• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran dalam Menebak Makna Kata dengan Tepat dari Kata yang Tidak/ Belum Pernah Dikenal/Diketahui (Recognition)

Pada dasarnya peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui adalah sebuah perpaduan antara pengalaman dengan kemampuan mental (otak). Hal tersebut menunjukkan adanya perpaduan dari penggunakan kemampuan otaknya dengan pengalaman untuk menebak makna kata. Konstruksi peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui dimulai dari konstruksi menyimpan kata (save), meretrif kata (recall), menggunakan sesuai konteks (comprehension), dan menggunakan berbagai variasi kata (use). Oleh karena itu, konstruksi peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui merupakan konstruksi paling akhir dari konstruksi peran penyimpanan dan retrival kata terhadap pengajaran kosakata di sekolah.

Secara umum kumpulan dari berbagai konstruksi peran itulah yang mengerucut pada konstruksi peran yang disebut dengan recognition. Kata recognition dapat dipahami dengan beberapa arti di antaranya yaitu: nomina a) pengakuan, b) pengenalan, dan c) penghargaan (Wojowasito dan Wasito, 1980: 171). Secara sederhana recognition dapat diartikan sebagai sebuah peran di mana seseorang dapat memahami makna suatu kata jika mereka menjumpainya dalam

suatu konteks pada saat melakukan kegiatan berbahasa terutama saat menyimak dan membaca.

Pada dasarnya di dalam hal ini, peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui hanya mengacu pada pelaksanaan pengajaran kosakata melalui petunjuk konteks. Secara umum konteks pada peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui tersebut masih dibagi menjadi dua aspek yaitu aspek konteks internal dan aspek konteks eksternal di mana keduanya terangkum ke dalam teknik pengjaran kosakata melalui petunjuk konsteks. Masing-masing aspek akan dijelaskan sebagai berikut.

Menurut Moeliono (Ed.) (2001: 805), konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, sedangkan arti lainnya dari konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Menurut Tarigan (2011: 36-49) secara umum petunjuk konteks di dalam pengajaran kosakata dibedakan menjadi dua, yakni petunjuk konteks eksternal dan internal. Masing-masing petunjuk konteks akan dijelasakan lebih mendalam sebagai berikut.

a) Petunjuk Konteks Eksternal

Pada dasarnya batasan sebuah kata atau istilah memang sangat penting untuk memperjelas sebuah komunikasi. Tujuan utama sebuah komunikasi adalah pesan yang dikirim oleh pembicara/penulis dapat diterima dengan baik oleh pendengar/pembaca. Sebuah makna dinilai dapat diterima dengan baik dalam hal

ini jika pendengar/pembaca dapat dengan mudah, jelas, dan pasti dalam memaknai pesan yang disampaiakan oleh pembicara/penulis tersebut.

Edgar Dale, Yoseph O’Rourke, dan Henry A. Bamman dalam (Tarigan, 2011: 36) membuat pembagian/klasifikasi batasan sebuah kata secara lebih terperinci sebagai berikut.

(1) Batasan Formal.

(2) Batasan dengan Contoh. (3) Batasan dengan Pemerian.

(4) Batasan dengan Komparasi dan Kontras. (5) Batasan dengan Sinonim dan Antonim. (6) Batasan dengan Aposisi.

(7) Batasan dengan Asal Usul Kata.

Masing-masing batasan tersebut akan dijelasakan lebih mendalam sebagai berikut.

(1) Batasan Formal

Pada dasarnya batasan formal mengacu pada makna kata yang diungkapkan dalam suatu pernyataan yang langsung (Tarigan, 2011: 38).

Contoh:

 Frase adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak mempunyai ciri-ciri klausa (Tarigan, 2011: 38).

 Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir, dan terdiri dari satu klausa (Tarigan, 2011: 38).

 Menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang- lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta

interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta memahami komunikasi yang telah disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan, 2011: 38).

Fungsi utama dari batasan dengan contoh adalah secara lebih lanjut dapat memperjelas batasan formal yang sudah diungkapkan. Ciri utama di dalam batasan dengan contoh adalah ditambahkannya contoh dengan tujuan untuk memperjelas pengertian suatu kata atau istilah (Tarigan, 2011: 38).

