• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dan Hak Perempuan di Sektor Publik

KAJIAN PUSTAKA

2.3 Peran dan Hak Perempuan di Sektor Publik

Dilihat dari ketenagakerjaan, jumlah penduduk yang merupakan angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara sebesar 5. 402. 178 orang, di mana sejumlah 5. 262. 622 orang diantaranya bekerja, sedangkan 139. 556 orang merupakan pencari kerja. Dari hasil SP 2010, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Provinsi Sumatera Utara sebesar 62,64 persen, di mana TPAK laki-laki lebih tinggi daripada TPAK perempuan, yaitu masing-masing sebesar 79,51 persen dan 46,33 persen. Sementara itu, bila dibandingkan menurut perbedaan wilayah, TPAK di perkotaan lebih rendah daripada perdesaan, masing-masing sebesar 55,98 persen dan 69,62 persen. Tiga kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dengan TPAK tertinggi berturut-turut adalah Kabupaten Humbang Hasundutan (88,73), Kabupaten Samosir (88,23), dan Kabupaten Dairi (86,35). Dengan

jumlah pencari kerja sejumlah 139. 556 orang, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di provinsi ini mencapai 2,58 persen.

Pemberdayaan kaum perempuan yang menjadi cita-cita Kartini saat ini telah dapat dinikmati oleh sebagian besar perempuan. Sebagian dari kita tidak saja telah dapat menemukan pekerjaan sesuai passion, tetapi juga telah memperoleh kebebasan finansial. Dari total populasi 112 juta jumlah pekerja di Indonesia (data Badan Pusat Statistik tahun 2012), saat ini ada 43 juta pekerja perempuan yang membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Itu artinya, jumlah pekerja perempuan hampir sama besarnya dengan pekerja laki-laki. Adapun yang lebih penting, pada saat yang sama perempuan juga menemukan kebebasan untuk tetap menjalankan perannya sebagai ibu. Hal ini dimungkinkan berkat semakin banyaknya peluang untuk bekerja secara freelance. Tren bekerja secara freelance ini menjadi peluang baru bagi jutaan perempuan yang ingin membutuhkan penghasilan tambahan, maupun yang ingin bekerja dengan cara yang lebih fleksibel. Karena bagaimana pun, kita datang dari latar belakang yang berbeda-beda sehingga tidak semua dari kita bisa bekerja di luar rumah penuh waktu. (kompas.com)

Menurut Dra. Lina Sudarwati, M. Si (dalam Jurnal Unpublished Perempuan dan Struktur Sosial, 2003) Keberadaan dan keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja ditinjau dari perspektif Karl Marx erat kaitannya dengan perkembangan sistem kapitalis. Memperhatikan faktor di atas terlihat bahwa keterlibatan wanita dalam pasar tenaga kerja merupakan pengaruh dari:

1. Faktor ekstern yang merupakan faktor penarik untuk bekerja yakni adanya kesempatan kerja yang ditawarkan oleh kapitalis.

2. Faktor intern, yang merupakan faktor pendorong untuk bekerja yakni desakan/kesulitan ekonomi keluarga.

Faktor kesempatan kerja dan faktor untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi inilah yang pada hakekatnya menghantarkan kaum wanita untuk bekerja di sektor publik.

2.2.1 Wanita dan Pekerjaan

Wanita dan pekerjaan yang dapat dipertukarkan merupakan nilai tukar tenaga kerja wanita belum dihitung secara efektif, wanita juga tidak mendapat ganti kerugian atas kehilangan upah dan keuntungan, kesempatan-kesemptana pengembangan karir, dan akses untuk waktu yang senggang. Kegunaan tenaga kerja ini telah direndahkan oleh budaya patriarkis dan kolonisasi yang menanamkan pekerjaan semacam itu sebagai pekerjaan wanita. Namun, pekerjaan yang direndahkan itu telah menghasilkan pelayanan-pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat yakni pendidikan, perawatan kesehatan, dukungan spiritual dan emosional, serta tanggungan perawatan bayi kaum tua atau anak-anak yang menjadi tanda-tanda bagi defenisi kami sendiri sebagai suatu “peradaban”.

Wanita dan pekerjaan yang bermanfaat merupakan kehidupan sehari-hari wanita berada dalam konteks beban ganda. Beban untuk memberikan pengasuhan yang tidak dibayarkan dalam pelayanan-pelayanan dalam pekerjaan rumah tangga, serta beban untuk memberikan kelangsungan hidup perekonomian melalui kerja upahan, memberikan norma kepada wanita. Tidak ada pemisahan yang rasional dari keduanya, dua hal itu merupakan aktifitas yang tak terpisahkan bagi wanita, kecuali dibawah kapitalisme, kolonisasi dan patriarki. (Jane C. Ollenburger dan Helen A. Moore, 1996)

2.2.2 Sistem Masyarakat Patriarki

Sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Ayah memiliki otoritas terhadap perempuan yaitu ibu, anak-anak dan harta benda. Secara tersirat sistem ini melembagakan pemerintahan dan hak istimewa laki-laki dan menuntut subordinasi perempuan. Kebanyakan sistem patriarki juga adal sosial, terutama dalam antropologi dan studi referensi feministas. Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di mana laki-laki memiliki keunggulan dalam satu atau lebih aspek, seperti penentuan garis keturunan (keturunan patrilineal eksklusif dan membawa nama belakang), hak-hak anak sulung, otonomi pribadi dalam hubungan sosial, partisipasi dalam status publik dan politik atau agama atau atribusi dari berbagai pekerjaan pria dan wanita ditentukan oleh pembagian kerja secara seksual.

