• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURAH YANG BENAR TULISAN SALAH

5. Penulisan Tafsir Al-Qur'an

Upaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an mulai dilakukan bersamaan dengan berjalannya kegiatan dakwah Rasulullah s.a.w. dalam menyampaikan wahyu yang turun. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri adalah orang pertama yang menguraikan

Kitâbullâh itu, dan satu-satunya orang yang berhak serta mampu menafsirkan al-

Qur’an. Tidak ada satu orang (sahabat) pun yang berani menggantikan tugas ini, sampai akhir hayat Nabi. Setiap ada kesulitan dalam memahami al-Qur’an saat itu juga langsung dirujukkan kepada Nabi Muhammad s.a.w., dan ia pun segera memberi penjelasan.183 Karena itu, tidak ada persoalan yang mauqûf (tanpa solusi) dalam memahami isi al-Qur'an—dan juga masalah-masalah lainnya. Kondisi ini berubah ketika Rasulullah meninggal dunia. Di sisi lain, umat Islam yang berminat memahami kandungan al-Qur'an terus bertambah. Tidak jarang, di antara para peminat kajian al- Qur'an ini memiliki pertanyaan dan keraguan dengan maksud dan kandungan ayat- ayat tertentu. Sementara Rasulullah yang selama ini menjawab semua pertanyaan dan kejanggalan makna al-Qur'an telah tiada.184

Mengetahui hal ini, para sahabat yang memahami makna al-Qur'an (baik yang tersurat maupun yang tersirat) dari penjelasan Nabi Muhammad s.a.w. tergerak untuk meneruskan tugas Nabi, mengajarkan makna dan kandungan al-Qur'an kepada umat Islam secara lebih luas. Maka, munculah beberapa nama sahabat yang dikenal piawai dalam menafsirkan al-Qur'an. Menurut al-Suyûthi, dalam al-Itqân, mereka adalah: al-

Khulaf⒠al-Râsyidûn (Abû Bakr, ’Umar, ’Utsmân, dan ’Ali), ’Abdullâh bin Mas’ûd,

Ibn ’Abbâs, ’Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsâbit, Abû Mûsâ al-Asy’arî, dan ’Abdullâh bin Zubair.185

Di antara empat sahabat yang tergabung dalam Khulaf⒠al-Râsyidîn, nama ’Ali bin Abî Thâlibadalah yang paling banyak disebut perawi (ahli riwayat) sebagai ahli

183

Lihat, misalnya, QS. Ibrâhîm/14:4. 184

Al-Zarkasyi dalam Al-Burhân menjelaskan, untuk bisa memahami makna dan kandungan Al- Qur'an seseorang membutuhkan keluasan ilmu dan harus memiliki tingkat ketakwaan yang sungguh- sungguh. Hal ini karena yang akan dikaji adalah samudera ilmu yang maha luas lagi dalam, yaitu Al- Qur'an. Al-Zarkasyi, Al-Burhân,hlm. 419.

tafsir.186 Adapun di antara kesepuluh orang sahabat Nabi di atas, yang paling tepat bergelar ’ahli tafsir al-Qur'an’ adalah Ibn ’Abbâs. Kedalaman ilmu Ibn ’Abbâs disaksikan sendiri oleh Rasulullah, sampai suatu ketika Nabi berdo’a untuk Ibn

’Abbâs: ”Ya Allah, limpahkan ilmu agama yang mendalam untuknya dan ajarkan

ilmu ta’wil kepadanya.”187 Karena ini pula Ibn ’Abbâs terkenal dengan sebutan

’tarjumân al-Qur'ân’, yaitu yang capable dalam menjelaskan makna yang terkandung

dalam ayat al-Qur'an.188 Di luar sepuluh sahabat di atas, masih ada beberapa sahabat yang ’âlim (pandai) dalam menafsirkan al-Qur'an. Mereka adalah Abû Hurairah, Anas bin Mâlik, ’Abdullâh bin ’Umar, Jâbir bin ’Abdullâh, dan umm al-mu’minîn

’Â’isyah. Namun, bila dibandingkan dengan sepuluh sahabat di atas, tafsir yang mereka riwayatkan relatif lebih sedikit.189

