sahabat melakukannya. Setiap sunnah yang menyampaikan berita tentang Nabi disebut hadis.224

Sebagai sumber ajaran Islam, sunnah menduduki posisi kedua setelah al-Qur'an. Fungsi sunnah adalah menjelaskan pernyataan-pernyataan al-Qur'an, mencontohkan, dan mengilustrasikan tujuannya. Bila pernyataan al-Qur'an bersifat umum, sunnah

222ﻢ

ﻬﹶﻟ ﻦﻴﺒﻴِﻟ ِﻪِﻣﻮﹶﻗ ِﻥﺎﺴِﻠِﺑ ﺎﱠﻟِﺇ ٍﻝﻮﺳﺭ ﻦِﻣ ﺎﻨﹾﻠﺳﺭﹶﺃ ﺎﻣﻭ (artinya, Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan

dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka…).

223

Secara etimologis, hadis berasal dari kata tahdîs (Arab) yang berarti “mengabarkan”

(ikhbâr), karena ahli hadis sering menyatakan haddatsanâ (telah menceritakan kepada kami) atau

akhbaranâ (telah mengabarkan kepada kami). Adapun sunnah berarti jalan, ketentuan, dan kebiasaan

baik atau tidak. Baca M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran”, dalam Ensiklopedi

Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, volume 4, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002),

hlm. 62. 224

Secara sederhana, hadis adalah perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi Muhammad yang bisa dijadikan teladan atau petunjuk praktis kehidupan kaum muslim. Baca Mah mûd Thahhân, Tysîr Mushthalah al-Hadîts, (Dâr al-Fikr), hlm. 14.

merincinya agar dapat diterapkan. Dan bila pernyataan al-Qur'an bersifat khusus,

sunnah menguraikannya agar dapat diekstrapolasikan ke hal khusus lain.225

Sunnah merupakan alat bantu bagi kaum muslim secara umum untuk

melahirkan ide dan gagasan Islam agar secara konkret bisa dipahami dan bisa diejawantahkan. Sunnah sebagai konkretisasi visi, atau materialisasi ideal, menerjemahkan teori ke dalam realitas. Dalam sunnah, nilai-nilai Islam diberi bentuk dan menjadi hidup. Nilai-nilai ini berdenyut dengan kekuatan penggerak. Dengan adanya nilai-nilai ini, yang pasif (abstrak teoritis) menjadi hidup, kehilangan sikap ontologisnya, dan mulai bergerak ke arah tindakan nyata. Dari contoh-contoh konkret, nilai-nilai Islam menuntut aktualisasi material yang memenuhi pola nilai- nilai ini; dan manusia hanya dapat mentaati nilai-nilai ini. Dengan demikian, sunnah Nabi berfungsi menerjemahkan gagasan ideal wahyu sehingga menjadi manusiawi, membumi dan bisa (memungkinkan) untuk dipraktikkan umat manusia di bumi.

Sunnah meliputi dua puluh dua tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. Selama itu pula, dalam hidup dan setelah wafat Nabi Muhammad s.a.w., sunnah memberikan mata rantai yang hilang antara berfikir dan berbuat, antara persepsi ideasional (ideational) dan aksi, antara pemikiran dan kehidupan serta sejarah. Itulah sebabnya sunnah Muhammad s.a.w. menjadi guru bagi berjuta-juta orang.226 Ia merupakan sumber terkaya yang dapat dimanfaatkan oleh pemimpin untuk mendesak atau meyakinkan, memberi inspirasi dan mendorong. Ia melengkapi material tiruan yang mendominasi semua perayaan Islam, dan tentu saja, menghiasi seluruh pertemuan muslim.227

Material sunnah dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, masing-masing membangun citra Muhammad s.a.w. dalam imajinasi muslim. Pertama adalah material ritual yang membentuk citra Nabi sebagai penyembah Allah, sebagai hamba saleh-Nya (QS. al-Ahzâb/33:21). Kedua adalah teks-teks mengenai peran Muhammad

