• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

A. Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Penal Policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.Selanjutnya, dinyatakan pula : “Between the study of criminological factor on the one hand, and the legal technique on the other, there is room for a science which observes legislative phenomenon and for a rational art within which scholar and practitioners, criminologist and lawyers can come together, not as antagonists or in fratricidal strife, but as fellow-workers engaged in a common task, which is first and foremost to bring into effect a realistic, humane, and healthily progressive penal policy”.49

Bertitik tolak dari pandangan di atas, pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana Indonesia bukanlah semata-mata pekerjaan yang bersifat tehnis perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis

49 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems (London, Routledge & Kegan Paul, 1965), Hlm. 4-5 dalam Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002), Hlm.21-22 Ibid.

normatif dan sistematik-dogmatik, akan tetapi juga memerlukan pendekatan yuridis factual, yang dapat berupa pendekatan secara sosiologis, historis dan komparatif serta pendekatan komperhensif dari berbagai disiplin sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.

Berbagai bentuk reaksi atau respons sosial dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan, antara lain dengan menggunakan hukum pidana.

Dengan demikian menurut Muladi, penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Tujuan akhir dari politik criminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) harus dilihat sebagai The network of courts and tribunals which deal with criminal law and his enforcement. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai Phsycal System dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan.50

Selanjutnya menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana harus dilihat sebagai open system, sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya.51Sebagai contoh,

50 Gordon B. Davis, Management Information System Conceptual Fundation Structure and Development, (Mc. Graw Hill, Tokyo, Sydney, 1974), Hlm. 81-86 dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Universitas Diponegoro, Semarang, 1995), Hlm.15

51 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Universitas Diponegoro, Semarang, 1995), Hlm.15

Muladi mengemukakan keberhasilan sistem peradilan baik di negeri Belanda maupun di Jepang dalam rangka masukan crime rate52 disebabkan karena partisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yang sudah melembaga. Dari kacamata pendekatan sistem ini akan selalu tampak kaitan, bahkan interface53 antara politik perundang-undangan dengan administrasi peradilan pidana beserta filosofi yang mendasarinya. Berbicara masalah penegakan hukum sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran tentang efektifitas hukum.

Menurut Soerjono Soekanto,54 bahwa masalah efektifitas hukum berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup dalam masyarakat, dalam artian berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Berlaku secara filosofis, berarti bahwa hukum itu berlaku sebagaimana yang dikehendaki atau dicita-citakan oleh adanya hukum tersebut. Berlaku secara yuridis, berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan, dan berlaku secara sosiologis berarti hukum itu dipatuhi oleh warga masyarakat tersebut. Pandangan Soekanto tersebut memang menjadi tepat dan baik jika saja, secara filosofis, substansi hukumnya mencerminkan kehendak rakyat dan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat (volonte generale) dan bukan merupakan pencerminan kehendak penguasa yang membuat hukum/yang absolute dan korup.55 Penegakan hukum

52 crime rate adalah pemberian ranking terhadap suatu tindak pidana. Crime rate menunjukkan tingkat keseringan suatu tindak pidana terjadi di masyarakat.

53 Interface dalam harfiah bahasa Indonesia mengandung arti tatap muka. Dalam hal ini, interface antara politik perundang-undangan dan administrasi peradilan pidana harus memiliki kesesuaian yang mendasari pelaksanaan peradilan pidana dalam kehidupan hukum suatu negara.

54 Soerjono Soekanto dalam Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (UMM Press, Malang, 2004), Hlm. 8

55 Ibid

bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian “law enforcement” begitu populer.56

Pandangan yang berbeda mengenai efektifitas hukum adalah pandangan dari Selo Soemarjan. Menurutnya, efektifitas hukum berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut :57

a. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu pembinaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode agar warga-warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum.

b. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku.

Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang atau mungkin mematuhi hukum untuk menjamin kepentingan mereka.

c. Jangka waktu menanamkan hukum, yaitu panjang pendeknya jangka waktu di mana usaha-usaha menanamkan hukum itu dilakukan dan diharapkan memberikan hasil.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) pada dasarnya terbentuk sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk - bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai suatu kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara.58

56 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, (Rajawali Pers, Jakarta, 2002), Hlm. 5

57 Selo Soemarjan dalam Sidik Soenaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (UMM Press, Malang), 2004, hal 9

58 Ibid. Hlm. 10

Upaya memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat melalui Sistem Peradilan Pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instansional Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Yang semuanya bertolak dari acuan yang sama, yaitu perangkat kebijakan kriminal (criminal policy).59 Termasuk di dalamnya adalah hukum pidana, hukum acara pidana, dan undang-undang yang mengatur kekuasaan masing-masing subsistem peradilan pidana (UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Kehakiman, UU Lembaga Pemasyarakatan).

Hukum Acara Pidana di Indonesia diatur dalam Kitab Undang undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan dalam Lembar Negara (LN) No. 76/1981 dan penjelasan dalam Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia (TLNRI) No. 3209. Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Nasional tersebut, maka bangsa Indonesia telah selangkah lebih maju dalam usaha mengadakan pembaharuan hukum, yaitu dari hukum kolonial menjadi hukum nasional. Undang-undang yang lebih dikenal dengan KUHAP ini menjelaskan suatu perombakan total dari Hukum Acara Pidana Kolonial yaitu HIR (Herzienne Indische Reglement). KUHAP memuat perubahan yang sangat mendasar dalam aturan secara pidana dan secara konseptual obyektivitas/keterbukaan, keprofesionalan aparat penegak hukum dalam melindungi hak asasi manusia. Hukum Acara Pidana dibentuk sebagai

59 Ibid. Hlm. 11

pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum. Dalam Konsiderans KUHAP, memuat tentang alasan-alasan dibentuknya KUHAP, antara lain :60

a. Agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya;

b. Untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing;

c. Tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia;

d. Ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan amanat UUD 1945.

Untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum sebagaimana disebutkan di atas, dibutuhkan suatu organisasi yang cukup kompleks. Tanpa adanya organisasi tersebut hukum tidak bisa dijalankan dalam masyarakat.

Organisasi tersebut adalah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan serta badan perundang-undangan. Melalui organisasi serta proses-proses yang berlangsung di dalamnya, masyarakat memperoleh perwujudan dari tujuan-tujuan hukum. Keadilan misalnya, kini tidak lagi diberikan kepada anggota masyarakat dalam bentuk konsep yang abstrak, melainkan benar-benar pensahan sesuatu. Kepastian hukum menjadi terwujud melalui keputusan-keputusan Hakim. Ketertiban dan keamananan menjadi sesuatu yang nyata melalui tindakan-tindakan Polisi yang diorganisir oleh Kepolisian.

Dalam kerangka demikian, secara internal dan eksternal sistem peradilan harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior).

Pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat fragmentaris,

60 Hanafi, “Proses Peradilan Pidana dan Penegakan Hak Asasi Manusia”, Jurnal Keadilan, Vol.2, (Center of Law and Justice Studies, Jakarta, 2002), Hlm. 29

selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.61

Proses Peradilan Pidana yang merupakan proses bekerjanya organisasi-organisasi terutama Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, menggunakan konsep penyelenggaraan dan pengelolaan peradilan menurut sistem yang dikenal dengan system approach, yaitu penanganan secara sistemik terhadap administrasi peradilan.

Pembagian tugas dan wewenang diantara masing-masing organisasi merupakan prinsip diferensial fungsional. Hal ini dimaksudkan untuk secara tegas menghindari adanya tumpang tindih dikarenakan telah adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas.62Artinya, berdasarkan prinsip diferensial fungsional ini ditegaskan pembagian tugas dan wewenang antara aparat penegak hukum secara instansional, dimana KUHAP meletakan suatu asas “penjernihan” dan modifikasi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Penjernihan diferensiasi fungsi dan wewenang terutama diarahkan antara Kepolisian dan Kejaksaan seperti yang diatur dalam Pasal 1 butir 1 dan 4 jo Pasal 1 butir 6 huruf a jo Pasal 13 KUHAP.

Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa :

61 Muladi, Hak Asasi Manusia dan Sistem Peradilan Pidana, (Undip, Semarang, 1997), Hlm. 35.

62 Loebby Loqman, Hukum Acara Pidana Indonesia (Suatu Ikhtiar), (Datacom, Jakarta, 1996), Hlm. 69.

a. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP) b. Penyelidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi

wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

(Pasal 1 butir 4 KUHAP) ;

c. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP)

d. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim (Pasal 13 KUHAP).

Sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas Kepolisian adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Secara rinci, tugas Polisi di bidang represif menurut Gerson W Bawengan adalah menghimpun bukti-bukti sehubungan dengan pengusutan perkara, melakukan penahanan untuk kemudian diserahkan kepada Kejaksaan selaku Penuntut Umum untuk diteruskan ke Pengadilan.63 Sedangkan menurut Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16 Tahun 2004

63 Gerson W. Bawengan, Masalah Kejahatan dan Akibatnya, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1977), hal 124.

Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan mempunyai wewenang dan tugas untuk melakukan penuntutan. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan prapenuntutan, yaitu serangkaian tindakan Jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.64

Dalam penegakan Hukum Polri merupakan bagian dari Criminal Justisy System (CJS), dirasakan masih belum mampu melaksanakan tugas Propesional dan Proposional sesuai tuntutan masyarakat madani di era reformasi saat ini. Dalam penegakan Hukum khususnya Hukum Pidana, Polri masih dibelenggu ajaran Teori Positivisme, yang terikat prosedural Formalistik.65 Penegakan hukum yang bersifat formalistik saat ini sudah saatnya ditinggalkan karena publik (masyarakat) sudah menggugatnya dan dirasakan tidak adil. Sudah saat ini Polri selaku penyidik dalam penegakan hukum Pidana mencari format penegakan hukum sesuai era saat ini.66

Kepolisian Negara Ripublik Indonesia (Polri) mempunyai peran penting dalam pembaharuan hukum pidana, Polisi selaku penyidik adalah

64 Lihat Penjelasan Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

65 Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, www.pemantauperadilan.com, diakses pada tanggal 16 Nopember 2013 pukul 21.00 WIB.

66 Ibid.

wujud Kongkrik keberadaan Hukum. Disadari bahwa hukum itu bersifat abstrak baru menunjukan eksistensinya manakala polisi mulai bergerak mulai menangani masyarakat yang jadi korban atau menjadi pelaku atas tindak pidana yang terjadi. Peran sentral Polisi dalam pembaharuan hukum pidana dimungkinkan dapat mendorong terwujudnya hukum yang progresif, karena institusi Polri (Polisi) mempunyai jaringan struktur Sosial dari tingkat pusat (Mabes Polri) sampai dengan ditingkat pedesaan (Pos Polisi atau Babinkamtibmas).67

Sedangkan unsur Penegak lainnya tidak memiliki, kondisi Struktur sosial yang dimiliki polri ini merupakan aset dan modal dalam upaya menciptakan penegakan hukum dan pencegahan kejahatan yang bersifat progresif. Karena dalam pelaksanaan tugasnya Polri berada dan harus ditengah tengah masyarakat sosok polri merupakan ibarat pepatah sosok atau pigur sebagai orang yang dibenci tapi dirindukan keberadaannya dilingkungan masyarakat dalam setiap aktivitas kegiatan yang dilakukan Polri tidak boleh bersifat Progresif dan renponsif semata, namun dituntut dapat berperan ganda kapan sosok polisi bertindak sebagai penegak hukum yang terikat aturan normatif, legalitik dan dogmatik, dan kapan sosok polri harus bisa bersifat humanis bahwa disadari keberadaan masyarakat merupakan Patnership yang sangat diperlukan dalam tugas pembinaan dan

67 Bachtiar 1994; 1, lihat Suparlan, 2000 dalam Laporan Hasil Seminar dalam Rangka Sewindu Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia. Aksi Kekerasan Polisi dalam Penyidikan Tak Dapat Dibenarkan http://www.hukumonline. com/detail. asp?id=17335&cl=Berita, diakses pada tanggal 14 November 2013, pukul 19.00 WIB.

pemeliharaan kamtibmas maupun dalam upaya mengungkap kejahatan atau tindak pidana (awal proses penegakan hukum).68

