• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kategori kata pertindihan kelas pada dasarnya dinilai belum dapat dianggap menyelesaikan kalau belum memecahkan persoalan yang umumnya bersifat ambigu pada kategori kata yang dimaksud. Contoh: Sapi saya mati kemarin. Mati1

sebagai intransitif, mati2 sebagai nomina, dan mati3 sebagai verba intransitif (atributif) (Kridalaksana, 1994: 21).

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kelas kata pada prinsipnya bertujuan untuk mengklasifikasikan kata. Secara umum kelas kata atau kategori kata merupakan bagian dari sintaksis sehingga ciri-ciri tiap kata harus dijelaskan dari sudut pandang sintaksis. Kelas kata di dalam Bahasa Indonesia dibagi menjadi 14 jenis kata, di antaranya yaitu: verba, ajektiva, nomina, pronomina, numeralia, adverbia, interogativa, demonstrativa, artikula, preposisi, konjungsi, kategori fatis, interjeksi, dan pertindihan kelas

f. Bahasa dan Pikiran

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada dasarnya bahasa itu digunakan untuk mengungkapkan pikiran. Seseorang yang sedang memikirkan sesuatu kemudian ingin menyampaikan hasil pemikirannya itu, ia akan mengunakan alat dalam hal ini bahasa. Langacker dalam (Mansur, 1982: 36-137) mengatakan bahwa “berfikir adalah aktifitas mental manusia”. Aktivitas mental ini akan berlangsung apabila ada stimulus artinya ada sesuatu yang menyebabkan manusia untuk berfikir. Di dalam konteks ini Langacker mengatakan bahwa pikiran dikondisi oleh kategorik linguistik dan pengalaman yang dikodekan dalam wujud

konsep kata yang telah tersedia.

Seorang sarjana terkenal yang melihat hubungan bahasa dengan pikiran yakni Benjamin Whorf yang bersama-sama dengan Edward Sapir mengemukakan hipotesis yang terkenal dengan nama Hipotesis Whorf-Sapir (Sapir Whorf Hypouthesis) menyatakan bahwa pandangan dunia suatu masyarakat ditentukan oleh struktur bahasanya (Mansur, 1982: 36-137). Ada pun tesis Whorf mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran mencakup dua hal yaitu:

1) Masyarakat linguistik yang berbeda, merasakan, dan memahami kenyataan dengan cara-cara yang berbeda.

2) Bahasa yang dipakai dalam suatu masyarakat membantu untuk membentuk struktur kognitif para individu pemakai bahasa tersebut.

Bahasa dapat memperluas pikiran, maka di dalam hal seperti ini seseorang harus banyak bergaul dan banyak membaca yang menyebabkan pandangan dan pikirannya bertambah luas. Pergaulan seseorang dengan para ilmuwan, kegiatan seseorang yang banyak membaca pasti akan memperluaskan wawasan dan pikiran tentang banyak hal. Ketika seseorang mendengar pidato atau ceramah tentu banyak istilah atau konsep yang ia dengar. Konsep dan istilah-istilah itu menambah perbendaharaan bahasanya sekaligus memperluas pikirannya. Demikian pula dengan kegiatan membaca, apa yang belum diketahui akan diketahui, bahkan apa yang telah diketahui akan lebih mendalam dan meluas. Maka dapat disebutkan bahwa pikiran bertambah luas karena aktivitas yang berhubungan dengan bahasa, sehingga dapat disimpulkan dengan menguasai banyak bahasa pikiran akan bertambah luas.

Prancis berpendapat bahwa justru pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada. Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa, bukan sebaliknya (Chaer, 2009: 54). Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang anak mempelajari segala sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya kemudian baru melalui bahasa. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi itu menyatakan jika seorang anak dapat menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda dengan cara yang berlainan sebelum mereka dapat menggolong-golongkan benda tersebut dengan mengunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut, maka perkembangan kognisi telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa. Hal ini dapat dipahami dari pendapat Piaget sebagai berikut.