225

Al-Fârûqî, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 113. 226

Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 115. 227

M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran”, dalam Ensiklopedi Tematis

s.a.w. sebagai pendakwah dan penyeru pada keyakinan baru, sebagai insan dunia yang memiliki hubungan dengan manusia lain di dunia tetapi hidup dengan dan untuk misinya semata. Ketiga adalah material mengenai Muhammad s.a.w. sebagai manusia, yaitu sebagai suami, ayah, keluarga, tetangga, dan teman. Keempat adalah material mengenai Nabi sebagai pemimpin umat manusia, baik di negara, medan perang, pasar, kelas, atau di masjid.228

Sunnah pada mulanya dihafal para sahabat Nabi, tetapi kemudian banyak para sahabat sempat mencatatnya. Khawatir orang yang baru masuk Islam bisa mengacaukan firman Allah dengan sabda Nabi, maka Nabi mulanya melarang penulisan ucapannya.229 Kelak, ketika kemungkinan mengacaukan keduanya teratasi berkat banyaknya orang Islam yang menghafal al-Qur'an, Nabi mengizinkan sahabatnya untuk menulis sunnah. Di antara mereka yang mencatat beberapa bagian sunnah adalah Sa’îd bin ’Ûbadah al-Anshâri (15 H/ 637), ’Abdullâh bin Abû Aufa, Samurah bin Jundub (60 H/ 680), Jâbir bin ’Abdullâh (78 H/698). Wâhib bin Munabbih (114 H/ 732) yang mewarisi koleksi Abû Hurairah (58 H/678), ’Abdullâh bin ’Amr yang mencatat lebih dari 1000 hadis yang disimpan dalam Musnad Ibn Hanbal dan ’Abdullâh bin ’Abbâs (69 H/ 589) yang meninggalkan satu ”muatan unta” tulisan hadis Nabi.230

Meskipun begitu, sebagian besar sunnah tidak ditulis, hingga melewati waktu yang cukup lama. Generasi awal muslim menghafal ucapan-ucapan Nabi, saling mengajarkannya, melaksanakan yang diperintahkan, menjalankan dan menyamai apa yang dipraktikkan Nabi. Selama hayat Nabi, sebagian besar sunnah merupakan ucapan atau perbuatan Nabi yang disaksikan oleh umat.231 Karena berasal dari Nabi, maka orang mendengar, melihat, dan memahaminya. Bila kebetulan mereka tidak hadir dan berusaha memastikan, mereka dapat merujuk kepada Nabi dan bertanya

228

Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 115. 229

Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân,juz 1, hlm. 369. Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 120 230

Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 114. 231

Al-Naisâbûri, Ma’rifah Ulûm al-Hadîts, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-‘Ilmiyyah,

secara langsung, saling berhadapan, untuk memuaskan keingintahuannya.232 Demikianlah, sunnah didengar, disaksikan, dihafal, dicatat, dan disampaikan kepada anak-cucu.

Seiring dengan perkembangan dunia Islam, akhirnya mulai difikirkan cara untuk memelihara hadis Nabi dari kepunahan. Tidak hanya oleh para intelektual, bahkan penguasa yang memiliki minat tinggi terhadap dunia keislaman juga tidak mau ketinggalan untuk berpartisipasi dalam melestarikan hadis dengan menganjurkan ulama-ulama di daerah untuk menepis hadis dan memisahkannya dari yang bukan hadis. Kegiatan ilmiah dalam mengumpulkan hadis tidak lepas dari tanggung jawab mereka dalam memelihara sumber ajaran Islam kedua, agar tidak punah oleh masa. Seorang tabi’în yang sekaligus sebagai khalifah, Umar bin ’Abdul Azîz (682-720), untuk pertama kali berinisiatif mengkodifikasi hadis secara resmi, yaitu dengan mengirim surat edaran kepada para gubernur di daerah kekhalifahan agar menunjuk ulama di daerah masing-masing agar menghimpun hadis-hadis dan memisahkannya dari yang bukan hadis.233