Contoh:

Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan dan keahlian (keterampilan, kejujuran) tertentu (Moeliono (Ed.), 2001: 1216).

Contoh:  Guru.  Dokter.  Pengacara.

Menurut Tarigan (2011: 40) terkadang petunjuk konteks bukan hanya tertuju pada satu kata saja, tetapi bagi sekelompok kata atau suatu gagasan, misalnya:

Orang seringkali salah menempatkan sifat-sifat manusia kepada binatang. Contoh:

 Burung hantu tidak bijaksana.  Kerbau tidak jujur.

 Kancil tidak cerdik. (3) Batasan dengan Pemerian

Secara umum batasan dengan pemberian pada dasarnya mengacu pada pembatasan sebuah kata dengan cara memberikan kualitas-kualitas atau ciri-

ciri fisik objek, yaitu kondisi yang dikandung/dimiliki oleh kata tersebut. Secara umum, pemerian akan dapat memberi jawaban atas pertanyaan- pertanyaan apa, siapa, apabila, bilamana, di mana, ke mana, mengapa, kenapa (Tarigan, 2011: 40).

 Banyumas adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah, letaknya berada di wilayah Jawa Tengah Bagian Barat.

 Kerbau adalah binatang berkaki empat yang biasa dipergunakan

menarik kereta dan membajak di sawah atau di ladang (Tarigan, 2011: 40)

Di sisi lain, secara umum kesalahan pokok pada metode petunjuk konteks deskriptif seperti contoh tersebut pada dasarnya tidak dapat membedakan dengan tegas sebuah kata dengan kata yang lainnya di dalam kelas yang sama.

(4) Batasan dengan Komparasi dan Kontras

Secara umum, batasan dengan komparasi dan kontras ini bertujuan untuk memberikan kebebasan bagi pembicara atau penulis dalam mengungkapkan makna kata dan bertindak kreatif. Cara yang dilakukan adalah dengan memperluas komparasi-komparasi sederhana menjadi lebih rumit dengan memanfaatkan aneka majas (Tarigan, 2011: 40).

Contoh:

 Petunjuk komparasi yang bergerak atau bergeser dari persamaan yang sederhana menuju personifikasi:

“wajahnya seperti bulan purnama”  “bulan purnama yang selalu mengusik dan melambai hati sanubariku” (Tarigan, 2011: 41).

Secara umum, metode ini merupakan sebuah sarana yang sangat bermanfaat dalam pengajaran kosakata. Pembatasan dengan komparasi dan kontras tidak memberikan suatu makna yang tegas pada kata yang sedang dibatasi.

Contoh lainnya:

Katak bukan ikan

Pada hakekatnya petunjuk tersebut memperingatkan kita untuk tidak mengklasifikasikan katak dengan gabus, lele, mas. Secara umum petunjuk tersebut belum menjelaskan apa sebenarnya katak itu dan bagaimana bentuknya, walaupun, di dalam suatu paragraf yang membatasi katak, petunjuk ini dapat menolong

pembaca untuk mengingat dan memasukkan katak ke dalam golongan amfibi daripada ke dalam kelompok ikan (Tarigan, 2011: 41).

Jeruk bukan sayur-sayuran

Pada dasarnya petunjuk tersebut tidaklah menjelaskan kepada pembaca apa itu jeruk namun, batasan dengan komparasi dan kontras tersebut telah dianggap cukup memberikan informasi kepada pembaca berupa suatu gambaran yang salah dalam asumsi-asumsinya, sehingga pembaca harus mempermasalahkan pernyataan yang didengar atau dibacanya tersebut. Berdasarkan hal itulah maka keefektifan petunjuk kontras bergantung kepada pengalaman pembaca (Tarigan, 2011: 41). (5) Batasan dengan Sinonim dan Antonim

(a) Batasan dengan Sinonim

Kata sinonim terdiri dari akar kata “sin” yang berarti “sama atau serupa” dan akar kata “onim” yang berarti “nama”. Mengacu pada dua akar kata tersebut, maka sinonim bermakna sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkan makna umum. Secara sederhana, sinonim juga dimaknai sebagai kata-kata yang mengandung arti pusat yang sama, tetapi berbeda dalam nilai kata (berdasarkan makna denotasi sama, tetapi secara konotasi berbeda). Di dalam konteks batasan dengan sinonim dan antonim ini, pada dasarnya juga berfungsi sebagai sebuah sarana terbaik untuk membatasi kata, bahkan dinilai merupakan cara yang tersingkat (Tarigan, 2011: 41-42).

