• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Menulis Teks Eksposisi a. Pengertian Menulis - YUSUP WIBISONO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Menulis Teks Eksposisi a. Pengertian Menulis - YUSUP WIBISONO BAB II"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Kemampuan Menulis Teks Eksposisi

a. Pengertian Menulis

Banyak ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian menulis seperti Suparno dan Yunus (2007: 1.15-1.24) yang berpendapat bahwa menulis adalah suatu kemampuan yang di dalamnya terdapat serangkaian aktivitas yang terjadi dan melibatkan beberapa fase, yaitu pra penulisan (persiapan), fase penulisan (pengembangan isi karangan), pasca penulisan (telaah dan revisi atau penyempurnan tulisan). Pada hakekatnya kegiatan ini mengacu pada penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya (Suparno dan Yunus, 2007: 1.3). Di dalam hal ini, pesan dimaknai sebagai isi atau muatan dari tulisan, sedangkan tulisan sendiri adalah sebuah simbol atau lambang bahasa. Selain uraian pendapat tersebut, Suparno dan Yunus (2007: 1.3) juga menekankan bahwa di dalam sebuah penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya harus terdapat empat unsur yang terlibat yaitu, penulis sebagai penyampai pesan (penulis), pesan atau isi tulisan, saluran atau media berupa tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan.

(2)

grafik itu. Gambar atau lukisan mungkin dapat menyampaikan makna-makna, tetapi tidak dapat menggambarlan kesatuan-kesatuan ekspresi bahasa. Selain itu, menulis menurut Tarigan (2013: 3) juga dipahami sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut maka dapat dipahami bahwa menulis merupakan suatu kegiatan yang produktif dan ekspresif oleh karena itu di dalam kegiatan menulis seorang penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosakata (Tarigan, 2013: 3). Parera (1987: 1) berpendapat sangat singkat tentang menulis yakni bahwa menulis merupakan suatu proses. Berdasarkan pendapat Parera tersebut maka dapat dipahami bahwa menulis pada hakekatnya merupakan suatu proses, oleh karena itu seorang penulis harus melalui rangkaian tahapan di dalam kegiatan menulis.

Resmini (2006: 229) mengungkapkan bahwa menulis adalah sebuah kegiatan yang dipandang sebagai suatu keterampilan, proses berpikir (kegiatan bernalar), kegiatan transformasi, kegiatan berkomunikasi, dan sebuah proses oleh karena itu menulis merupakan kegiatan yang paling kompleks untuk dipelajari siswa. Marwoto dkk (1985: 12) berpendapat bahwa menulis adalah kemampuan seseorang untuk menuangkan sebuah ide, pikiran, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman-pengalaman hidupnya dalam bahasa tulis yang jelas, runtut, ekspresif, enak dibaca, dan bisa dipahami orang lain.

(3)

mengekspresikan pikiran dan perasaan ke dalam lambang-lambang tulisan. Sukirno (2013: 6) berpendapat bahwa menulis adalah rangkaian tahap-tahap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dengan penekanan pada penciptaan kondisi belajar menulis untuk mencapai kompetensi dasar menulis yang ditentukan dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Syamsuddin (2011: 1-2) berpendapat bahwa menulis adalah salah satu jenis keterampilan berbahasa yang dimiliki dan digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi tidak langsung antara mereka. Hal tersebut terjadi karena di dalam kenyataan hidup bermasyarakat, kontak komunikasi itu tidak selalu dapat dilakukan dengan tatap muka. Di sisi lain, Syamsudin juga berpendapat bahwa menulis juga dapat diartikan sebagai mengarang. (Slamet, 2008: 96) berpendapat bahwa menulis merupakan keterampilan yang sukar dan kompleks. Keterampilan menulis dikuasai seseorang sesudah menguasai keterampilan berbahasa yang lain yaitu menyimak, berbicara, dan membaca. Menulis bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru dikuasai. Menulis merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menuliskannya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas.

(4)

membaca. Di dalam konteks ini menulis dinilai berbeda dengan mengarang. Menulis menghasilkan tulisan, sedangkan mengarang menghasilkan karangan. Tulisan dilandasi fakta, pengalaman, pengamatan, penelitian, pemikiran, atau analisis, sedangkan karangan banyak dipengaruhi oleh imajinasi dan perasaan pengarang.

Suroso (2009: 180) berpendapat bahwa menulis merupakan aktivitas menyusun serta merangkai kalimat sedemikian rupa agar pesan yang terkandung dapat disampaikan dengan baik kepada pembaca oleh karena itu, setiap kalimat harus disusun sesuai dengan kaidah-kaidah gramatikal sehingga mampu mendukung pengertian, baik dalam bentuk maupun dalam makna. Kalimat yang mengandung konsep tersebut diwujudkan di atas kertas dengan menggunakan media visual menurut sistem garfologi tertentu. Mulyati dkk (2009: 1.13) berpendapat bahwa menulis adalah keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan, oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menulis adalah suatu keterampilan berbahasa yang paling rumit di antara jenis keterampilan berbahasa lainnya. Menulis bukanlah sekedar menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat, tetapi juga mengembangkan dan menuangkan pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur.

(5)

kesenyapan, inflesi, tekanan nada, isyarat atau gerakan, dan ekspresi muka yang memindahkan arti dalam ucapan atau bicara manusia. Dalman (2014: 4) berpendapat bahwa menulis adalah proses penyampaian pikiran, angan-angan, perasaan dalam bentuk lambang/tanda/tulisan yang bermakna. Secara umum di dalam kegiatan menulis terdapat suatu kegiatan merangkai, menyusun, melukiskan suatu lambang/tanda/tulisan berupa kumpulan huruf yang membentuk kata, kumpulan kata yang membentuk kelompok kata atau kalimat, kumpulan kalimat membentuk paragraf, dan kumpulan paragraf membentuk wacana/ karangan yang utuh dan bermakna.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian menulis yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa menulis adalah rangkaian kerja intelektual berupa aktivitas mengutarakan ide atau gagasan, pikiran, dan perasaan terhadap suatu hal dengan menggunakan bahasa tulis berupa lambang-lambang grafik atau simbol-simbol visual sebagai medianya yang dilakukan melalui berbagai tahapan yang kompleks dan runtut mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga penyelesaian sehingga dapat menghasilkan tulisan yang pesannya dapat dengan mudah dipahami oleh pembacanya.

b. Tujuan Menulis

(6)

1) Memberitahukan atau mengajar (wacana informatik) 2) Meyakinkan atau mendesak (wacana persuasif) 3) Menghibur atau menyenangkan (wacana kesastraan)

4) Mengutamakan atau mengekspresikan perasaan dan emosi yang berapi-api (wacana ekspresif)

Di sisi lain, hakekat utama dari tujuan menulis secara lebih luas adalah untuk mengungkapkan fakta-fakta, perasaan, sikap, dan isi pikiran secara jelas dan efektif kepada pembaca (Keraf, 2004: 38). Seorang penulis perlu menguasai objek, gagasan, dan pengembangan gagasannya dalam kalimat yang jelas serta terperinci sehingga tulisan yang dihasilkannya dapat efektif. Senada dengan pendapat Keraf tersebut, Hartig dalam Tarigan (2013: 25-26) juga mengungkapkan beberapa “tujuan” dari suatu tulisan, di antaranya sebagai berikut.

1) Assignment Purpose (Tujuan Penugasan)

Tujuan penugasan menekankan bahwa penulis hanya menulis sesuatu karena ditugaskan atau memiliki tujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan bukan atas kemauan penulis itu sendiri.

2) Altruistic Purpose (Tujuan Altruistik)

Tujuan altruistik, secara umum menekankan bahwa penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan kedukaan para pembaca, menolong pembaca dalam memahami, menghargai perasaan, dan penalarannya.

3) Persuasive Purpose (Tujuan Persuasif)

Tujuan menulis persuasif secara khusus bertujuan untuk meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan.

(7)

Secara umum inti dari tujuan informasional adalah untuk memberi informasi atau keterangan atau penerangan kepada para pembaca.

5) Self-Exspresive Purpose (Tujuan Pernyataan Diri)

Penulis bertujuan untuk memperkenalkan atau menyatakan diri (pengarang) kepada pembaca.

6) Creative Purpose (Tujuan Kreatif)

Penulis menonjolkan kreativitas atau keinginan mencapai norma artistik atau seni yang ideal, seni idaman. Hal tersebut muncul karena tulisan ini juga bertujuan bukan hanya sebagai pernyataan diri, tetapi sebagai “keinginan kreatif”

di dalam hal ini dinilai sudah melebihi pernyataan diri. 7) Problem-Solving Purpose (Tujuan Pemecahan Masalah)

Di dalam tulisan ini, penulis bertujuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cara menjelaskan, menjernihkan, menjelajahi, serta meneliti secara cermat pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan sendiri agar dapat dimengerti dan diterima oleh pembaca.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang tujuan menulis yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis secara umum adalah untuk memberikan informasi kepada orang lain (pembaca) melalui media tulisan. Informasi yang disampaikan di dalam tulisan dapat berupa pesan yang bersifat komunikatif yakni pesan yang mendukung interaksi sosial antara satu orang dengan orang yang lain, satu orang dengan sekelompok orang, ataupun sekelompok orang dengan sekelompok orang yang lain, maupun pesan yang bersifat ekspresi diri (kreasi) yang khusus berupa karya sastra.

(8)

Pada hakekatnya seseorang melakukan sebuah aktifitas selain memiliki tujuan juga pasti memiliki fungsi. Di dalam hal ini, menulis sebagai sebuah aktifitas juga memiliki beberapa fungsi pokok. Nurjamal dan Sumirat (2010: 71) mengungkapkan beberapa fungsi dari menulis, di antaranya sebagai berikut.