Hingga di sini, tradisi menafsirkan al-Qur'an masih menjadi kegiatan kalangan sahabat Nabi. Dengan demikian, mereka yang memiliki kemampuan adalah orang- orang (sahabat) yang mendengar secara langsung dari penjelasan Nabi Muhammad s.a.w. ketika masih hidup. Seiring dengan perkembangan dunia Islam, tradisi penafsiran al-Qur'an para sahabat Nabi ini mendapat sambutan yang baik dari ulama kalangan tâbi’în (generasi kedua kaum muslim) yang tersebar di berbagai daerah Islam. Melalui mufassir (ahli tafsir) kalangan sahabat ini pula, dunia muslim kelak melahirkan mufassir-mufassir yang lebih banyak lagi. Tidak terbatas di Madinah, tetapi juga muncul di Mekah dan Irak.

Menurut catatan Ibn Taimiyah, ”Yang paling banyak mengetahui masalah tafsir al-Qur'an adalah orang-orang Mekah, terutama para sahabat Ibn ’Abbâs, yaitu

186

Lihat Al-Suyûthi, Al-Itqân,juz 2, hlm. 372; Al-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân,juz 2, hlm. 17. 187

Kejadian ini terekam dalam kumpulan hadis shahîh al-Bukhâri dan Muslim, yaitu: ﰲﻪﻬﻘﻓ ﻢﻬﻠﻟﺍ ﻞﻳﻭﺄﺘﻟﺍ ﻪﻤﻠﻋﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ. Baca Al-Zarkasyi, Al-Burhân,hlm. 423.

188 (ﺎﻨﺛﺪﺣ :ﻝﺎﻗ ،ﺭﺎﺸﺑ ﻦﺑ ﺪﻤﳏﺎﻨﺛﺪﺣ :ﻪﺑ ﻪﻤﻠﻋ ﺎﻣﻮﻣﺬﻣ ﻢﻬﻨﻣ ﻥﺎﻛ ﻦﻣﻭ،ﲑﺴﻔﺘﻟﺎﺑ ﻪﻤﻠﻋ ﺍﺩﻮﻤﳏﻦﻳﺮﺴﻔﳌﺍ ﺀﺎﻣﺪﻗ ﻦﻣ ﻥﺎﻛ ﻦﻤﻴﻓﻒﻠﺴﻟﺍﺾﻌﺑ ﻦﻋ ﻝﺎﻗ ،ﻊﻴﻛﻭ : ﻝﺎﻗ ،ﻢﻠﺴﻣ ﻦﻋ ،ﻥﺎﻤﻴﻠﺳ ﻦﻋ ،ﻥﺎﻴﻔﺳ ﺎﻨﺛﺪﺣ : ﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻝﺎﻗ : ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﹸﻥﺎﲨﺮﺗ ﻢﻌﻧ . ﻝﺎﻗ ،ﻲﻄﺳﺍﻮﻟﺍ ﺩﻭﺍﺩ ﻦﺑ ﲕﳛ ﲏﺛﺪﺣ : ﻕﺎﺤﺳﺇ ﺎﻨﺛﺪﺣ ﻦﻋ ،ﻕﺭﺯﻷﺍ ﻝﺎﻗ ،ﺩﻮﻌﺴﻣ ﻦﺑﷲﺍ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ،ﻕﻭﺮﺴﻣ ﻦﻋ ،ﻰﺤﻀﻟﺍﰊﺃ ﻦﻋ ،ﺶﻤﻋﻷﺍ ﻦﻋ ،ﻥﺎﻴﻔﺳ : ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻥﺁﺮﻘﻟﺍ ﹸﻥﺎﲨﺮﺗ ﻢﻌﻧ ). Baca al-Thabari,

Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, tahqiq: Ahmad Muhammad Syâkir, cetakan pertama, (Mu’assasah

al-Risalah, 2000), juz I, hlm. 90. Lihat juga Al-Itqân, hlm. 319 189 Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 290.