Peaget memandang bahasa sebagai suatu sarana luar (outside agent) dalam perkembangan pikiran sang anak. Bahasa melayani sang anak dengan cara menerjemahkan lambang-lambang pribadi, struktur, atau kemasyarakatan. Penggunaan ujaran dan bahasa anak-anak pada dasarnya tidak mempengaruhi perkembangan struktur-struktur lambang pribadi. Kedua hal ini terjadi secara berdikari. Apabila sang anak tiba pada tahap pemahaman kata atau bahasa, maka dia harus mengasimilasikan kemudian mengakomodasikan tanda-tanda bahasa menjadi struktur-struktur lambangnya; tetapi jika dia menemui maknanya sendiri, maka penstrukturan lambang itu harus datang pertama sekali dan tidak disamarkan atau dibingungkan oleh struktur-struktur bahasa orang dewasa. Tentu saja simbolisasi yang diikuti verbalisasi itu seringkali terjadi secara simultan, tetapi Piaget seolah-olah memandangnya sebagai operasi-operasi terpisah satu sama lain. Akan tetapi, andaikata sang guru mulai dengan struktur-struktur bahasa anak-anak yang spontan, maka bahasa orang dewasa yang mempengaruhi penstrukturan lambang itu seolah-olah membingungkan pikiran sang anak atau mengizinkannya menerima suatu pernyataan gagasan yang diungkapkan dengan kata-kata tanpa mengetahui apa maknanya (Tarigan, 2011: 14).

Secara umum kajian tentang hubungan bahasa dan pikiran dikaitkan dengan tiga nama besar seperti Boas yang dikenal sebagai Bapak anthropology Amerika, Sapir dan Whorf yang terkenal dengan teorinya bahwa cara berfikir seseorang

sangat ditentukan oleh struktur bahasa ibunya (native language). Teori ini kemudian dikenal sebagai Sapir Whorf Hipothesis (Hipotesis Sapir Whorf). Di sisi lain ada juga yang menyebutkannya sebagai Teori Relativitas Bahasa. Menurut Boas, Sapir dan Whorf manusia merupakan korban struktur bahasa ibunya (prisoners of the structure native language) (Rahardjo, 2002: 44). Sebagai sebuah teori wajar hipotesis Sapir dan Whorf juga mendapatkan sanggahan dari ahli yang lain antara lain:

1) Jika pikiran manusia itu ditentukan oleh bahasa ibunya, bagaimana mungkin orang dari latar belakang yang berbeda-beda, tentu dengan struktur bahasa yang berbeda pula, bisa berkomunikasi.

2) Manusia di dunia ini umumnya bilingual bahkan ada yang multilingual sejak kecil. Apakah kita bisa mengatakan mereka ini memiliki perangkat pikiran (thoughat compartment) yang berbeda karena struktur bahasanya masing- masing? Tentu saja tidak.

3) Fakta bahwa kategori tertentu tidak ada dalam bahasa itu tidak berarti bahwa penutur asli bahasa itu tidak dapat memahami kategori tersebut. Misalnya sistem gramatikal yang menandai sumber informasi pada bahasa Suku Hopi dapat dijelaskan dalam bahasa Inggris kendati tidak ada dalam sistem gramatikal bahasa Inggris. Secara sederhana pada akhirnya sistem gramatikal semua bahasa di dunia memiliki pola yang secara universal sama, walaupun sekilas tampak beda. Di sinilah kelemahan hipotesis dari Sapir dan Whorf tampak (Rahardjo, 2002: 45).

Di sisi lain walaupun terdapat beberapa kelemahan namun, banyak ahli sekarang yang menggunakan hipotesis Sapir dan Whorf ini untuk keperluan studi

mereka. Terkait dengan hipotesis ini, banyak ahli bahasa yang berpendapat bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran manusia dan sebaliknya pikiran manusia juga bisa mempengaruhi struktur bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pikiran dan bahasa berada dalam hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, tetapi bukan pada hubungan sebab akibat.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bahasa dan pikiran secara umum diartikan sebagai wujud dari kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa pada dasarnya bahasa itu digunakan untuk mengungkapkan pikiran seseorang. Secara konseptual seseorang yang sedang memikirkan sesuatu kemudian ingin menyampaikan hasil pemikirannya itu, ia akan mengunakan alat dalam hal ini bahasa. Bahasa dapat memperluas pikiran. Pikiran seseorang akan bertambah luas karena aktivitas yang berhubungan dengan bahasa, sehingga dapat disimpulkan dengan menguasai banyak bahasa pikiran akan bertambah luas.