1) Menginformasikan sesuatu kepada pembaca 2) Meyakinkan pembaca

3) Mengajak pembaca 4) Menghibur pembaca

5) Melarang atau memerintahkan kepada pembaca 6) Mendukung pendapat orang lain

7) Menolak dan menyanggah pendapat orang lain.

Di sisi lain, Nurjamal dan Sumirat (2010: 70) juga berpendapat bahwa suatu tulisan atau karangan dapat dikatakan terbentuk secara sistematis apabila mengacu pada beberapa komponen sebagai berikut. Pertama, terdapat relevansi yang baik antara judul dengan bagian pendahuluan, bagian isi, dan bagian penutup tulisan. Kedua, terdapat relevansi yang baik antara bagian awal atau pendahuluan denagn bagian isi dengan bagian akhir atau penutup tulisan atau sebaliknya. Ketiga, terdapat relevansi antara kalimat atau klausa yang satu dengan klausa yang lain dalam tiap alenia. Keempat, terdapat relevansi antara isi tulisan dengan tujuannya.

(9)

hanya sebagian kecil saja yang sungguh-sungguh bersifat bahasa. Kondisi tersebut muncul dikarenakan menulis memang menuntut kemampuan kognitif yang tinggi, pengetahuan yang luas, dan kepekaan menulis. Hal tersebutlah yang menyebabkan seseorang yang dinilai sudah terampil berbahasa secara aktif poduktif belum tentu mampu untuk menulis, sekalipun dia adalah penutur asli . Aktivitas menulis memang dinilai lebih berkonotasi ilmiah dan sungguh-sungguh daripada sekedar mengekspresikan gagasan seperti dalam berbicara.

Berdasarkan pendapat para ahli tentang fungsi menulis yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi menulis secara umum adalah untuk menginformasikan sesuatu hal kepada pembaca, dengan anggapan bahwa apa yang disampaikan oleh penulis melalui tulisannya itu dapat dipahami dengan tepat yakni pesan yang disampaikan oleh penulis dapat diterima oleh pembaca dengan tepat tanpa adanya salah pemahaman atau tafsiran.

d. Manfaat Menulis

Secara umum, sudah sangat jelas bahwa kegiatan menulis itu manfaatnya sangat penting bagi manuasia di era modern seperti saat ini, senada dengan konsep tersebut Greves dalam (Darmojo dan Wibisono, 1999: 21) menyampaikan tentang pentingnya manfaat menulis, di antaranya sebagai berikut.

1) Menulis Menyumbang Kecerdasan

(10)

jernih, yang disesuaikan dengan corak dan warna kemampuan pembacanya, serta cara penyajian selaras dengan konvensi atau aturan penulisan. Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk dapat mencapai kesanggupan seperti itu seseorang dituntut untuk memiliki keluwesan pengungkapan, kemampuan mengendalikan emosi, serta menata dan mengembangkan daya nalar dalam berbagai tingkat (Greves dalam Darmojo dan Wibisono, 1999: 21).

2) Menulis Mengembangankan Daya Inisiatif dan Kreatifitas

Di dalam kegiatan membaca, segala hal telah tersedia dalam bacaan kita untuk dimanfaatkan. Di sisi lain, dalam menulis seseorang harus menyiapkan atau mempelajari sendiri segala sesuatunya, unsur mekanik tulisan yang benar seperti ejaan, diksi, bahasa, penyataan dan jawaban. Agar hasilnya mudah dibaca, maka apa yang harus dituliskan di tata dengan runtut, jelas, dan menarik (Greves dalam Darmojo dan Wibisono, 1999: 21).

3) Menulis Menumbuhkan Keberanian

Pada saat pelaksanaannya, ketika menulis seseorang penulis harus berani menampilkan kediriannya, termasuk pikirannya, perasaannya dan gayanya, serta menawarkannya kepada publik. Konsekuensinya dia harus siap dan mau melihat dengan jernih penilaian dan tanggapan dari pembacanya, baik yang bersifat positif atau negatif (Greves dalam Darmojo dan Wibisono, 1999: 21).

(11)

pengetahuan yang memadai tentang apa-apa yang akan ditulis (Greves dalam Darmojo dan Wibisono, 1999: 21).

Berdasarkan uraian pendapat tentang manfaat menulis yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa manfaat menulis itu sangat besar bagi perkembangan intelektualitas seseorang khususnya seorang anak (siswa) yang nantinya akan berpengaruh langsung terhadap beberapa aspek di antaranya yaitu, aspek kecerdasan, aspek pengembangan daya inisiatif dan kreatifitas, aspek keberanian (percaya diri), aspek pengembangan kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.

e. Hubungan Menulis dengan Keterampilan Berbahasa yang Lain

Secara umum sudah diketahui bahwa keterampilan berbahasa itu mencakup empat komponen (Mode). Secara umum keempat komponen tersebut adalah menyimak, berbicara, menulis, dan membaca (Suparno dan Yunus (2007: 1.6). Keempat keterampilan tersebut erat sekali hubungannya satu sama lainnya sehingga disebut sebagai catur-tunggal (Tarigan, 2013: 1). Secara konsep di dalam memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya seseorang melalui suatu hubungan tata urutan yang teratur yakni, umumnya di mulai dari keterampilan menyimak kemudian berbicara, membaca, dan kemampuan terakhir menulis. Pada dasarnya dua keterampilan dasar berbahasa yaitu keterampilan menyimak dan berbicara sudah dipelajari sebelum seorang anak masuk sekolah (Tarigan, 2013: 1). Di dalam hal ini hubungan keterampilan menulis dengan keterampilan berbahasa yang lainnya dapat diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

(12)

Menulis dan membaca adalah kegiatan berbahasa tulis. Pesan yang disampaikan penulis dan diterima oleh pembaca dijembatani melalui lambang bahasa yang dituliskan (Suparno dan Yunus (2007: 1.7). Menulis adalah kegiatan berbahasa yang bersifat produktif, sedangkan membaca adalah kegiatan yang bersifat reseptif. Secara umum apabila ditampilkan dalam peran kondisi nyata, seorang penulis menyampaikan gagasan, perasaan, atau informasi dalam bentuk tulisan, sebaliknya seorang pembaca mencoba memahami gagasan, perasaan, atau informasi yang disajikan dalam bentuk tulisan tersebut sekaligus menghubungkannya dengan kemungkinan maksud penulis berdasarkan pengalamannya (Dalman, 2014: 9).

(13)

2007: 1.4-1.5). Senada dengan pendapat tersebut, kegiatan baca-tulis pada hakekatnya adalah suatu kegiatan yang menjadikan penulis sebagai pembaca dan pembaca sebagai penulis (Goodman dan Tierney dalam Suparno dan Yunus, 2007: 1.7).

2) Hubungan Menulis dengan Menyimak

Secara umum hubungan antara menulis dengan menyimak adalah hubungan antara input dan output. Pada waktu seseorang membutuhkan ide, inspirasi, atau informasi untuk tulisannya, maka hal tersebut dapat dipenuhi salah satunya dengan kegiatan membaca dari media cetak maupun sumber tidak tercetak. Di dalam sumber tidak tercetak seperti radio, televisi, ceramah, pidato, wawancara, dan diskusi inilah kegiatan menyimak dilakukan (Dalman, 2014: 10). Secara umum penulis tidak hanya memperoleh ide atau informasi untuk tulisannya saja dari kegiatan menyimak tersebut, tetapi juga menginspirasikan tata, segi, dan struktur penyampaian lisan yang menarik hatinya yang akan berguna untuk aktivitas menulisnya di kemudian hari (Suparno dan Yunus, 2007: 1.8).

3) Hubungan Menulis dengan Berbicara

(14)

sederhana dapat dipahami bahwa menulis merupakan komunikasi tidak langsung, tidak tatap muka, sedangkan berbicara merupakan komunikasi langsung atau tatap muka. Sejumlah ahli sepakat bahwa keterampilan berbicara dan menulis dimasukkan ke dalam retorik. Di dalam hal ini, retorik dimaknai sebagai seni penyusunan atau penggubahan (kata-kata dan kalimat) yang tepat guna dan bertanggung jawab, baik dalam tuturan maupun dalam tulisan (Tarigan, 2013: 12). Di sisi lain, retorik juga dipahami sebagai penggunaan bahasa secara tepat guna untuk mengkomunikasikan perasaan sejati dan gagasan-gagasan yang sehat serta masuk akal (Loban dalam Tarigan, 2013: 13).

Pada dasarnya menulis dan berbicara itu harus mengambil sejumlah keputusan berkaitan dengan topik, tujuan, jenis informasi yang akan disampaikan, serta cara penyampaiannya sesuai dengan kondisi sasaran (pembaca dan pendengar) dan corak teksnya (eksposisi, deskripsi, narasi, argumentasi, dan persuasi) (Suparno dan Yunus, 2007: 1.8). Pesan yang disampaikan melalui media tulisan dapat diperoleh dari hasil berbicara, begitu juga sebaliknya yaitu seseorang berbicara dapat mengambil konsep atau informasi dari hasil tulisannya sendiri atau orang lain (Dalman, 2014: 11). Apabila mengacu pada pendapat T.S Eliot dalam Tarigan (2013: 13) yang berkomentar bahwa: “Kalau kita menulis seperti kita

berbicara, kita akan menjumpai bahwa tidak seorang pun yang mau membacanya dan kalau kita berbicara seperti kita menulis jelas bahwa tidak ada orang mau mendengarkannya”.