Contoh:

 Mati dapat saja dibatasi dengan “meninggal dunia, berpulang kerahmatullah, wafat, mampus”.

konotasi tersendiri. Di sisi lain, sinonim harus lebih dekat kepada pemakaian umum daripada kata yang asli tersebut. Kelemahan lain dari batasan dengan sinonim pada dasarnya adalah penggunaanya belum bisa mengklasifikasikan makna setiap kata yang dipaparkannya.

Contoh lainnya:

 Cantik adalah menarik hati.

 Tabah berarti tahan menghadapi tantangan. (b) Batasan dengan Antonim

Secara sederhana antonim dapat diklasifikasikan sebagai lawan atau hampir berlawanan dalam maknanya. Pada dasarnya, batasan dengan antonim dapat menolong siswa dalam mempelajari “konsep lawan kata”, yang secara langsung bisa membantu mereka untuk memperluas konsep negativisme dalam bahasa. Konsep yang pertama ditemui pada batasan antonim terutama dalam penggunaan konjungsi adalah penggunaan kata konjungsi yang bersifat negativisme seperti tetapi dan akan tetapi, dll. Pada dasarnya mengklasifikasikan antonim jelas membantu para siswa untuk berpikir ke dalam istilah-istilah yang membedakan konsep-konsep atau pernyataan-pernyataan yang sifatnya pertentangan (Tarigan, 2011: 75).

Secara umum selain batasan sinonim, batasan antonim juga dapat memperkaya dan memperluas kosakata serta keterampilan membaca dengan cara memperhatikan lawan kata. Seperti halnya pada batasan dengan sinonim yang memunculkan kondisi berupa tidak ada dua sinonim yang maknanya benar-benar sama, maka kondisi tersebut juga ada pada batasan dengan antonim di mana sedikit sekali antonim yang benar-benar merupakan lawan dari kata-kata yang dimaksud (Tarigan, 2011: 75).

Menelaah antonim merupakan suatu bagian dari analisis kata. Sebagai contoh, para guru dapat menyajikan pasangan-pasangan kata untuk menjelaskan serta mengilustrasikan bagaimana caranya antonim berkembang dari penambahan awalan dan akhiran tertentu pada akar kata atau kata dasar. Pada saat mempelajari suatu kata baru, para siswa hendaknya juga langsung mempelajari lawan kata tersebut. Contohnya di dalam KBM, guru harus menghadirkan kata pria bersamaan dengan wanita, ayah dengan ibu, paman dengan bibi, suami dengan istri agar pemahaman kata baru pada siswa menjadi seimbang (Tarigan, 2011: 75-76). Contoh:

 Atas >< Bawah  Besar >< Kecil  Panas >< Dingin  Siang >< Malam

 Kiri >< Kanan (Tarigan, 2011: 75).

Seacara lebih rinci, batasan dengan antonim dapat dibagi menaji dua jenis yaitu: (i) Antonim yang terbentuk dari prefiks.

Contoh:

 Progresif >< Regresif  Pretes >< Postes  Prolog >< Epilog

 Moral >< Amoral (Tarigan, 2011: 76).

(ii) Antonim yang terbentuk dari sufiks, yang secara khusus menyatakan perbedaan atau pertentangan jenis kelamin.

Contoh:  Wartawan >< Wartawati  Sastrawan >< Sastrawati  Peragawan >< Peragawati  Pemuda >< Pemudi  Putra >< Putri  Siswa >< Siswi  Muda >< Mudi  Syarif >< Syarifah

 Suparno >< Suparni

 Yanto >< Yanti (Tarigan, 2011: 76). (6) Batasan dengan Aposisi

Secara umum petunjuk apositif merupakan suatu kata atau frase parentetis yang digunakan untuk menjelaskan atau membatasi. Suatu nomina yang ditempatkan sesudah nomina atau pronomina, yang bertindak sebagai penjelas disebut opositif atau appositive (dari bahasa latin ad + positus “menaruh, menempatkan”). Pada dasarnya penggunaan apositif bertujuan untuk mempertegas makna kata di dalam kalimat (Tarigan, 2011: 42):

Contoh:

 John adalah anak saya yang ketiga. Dia kini kuliah di Universitas Padjadjaran. Dia sudah tingkat tiga di Fakultas Sosial Politik.