Mujahid, ’Atha bin Abî Rayyah, ’Ikrimah maula ibn ’Abbâs, Sa’id bin Jubair, Thawus, dan masih banyak lagi lainnya. Selain itu juga mereka yang berada di Kufah (Irak), yaitu para sahabat ’Abdullâh bin Mas’ûd. Sementara di Madinah muncul mufassir Zaid bin Aslam. Dia menurunkan kepandaiannya kepada sang anak,

’Abdurrahmân bin Zaid, dan muridnya, Mâlik bin Ânas.”190

Inilah babak baru dalam kajian al-Qur'an pada masa awal Islam. Pada masa- masa ini, bisa dikatakan, telah terjadi proses penyebaran tafsir al-Qur'an (oleh sahabat Nabi) pada wilayah dunia muslim yang lebih luas (generasi tâbi’în) Kemampuan menafsirkan al-Qur'an, yang tadinya hanya dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. yang bertempat tinggal di Mekah dan Madinah, berangsur-angsur juga dimiliki generasi muslim (tâbi’în) yang berada di luar dua wilayah Mekah dan Madinah. Inilah masa, dimana pengetahuan Islam sudah mulai menyebar, sampai akhirnya semakin banyak belahan dunia yang mendapat pencerahan dari khazanah intelektual Islam.

Seperti yang telah dilakukan generasi tâbi’în, kalangan tâbi’ al-tâbi’în (generasi ketiga umat Islam) juga mengembangkan tradisi keilmuan yang mereka pelajari dari para seniornya (tâbi’în). Bahkan generasi tâbi’ al-tâbi’în ini memulai kerja besar yang kelak mewarnai dunia intelektual pada masa selanjutnya, yaitu mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur'an yang dikemukakan ulama terdahulu (sahabat dan tâbi’în). Setelah terkumpul, semua pendapat dan penafsiran al-Qur'an itu dituangkan dalam kitab tafsir. Di antara yang melakukan kerja ini adalah Sufyân bin

’Uyainah, Wâqi’ bin al-Jarrah, Syu’bah bin al-Hajjâj, Yazîd bin Hârûn, dan ’Abd bin Hâmid.191 Mereka adalah pembuka jalan bagi Ibn Jarîr al-Thabari, yang metode tafsirnya diikuti hampir semua ahli tafsir pada masa-masa berikutnya.192

190

Mengenai nama-nama sahabat yang banyak mengerti tafsir al-Qur'an, lihat Al-Suyûthi, Al-

Itqân,juz 2, hlm. 372-376. Bandingkan dengan Al-Zarkasyi, Al-Burhân,hlm. 421.

191

Al-Zarkasyi, Al-Burhân,hlm. 422. 192

Al-Suyuthi, Thabaqât al-Mufassir, (Leiden, 1839), hlm. 30-31.Baca Ibn al-’Imâd al-Hanbalî,

Syadzarât al-Dzahab fî Akhbâr min Dzahab, II, (1350 H), hlm. 260-261. Baca juga Khathîb al-

Baghdâdî, Thârîkh Baghdâd, II, (Mesir: al-Khanjî, 1931), hlm. 323. Lihat juga Al-Shâlih , Mabâhits, hlm. 124

Era ini adalah babak kedua dalam perkembangan tradisi penafsiran al-Qur'an. Setelah (babak pertama) penyebaran tafsir kepada masyarakat di luar wilayah Mekah dan Madinah dilakukan oleh generasi sahabat Nabi kepada generasi tâbi’în, kini giliran tâbi’în menyebarkannya kepada generasi tâbi’ al-tâbi’în. Tetapi, yang terpenting dalam perkembangan pada babak kedua ini adalah terjadinya satu gebrakan yang dilakukan tâbi’ al-tâbi’în. Gebrakan itu berupa kodifikasi tafsir al- Qur'an. Di sini, bisa diamati, telah terjadi perkembangan tradisi penafsiran al-Qur'an dan tingginya dedikasi umat Islam untuk menggali kandungan al-Qur'an. Berawal dari motifasi untuk mengetahui pesan-pesan yang terangkum dalam wahyu, berbagai upaya dilakukan oleh generasi terbaik Islam, di antaranya, secara terus-menerus mengembangkan dan menyebarkan tradisi penafsiran al-Qur'an.

Pada masa-masa berikutnya, tradisi penafsiran mengalami perkembangan lebih progresif (progressive). Para ulama ahli tafsir mulai mempunyai arah sendiri-sendiri dalam menafsirkan al-Qur'an. Ini menunjukkan, bahwa metode penafsiran al-Qur'an semakin beragam, dan dengan demikian, kemungkinan untuk mendekati kebenaran makna al-Qur'an semakin terbuka lebar.