(15)

lainnya. Pada dasarnya menulis didorong oleh kegiatan mendengarkan (menyimak), berbicara, dan membaca, seperti dalam berbicara, menulis membawa ide-ide dari seseorang dengan tujuan dan makna yang berbeda. Secara sederhana seseorang akan dapat mengembangkan perasaan pendengar dan merasakan kegaitan menulis sebagai tindakan yang relevan yang terjadi di antara diri sendiri, orang lain, dan masyarakat (Campbell, 2006: 30).

f. Tahap-Tahap Penulisan

Parera (1987: 1) mengungkapkan bahwa menulis merupakan suatu proses. Proses di dalam hal ini meliputi proses penulisan yang di dalamnya terdapat beberapa tahap penulisan di antaranya meliputi tahap prapenulisan (persiapan), tahap penulisan (pengembangan isi karangan), dan tahap pascapenulisan (telaah dan revisi atau penyempurnaan tulisan) (Suparno dan Yunus, 2007: 1.14). Pada dasarnya ketiga tahap penulisan tersebut menunjukkan kegiatan utama yang berbeda, di dalam tahap prapenulisan ditentukan hal-hal pokok yang mengarahkan penulis dalam seluruh kegiatan penulisan itu. Di dalam tahap penulisan dilakukan apa yang telah ditentukan itu, yaitu mengembangkan gagasan dalam kalimat-kalimat, satuan paragraf, bab, atau bagian. Di dalam tahap terakhir yaitu pascapenulisan yang dilakukan adalah membaca dan menilai kembali yang ditulis, memperbaiki, mengubah, bahkan jika perlu memperluas tulisan tadi (Dalman, 2014: 15-19). Tahap-tahap yang harus dilalui dalam menulis tersebut akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

1) Tahap Prapenulisan

(16)

menulis, di mana di dalamnya mencakup beberapa langkah dalam menulis karangan. Penulis menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, hingga melakukan berbagai hal yang memperkaya masukan kognitifnya di dalam tahapan ini (Dalman, 2014: 15). Di sisi lain Proett dan Gill dalam (Suparno dan Yunus, 2007: 1.16) juga berpedapat bahwa tahapan ini adalah sebuah fase untuk mencari, menemukan, dan mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dan diperlukan penulis. Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan isi serta mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam menulis sehingga apa yang ingin ditulis dapat disajikan dengan baik.

Seorang penulis di dalam membuat karya tulis membutuhkan bahan atau data untuk mendukung ide-idenya. Apabila seorang penulis tidak mempunyai data atau bahan bagaimakah mungkin ia dapat mengembangkan tulisannya. Sumber data dapat diperoleh dari sumber utama, seperti pengalaman dan inferensi dari pengalaman. Di dalam tahap prapenulisan ini akan dibahas lebih rinci tentang beberapa aktivitas pendukungnya seperti menentukan topik, menentukan maksud dan tujuan penulisan, memerhatikan sasaran karangan (pembaca), mengumpulkan informasi pendukung dan mengorganisasikan ide dan informasi masing-masing kegiatan tersebut akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

a) Menentukan Topik

(17)

maka isi karangan pun akan membuat fokusnya kabur (Suparno dan Yunus, 2007: 1.18). Topik tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber ilmu, pengalaman, dan pengamatan. Seorang penulis dapat menulis tentang pendapat, sikap, atau tanggapan sendiri atau orang lain atau tentang khayalan/imajinasi yang dimilikinya. Di dalam menentukan topik karangan harus selalu berkenaan dengan fakta. Masalah pertama yang dihadapi penulis untuk merumuskan tema sebuah karangan adalah topik atau pokok pembicaraan. Penentuan topik sebelum menggarap suatu tema merupakan suatu keahlian. Topik mana yang akan dipergunakan dalam sebuah karangan pada dasarnya bukanlah merupakan persoalan namun, seringkali hal inilah yang menjadi beban yang tidak kecil bagi mereka yang baru mulai menulis. Penulis baru/pemula merasa sukar sekali menemukan topik mana yang kiranya dapat dipergunakannya untuk menyusun karangannya. Sebenarnya sumber-sumber yang berada di sekitar kita menyediakan bahan yang berlimpah-limpah. Apa saja yang menarik dapat dijadikan topik dalam karangan: pengalaman masa lampau, pengalaman masa kini, cita-cita, karier, alam sekitar, persoalan-persoalan kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, mata pencaharian dan sebagainya (Keraf, 2004: 123-124).

(18)

tetapkanlah yang mana dari perincian tadi yang akan dipilih. Keempat, ajukanlah pertanyaan apakah sektor tadi masih perlu diperinci lebih lanjut?. Cara-cara tersebutlah yang dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh sebuah topik yang sangat khusus yang akan digarap (Keraf, 2004: 127-128).

b) Menentukan Maksud atau Tujuan Penulisan

Salah satu cara untuk membantu merumuskan tujuan adalah bertanya pada diri sendiri “Apakah tujuan saya menulis topik karangan ini?”. Berdasarkan

(19)

c) Memperhatikan Sasaran Karangan (Pembaca)

Sebuah karangan yang baik bukan hanya ditentukan karena memiliki topik dan tujuan yang jelas saja, namun juga harus memperhatikan sasaran karangan tersebut yaitu pembacanya siapa. Britton dalam (Suparno dan Yunus, 2007: 1.19) berpendapat bahwa keberhasilan menulis itu dipengaruhi oleh ketepatan pemahaman penulis terhadap pembaca tulisannya. Kemampuan tersebut memungkinkan seorang penulis untuk dapat memilih informasi serta cara penyajian yang sesuai. Berdasarkan uraian pendapat Britton tersebutlah maka dapat dipahami bahwa seorang penulis terkadang dipaksa untuk berulang-ulang membaca atau meminta orang lain membaca tulisannya dan memperbaikinya (revisi).

Tujuan utama dari kegiatan membaca berulang-ulang adalah untuk membuat adanya keselaran pemahaman antara pesan yang ingin disamapaikan oleh penulis dan kesamaan pemahaman pesan oleh pembaca. Seorang penulis juga harus memperhatikan dan menyesuaikan tulisannya dengan level sosial, tingkat pengalaman, pengetahuan, kemampuan, dan kebutuhan pembaca (Dalman, 2014: 17). Kondisi tersebut muncul dikarenakan apa yang disampaikan oleh seorang penulis di dalam tulisannya terkadang belum tentu dapat dipahami dan diperlukan oleh pembaca (Suparno dan Yunus, 2007: 1.19).

d) Mengumpulkan Informasi Pendukung

(20)

memperluas, dan memperkaya isi tulisannya (Suparno dan Yunus, 2007: 1.19). Bahan dan informasi awal dinilai sangat penting karena dua komponen tersebut akan menjadi faktor penentu terhadap tingkat kedalaman materi tulisan dan makna yang terkandung di dalamnya (Dalman, 2014: 17). Senada dengan pendapat Dalman tersebut, Suparno dan Yunus (2007: 1.20) juga berpendapat bahwa apa yang disampaikan oleh seorang penulis tanpa adanya bahan dan informasi yang mencukupi maka sebuah karangan dapat dikatakan hanya memuat hal-hal yang bersifat umum, usang, bahkan pembaca dapat lebih menguasai akan pesan yang terkandung di dalamnya.

Pengumpulan bahan dan informasi tersebut perlu dilakukan agar tulisan menjadi berbobot dan dapat meyakinkan pembaca. Pengumpulan bahan dan informasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilakukan sebelum, sewaktu, atau sesudah penulisan terjadi namun, akan lebih baik apabila bahan dan informasi yang relevan telah terkumpul dalam jumlah yang cukup sebelum kegiatan penulisan dilakukan oleh seorang penulis. Penilaian logis tersebut muncul dengan dasar bahwa bahan dan informasi yang dimiliki oleh seorang penulis hanya berfungsi sebagai modal awal saja. Di dalam proses penulisan, modal awal berupa bahan dan informasi tersebut harus ditambah dan disempurnakan agar lebih relevan dengan topik dan tujuan penulisan karangan. Di sisi lain, penambahan bahan dan informasi akan mudah dilakukan dikarenakan seorang penulis sudah tahu persis apa yang diperlukannya, dengan mengacu pada dua komponen awal tersebut (Suparno dan Yunus, 2007: 1.20).

e) Mengorganisasikan Ide dan Informasi

(21)

langkah terakhir dari tahapan prapenulisan. Setelah seorang penulis menentukan topik, tujuan, corak wacana, mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan pembaca, maka langkah selanjutnya adalah mengorganisasikan atau menata ide-ide karangan agar menjadi saling bertautan, runtut, dan padu (Suparno dan Yunus, 2007: 1.20). Secara umum banyak kesulitan-kesulitan yang muncul dalam mengorganisasikan ide dan informasi. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum menulis, ide dan informasi yang akan dituangkan oleh seorang penulis tidak disusun atau diorganisasikan terlebih dahulu. Seorang penulis harus menyusun kerangka karangan dengan tujuan utama agar tulisannya dapat tersusun secara sistematis. Kerangka karangan adalah panduan seseorang dalam menulis ketika mengembangkan suatu karangan (Dalman, 2014: 18).