Sejak abad ketiga Hijriah, sunnah dikenal lewat enam kumpulan resmi hadis yang disebut shahîh. Penyusunnya adalah al-Bukhâri (256 H/ 870), Muslim (251 H/ 865) Abû Dâwud (257 H/ 888), Ibn Mâjah (273 H/ 886), al-Nasâ’î (303 H/ 915), dan al-Tirmidzi (279 H/ 892). Di antara mereka, dua yang pertama diakui semua muslim lebih kritis dan otoritatif dibandingkan lainnya. Hal-hal umum yang ditemukan dalam teks keduanya merupakan yang paling otoritatif dari semuanya.234

232

Al-Faruqi, The Cultural Atlas of Islam, hlm. 115. 233

M. Abdurrahman, “Ilmu Hadis sebagai Sumber Pemikiran”, dalam Ensiklopedi Tematis

Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban, volume 4, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002), hlm. 60.

Daftar nama tokoh dan perannya dalam proses kodifikasi hadis

KARYA ILMIAH TOKOH/PENULIS PERAN/GAGASAN

Sa’îd bin ’Ûbadah al-Anshâri (15 H/ 637), ’Abdullâh bin Abû Aufa, Samurah bin Jundub (60 H/ 680), Jâbir bin

’Abdullâh (78 H/698), Wâhib bin Munabbih (114 H/ 732), ’Abdullâh bin ’Amr,

’Abdullâh bin ’Abbâs (69 H/ 589)

Generasi sahabat yang mencatat beberapa bagian sunnah Nabi

Shahîh al-Bukharî al-Bukhâri (256 H/ 870) Mengumpulkan hadis sahih

Shahîh Muslim Muslim (251 H/ 865) Mengumpulkan hadis sahih

Sunan Abî Dâwud Abû Dâwud (257 H/ 888) Mengumpulkan hadis sahih

Sunan Ibn Mâjah Ibn Mâjah (273 H/ 886) Mengumpulkan hadis sahih

Sunan Nasâ’î al-Nasâ’î (303 H/ 915) Mengumpulkan hadis sahih

Sunan Tirmidzi al-Tirmidzi (279 H/ 892) Mengumpulkan hadis sahih

: al-Nadîm ( ), al-Faruqi ( ), Hâjî Khalîfah

( ).

Dalam bahasan ini tergambar dengan jelas, bahwa setelah al-Qur'an dikodifikasi, berbagai metode kemudian dirancang untuk mempermudah umat Islam dalam mengakses informasi dalam wahyu. Di antara cara yang ditempuh adalah menghadirkan seperangkat kamus penjelas atau penafsir wahyu. Penjelasan maksud yang terkandung dalam wahyu al-Qur'an sudah pernah diberikan Nabi Muhammad s.a.w. semasa hidupnya—pada masa-masa wahyu secara kontinu turun menghampir Nabi. Ketika Nabi telah tiada, berbagai ungkapan penjelas itu ada dan tersimpan dalam ingatan para sahabat. Namun, sahabat-sahabat yang mengingat kumpulan sunnah ini berada saling berjauhan, sehingga keberadaan mereka sulit untuk diakses. Padahal hadis ini sangat penting untuk keperluan memperjelas maksud dan kandungan al-Qur'an. Maka, program kodifikasi hadis pun dilakukan. Tujuan kodifikasi hadis ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menjaga penjelas al- Qur'an ini dari kepunahan. Bisa diduga, seandainya hadis tidak diperlukan untuk memperjelas makna al-Qur'an, sumber utama ajaran Islam, serta umat Islam saat itu juga tidak memiliki minat yang tinggi untuk menggali kandungan Al-Qur'an—tentu

tidak ada kebutuhan untuk melestarikan hadis. Dengan demikian, kodifikasi hadis ini terjadi karena dorongan kebutuhan untuk memahami makna al-Qur'an.