Gelombang pertama perkembangan tradisi penafsiran al-Qur'anditandai dengan munculnya trend tafsir ’bi al-ma’tsûr’, yaitu tafsir—kelanjutan dari tafsir-tafsir pada masa sebelumnya—yang disandarkan kepada para sahabat Nabi, tâbi’în, dan tâbi’ al-

tâbi’în.193

Di antara tafsir yang masuk kategori ’bi al-ma’tsûr’ adalah karya Ibn Jarîr al- Thabarî (224-310 H), Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân. Tafsir ini disebut- sebut sebagai karya tafsir ’bi al-ma’tsûr’ terbaik.194 Kelebihan tafsir ini, antara lain, dalam mengemukakan penafsiran para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan tabi’în al- Thabâî selalu menguatkan dengan isnad (sumber periwayatan), dan membandingkan satu riwayat dengan riwayat yang lain untuk memperoleh penafsiran yang paling kuat

193

Tafsir ’bi al-ma’tsûr’ disebut juga tafsir ’bi al-riwâyah’, yaitu menafsirkan ayat Al-Qur'an

dengan Al-Qur'an, sunnah Nabi, atau keterangan sahabat. Muh ammad ’Ali Al-Shabûni, Al-Tibyân fî

Ulûm al-Qur'ân, (Baerut: ’Âlim al-Kutub, cetakan pertama, 1985), hlm. 67.

dan tepat. Ibn Jarîr al-Thabari juga melengkapi tafsirnya dengan kesimpulan mengenai hukum dan keterangan mengenai bentuk râb (kedudukan kata dalam rangkaian kalimat) untuk menambah kejelasan makna.195 Namun, karena Ibn Jarîr al- Thabari bersandar pada pengetahuan orang lain dalam hal isnad, maka kadang- kadang tanpa disengaja ia mengesampingkan satu bagian dan mengemukakan sebagian lainnya yang tidak benar tanpa memberi keterangan.196

Tafsir ’bi al-ma’tsûr’ lain, yang kualitasnya mendekati karya al-Thabari—atau bahkan dalam beberapa hal lebih baik, adalah tafsir karya Ibn Katsîr (700-774 H).197 Menurut Sub i al-Shâlih, di antara keistimewaan karya ini adalah kecermatan Ibn Katsîr dalam mengemukakan isnad. Selain itu, Ibn Katsîr juga mampu menyampaikan gagasan dan pemikiran dengan susunan kalimat yang sederhana namun jelas dan dalam.198 Metode Ibn Katsîr ini kemudian diikuti oleh al-Suyûthî (m. 911 H) dalam menulis karya tafsirnya, al-Dûrr al-Mantsûr fî al-Tafsîr bi al-Mantsûr. Sesuai dengan judul yang dipilih, al-Suyûthi bersandar pada riwayat hadis-hadis yang shahih. Karena ini pula, tafsirnya lebih dekat kepada pemikiran Islam ketimbang uraian-uraian yang berdasarkan pendapat.199

Di sini, kecenderungan tafsir adalah menyampaikan penjelasan makna al-Qur'an sebagaimana yang pernah dikatakan Nabi semasa masih hidup. Dalam kondisi seperti ini, makna al-Qur'an seakan sudah dipaket, tidak bisa memberi interpretasi seenaknya karena dengan begitu akan menyalahi apa yang sudah diajarkan Rasul.

Gelombang kedua perkembangan tradisi penafsiran al-Qur'an ditandai dengan lahirnya trend tafsir ’bi al-ra’ atau tafsir ’bi al-dirâyah’. Tafsir ’bi al-ra’ adalah tafsir al-Qur'an yang didasarkan pendapat atau logika.200 Adapun di antara tafsir yang

195

Baca Al-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân an Ta’wîl Ây al-Qur’ân, tahqîq: ’Abdullâh bin ’Abdul

Muhsin al-Turkî, (Kairo: Markaz al-Buh ûts wa al-Dirâsât al-’Arabiyah wa al-Islâmiyah, 2001). 196