Di sisi lain, kerangka karangan juga diartikan sebagai sebuah topik kerangka yang memuat rencana karangan yang berisi pokok-pokok permasalahan pembicaraan yang tersusun secara sistematis dan dapat dikembangkan menuju bentuk yang lebih sempurna. Penyusunan kerangka karangan ini merupakan kegiatan terakhir yang dilakukan pada tahap persiapan atau prapenulisan. Keraf (2004: 149) menyatakan bahwa kerangka karangan adalah suatu rencana kerja yang memuat garis-garis besar dari suatu karangan yang akan digarap. Ada pun manfaat dari kerangka karangan adalah di antaranya yaitu: digunakan untuk menyusun karangan secara teratur, memudahkan penulis menciptakan klimaks yang berbeda-beda, menghindari penggarapan sebuah topik sampai dua kali atau lebih, dan memudahkan penulis untuk mencari materi pembantu.

2) Tahap Penulisan

(22)

dalam kerangka yang disusun dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah dipilih dan dikumpulkan pada tahap prapenulisan (Dalman, 2014: 18). Di dalam tahapan mengembangkan gagasan menjadi suatu kerangka yang utuh, diperlukan bahasa yang tepat, oleh karena itu seorang penulis harus menguasai kata-kata yang mendukung gagasan atau ide yang dimilikinya. Penulis harus mampu memilih kata dan istilah yang tepat sehingga gagasan dapat dipahami pembaca dengan tepat pula. Kata-kata itu harus dirangkaikan menjadi kalimat efektif yang selanjutnya kalimat-kalimat tersebut harus disusun menjadi paragraf dan ditulis dengan ejaan yang berlaku disertai tanda baca yang digunakan secara tepat.

Secara umum di dalam tahap penulisan akan mengacu pada struktur utama karangan yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awal, isi, dan akhir.

Bagian pertama, awal karangan berfungsi untuk memperkenalkan sekaligus menggiring pembaca terhadap pokok tulisan. Bagian ini dinilai sangat penting karena akan menentukan apakah pembaca melanjutkan kegiatan bacanya atau tidak, oleh karena itu seorang penulis harus berupaya agar awal karangan yang ditulisnya dapat dibuat semenarik mungkin (Suparno dan Yunus, 2007: 1.23).

(23)

keluasan isi, jenis informasi yang akan disajikan, pola organisasi karangan termasuk di dalamnya teknik pengembangan alinea, serta gaya dan cara pembahasan (pilihan kata, pengalimatan, dan pengaleniaan). Keputusan yang diambil di dalam hal ini tentunya harus diselaraskan dengan topik, tujuan, corak karangan, dan pembaca karangan (Suparno dan Yunus, 2007: 1.23).

Bagian ketiga, akhir karangan yang berfungsi untuk mengembalikan pembaca kepada ide-ide inti dan penekanan ide-ide penting. Pada dasarnya, bagian akhir itu juga berisi kesimpulan dan dapat ditambahkan rekomendasi atau saran apabila diperlukan (Dalman, 2014: 18-19).

3) Tahap Pascapenulisan

Di dalam tahap pascapenulisan, secara umum berintikan pada adanya sebuah upaya untuk melakukan penyempurnaan dan penghalusan dari tulisan yang telah dibuat. Sebuah tulisan perlu dibaca kembali pada tahap ini. Kegiatan yang ada di dalam tahap pascapenulisan terdiri atas dua komponen pokok yaitu, penyuntingan dan perbaikan (revisi) (Dalman, 2014: 19). Heffernan dan Lincoln serta Tompkins dan Hosskisson dalam (Suparno dan Yunus, 2007: 1.24) membedakan pengertian menyunting (editing) dan perbaikan atau revisi. Menurut mereka, penyuntingan adalah pemeriksaan dan perbaikan usur mekanik karangan seperti ejaan, pungtuasi, diksi, pengkalimatan, pengalineaan, gaya bahasa, pencatatan kepustakaan, dan konvensi penulisan lainnya. Ada pun pengertian revisi atau perbaikan lebih mengarahkan pada pemeriksaan dan perbaikan terhadap isi karangan.

(24)

2007: 1.24) berpendapat yang intinya berlawanan terhadap pendapat yang disampaikan oleh Heffernan dan Lincoln serta Tompkins dan Hosskisson. Defelice, Proet, Gill, dan Kemnitz justru berpendapat bahwa pengertian penyuntingan dan revisi adalah kegiatan yang sama. Mereka berpendapat bahwa baik penyuntingan atau revisi pada dasarnya mengacu kepada kegiatan pemeriksaan, membaca ulang, serta memperbaiki unsur mekanik dan isi karangan. Suparno dan Yunus (2007: 1.24) berpendapat yang dapat dikatakan senada dengan pendapat Defelice, Proet, Gill, dan Kemnitz, yang mengartikan penyuntingan sebagai kegiatan membaca ulang suatu “buram karangan” (kerangka karangan) dengan maksud untuk

merasakan, menilai, dan memeriksa baik unsur mekanik ataupun isi karangan. Pada hakekatnya, tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menemukan atau memperoleh informasi tentang unsur-unsur karangan yang perlu disempurnakan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan di dalam kegiatan penyuntingan dan revisi di antaranya sebagai berikut.

a) Membaca keseluruhan karangan

b) Menandai hal yang perlu diperbaiki atau memberikan catatan bila ada hal-hal yang harus diganti, ditambahkan, atau disempurnakan, serta

c) Melakukan perbaikan sesuai dengan temuan saat penyuntingan (Suparno dan Yunus (2007: 1.25).

(25)

secara umum, kadar revisi karangan itu sendiri tergantung pada tingkat keperluannya, meliputi revisi berat, sedang, atau ringan. Di dalam revisi ringan, umumnya disebabkan oleh kesalahan-kesalahan dari unsur-unsur mekanik. Kegiatan perbaikannya biasanya dilakukan bersamaan dengan penyuntingan namun, di dalam revisi berat yang disebabkan oleh kesalahan urutan gagasan, contoh, atau ilustrasi, cara pengembangan, penyampaian penjelasan atau bukti, kegiatan perbaikan itu biasanya dilakukan setelah penyuntingan seleseai dilakukan. Apabila perbaikan itu mendasar, maka kegiatan revisi berat ini biasanya diikuti dengan penulisan kembali karangan (rewrite) (Suparno dan Yunus (2007: 1.24-1.25).

Berdasarkan uraian tentang tahap-tahap penulisan tersebut, secara umum dapat dipahami bahwa tahap-tahap penulisan itu merupakan rangkaian alur berpikir yang runtut dan kronologis. Tahap-tahap penulisan tersebut dimulai dari tahap pertama berupa prapenulisan yang intinya merupakan tahap perencanaan atau persiapan menulis berupa kegiatan mencari, menemukan, dan mengingat kembali pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dan diperlukan penulis. Tahap kedua penulisan yang membahas setiap butir pokok yang ada di dalam kerangka yang disusun dengan memanfaatkan bahan atau informasi yang telah dipilih dan dikumpukan pada tahap prapenulisan. Tahap ketiga pascapenulisan yang secara umum berintikan pada adanya upaya untuk melakukan penyempurnaan dan penghalusan dari tulisan yang telah dibuat.

g. Ciri-Ciri Tulisan yang Baik

(26)

itu memiliki beberapa ciri-ciri, di antaranya sebagai berikut.

1) Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis mempergunakan nada yang serasi.

2) Tulisan yang baik mencerminakan kemampuan sang penulis menyusun bahan-bahan yang tersedia menjadi suatu keseluruhan yang utuh.

3) Tulisan yang baik mencerminkan kehidupan kemampuan penulis memanfaatkan struktur kalimat, bahasa, dan contoh-contoh sehingga makna sesuai dengan yang diinginkan oleh sang penulis.

4) Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan penulis untuk menulis secara meyakinkan.

5) Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan penulis untuk memperbaiki atau menyunting kembali tulisan tersebut.

6) Tulisan yang baik mencerminkan kemampuan sang penulis mempergunakan ejaan dan tanda baca secara seksama (Tarigan, 2013: 6-7).

h. Teks Eksposisi

1) Pengertian Teks Eksposisi

(27)

bekerja, tentang bagaimana suatu operasi diperkenalkan, b) suatu analisis atau suatu penafsiran yang objektif terhadap seperangkat fakta, dan c) mungkin sekali berupa fakta tentang seseorang yang berpegang teguh pada suatu pendirian yang khusus, asalkan tujuan utamanya adalah untuk memberikan informasi (Resmini, 2006: 139).

Suryanta (2014: 44) menjelaskan bahwa hakekat teks eksposisi terletak pada adanya opini dan argumen penulis. Teks eksposisi biasanya memuat isu atau persoalan tentang topik tertentu dan pernyataan yang menunjukkan posisi penulis dalam menanggapi isu atau persoalan tersebut. Pada tahap selanjutnya teks eksposisi juga dapat didefinisikan sebagai teks yang berisi paparan, pendapat, atau opini seseorang dalam menanggapi atau menyikapi suatu isu atau permasalahan (Suryanta, 2014: 44). Di sisi lain, Priyatni (2014: 91) berpendapat bahwa teks eksposisi adalah teks yang digunakan untuk meyakinkan pembaca terhadap opini dengan sejumlah argumen pendukung.

Selain pendapat Resmini tersebut, Marwoto dkk (1985: 170) menutarakan bahwa teks eksposisi juga dapat diartikan sebagai paparan yang memberikan, mengupas, atau menguraikan sesuatu demi sesuatu penyuluhan (penyampaian informasi), dan penyuluhan tersebut tanpa harus disertai desakan atau paksaan kepada pembacanya agar menerima sesuatu yang dipaparkan sebagai suatu yang besar. Menurut Suparno dan Yunus (2007: 1.12) teks eksposisi adalah ragam wacana yang dimaksudkan untuk menerangkan, menyampaikan, atau menguraikan sesuatu hal yang dapat memperluas atau menambah pengetahuan dan pandangan pembacanya.