Berdasarkan uraian tersebut maka secara umum teori tentang retrival kata dapat disimpulkan menjadi lima bagian yaitu:

1) Peran dalam menyimpan kata (save) yang secara umum inti dari peran dalam menyimpan kata adalah bagaimana seorang siswa dapat menerima kemudian menyimpan kata-kata baru yang belum pernah diketahui/dikenalnya dengan waktu yang sesingkat-singkatnya dan dia dapat meretrif kata tersebut sewaktu- waktu sesuai keinginannya. Oleh karena itu, penulis menyebutkan peran dari kemampuan seseorang dalam mengingat kata sebagai sebuah peran yang disebut dengan “menyimpan”/save.

2) Peran dalam meretrif kata (recall) diartikan sebagai sebuah kemampuan mental (otak) yang diwujudkan dengan kemampuan seseorang untuk mengingat atau

memanggil kembali suatu kata yang telah disimpannya di dalam pikiran (otak) untuk digunakan dalam kegiatan berbahasa baik menyimak, berbicara, membaca, maupun menulis. Wujud dari kegiatan mental (otak) mengingat itulah yang dapat disebut sebagai retrieve.

3) Peran dalam menggunakan kata dengan tepat sesuai konteks (comprehension) pada dasarnya diartikan sebagai sebuah peran di dalam menggunakan kata dengan tepat sesuai konteks adalah sebuah perpaduan antara kreatifitas dengan kemampuan mental (otak). Hal tersebut diwujudkan dengan sebuah kemampuan dalam mengingat suatu kata yang telah disimpannya di dalam pikiran, kemudian meretrifnya di dalam kegiatan berbahasa sesuai konteks yang dihadapinya.

4) Peran dalam menggunakan berbagai variasi kata dengan tepat (use) pada hakekatnya peran dalam menggunakan berbagai variasi kata dengan tepat adalah lanjutan dari konstruksi peran dalam menggunakan kata dengan tepat sesuai konteks. Namun, inti dari peran dalam menggunakan berbagai variasi kata dengan tepat ini lebih condong pada wujud kreatifitas seseorang yang dituntut mampu mengahasilkan berbagai variasi kata.

5) Peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui (recognition) pada dasarnya peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah dikenal/diketahui adalah sebuah perpaduan antara pengalaman dengan kemampuan mental (otak). Hal tersebut menunjukkan adanya perpaduan dari penggunakan kemampuan otaknya dengan pengalaman untuk menebak makna kata. Konstruksi peran dalam menebak makna kata dengan tepat dari kata yang tidak/belum pernah

dikenal/diketahui dimulai dari konstruksi menyimpan kata (save), meretrif kata (recall), menggunakan sesuai konteks (comprehension), dan menggunakan berbagai variasi kata (use).

3. Kecemasan Menulis

Secara umum di dalam bagian ini, teori kecemasan dibagi menjadi beberapa aspek di antaranya yaitu: pengertian kecemasan (anxiety), konsep dasar kecemasan (anxiety), faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kecemasan (anxiety), komponen kecemasan (anxiety), tingkatan kecemasan (anxiety), jenis - jenis kecemasan (anxiety), perilaku yang muncul pada saat terjadi kecemasan (anxiety), efek kecemasan pada bidang akademik siswa, hubungan antara tes dengan kecemasan siswa secara akademik, keterkaitan antara kecemasan berbicara sebagai bagian dari kecemasan akademik dengan gangguan kejiwaan, hubungan antara kecemasan dengan prestasi akademik pada siswa, sumber kecemasan akademik pada siswa, dan akar dari kecemasan akademik pada siswa. Masing-masing aspek tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Pengertian Kecemasan (Anxiety)

Secara etimologi kata Angst atau anxiety (kecemasan)-Angustice, dan Enge, diartikan sebagai suatu tempat yang sempit atau teluk, menekankan sifat-sifat yang dikuatkan dalam pernafasan yang merupakan konsekuensi-konsekuensi dari situasi nyata dan karenanya selalu diulang dengan suatu efek (Freud, 2002: 434). Secara umum kecemasan atau anxietas dapat diartikan sebagai rasa khawatir, rasa takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam

menggerakan tingkah laku, baik tingkahlaku normal maupun tingkahlaku yang menyimpang hingga yang terganggu, di mana keduanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan, dari pertahanan terhadap kecemasan itu sendiri. Pada hakekatnya sangat jelaslah bahwa pada gangguan emosi dan gangguan tingkahlaku, kecemasan merupakan sebuah masalah pelik (Alwisol, 2009: 153).