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 289. 197

Imâduddîn Abû al-Fid⒠Ismâ’il bin ‘Amr al-Quraisy al-Damsyiqi. 198

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 290. 199

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 291. 200’

Abdul Majîd ’Abdussalâm al-Muhtasib, Ittijâhat al-Tafsîr fî al-’Ashr al-Râhin, (Beirut: Dâr

masuk kategori ’bi al-ra’ adalah Mafâtîh al-Ghaib karya al-Râzi (m. 606 H).201 Dalam menulis tafsirnya, al-Râzi (864-925) memakai cara para filsuf ketuhanan (teologi) dalam mengemukakan dalil-dalil yang didasarkan pada ilmu kalam dan semantik (logika). Al-Râzi (864-925) menaruh perhatian khusus kepada pembahasan fenomena alam semesta, dan membagi ayat-ayat yang berbicara (atau berhubungan) dengan fenomena alam ke dalam sejumlah masalah, kemudian melanjutkan uraian penafsirannya dengan membela madzhab ahlus sunnah wal jama’ah.202

Tafsir Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta’wîl karya Baidhâwi juga dalam kategori

’bi al-ra’. Dalam menulis tafsirnya, Baidhâwi menyajikan dalil berdasarkan pokok-

pokok pemikiran madzhab ahlus sunnah wal jama’ah. Baidhâwi juga sangat memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (Arab). Yang juga perlu dikatakan di sini, Baidhâwi tidak secara konsisten meriwayatkan hadis-hadis pada akhir tiap surah untuk menjelaskan poin-poin terpenting dari surah yang dibahas. Sebagian besar hadis-hadis yang diriwayatkannya bukan hadis yang shahih, dan dia banyak mencantumkan hâsyiyah (catatan penjelas di pinggir halaman), terutama yang dibuat oleh Syihâb al-Khufaji, penulis catatan pinggir yang dikenal baik oleh kaum muslimin.203

Tafsir Irsyâd al-’Aql al-Salîm ilâ mâ mazâya al-Qur’ân al-Karîm karya Abû al- Su’ûd204 (m. 982 H) juga dikategorikan sebagai tafsir ’bi al-ra’. Perhatian utama Abû al-Su’ûd dalam tafsirnya adalah jâz al-Qur'ân. Seperti langkah yang ditempuh al-Râzi (864-925) dan Baidhâwi, Abû al-Su’ûd juga mengemukakan dalil-dalil berdasarkan akidah ahlus sunnah wal jama’ah. Tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq

al-Ta’wîl karya al-Nasafi (m. 710 H)205 juga masuk kategori ’bi al-ra’. Tafsir al-

Nasafi merupakan koleksi beragam qirâ’ât dan i’râb. Dalam kitab ini al-Nasafi banyak menunjukkan keindahan balaghah al-Qur'an dengan uraian yang singkat dan

201

Fakhruddin Muh ammad bin ‘Umar al-Râzi. 202

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 293. 203

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 294. 204

Muhammad bin Muhammad bin Musthafâ bin A hmad al-Thah âwi. 205 Abû al-Barakah ‘Abdullâh bin Ahmad bin Mahmûd al-Nasafi.

padat. Dan, yang jelas, seperti al-Râzi (864-925), Baidhâwi, dan Abû al-Su’ûd, al- Nasafi juga menitik-beratkan pembelaan terhadap pandangan ahlus sunnah wal jama’ah.206

Ada juga tafsir Lubâb al-Ta’wîl fî Ma’âni al-Tanzîl karya Khazîn (m. 741 H).207 Dalam tafsirnya, Khazîn mencurahkan perhatiannya kepada riwayat hadis tanpa menyebut isnad-isnadnya.Tafsir Khazîn banyak disukai kaum awam, karena di dalamnya terdapat berbagai kisah isrâ’îliyyât, yaitu cerita atau dongeng yang bersumber dari kaum Yahudi.208

Seiring dengan luasnya wilayah dunia Islam dan globalnya persoalan umat manusia, maka para mufsir pun mengembangkan metode dan pencarian makna al- Qur'an. Dalam pandangan penulis, kecenderungan tafsir bi al-ra’y ini tidak lepas dari dinamikan cara berfikir generasi muslim saat itu, terutama ketika mendapat sentuhan metode berfikir rasional yang muncul melalui karya-karya filsuf.