(28)

atau tidak berusaha mempengaruhi pendapat orang lain. Penulis eksposisi harus membekali dirinya dengan pemahaman objek yang dibicarakan dengan mengetahui prinsip umum atau teori ilmiahnya. Penulis juga harus mempunyai kemampuan menganalisis persoalan secara jelas dan konkret. Fakta dan ilustrasi yang disampaikan penulis sekedar memperjelas apa yang akan disampaikannya.

Keraf (1981: 3) menjelaskan bahwa eksposisi atau pemaparan adalah salah satu bentuk tulisan atau retorika yang berusaha untuk menerangkan dan menguraikan suatu pokok pikiran, yang dapat memperluas pandangan atau pengetahuan seseorang yang membaca uraian tersebut. Selain itu, Keraf juga menekankan bahwa eksposisi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga dapat memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca dari uraian tersebut. Pada dasarnya wacana ini dapat digunakan untuk menjelaskan wujud dan hakekat suatu objek, misalnya menjelaskan pengertian suatu kebudayaan kepada pembaca. Eksposisi dianggap sebagai sebuah alat untuk menjelaskan bagaimana pertalian suatu obyek dengan obyek yang lain atau dapat digunakan oleh seorang penulis untuk menganalisa struktur suatu barang, menganalisa karakter seorang individu, atau situasi (Keraf, 1995: 7). Di sisi lain, Kosasih (2013: 122) juga mengemukakan bahwa teks eksposisi adalah teks yang memaparkan sejumlah pengetahuan atau informasi.

(29)

pendapat untuk memperluas pandangan atau pengetahuan pihak lain atau pembaca. Hasani (2005: 30) mendefinisikan bahwa eksposisi merupakan bentuk tulisan yang sering digunakan dalam menyampaikan uraian ilmiah dan tidak berusaha mempengaruhi pendapat pembaca.

Suparmi (1985: 184) juga mengungkapkan bahwa di dalam menulis eksposisi seorang penulis pada hakekatnya sedang menjelaskan sesuatu atau mengembangkan sebuah gagasan. Rahardi (2009: 166) berpendapat bahwa eksposisi adalah paragraf paparan yang bertujuan untuk menampilkan atau memaparkan sosok objek tertentu yang hendak dituliskan. Senada dengan pendapat-pendapat tersebut, Resmini (2006: 139) berpendapat bahwa eksposisi adalah karangan yang bertujuan utama untuk memberitahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu dengan acuan semata-mata hanya untuk membagikan informasi dan tidak sama sekali untuk mendesak atau memaksa pembaca untuk menerima pandangan atau pendirian tertentu sebagai sesuatu yang benar.

(30)

lain. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebutlah, maka dapat dipahami bahwa teks eksposisi merupakan tulisan yang menjelaskan dan menginformasikan sesuatu yang dapat menambah pengetahuan seseorang atau pembaca.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa teks eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menerangkan atau menginformasikan dan menguraikan suatu pokok pikiran sehingga dapat memperluas pengetahuan atau wawasan seseorang yang membaca tanpa disertai desakan atau paksaan kepada pembaca agar menerima sesuatu yang dipaparkannya tersebut.

2) Tujuan Teks Eksposisi

Secara umum, sudah banyak ahli yang mengungkapkan tujuan dari teks eksposisi. Di dalam bagian ini akan ditampilkan beberapa pendapat ahli tersebut di antaranya akan diuraikan sebagai berikut.

(31)

pengetahuan seseorang.

Suparno dan Yunus (2007: 1.12) mengungkapkan bahwa tujuan utama dari eksposisi adalah untuk memberitahukan, mengupas, menguraikan atau menerangkan sesuatu. Masalah utama yang dikomunikasikan terutama berupa data faktual. Keraf (1981: 3) mengungkapkan bahwa tujuan yang paling menonjol pada sebuah tulisan ekspositoris adalah memperluas pandangan dan pengetahuan seseorang. Selain itu, Keraf (1995: 8) juga mengungkapkan bahwa tujuan utama dari teks eksposisi adalah memberitahukan atau memberi informasi mengenai suatu obyek tertentu. Penulis eksposisi tidak berusaha mempengaruhi atau menggerakan pembaca dan tidak berusaha memberi kesan, kecuali menyampaikan pernyataan yang lengkap dan dapat dipercaya mengenai suatu obyek. Secara umum eksposisi digunakan pada waktu memberikan penjelasan atau pengarahan mengenai suatu hal atau tindakan tertentu, atau membatasi pengertian sebuah istilah.

(32)

tulisan penerangan karena tujuan utamanya tidaklah hanya sekedar menceritakan saja tetapi juga melukiskan, menggambarkan, ataupun meyakinkan.

Tujuan umum dari teks eksposisi atau penyingkapan adalah menjelaskan (to explain) sesuatu kepada para pembaca. Tulisan/teks penyingkapan mempergunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan itu, misalnya dengan pengklasifikasian, pembatasan, penganalisisan, penjelajahan, penafsiran, dan penilaian. Di dalam proses penulisan teks eksposisi atau penyingkapan, penulis dapat memusatkan perhatiannya pada salah satu kutub yang ekstrim, yang paling obyektif, atau yang paling subyektif (Tarigan 2013: 65).

Berdasarkan uraian beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan utama teks eksposisi adalah memberikan penjelasan kepada pembaca tentang suatu informasi sehingga pembaca bertambah pengetahuannya tentang informasi tersebut.

3) Perbedaan Teks Eksposisi dengan Teks Argumentasi

(33)

diuraikan sebagai berikut. a) Tujuan

Secara umum teks eksposisi berusaha untuk menjelaskan atau menerangkan suatu pokok persoalan, tanpa usaha mempengaruhinya, sebaliknya teks argumentasi berusaha untuk membuktikan suatu kebenaran dari suatu pokok persoalan agar pembaca mengubah sikap dan pendapatnya (Keraf, 1995: 20). b) Keputusan

Pada dasarnya di dalam teks eksposisi, penulis menyerahkan keputusanya kepada pembaca untuk menerima atau tidak menerima apa yang dikatakan oleh penulis (Keraf, 1995: 20). Pembaca yang menolak apa yang diuraikan tak menjadi soal, penulis sudah merasa puas bahwa apa yang dipikirkannya sudah tersalurkan dan sekurang-kurangnya orang lain sudah mengetahui hal tersebut (Keraf, 1981: 4). Di sisi lain pada teks argumentasi, penulis justru hanya ingin mengubah pandangan dan sikap pembaca, oleh karena itu, penulis berusaha memaksakan atau mendesakkan pendapatnya untuk diterima agar pembaca percaya akan uraiannya dan sekaligus meninggalkan pendapat mereka yang lama dan menerima pendapat yang baru (Keraf, 1995: 20).

c) Rasa Frustasi

(34)

pendapat pembaca (Keraf, 1981: 4).

Di dalam teks argumenatsi, penulis mengharapkan atau mendesakkan sesuatu secara pasti kepada pembaca atau orang-orang lain sehingga mereka akan sependapat dengan penulis, oleh karena itu akan lebih mudah timbul rekasi-reaksi, entah reaksi positif maupun reaksi negatif. Adanya reaksi negatif dapat muncul dengan wujud tidak adanya dukungan-dukungan yang positif dari pembaca, sehingga akan mudah menimbulkan frustasi pada si penulis (Keraf, 1995: 20). Kondisi tersebut muncul dengan anggapan bahwa berbagai macam pendapat dan uraiannya yang telah disampaikan oleh si penulis kepada pembaca dapat diartikan seluruhnya ditolak (Keraf, 1981: 4-5).

d) Gaya Penyajian

Secara umum apabila mengacu pada tiga pendapat yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dipahami bahwa cara penyajian di dalam teks eksposisi lebih condong ke gaya informatif. Pada dasarnya gaya penyajian tersebut hanya berusaha menguraikan obyeknya sejelas-jelasnya, sehingga pembaca dapat menangkap informasinya dengan mudah. Di sisi lain, di dalam teks argumentasi pada hakekatnya penulis memiliki tujuan utama yaitu hanya ingin meyakinkan para pembacanya (Keraf, 1995: 20).

(35)

segi-segi yang diyakininya benar (Keraf, 1995: 21). e) Gaya Bahasa

Secara umum, gaya penyajian di dalam kedua jenis teks tersebut mempengaruhi pula gaya bahasa yang digunakan. Gaya bahasa yang digunakan dalam teks eksposisi adalah bahasa berita tanpa rasa subyektif dan emosional. Secara umum, maksud penulis sama sekali tidak menggunakan kata-kata yang membangkitkan emosi para pembaca (Keraf, 1995: 21). Di sisi lain bahasa penulis teks argumenatsi bersifat rasional dan obyektif. Pada hakekatnya, perbedaan antara kedua gaya bahasa itu bertumpang tindih, karena “tanpa rasa subyektif dan emosional” dapat diartikan pula dengan “obyektif” (Keraf, 1995: 21). Pendapat

tersebutlah yang dinilai menjadi “kabur” karena di dalam aspek pembeda antara

teks eksposisi dan teks argumentasi ada tumpang tindih namun, secara sederhana dapat ditekankan bahwa perbedaan gaya bahasa antara “tanpa rasa subyektif dan emosional” atau “obyektif” itu hanya terletak dalam derajat objektivitasnya saja

(Keraf, 1981: 5). f) Fakta

(36)

banyak evidensi dikemukakan maka semakin kuat argumentasinya (Keraf, 1995: 21). Pada hakekatnya kelemahan di dalam menyodorkan fakta atau evidensi, mengaitkan evidensi yang satu dengan evidensi yang lain, dan merangkaikan fakta akan menggagalkan usaha penulis untuk mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca (Keraf, 1981: 5).