Jika menggunakan frase-frase aposisional dapat diubah menjadi kalimat yang mempertegas makna.

 John, anak saya yang ketiga, kini kuliah di Universitas Padjadjaran, dan sudah tingkat tiga di Fakultas Sosial Politik.

Petunjuk konteks apositif juga dapat berupa kata atau sekelompok kata yang menolong para pembaca untuk membedakan antara makna-makna kata yang masih asing atau belum biasa.

Contoh:

Puteri malu, tumbuhan berduri, tumbuh di padang.

Puteri malu, tumbuhan yang merugikan para petani, harus ditebas sedini mungkin.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa konstruksi-konstruksi apositif menyediakan sarana-sarana pembatas atau penjelas kata-kata yang mudah dikenal dalam konteks atau hubungan kalimat tanpa memecah-mecah keutuhan isi bacaan

(Tarigan, 2011: 43).

(7) Batasan dengan Asal-Usul

Penjelasan mengenai sejarah atau asal usul suatu kata dapat memperjelas dan memastikan maknanya dengan menyediakan suatu latar tempat kata itu dipasang serta diingat. Mempelajari asal-usul kata dapat menolong di dalam kegiatan menempatkan kata tersebut ke dalam suatu kategori tertentu seperti olahraga, politik, ekonomi, sastra (Tarigan, 2011: 43-44).

Contoh:  Mercurius,  Gemini,  Atlas,  Saturnus,  Apolo.

Secara umum, pengetahuan mengenai asal-usul kata dapat membantu guru dan siswa untuk memahami bukan saja makna denotasinya, tetapi juga makna konotasinya dengan tepat. Kata Mercuri, Gemini, Atlas, Saturnus, dan Apolo dikenal sebagai nama-nama kendaraan luar angkasa, tetapi secara asal-usulnya kata-kata tersbut adalah nama-nama tokoh dalam mitologi Yunani kuno (Dale dalam Tarigan, 2011: 44).

b) Petunjuk Konteks Internal

Penelitian yang dilakukan oleh Edgar Dale dalam (Tarigan, 2011: 49) menunjukkan bahwa “banyak siswa dari kelas IV sampai kelas XII belum belajar mempergunakan petunjuk-petunjuk intern untuk membantu mereka menduga makna kata”. Secara umum, metode petunujuk konteks intern tidak dipergunakan

karena para siswa tidak diajarkan sejak dini dan secara reguler bahwa prefiks, akar kata, infiks, dan sufiks mengandung makna.

Di dalam hal ini melalui suatu pendekatan yang bersistem dan digunakan pada telaah akar kata dan afiksasi dalam berbagai tingkatan kelas, maka para siswa dapat mempelajari sejumlah bagian kata utama dengan lebih efektif dan efisien. Pada dasarnya manfaat utama dari petunjuk konteks internal adalah siswa dapat dengan mudah menerima sebuah kebiasaan (cara yang umum) dalam menganalisis kata-kata dengan cara memecahnya menjadi bagian-bagian yang mengandung makna (Tarigan, 2011: 49).

Contoh:

Siswa diberikan kesempatan untuk menemukan bahwa prefiks a-, tuna-, itu berarti “tidak; tanpa” maka siswa akan segera memperoleh gagasan negasi atau pengingkaran jika mereka melihat atau membaca kata-kata:

 Asusila.  Amoral.  Tuna-susila.  Tuna-wisma.

 Tuna-karya (Tarigan, 2011: 49).

Secara umum mempelajari bagian-bagian kata utama dari kata-kata yang telah diketahui seperti oto- yang berarti “sendiri”, di dalam kata otomobil menjadi berarti “bergerak sendiri” merupakan suatu cara yang efektif untuk mengalihkan pengetahuan kepada kata-kata lain yang mengandung makna “sendiri”, seperti:

 Otograf.  Otomatis.  Otodidak.