Di dalam pandangan psikologi, kecemasan adalah sebuah rasa sudah terkepung, sudah terjepit, dan sudah terperangkap oleh dan di dalam bahaya. Persepsi-persepsi indrawi pun tidak bertambah tajam, sebagaimana dalam rasa takut, melainkan justru semakin menjadi kabur (Yoseph dalam Sobur, 2003: 345). Kecemasan adalah suatu keadaan tegang, ia merupakan suatu dorongan seperti lapar dan seks, hanya saja ia tidak timbul dari kondisi-kondisi jaringan di dalam tubuh, melainkan aslinya ditimbulkan oleh sebab-sebab dari luar. Apabila timbul kecemasan maka ia akan memotivasikan sang pribadi untuk melakukan sesuatu. Kecemasan yang tidak dapat ditanggulangi dengan tindakan-tindakan yang efektif disebut “traumatik”, ia akan menjadikan sang pribadi dalam keadaan tak berdaya dan serba kekanak-kanakan(Hall dan Lindzey, 1993: 81).

Di sisi lain, kecemasan (Anxiety) menurut Sullivan dalam (Alwisol, 2009: 153) dinilai sebagai pengaruh pendidikan yang paling besar sepanjang hayat, di mana kecemasan paling awal disalurkan mula-mula oleh ibu kepada bayinya. Kondisi inilah yang akan berkembang jika sang ibu mengalami kecemasan, maka dia akan menyatakan pada wajahnya, irama katanya, tingkahlakunya, dan secara otomatis bayinya akan terinduksi sehingga merasakan kecemasan seperti yang dirasakan oleh ibunya (Alwisol, 2009: 153). Secara sederhana kecemasan dapat

diartikan sebagai perasaan tidak menentu, panik, takut, tanpa mengetahui apa yang ditakutkan dan tidak dapat menghilangkan perasaan gelisah, serta mencemaskan itu. Di dalam kondisi tersebut, terlalu banyak hal-hal yang menyebabkan kegelisahan yang tidak pada tempatnya dan menyebabkan seseorang menjadi tidak dapat berusaha memikirkan bagaimana mengatasi kesukarannya itu (Daradjat, 1978: 17).

Secara kodrati memang tidak seorang pun dapat bebas dari kecemasan. Semua orang pasti pernah merasakan kecemasan dalam derajat tertentu, bahkan kecemasan yang ringan dapat berguna untuk memberikan rangsangan terhadap seseorang (Gunarsa dan Gunarsa, 2008: 27). Rangsangan tersebut adalah untuk mengatasi kecemasan dan membuang sumber kecemasan yang dihadapinya. Menurut Freud (2002: 434) kecemasan dimaknai sebagai pengalaman ”kelahiran” yakni:

“Suatu pengalaman yang melibatkan suatu rangkaian perasaan yang menyakitkan, penghilangan kesenangan, dan perasaan-perasaan ragawi, sehingga menjadi suatu prototipe untuk semua kesempatan di mana kehidupan terancam untuk kemudian dimunculkan kembali dalam diri seseorang sebagai rasa takut atau kondisi “cemas””.

Menurut An (1999: 27) perasaan cemas dan takut merupakan racun kehidupan. Hal tersebut juga ditekankan oleh Willis C. Carrier dalam (An, 1999: 27) yang mengatakan bahwa:

“Sesungguhnya pengaruh rasa cemas yang paling buruk itu adalah kehancuran yang ditimbulkan pada kemampuan kita untuk berakal sehat. Apalagi saat kita merasa cemas dan takut, pikiran kita akan melayang ke sana ke mari berlompatan tak menentu, dan kita akan kehilangan kemampuan untuk membuat keputusan”.

Secara sederhana apabila mengacu pada pernyataan-pertanyaan yang diungkapan Carrier tersebut, maka dapat didefiniskan bahwa kecemasan adalah suatu emosi yang ditandai oleh perasaan akan bahaya yang diantisipasikan,

termasuk juga ketegangan dan stres yang menghadang dan oleh bangkitnya sisten saraf simpatetik. Selain itu, perasaan tersebut juga disebut sebagai negatif “tegang” (Davidoff, 1991: 62).