Berdasarkan uraian tentang perbedaan antara teks eksposisi dengan teks argumentasi, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perbedaan yang utama di antara teks eksposisi dan teks argumentasi itu terletak pada beberapa aspek yang menjadi seperti,tujuan, keputusan, rasa frustasi, gaya penyajian, gaya bahasa, dan fakta.

4) Syarat Menulis Teks Eksposisi

Pada hakekatnya teks eksposisi berusaha untuk memperluas pandangan dan pengetahuan seseorang mengenai obyek yang digarapnya (Keraf, 1981: 6). Apabila mengacu pada pendapat tersebut maka, salah satu cara untuk dapat mencapai tujuan tersebut bagi seorang penulis teks eksposisi adalah ia harus memenuhi syarat-syarat menulis teks eksposisi. Beberapa syarat di dalam menulis teks eksposisi akan diuraikan sebagai berikut.

a) Penulis harus mengetahui serba sedikit tentang subyek-subyeknya

(37)

wawancara, atau melalui penelitian kepustakaan (kajian pustaka).

Berdasarkan hasil penelitiannya tersebut, maka seorang penulis akan dapat mengumpulkan bahan atau informasi sebanyak-banyaknya kemudian melakukan evaluasi dan akhirnya dapat ditampilkan di dalam tulisannya (Keraf, 1981: 6). Pada akhirnya, pengetahuan minimal yang dimiliki oleh penulis itu dapat diartikan pula sebagai mengetahui prinsip-prinsip umum atau prinsip-prinsip teoretis dan ilmiah mengenai suatu bidang pengetahuan (Keraf, 1981: 6). Di sisi lain, mengetahui subyek yang akan digarap merupakan suatu syarat mutlak dari retorika. Di dalam hal ini, retorika diartikan sebagai suatu teknik penggunaan bahasa secara seni berdasarkan suatu pengetahuan yang teratur, oleh karena itu mengetahui obyek penulisan secara mendalam merupakan suatu condition sine qua non (Keraf, 1981: 6).

b) Kemampuan untuk menganalisa persoalan secara jelas dan konkret

(38)

maka semakin baik pula nilai eksposisi yang ditulisanya itu (Keraf, 1981: 6). Berdasarkan uraian tentang syarat menulis teks eksposisi dapat disimpulkan bahwa teks eksposisi itu harus dibangun dengan dua komponen utama yaitu: pertama penulis harus mengetahui serba sedikit tentang subyek-subyeknya dan kedua kemampuan untuk menganalisa persoalan secara jelas dan konkret.

5)Metode-Metode Menulis Teks Eksposisi

Pada dasarnya, kemampuan untuk dapat menganalisa dan melakukan evaluasi persoalan secara jelas dan konkret dapat diperoleh melalui latihan-latihan yang sistematis, melalui pendidikan khususnya mengenai metode analisa dan teknik pendekatan (Keraf, 1981: 7). Kemampuan dalam menganalisis dan mengevaluasi dinilai sangat penting karena tujuan utama dari teks eksposisi adalah berusaha untuk memperluas pandangan dan pengetahuan seseorang mengenai obyek yang digarapnya (Keraf, 1981: 6). Berdasarkan pendapat tersebutlah dapat dipahami bahwa, semakin baik kemampuan seorang penulis dalam menganalisis dan mengevaluasi obyek tulisannya makan akan semakin baik pula hasil tulisannya dan pada akhirnya akan dapat memperluas pandangan dan pengetahuan pembacanya. Keraf (1981: 7) mengungkapkan beberapa metode atau cara-cara yang bisa dipergunakan untuk menyampaikan informasi melalui teks eksposisi di antaranya yaitu:

a) Metode Identifikasi

(39)

identifikasi sebagai bentuk pembendaan dari identificare berarti proses membuat sesuatu menjadi sama, proses menetapkan kesamaan, atau proses menentukan kesatuan dan wujud suatu individualitas(Keraf, 1995: 25). Secara umum metode identifikasi diartikan sebagai sebuah metode yang berusaha menyebutkan ciri-ciri atau unsur-unsur pengenal suatu obyek sehingga para pembaca atau pendengar lebih mengenal akan obyek tadi (Keraf, 1981: 9).

Secara umum metode identifikasi juga dapat dipahami sebagai suatu metode untuk menggarap sebuah eksposisi sebagai sebuah jawaban atas pertanyaan: “Apa itu? Siapa itu?”. Pada hakekatnya kata identifikasi sebernarnya berarti “proses membuat sesuatu menjadi sama”, “proses menentukan kesatuan dan kelangsungan suatu individualitas” (Keraf, 1981: 9). Di dalam hubungan tersebutlah, makna yang tepat khusus untuk pengertian identifikasi adalah “proses menyebutkan unsur-unsur yang membentuk suatu hal sehingga ia dikenal sebagai hal atau obyek tersebut”

(Keraf, 1995: 25).

b) Metode Perbandingan

Metode perbandingan diartikan sebagai suatu cara untuk menunjukkan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan antara dua obyek atau lebih dengan mempergunakan dasar-dasar tertentu. Sebagai suatu metode pengembangan di dalam teks eksposisi, dasar-dasar di dalam melakukan perbandingan adalah menempatkan sesuatu yang belum diketahui atau yang belum diketahui dalam kerangka suatu hal atau barang yang sudah dikenal oleh pembaca atau pendengar (Keraf, 1981: 16).

(40)

pembaca, dengan membandingkannya dengan hal lain yang dianggap sudah diketahui para pembaca. Di sisi lain, dengan cara membandingkan kedua hal (atau lebih) itu berarti seorang penulis telah menempatkan obyek garapannya berdampingan untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya-perbedaannya (Keraf, 1981: 16).

c) Metode Ilustrasi atau Eksemplifikasi

Metode ilustrasi atau eksemplifikasi adalah suatu metode untuk mengadakan gambaran atau penjelasan yang khusus dan konkret atas suatu prinsip umum atau suatu gagasan umum. Di dalam metode ilustrasi atau eksemplifikasi ini, penulis berusaha untuk menjelaskan suatu prinsip umum atau suatu kaidah yang lebih luas lingkupnya dengan mengutip atau menunjukkan suatu pokok yang khusus yang tercakup dalam prinsip umum atau kaidah yang lebih luas cakupannya itu. Hubungan antara hal yang khusus dengan sesuatu yang lebih luas merupakan prinsip yang fundamental dalam metode ilustrasi atau eksemplifikasi (Keraf, 1981: 26).

Secara umum, metode ilustrasi atau eksemplifikasi merupakan metode yang paling sering dipergunakan dalam sebuah teks eksposisi karena metode ini tidak menampilkan hal-hal yang umum secara abstrak atau kabur, tetapi menunjukkan contoh-contoh yang nyata dan konkret. Di dalam hal ini, seorang penulis akan merasakan pentingnya sebuah contoh yang konkret untuk menjelaskan lagi uraian yang disampaikan dengan kata-kata tadi (Keraf, 1981: 26). d) Metode Klasifikasi

(41)

pengelompokan-pengelompokan sesuai dengan pengalaman manusia. Barang-barang, gagasan-gagasan yang dikenal melalui pengalaman-pengalaman disusun di dalam sebuah sistem yang teratur (Keraf, 1981: 34). Senada dengan pendapat tersebut, Tarigan (2013: 69) mengatakan bahwa metode klasifikasi adalah suatu prosedur penyaringan yang memudahkan para penulis untuk dalam mengatasi suatu pokok pembicaraan yang luas dengan jalan membagi-baginya menjadi beberapa bagian.

Apabila mengacu pada hal-hal tersebut maka dapat dipahami bahwa metode klasifikasi merupakan jalan untuk menjangkau bermacam-macam subyek ke dalam suatu pertalian, menempatkan sebuah subyek ke dalam hubungan yang masuk akal dengan barang-barang lainnya berdasarkan suatu sistem, memberi pada suatu barang atau hal sebuah konteks yang logis oleh karena itu, di dalam metode klasifikasi selalu mencakup persoalan kelas atau kelompok. Di sisi lain, metode klasifikasi merupakan suatu metode untuk menempatkan barang-barang dalam suatu sistem kelas, sehingga dapat dilihat hubungannya ke samping, ke atas, dan ke bawah (Keraf, 1981: 34).

e) Metode Definisi

Secara umum pengertian definisi dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut, seperti pengertian definisi dari kamus di mana definisi diartikan sebagai berikut.

(1) suatu pernyataan tentang apa yang dimaksud dengan suatu hal atau barang (disebut referen) dan

(42)

ciri esensial dari suatu barang, hal, orang, proses, atau aktivitas (Keraf, 1995: 115).

Di dalam arti sempit, definisi diartikan bukan mengenai suatu barang atau hal, tetapi juga mengenai sebuah kata, sedangkan di dalam arti luas, definsi mencakup pengertian membatasi pengertian suatu barang atau hal yang didefinisikan (Keraf, 1981: 44). Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa definisi itu memberi pengetahuan kepada pembaca tentang suatu barang, si penulis mengatakan kepada pembaca “barang itu sebenarnya apa”,

sehingga metode definisi dapat diartikan sebagai sebuah metode yang mengacu pada sebuah upaya untuk mengadakan atau menggarap sebuah teks eksposisi (Keraf, 1981: 45). Di sisi lain, Tarigan (2013: 70) berpendapat bahwa metode definisi adalah sejenis penyingkapan yang merupakan dasar bagi semua tulisan yang bertujuan untuk memperjelaskan, oleh karena itu hakekat dasar dari definisi adalah tindakan pembahasan, yang hendak memberi pengertian sesuatu istilah sejelas mungkin.

f) Metode Analisa

Di dalam metode ini, analisa diartikan sebagai suatu cara membagi-bagi suatu subyek ke dalam komponen-komponennya (Bahasa Yunani: analyein = menanggalkan, menguraikan; dibentuk dari kata ana- = atas, dan lyein= melepaskan, menanggalkan (Keraf, 1981: 60). Berdasarkan arti kata tersebut maka analisis dapat diartikan melepaskan, menanggalkan, atau menguraikan sesuatu yang terikat-padu atas bagian-bagiannya (Keraf, 1995: 40).