Selain itu, bagian-bagian kata utama dari kata-kata yang telah diketahui seperti tele- yang berarti “jauh” dalam kata-kata:

 Televisi.  Telegram.  Telefon.

 Telepati (Tarigan, 2011: 50).

Di sisi lain terdapat juga bagain-bagian kata utama dari kata-kata yang telah diketahui seperti wan-, wati-, pada akhir kata yang berarti “orang yang mempunyai profesi” (masing-masing bagi jenis kelamin pria dan wanita) seperti:

 Budayawan.  Budayawati.  Karyawan.

 Karyawati (Tarigan, 2011: 50).

Pada dasarnya agar para siswa dapat memanfaatkan petunjuk konteks intern ini secara efektif diperlukan latihan terbimbing yang memadai baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peranan guru dalam kegiatan tersebut sangat penting, dengan kata lain latihan-latihan tersebut dapat menolong para siswa untuk mengklasifikasikan serta membantunya mengonseptualisasikan kata tertentu. Hal yang akan dicapai adalah para siswa dapat mengategorikan sebelum mendeskripsikan kata-kata tertentu (Tarigan, 2011: 50).

Berdasarkan pembahasan tentang konstruksi peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui tersebut, maka dapat dipahami bahwa konstruksi peran ini pada dasarnya hanya mengacu pada kemampuan seseorang untuk mampu menebak makna kata dari berbagai bentuk kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui. Kemampuan merupakan wujud dari puncak keterampilan yang disusun berdasarkan konstruksi-konstruksi peran sebelumnya. Teknik pengajaran kosakata tersebut pada hakekatnya

merupakan bagian dari implementasi serta aplikasi teori tentang konstruksi peran penyimpanan dan retrival kata di dalam pengajaran kosakata di sekolah.

b. Kosakata

Chaer (2007: 6) mengatakan bahwa kosakata adalah semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa, kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis, kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan kosakata menurut Kridalaksana (1993: 122-127) diartikan sama dengan leksikon. Leksikon adalah:

1) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.

2) Kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa.

3) Daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan singkat dan praktis.

Menurut KBBI (Depdiknas, 2001: 597) kosakata diartikan sebagai perbendaharaan kata. Lehr dalam (Aziez, 2010: 1) memberikan pengertian pada kosakata sebagai ikhwal kata dan makna. Kemudian Richards dalam (Aziez, 2010: 1) mengungkapkan bahwa kosakata secara linguistis merujuk pada seperangkat leksem, termasuk di dalamnya kata tunggal, kata majemuk, dan idiom yang dimiliki oleh sebuah bahasa oleh karena itu, konsep kata pada dasarnya ada di dalam kosakata itu sendiri. Richards dalam (Aziez, 2010: 3) menekankan bahwa kata itu mempunyai ciri utama berupa batas yakni spasi di antara kata dalam bahasa tulis dan jeda di dalam bahasa lisan. Berdasarkan uraian tersebutlah maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kosakata bukan hanya mengacu pada satu kata saja, tetapi mengacu pada kumpulan berbagai komponen kosakata baik kata tungal, kata majemuk, hingga idiom.

disimpulkan bahwa kosakata adalah semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa dan diwujudkan di dalam sebuah perbendaharaan kata atau kekayaan kata yang dimiliki oleh seorang pembicara atau penulis. Apabila mengacu pada konsep tersebut maka secara umum kosakata dapat dinilai bukan hanya mengacu pada satu kata saja, tetapi juga mengacu pada kumpulan berbagai komponen kosakata itu sendiri baik kata tungal, kata majemuk, bahkan hingga idiom.

c. Pemerolehan Kosakata

Secara umum kualitas keterampilan berbahasa seseorang sangat dipengaruhi pada kualitas dan kuantitas kosakata yang dimilikinya (Tarigan, 2011: 2). Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dipahami bahwa semakin kaya kosakata yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin terampil pula dalam berbahasa. Pada dasarnya perkembangan kosakata merupakan perkembangan konseptual. Di dalam konteks ini sebagai suatu program yang sistematis maka dalam perkembangannya, kosakata akan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendapatan, kemampuan, bawaan, dan status sosial serta faktor-faktor geografis lainnya. Pengategorian pemerolehan kosakata secara umum dapat dibedakan menjadi dua metode yakni pemerolehan kosakata insidental dan pengajaran atau pembelajaran kosakata sistematis (Aziez, 2010: 38-58).