Pada dasarnya kecemasan (anxiety) adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur dan terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) serta pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam, dan sebagainya (Daradjat, 1978: 27). Selain itu, juga terdapat segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa untuk menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu. Rasa cemas itu umumnya terdapat di dalam semua gangguan dan penyakit jiwa, serta ada bermacam-macam pula jenisnya (Daradjat, 1978: 27). Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum kecemasan atau anxietas dapat diartikan sebagai rasa khawatir, rasa takut yang tidak jelas sebabnya serta merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan tingkah laku, baik tingkahlaku normal maupun tingkahlaku yang menyimpang hingga yang terganggu, di mana keduanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan, dari pertahanan terhadap kecemasan itu sendiri. Secara kodrati memang tidak seorang pun dapat bebas dari kecemasan, sehingga semua orang pasti pernah merasakan kecemasan dalam derajat tertentu, bahkan kecemasan yang ringan dapat berguna untuk memberikan rangsangan terhadap seseorang.

b. Konsep Dasar Kecemasan

Pada dasarnya fenomena “kecemasan” yang sering dikeluhkan oleh orang- orang yang sering gelisah digambarkan oleh mereka sebagai beban yang paling

besar. Berawal dari gelisah itulah “rasa” tersebut berubah menjadi kecemasan atau ketakutan yang dapat berkembang dalam intensitas yang begitu besar. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut akan muncul berbagai tindakan pencegahan yang sangat berlebihan (Freud, 2002: 429). Berdasarkan fakta di lapangan, kecemasan (atau ketakutan) sendiri tidak memerlukan suatu deskripsi. Penilaian tersebut muncul karena pada dasarnya setiap orang pernah merasakan kondisi tersebut atau membicarakannya secara tepat pada suatu waktu. Di sisi lain, hingga saat ini belum ada pemikiran yang cukup serius yang diberikan pada pertanyaan mengapa orang-orang yang sering gelisah mempunyai perasaan cemas yang lebih besar dan lebih sering dibandingkan dengan orang lain yang tidak mengalami kegelisahan (Freud, 2002: 429-430).

Secara umum kata “gelisah” dan “cemas” sering digunakan saling menggantikan, seolah-olah kata-kata tersebut mempunyai arti yang sama walaupun pada dasarnya hal tersebut dapat dibenarkan. Di sisi lain, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa bagaimanapun juga terdapat orang-orang yang sering cemas namun, tidak gelisah dan juga terdapat orang yang terserang neurotik dengan sejumlah gejala-gejala yang justru tidak menunjukkan kecenderungan untuk takut (Freud, 2002: 430). Saat ini dinilai tidak ada yang lebih penting dalam pemahaman psikologis terhadap rasa takut atau cemas daripada pengetahuan mengenai jalur- jalur syaraf yang dilewati oleh perasaan cemas itu. Penilaian tersebut muncul karena orang mungkin mempelajari kecemasan (ketakutan) untuk waktu yang lama tanpa berpikir tentang kegelisahan (Freud, 2002: 430).

tumbuh sampai pada tingkat yang paling tinggi, begitu juga dengan kecemasan (Freud, 2002: 431). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dimaknai bahwa rasa cemas dan takut itu adalah bagian dari dinamika kepribadian yang sebagian besar dikuasai oleh kehausan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan seseorang lewat transaksi dengan objek-objek di dunia luar dirinya (Hall dan Lindzey, 1993: 80). Pada dasarnya, reaksi umum individu terhadap ancaman-ancaman rasa sakit dan perusakan dari luar yang tidak siap ditanggulanginya membuatnya secara otomatis berubah menjadi rasa takut. Hal tersebut terjadi karena pada saat menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut. Kondisi tersebut dapat juga berkembang, yakni pada saat seseorang kewalahan menghadapi stimulasi yang berlebihan dan tidak berhasil dikendalikan oleh ego, maka ego akan diliputi oleh kecemasan (Hall dan Lindzey, 1993: 80).