Gelombang ketiga—dari perkembangan tafsir—ditandai dengan munculnya tafsir aliran. Yang dimaksud dengan tafsir aliran adalah beragam tafsir yang lahir di kalangan sekte-sekte Islam, yang pada hakekanya bersumber dari tafsir ’bi al-ra’, namun, di sini ditulis dengan tujuan untuk menguatkan dan membenarkan ambisi, ideologi dan tindakan kelompok tertentu.209

Di antara tafsir aliran adalah karya-karya tafsir yang ditulis para ulama mu’tazilah. Yang dominan dalam tafsir kaum mu’tazilah adalah akal (rasio) dan madzhab para ahli ilmu kalam (mutakallimûn), sesuai dengan kaidah berfikir mereka yang terkenal: ”Yang baik adalah yang dipandang baik oleh akal, dan yang buruk

adalah yang dipandang buruk oleh akal.”210 Adapun hadis-hadis Nabi, dalam tafsir

kaum mu’tazilah, hanya diposisikan di urutan kedua, dan jarang sekali digunakan sebagai dalil dalam menguraikan makna ayat-ayat al-Qur'an. Salah satu tokoh yang

206

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 295. 207‘

Ala’uddîn ‘Ali bin Muhammad bin Ibrâhîm al-Baghdâdî. 208

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 293. 209

Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 294. 210

Al-Zamakhsyarî, Al-Kasysyâf ’an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl, juz I, (Kairo: 1354 H),

dikenal rasional dalam menafsirkan al-Qur'an adalah Muhammad bin ’Umar al- Zamakhsyari (m. 538 H), atau yang populer dengan julukan Jârullâh. Dia menulis kitab tafsir al-Kasysyâf. Kitab ini cukup istimewa, karena menyuguhkan sisi balaghah dari al-Qur'an. Cara penyajiannya singkat, jelas, dan tidak bertele-tele—yang dengan demikian ia memperkuat bukti i’jaz al-Qur'an. Selain itu, Zamakhsyari tidak memasukkan kisah-kisah isrâ’îliyyât yang banyak ditemui dalam kitab-kitab tafsir ’bi

al-ma’tsûr’.211

Selain tafsir kaum mu’tazilah, al-Shâlih juga mengelompokkan tafsir kaum sufi ke dalam tafsir aliran. Kitab-kitab tafsir yang berdasarkan faham sufisme pada umumnya dikuasai oleh ungkapan mistik yang semakin menjauhkan dari makna al- Qur'an.212 Ungkapan-ungkapan mistik itulah yang membuat kata-kata mereka tidak dapat dimengerti, kecuali oleh orang-orang yang menekuni masalah kerohanian, yang mempelajari cara-cara kaum sufi dan yang melatih diri untuk menghayati ajaran tasawuf. Kitab tafsir beraliran sufisme yang paling terkenal adalah karya Muhyiddîn ibn ’Arabi (m. 638 H).213

Selain tafsir beraliran sufisme, ada juga tafsir isyâri, yang hampir sama dengan tafsir beraliran sufisme. Tafsir isyari adalah tafsir al-Qur'an yang berdasarkan isyarat- isyarat tertentu. Tafsir isyari juga bisa berarti menta’wil ayat-ayat al-Qur'an dengan makna yang melampaui makna yang semestinya (zhahîr). Konon, hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan hal ini, yaitu orang yang memiliki ilmu dengan tingkatan tertentu, orang yang telah melakukan ritual tertentu sehingga mendapat petunjuk secara khusus dari Allah, orang yang sudah dibuka (futûh) oleh Allah terhadap makna al-Qur'an, orang yang memiliki kepekaan tertinggi terhadap makna- makna al-Qur'an yang tersirat, orang yang telah mendapat ilham, dan seterusnya.214 211 Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 293. 212 Al-Shâlih, Mabâhits,hlm. 294. 213

Ibn ’Arabî, Tafsîr al-Syaikh al-Akbar, jilid I, (1865), hlm. 152. 214

Menurut Al-Shabûni, kemampuan menafsirkan Al-Qur'an dengan menangkap isyarat-isyarat tertentu tidak bisa dipelajari. Ia adalah kemampuan khusus (semacam ilmu laduni), yang merupakan efek dari sikap takwa, istiqâmah, dan kesalehan pribadi, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur'an (QS.