Sosok Polisi yang diidamkan masyarakat saat ini yang mulai pudar kepercayaan terhadap hukum diperlukan konsep dan pemikiran bagaimana melakukan penegakan hukum dilaksanakan secara Progresif dengan mengadopsi tuntutan publik yang dilakukan secara humanis guna meningkatkan citra penegakan hukum di Indonesia dewasa ini. Dalam rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konplik (kejahatan) terjadi. Masyarakat Indonesia yang heterogen, horizontal, (suku, agama, ras) maupun vertikal (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi) pada hakekatnya dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidak adilan dan diskriminasi dalam menangani masyarakat.69

Adapun visi Polri berdasarkan Grand Strategy Polri adalah sebagai berikut :70

a. Polri menjadi orang yang berdedikasi penuh pada rakyat berlandaskan demokrasi.

b. Proaktif dalam mewujudkan masyarakat yang menjujnjung tinggi hokum dan rasa keadilan, serta hak-hak azasi manusia.

c. Polisi yang professional dan akuntabel dalam pelayana pencegahan kejahatan, gakum, dan penciptaan rasa aman dan bebas rasa taku yang meluas di masyarakat serta dicintai secara nasional dan diakui secara internasional.

68 Hibnu Nugroho, Paradigma Penegakan Hukum Indonesia Dalam Era Global, Jurnal Hukum Pro Justitie, Volume 26 No. 4 Bulan Oktober 2008.

69 Muhari Agus Santoso, Paradigma baru hukum Pidana, (Averroes Press, Malang, 2002), Hal 12.

70 Grand Strategi Polri Tahun 2005 – 2025. Lihat dalam http://ferli1982.wordpress.com/

2013/01/14/grand-strategi-polri-2005-2025/

d. Mewujdkan lembaga kepolisian RI yang mandiri, terbuka, bermoral serta memiliki kredibilitas dan kompetensi yang unggul dalam setiap perubahan lingkungannya

Polri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dalam negeri dan penjaga ketertiban masyarakat serta melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat dituntut untuk selalu ada dan dibutuhkan oleh masyarakat serta dituntut mampu menciptakan rasa aman di masyarakat adalah tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Dimasa orde reformasi seperti sekarang ini, Polri dituntut untuk mampu mengikuti perkembangan jaman dan merubah paradigmanya dari gaya militer ke gaya sipil yang lebih mengedepankan tindakan preventif dari pada represif seperti mengedepankan tugas melindungi, pengayomi, dan melayani masyarakat daripada penegakkan hukum.71

Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya.

71 Indrianto Seno Adji, Humanisme dan pembaharauan Penegakan hukum, (Kompas, Jakarta, 2009), Hlm. 67.

Upaya yang dilakukan pembuat undang-undang dalam mengantisipasi dan menanggulangi kejahatan yang cenderung meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas adalah menyusun peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan pada institusi lain, di luar Polri, untuk terlibat dalam proses penyidikan. Harapannya, proses penyidikan dapat diperiksa dan diselesaikan secara cepat, tepat dan bermuara pada terungkapnya suatu peristiwa tindak pidana. Adapun institusi sipil yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan suatu kasus pidana adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Munculnya PPNS sebagai institusi di luar Polri untuk membantu tugas-tugas kepolisian dalam melakukan penyidikan dengan tegas diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang No.

2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari kedua undang-undang tersebut tampak jelas bahwa eksistensi PPNS dalam proses penyidikan ada pada tataran membantu, sehingga tidak dapat disangkal lagi kendali atas proses penyidikan tetap ada pada aparat kepolisian, mengingat kedudukan institusi Polri sebagai kordinator pengawas (Korwas), sehingga menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu Polri.72

Upaya mendudukan PPNS sebagai lembaga mandiri dalam melakukan penyidikan suatu tindak pidana tampaknya bukan lagi sekedar

72 Biro Hukum DEPDAGRI, Pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dalam Rangka Penegakan Peraturan Daerah, Makalah Diskusi Panel tentang Prospek PPNS Sebagai Pejabat Fungsional Dalam Rangka Peningkatan Profesionalisme PPNS, Jakarta, 10 Agustus 2006.

wacana namun sudah mengarah pada upaya pelembagaan, akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat Polri. Bahkan dalam beberapa kasus, kondisi ini berakhir dengan munculnya permasalahan hukum, seperti terjadinya gugatan praperadilan terhadap institusi Polri karena dianggap aparat Polri melampaui kewenangannya dalam melakukan penyidikan.73