(43)

dari sesuatu yang konkret berupa barang atau terdiri dari suatu gagasan yang abstrak. Secara umum selain syarat bahwa analisis itu terdiri dari komponen-komponen, juga harus diingat bahwa analisis itu sendiri sama sekali tidak menciptakan bagian-bagian tersebut. Bagian-bagian-bagian tersebut ditemukan oleh penulis, bukan diciptakan oleh penulis, dengan menemukan bagian-bagian tersebut penulis meminta agar para pembaca memperhatikan bagian-bagian tersebut. Sebuah barang atau hal yang dapat dianalisis bisa memiliki bagian atau komponen yang berbeda-beda sesuai dengan penglihatan pengarang, namun bagian-bagian tersebut harus bersama-sama memiliki fungsi-fungsi tertentu terhadap keseluruhannya (Keraf, 1981: 60). g) Metode Analisa Kausal

Hubungan kausal adalah suatu hubungan yang melibatkan suatu obyek atau lebih yang dianggap menjadi sebab timbulnya atau terjadinya hal yang lain. Di dalam metode pengembangan analisa kausal, seorang penulis yang menghadapi suatu masalah dengan indikasi pertalian sebab-akibat maka ia harus melakukan dua hal utama, yaitu: pertama, penulis harus mengidentifikasi untuk menemukan faktor-faktor yang mempunyai pertalian dengan masalah yang akan dibahas. Kedua, penulis menetapkan faktor-faktor yang menjadi sebab dan faktor-faktor yang menjadi akibat (Keraf, 1981: 71).

(44)

penulis harus mengajukan lagi pertanyaan akibat atau pengaruh apakah yang dapat muncul kemudian atau mencari akibat-akibat yang mungkin timbul karena peristiwa yang pertama. Penulis juga bergerak dari satu hal atau peristiwa yang dianggap sebagai sebab, kemudian mempersoalkan akibat-akibat mana yang mungkin timbul (Keraf, 1981: 71).

6) Teknik Penulisan Teks Eksposisi

Secara umum, sebuah teks eksposisi biasanya diwarnai oleh sifat topik yang digarap dan teknik penyajian yang digunakan. Keterampilan menulis memadukan kedua unsur tersebut dengan jalinan bahasa yang baik dan lancar yang akan menandai kualitas sebuah teks eksposisi (Keraf, 1995: 8). Di dalam bagian ini akan diurakan mengenai beberapa aspek, yaitu:

a) Bagian-Bagian Teks Eksposisi

Pada dasarnya teori struktur teks eksposisi telah banyak dibahas oleh para ahli bahasa namun, khusus tentang bagian-bagian teks eksposisi hanya dua ahli yang mengungkapkaknya yaitu sebagai berikut. Pertama, Keraf (1995: 9) berpedapat bahwa sebagai sebuah bentuk tulisan yang paling umum digarap, teks eksposisi tetap mengandung tiga bagian utama, yaitu pendahuluan, tubuh eksposisi, dan kesimpulan. Setiap bagian-bagian tersebut akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut.

(1) Pendahuluan

(45)

(a) latar belakang,

(b) alasan memilih topik itu, (c) pentingnya topik,

(d) luas lingkup,

(e) batasan pengertian topik,

(f) permasalahan dan tujuan penulisan, dan

(g) kerangka acuan yang digunakan (Keraf, 1995: 9).

Di dalam pelaksanaannya, pendahuluan tidak perlu menyajikan semua unsur yang dikemukakan oleh Keraf tersebut. Penulis memiliki kebebasan dalam memilih beberapa dari semua segi yang dikemukakan, khususnya untuk dapat digunakan oleh penulis dalam mengembangkan tulisannya di dalam isi teks eksposisi nantinya (Keraf, 1995: 9). Banyak orang berkeyakinan bahwa pendahuluan yang baik dalam melakukan sesuatu akan berakhir pula dengan baik, bahkan ada ungkapan yang mengatakan jika permulaan yang baik telah menunjukkan 50% dari hasil yang hendak dicapai (Tarigan, 2013: 104). Di sisi lain, selain pentingnya komponen-komponen pendahuluan berupa latar belakang hingga kerangka acuan, ternyata di dalam penulisan pendahuluan itu terdapat sejumlah pertanyaan yang harus dipertimbangkan oleh penulis.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dapat dijawab dengan baik dan serasi, sebab biasanya yang menjadi kesulitan pada bagian pendahuluan adalah aspek keputusan-keputusan, ketegasan-ketegasan yang dikehendaki, dan tantangan-tantangan yang dikemukakan. Tarigan (2013: 104) mengemukakan beberapa pertanyaan yang biasanya harus dijawab di bagian pendahuluan di antaranya sebagai berikut.

(a) Bagaimana caranya saya menarik minat pembaca? (b) Bagaimana caranya saya disenangi oleh pembaca

(c) Bagaimana sebaiknya saya menyatakan tesis saya atau rencana tulisan saya? (d) Nada apa yang hendak saya pergunakan?

(46)

Beberapa pertanyaan tersebut akan diuraikan lebih rinci sebagai berikut. (a) Menarik Minat Pembaca

Pada dasarnya minat pembaca adalah kunci awal untuk dapat membuat seorang pembaca menyelesaikan proses membacanya. Oleh karena itu, seorang penulis harus dapat menarik pembaca khususnya di awal karangan yang dibuatnya. Beberapa pendekatan yang umumnya dinilai dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para pembaca di dalam pendahuluan, di antaranya sebagai berikut. (i) Pertanyaan yang kontroversial, yang sedang hangat diperdebatkan (ii) Suatu unsur atau elemen yang mengagumkan

(iii) Suatu nada yang kontradiksi

(iv) Suatu pertanyaan dramatis yang singkat dan padat (v) Penggunaan sarana-sarana statistik

(vi) Penggunaan gaya bahasa tertentu (persamaan atau metafora) (vii) Penggunaan kutipan-kutipan

(viii) Suatu penunjukan atau referensi pada peristiwa mutakhir

(ix) Pembuktikan kewenangan/ keahlian sang penulis (Adelstein dan Pivan dalam Tarigan, 2013: 105).

D’Angelo dalam (Tarigan, 2013: 105) juga mengungkapkan pendapatnya khususnya mengenai paragraf pendahuluan. D’Angelo menyarankan beberapa cara

untuk dapat menarik minat pembaca khususnya pada bagian paragraf pendahuluan, di antaranya sebagai berikut.

(i) Mulailah dengan perincian-perincian pemerian/deskriptif (ii) Mulailah dengan suatu lelucon

(iii) Mulailah dengan suatu kutipan (iv) Mulailah dengan pernyataan tesis

(v) Mulailah dengan suatu pertanyaan/ masalah (vi) Mulailah dengan suatu gaya bahasa tertentu

(vii) Mulailah dengan suatu pernyataan yang samar-samar (viii) Mulailah dengan suatu analogi

(b) Menyatakan Tesis

(47)

pada laporan-laporan ilmiah atau pada disertasi. Berdasarkan hal itu, untuk jenis tulisan yang bersifat tidak imliah, maka tesis tidak perlu disampaikan secara ekspilisit, tetapi cukup dinyatakan secara implisit.

(c) Memilih Nada

Pada hakekatnya inti dari proses komunikasi adalah adanya kegiatan interaksi yang tidak terduga, yakni terkadang seseorang dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain yang belum dikenalnya. Di dalam konsteks ini, seorang penulis berbeda dengan seorang pembicara yang pada pelaksanaan komunikasi dapat bertemu langsung, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya. Seorang penulis tidak dapat memilik tulisannya itu dibaca oleh orang yang mengenalnya saja, oleh karena itu seorang penulis harus membuat keputusan-keputusan mekanik. Keputusan-keputusan tersebut dapat berupa keputusan dalam menetapkan nada pada paragraf pertama, bahkan di dalam hal-hal tertentu justru pada kalimat pertama. Nada yang sesuai nantinya akan menentukan hubungan antarpenulis, pokok pembicaraan, dan para pembaca (Tarigan, 2013: 109).

Pada dasarnya, pemilihan nada itu bergantung pada beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut.

(i) Pilihan kata-kata, (ii) Struktur kalimat, (iii) Bentuk kata kerja, dan

(iv) Pilihan kata ganti (Tarigan, 2013: 109).

(48)

sudah dipilih haruslah dipergunakan secara konsekuen dalam seluruh tulisan, jangan menukar-nukarkan nada seenaknya yang membuat tulisan itu menjadi hambar serta membosankan, bahkan menjengkelkan para pembaca. Secara sederhana, putuskanlah nada mana yang hendak dipakai dan jangan beranjak dari situ sampai akhir (Tarigan, 2013: 109).

(d) Menentukan Sudut Pandang

Penentuan sudut pandang juga dinilai sangat penting di dalam sebuah karangan, khususnya bagian pendahuluan karena akan menentukan posisi penulis dan pembaca. Di dalam teks penyingkapan atau teks eksposisi, secara umum terdapat tiga kemungkinann sudut pandang, yaitu sebagai berikut.