Salah satu contoh dari tafsir isyari adalah Rûh al-Ma’âni karya al-Alûsi (m. 1270 H). Dalam tafsir ini, setelah dikemukakan makna al-Qur'an menurut lahiriahnya, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan adanya makna-makna tersembunyi (tersirat) dalam ayat al-Qur'an—yang hanya bisa ditangkap (dipahami) ketika seseorang bisa membaca simbol-simbol tertentu.215

Ada juga tafsir faham kebatinan (tafâsîr al-Bâthiniyyah). Menurut Sub i al- Shâlih, tafsir faham kebatinan adalah tafsir al-Qur'an yang diambil dari makna batin al-Qur'an. Tafsir paham ini sangat meremehkan makna lahir al-Qur'an. Dibanding tafsir kaum sufi dan tafsir isyari, tafsir kaum kebatinan lebih menyimpang lagi dari makna yang dimaksud al-Qur'an, meskipun, semuanya sama-sama menyalahi makna al-Qur'an yang semestinya. Melalui inspirasi dan imajinasi, para penafsir aliran ini mencari-cari makna al-Qur'an yang tidak pernah diturunkan Allah kepada siapa pun.216

Kalau sebelumnya (trend tafsir bi al-ra’y) diwarnai semangat berfikir para filsuf, maka kali ini yang dominan adalah semangat ideologi dari beberapa kelompok keagamaan, misalnya, mu’tazilah, syi’ah dan lain sebagainya.

Gelombang keempat, pembacaan ulang karya tafsir terdahulu, yaitu satu masa dimana tidak ada karya tafsir yang lebih baru. Yang ada adalah mengkaji ulang karya-karya tafsir yang telah ada sebelumnya berdasarkan kebutuhan. Misalnya, ketika ingin mengkaji permasalahan balaghah, maka akan merujuk pada tafsir Zamakhsyari. Untuk mengkaji permasalahan teologi, maka akan merujuk pada tafsir al-Râzi (864-925), atau tentang kedudukan kata-kata dalam ayat al-Qur'an (râb al-

Qur'ân) maka harus kembali membuka al-Bahr al-Muhîth karya Abû Hayyân al-

Al-Baqarah/2:282): ﻢﻴِﻠﻋ ٍﺀﻲﺷ ﱢﻞﹸﻜِﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻢﹸﻜﻤﱢﻠﻌﻳﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸﻘﺗﺍﻭ (artinya, ”Dan bertakwalah kepada Allah; Allah

mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”). Misalnya, ketika seorang mufassir

mengetahui makna lain—yang tidak tersurat. Makna khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu. Baca Al-Shabûni, Al-Tibyân fî Ulûm al-Qur'ân,hlm. 172.

215

Al-Âlûsi, Rûh al-Ma’âni fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm wa al-Sab’ al-Matsânî, juz 1, (Kairo:

Al-Munîriyyah), hlm. 282.

Andalusi (m. 745 H)—satu kitab yang banyak menjelaskan permasalahan nahwu (paramasastra Arab) dan sistem qirâ’ât.217

Masa ini bisa dikatakan masa-masa fakum. Yang terjadi hanya menggunakan referensi lama sebuah karya tafsir. Sampai akhirnya, lahir generasi muslim yang gelisah dengan kemandegan dunia Islam. Lahirlah gelombang kelima, yaitu munculnya trend tafsir al-Qur'an abad kedua puluh.Era ini ditandai dengan banyaknya kitab tafsir yang ditulis para ulama, intelektual dan cendekiawan kontemporer. Ciri yang paling menonjol dari tafsir-tafsir ini adalah adanya usaha ke arah pembaruan. Tafsir-tafsir itu, misalnya, al-Jawâhîr fî Tafsîr al-Qur’ân karya Thanthawi Jauhari, al-Manâr karya Rasyid Ridha, Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Sayid Quthub.218

Tafsir al-Manâr pada dasarnya merupakam hasil karya tiga tokoh Islam, yaitu Jamâluddîn al-Afghâni, Muhammad ’Abduh dan Muhammad Rasyîd Ridhâ.219 Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Setelah ’Abduh meninggal