Pertama, pemerolehan kosakata insidental pada dasarnya mengacu pada pembelajaran kosakata secara tidak disengaja atau pemerolehan kosakata secara alamiah tanpa perencanaan atau prosedur tertentu. Hal ini umumnya terjadi pada saat seseorang beraktifitas seperti membaca atau mendengarkan.

kosakata secara langsung di kelas. Pengajaran atau pembelajaran kosakata dilakukan secara sistematis yakni direncanakan, disengaja, dan melibatkan pihak kedua dengan tujuan utamanya untuk mememorisasikan bentuk dan makna kosakata yang dipelajari. Hal inilah yang membuat bentuk pengajaran kosakata yang ada bersifat sangat sistematis yakni semakin tinggi tingkatan pendidikannya maka akan semakin tinggi atau sulit kosakata yang diajarkan. Berdasarkan metode pemerolehan kosakata tersebut, maka dapat dipahami bahwa metode sistematis adalah metode yang digunakan secara aktif dan masif di dalam pengajaran kosakata di sekolah sedangkan metode insidental lebih banyak dilakukan secara alamiah dan individual oleh siswa.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dipahami bahwa secara umum pemerolehan kosakata dapat disimpulkan sebagai rangkaian dari kualitas keterampilan berbahasa seseorang yang sangat dipengaruhi pada kualitas dan kuantitas kosakata yang dimilikinya. Jika mengacu pada pendapat tersebut maka dapat dipahami bahwa semakin kaya kosakata yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin terampil pula dalam berbahasa. Di dalam konsep tersebut maka wujud pemerolehan kosakata itu dapat terjadi dengan dua cara yaitu: (1) pemerolehan kosakata insidental pada dasarnya mengacu pada pembelajaran kosakata secara tidak disengaja atau alamiah dan (2) pemerolehan kosakata sistematis mengacu pada pembelajaran kosakata secara langsung di kelas.

d. Menguasai Kosakata

Penguasaan kosakata saat ini memainkan peran yang sangat penting dalam keterampilan berbahasa dan sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Pertanyaan besar yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan menguasai kosakata? Hal inilah

yang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, selain adanya pertanyaan bagaimanakah kosakata itu dikuasai? (Azies, 2010: 23).

Pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan “mengetahui” kosakata ini juga sudah coba dijawab oleh para linguis, di antaranya adalah Richards. Di dalam salah satu makalahnya, Richards membicarakan dua penguasaan linguistis seseorang yaitu penguasaan gramatika dan penguasaan kosakata. Richards menyatakan bahwa bila penambahan penguasaan gramatika akan relatif stabil setelah menginjak dewasa, penambahan penguasaan kosakata bisa terus bertambah. Richards dalam (Azies, 2010: 24) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menguasai kosakata adalah:

1) Mengetahui kemungkinan-kemungkinan menjumpai kata itu dalam ucapan maupun tulisan. Secara umum untuk kata tertentu kita juga tahu kata seperti apa yang biasanya muncul bersama-sama.

2) Mengetahui suatu kata berarti mengetahui batas-batas penggunaan kata tersebut sesuai ragam fungsi dan situasinya.

3) Mengetahui suatu kata berarti mengetahui perilaku sintaksis yang berhubungan dengan kata itu.

4) Mengetahui suatu kata memerlukan pengetahuan tentang bentuk yang mendasari kata itu dan derivasi yang dapat dibuat darinya.

5) Mengetahui suatu kata mencakup pengetahuan tentang jaringan hubungan antar kata itu dengan kata lain dalam bahasa yang bersangkutan.

6) Mengetahui suatu kata berarti mengetahui nilai makna dari kata itu. 7) Mengetahui suatu kata berarti mengetahui makna-makna yang berbeda

yang berhubungan dengan kata itu.

Secara umum, Richards memberi gambaran bahwa yang dimaksud mengetahui sebuah kata itu tidak cukup hanya dengan mengetahui nilai maknanya