Di sisi lain terjadi ambiguitas makna antara kata “kecemasan” dan “ketakutan”. Kondisi ini terjadi karena antara “kecemasan” dan “ketakutan” seringkali dibedakan dalam dua dimensi yang berbeda, yaitu: pertama, objek suatu “ketakutan” biasanya mudah dispesifikasikan, sedangkan objek “kecemasan” biasanya tidak jelas. Kedua, intensitas rasa “takut” itu sesuai dengan besar kecilnya ancaman, sedangkan intensitas “kecemasan” seringkali jauh lebih besar daripada objeknya yang belum begitu jelas. Fakta sebaliknya menunjukkan bahwa pada pelaksanaannya di dalam kehidupan sehari-hari, seseorang akan sulit membedakan antara “ketakutan” dan “kecemasan” (Davidoff, 1991: 62). Pada hakekatnya, walaupun kecemasan dapat bersifat konstruktif dan destruktif, namun kecemasan tersebut harus tetap dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai perbaikan dan

kemajuan diri seseorang (Gunarsa dan Gunarsa, 2008: 28).

Senada dengan pernyataan tersebut, ternyata di dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak orang menemui kesulitan dalam memberikan suatu dikotomi yang jelas dan tepat antara “kecemasan” dan “ketakutan”. Rasa cemas selalu dicampuradukkan dengan rasa takut. Di dalam konteks ini, sering terjadi bahwa orang yang merasa “cemas” justru mengatakan bahwa dia “takut”. Di sisi lain sebaliknya orang yang “ketakutan” justru mengungkapkannya bahwa dia merasa “cemas” (Sobur, 2003: 344). Di dalam hal ini diketahui bahwa selama beberapa dasawarsa, para ahli psikologi belum sependapat tentang pengertian istilah tersebut. Sebagian ahli berpendapat bahwa “kecemasan” adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam, sedangkan di sisi lain “ketakutan” diartikan sebagai sesuatu yang memang nyata dan diwujudkan dengan adanya ketakutan akan sesuatu yang benar- benar menakutkan (Sobur, 2003: 345).

Di sisi lain Yoseph dalam (Sobur, 2003: 345) juga mencoba menguraikan hubungan antara “kecemasan” dan “ketakutan” secara agak rinci. Menurut Yoseph di dalam rasa takut itu, seseorang menyadari bahaya dan ada sesuatu yang sedang mengancam keselamatan dirinya. Ia bahkan didorong dan diperkuat oleh situasi tersebut. Persepsi-persepsi indra akan menjadi lebih tajam, sehingga ia bisa menemukan jalan dan cara pemecahan yang sungguh disadari. Di dalam konteks ini muncul penilaian lain tentang kecemasan menurut Yoseph dalam (Sobur, 2003: 345) yang berpendapat bahwa di dalam kecemasan, orang itu berada dalam posisi terancam, orang yang merasa terancam keselamatannya itu sama sekali tidak

mengetahui langkah dan cara yang harus diambil untuk menyelamatkan dirinya. Yoseph dalam (Sobur, 2003: 345) juga menekankan bahwa kecemasan selalu menampakkan diri dalam berbagai bentuk serta intensitas, karena kecemasan merupakan sikap dasariah bagi setiap manusia dalam menghadapi setiap bahaya yang mengancam keseluruhan hidup manusia sebagai pribadi dalam eksistensinya. Di sisi lain, rasa takut sebetulnya lebih merupakan suatu ancaman terhadap salah satu segi dari eksistensi pribadi manusia (Sobur, 2003: 345). Menurut Yoseph dalam (Sobur, 2003: 345) walaupun antara “kecemasan” dan “ketakutan” itu pada hakekatnya berbeda, tetapi di dalamnya juga terdapat persamaan yakni keduanya berobjek sama. Kesamaan objek tersebut mengacu pada konsep bahwa keduanya sama-sama merujuk pada kondisi “keselamatan yang terancam” dari manusia di dalam eksistensi psikologisnya. Di dalam ambiguitas antara pengertian “kecemasan” dan “ketakutan” ini, Yoseph menyimpulkan bahwa istilah “kecemasan” itu merujuk untuk perasaan “ketakutan” (baik realistis maupun tidak realistis), yang disertai dengan peningkatan reaksi kejiwaan, namun definisi tersebut tidak berlaku sebaliknya (Sobur, 2003: 345).

Berdasarkan kesimpulan Yoseph tersebut, muncullah pertanyaan “Bagaimanakah kecemasan, khususnya kecemasan yang tidak realistis berkembang menjadi perdebatan yang sengit?”. Pertanyaan itulah yang coba dijawab oleh Freud yang menyatakan bahwa jika seseorang memiliki kecemasan yang tidak realistis, seperti terhadap kuda, ketakutan itu hanya merupakan gejala ketakutan yang jauh