Keuntungan Patriarkhi bagi Perempuan adalah rasa kenyamanan yang didapatkan misalnya dalam masyarakat banyak perempuan menggunakan sistem patriarki sebagai pelindung diri dan harus dilindungi laki-laki agar tidak terancam keamanannya. Sedangkan kerugian Patriarki buat Perempuan juga tidak kalah banyaknya, dalam keluarga khususnya penganut Patrilineal akan mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam penerus marga misalnya, kemudian pembagian harta warisan, kepemilikan atas perempuan, belum lagi kasus kriminal seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dilapangan pekerjaan publik dan lain sebagainya yang menjadi budaya dan sistem Patriarki pada masyarakat Indonesia. Ketimpangan kelas

berdasarkan jenis kelamin ini sepertinya kurang dipersoalkan di Indonesia karena sistem masyarakatnya yang bersifat patriarkal membenarkan hal ini berlangsung. Bahkan hal ini dianggap wajar karena pembagian peran kedua jenis kelamin ini memang dipersiapkan sesuai dengan nilai-nilai kodratnya masing-masing yatiu laiki-laki dan perempuan.

Menurut MC Donough dan Horrison (1978) dalam Saptari dan Holzner 1997,menyatakan bahwa dilain pihak ada juga yang membedakan dua aspek dari patriarkhi, yaitu sebagai kontrol terhadap reproduksi biologis dan seksualitas terutama dalam perkawinan monogami, dan patriarkhi sebagai kontrol terhadap kerja melalui pembagian kerja seksual dan sistem pewarisan.

2.2.3 Status dan Peranan Perempuan

Parson menyatakan pandangannya bahwa setiap masyarakat hanya bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya apabila keteraturan sosial (sosial order) bisa dipertahankan. Melalui konsep A.G.I.L (Adaptation, Goal Attainment, Integration, and Latent Maintenance), ada empat fungsi agar masyarakat atau dalam lingkup lebih kecil sekelompok individu dalam hal ini karyawan perempuan dapat bertahan,bertahan di sini berarti berkaitan dengan tempat,suasana dan sistem kerja.

Pertama adalah fungsi Adaptasi, artinya karyawan perempuan harus menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan alam agar dapat bertahan dalam suasana kerja dan menjalankan subsistem ekonomi. Fungsi yang kedua adalah mencapai tujuan, setiap pekerjaan yang dilakukan selalu didasari oleh motif sesuatu, misalnya ekonomi (upah) dan pendidikan (jenjang karir) menjalankan subsistem politik. Ketiga, fungsi Integrasi, dimana setiap unsur dalam masyarakat terutama karyawan perempuan harus

terjalin dan tidak berlawanan sesuai dengan nilai dan norma yang terbentuk dalam perkebunan tempat bekerja dan menjalankan subsistem hukum dan agama. Sedangkan fungsi yang terakhir yaitu mempertahankan pola, artinya bentuk hubungan sosial yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut harus dipertahankan (melalui aturan dan nilai) dalam hal ini aturan,nilai dan norma yang terdapat pada struktur organisasi kerja dan birokrasi perkebunan kelapa sawit PT. Perkebunan Nusantara IV (Persero) Unit Usaha Tinjowan.

Kemudian sudah saatnya bagi keluarga yang berwawasan maju untuk mengubah manajemen keluarga yang tradisional menjadi manajemen berdasarkan kebersamaan. Dapat dikatakan bahwa perkembangan status dan peranan wanita bersifat universal, dengan catatan bahwa perpindahan dari periode Wanita Pasif ke periode Wanita Aktif dan tidak bersamaan waktunya. Kesempatan kerja bagi kaum wanita yang umumnya hanya terbatas pada pekerjaan berupah rendah serta keterbatasan waktu yang bisa dicurahkan untuk bekerja diluar sektor domestik menempatkan mereka pada posisi yang rendah dalam struktur ketenagakerjaan. Sementara lelaki memperoleh posisi yang lebih baik, karena bisa mencurahkan waktunya secara penuh untuk bekerja di sektor publik, sebab mereka tidak terbebani oleh tugas-tugas di sektor domestik. Dengan demikian mereka dapat berproduksi dan memperoleh upah lebih besar dari wanita.

Akhirnya baik di sektor domestik maupun di sektor publik wanita tetap didominasi oleh kaum lelaki, karena pada kenyataan struktur ketenagakerjaan juga menempatkan lelaki pada posisi ekonomis yang lebih kuat dari kaum wanita, sehingga dalam pemenuhan kebutuhan materialnya wanita masih tergantung pada kaum lelaki.

(dalam Jurnal Unpublished Wanita dan Struktur Sosial, Dra. Lina Sudarwati. M. Si. 2003)

Hal ini bekrkaitan dengan ketimpangan jumlah perempuan dalam menduduki posisi jabatan struktural belum menjadi perhatian khusus bagi pimpinan instansi sehingga mereka tidak menganggap perlu adanya pelatihan khusus dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pegawai perempuan. Peran ganda perempuan menjadi salah satu penyebab mereka kurang bisa membangun jaringan dengan pihak lain, padahal kemampuan membangun jaringan merupakan unsur terpenting di samping persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh pegawai perempuan untuk bisa menjadi seorang pemimpin atau menduduki jabatanstrategis dalam suatu instansi. Dan menghasilkan beberapa rekomendasi kebijakan lainnya untuk meningkatkan eksistensi perempuan dalam birokrasi tersebut.