(i) Kata ganti orang pertama (ii) Kata ganti orang kedua

(iii) Kata ganti orang ketiga (Tarigan, 2013: 110).

Secara umum, kata ganti orang pertama dapat berwujud saya, kita, atau kami. Kata ganti tersebut dapat dinilai menimbulkan nada pribadi yang akrab, yang

terutama sekali sesuai dan serasi apabila pengalaman penulis memperlihatkan kewenangan ataupun keterpercayaan terhadap hal-hal yang dikemukakannya mengenai pokok pembicaraan (Tarigan, 2013: 110). Kata ganti orang kedua seperti, kamu, saudara, dan Anda dinilai sangat kontroversial. Penilaian tersebut muncul karena penggunaan kata ganti kamu, saudara, dan Anda membuat tulisan menjadi terlalu formal dan bernada perintah. Hal tersebutlah yang dinilai menjadi kurang mengenakan bagi para pembaca, karena umumnya membuat penulis terasa sangat menggurui (Tarigan, 2013: 110).

(49)

kata ganti dia, beliau, dan mereka. Kata ganti orang ketiga tersebutlah yang paling sering dipergunakan di dalam teks eksposisi atau teks penyingkapan. Pokok pembicaraan di dalam tuisan eksposisi menjadi pusat perhatian umum, yang dibarengi oleh kata ganti yang serasi ataupun kata ganti orang tak tertentu (masing-masing, setiap orang, dll) (Tarigan, 2013: 111).

(2) Tubuh Eksposisi

Apabila di dalam bagian pendahuluan penulis diwajibkan untuk menuliskan komponen-komponen yang dinilai sebagai pembuka dari teks eksposisi, maka di dalam tubuh teks eksposisi seorang penulis sudah dituntut untuk dapat menganalisis atau mengevaluasi obyek tulisannya itu. Senada dengan pendapat tersebut, langkah awal agar uraian mengenai tubuh atau isi teks eksposisi ini disajikan dengan teratur, penulis harus mengembangkan sebuah organisasi atau kerangka karangan terlebih dahulu. Di dalam kerangka karangan tersebut, penulis menyajikan uraiannya mengenai isi tiap bagian teks eksposisi secara terperinci, sehingga konsep atau gagasan-gagasan yang ingin diinformasikan kepada para pembaca akan tampak jelas (Keraf, 1995: 9).

(50)

diterima oleh pembaca (Keraf, 1995: 9). Di dalam ruang lingkup metode-metode yang disajikan tersebut, penulis dituntut dapat mengajukan fakta-fakta untuk mengkongkretkan informasi yang disampaikannya itu. Pada dasarnya, kaitan antara fakta dengan fakta harus dijalin sedemikian rupa sehingga dapat terlihat logis dan masuk akal. Pendapat dan gagasan-gagasan yang disampaikan biasanya dijalin dalam alinea-alinea yang padu dan kompak (Keraf, 1995: 9).

(3) Kesimpulan

Pada bagian akhir ini, penulis dituntut untuk menyajikan kesimpulannya mengenai apa yang disajikan di dalam isi teks eksposisinya. Sesuai dengan sifat dasar teks eksposisi, apa yang disimpulkan tidak mengarah kepada usaha mempengaruhi para pembaca. Kesimpulan yang diberikan di dalam teks eksposisi hanya bersifat semacam pendapat atau kesimpulan yang dapat diterima atau ditolak pembaca. Hal yang dinilai terpenting untuk dilakukan oleh penulis di bagian kesimpulan adalah penulis sudah menyajikan informasi mengenai topik, untuk memperluas wawasan atau pandangan pembaca (Keraf, 1995: 10).

Kesimpulan di dalam teks eksposisi secara umum terdiri daru dua fungsi yaitu:

(a) Sebagai penutup atau rangkuman.

(b) Menyajikan hal-hal yang penting diingat oleh para pembaca.

(51)

Di sisi lain, fungsi kedua dari kesimpulan adalah karena tingkat keperluannya bagi rasa kebulatan pokok para pembaca, yang telah meninggalkan bagi pembaca sebuah bahan renungan yang penting dan serasi. Berdasarkan hal itulah, baik fungsi pertama maupun fungsi kedua dinilai sangat berarti bagi pembaca (Tarigan, 2013: 111).

Kedua, Kosasih dan Restuti (2013: 54) mengungkapkan bahwa struktur teks eksposisi khususnya tentang bagian-bagian teks eksposisi itu terdiri dari tiga bagian utama. Secara lebih rinci, masing-masing bagian tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

(1) Tesis

Tesis adalah bagain dari teks ekposisi yang berisi sudut pandang penulis terhadap topik atau permasalahan yang dibahas. Istilah ini mengacu ke suatu bentuk pernyataan atau bisa juga sebuah teori yang nantinya akan diperkuat oleh argumen. Di dalam teks eksposisi, bagian ini merupakan bagian penting yang muncul di awal teks walau ada kemungkinan dapat diletakkan kembali pada bagian akhir (penegasan ulang) (Kosasih dan Restuti, 2013: 54).

(2) Argumen-Argumen Pendukung

(52)

(3) Kesimpulan

Kesimpulan adalah bagian terakhir dari struktur teks eksposisi yang berisi ringkasan argumen yang disertai dengan saran-saran. Bagian ini mengandung pernyataan simpulan yang menegaskan kembali tesis yang telah dikemukakan di awal teks dan dibuktikan atau diperkuat oleh unsur argumen pada poin kedua (Kosasih dan Restuti, 2013: 54).

b) Karakteristik Teks Eksposisi

Secara umum, teks eksposisi adalah teks yang memiliki karakteristik tertentu yang digunakan sebagai pembeda dari jenis karangan lainnya. Beberapa ahli bahasa telah menjelaskan tentang karakteristik yang dimiliki oleh teks eksposisi, di antaranya sebagai berikut. Pertama, Kosasih (2013: 122) mengungkapkan bahwa pada dasarnya teks eksposisi itu memiliki beberapa karakteristik di antaranya yaitu sebagai berikut.

(1) Memaparkan

(2) Menyajikan sejumlah fakta (3) Pembaca memperoleh wawasan (4) Menggunakan kata-kata lugas.

Kedua, Suryanta (2014: 70) juga berpendapat tentang karakteristik yang dimiliki oleh teks eksposisi secara berbeda. Suryanta menilia bahwa karakteristik yang dimiliki oleh teks eksposisi itu dapat dikenali dari bahasa yang digunakannya, di antaranya sebagai berikut.

(1) Ditulis menggunakan bahasa formal atau baku,

(2) Kalimat-kalimatnya berstruktur lengkap, jarang terdapat kalimat minor atau elipsis,

(3) Paragraf-paragrafnya bersifat koheren dan kohesif

(4) Banyak menggunakan konjungsi, baik antar klausa maupun antar kalimat (5) Diksi bersifat denotatif daripada konotatif

(53)

Ketiga, Priyatni (2014: 91) mengemukakan pendapatnya bahwa pada dasarnya setiap jenis teks, termasuk teks eksposisi memiliki karakteristik berupa: (1) struktur isi, (2) ciri kebahasaan, dan (3) tujuan sosial yang berbeda. Di dalam konsteks ini akan dibahas hanya terbatas pada karakteristik struktur isi teks eksposisi yang secara khusus meliputi beberapa aspek yaitu sebagai berikut. (a) Judul

Judul di dalam hal ini harus memunculkan isu atau persoalan topik tertentu dari sebuah teks eksposisi.

(b) Tesis/Opini/Pendapat

Di dalam karakteristik ini, acuan utama yang ditampilkan adalah adanya pernyataan-pernyataan yang menunjukkan sudut pandang penulis terhadap suatu isi atau persoalan topik tertentu dari sebuah teks eksposisi.

(c) Argumen

Pada dasarnya argumen berisikan sejumlah bukti dan alasan untuk mendukung serta membuktikan kebenaran tesis yang ditampilkan oleh penulis.

(d) Simpulan

Di dalam bagian ini, penulis menampilkan adanya sebuah rangkuman atau penegasan kembali terhadap sudut pandangan yang penulis ambil dalam menganalisis isi atau persoalan topik tertentu (Priyatni, 2014: 91).

c) Prosedur Penulisan Teks Eksposisi

Gambar

Gambar 2.1 Rentang Respon Kecemasan
Gambar 2.3  Akar Kecemasan dan Kebosanan terhadap Tugas Akademik
Gambar 2.4 Bagan Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan membuat hasil laporan penelitian dengan judul “ PERANCANGAN SISTEM APLIKASI PENDATAAN

Perhatian akan faktor sosial menjadi penting, hasil produk dan jasa kita, wajib memperhatikan akan budaya masyarakat setempat. Setiap masyarakat memiliki ciri khas

Bentuk komunikasi` yang dominan dilakukan adalah bentuk komunikasi interpersonal, di mana pihak PLKB lebih menekankan kepada hubungan interpersonal yang baik sehingga akan

Air mengalir melalui pipa mendatar dari pipa yang berdiameter besar kediameter yang lebih kecil.. Air mengalir melalui pipa mendatar dengan luas penampang pada masing-masing

Salah satu masalah yang sering dihadapi dalam kantor Dinas Pendidikan Ponorogo khususnya bagi panitia yang ditunjuk untuk pemilihan kepala sekolah berprestasi

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah mencurahkan berkat dan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan laporan skripsi dengan

Dibuat dengan cara melarutkan sebanyak 68,2 g bubuk MRSA ke dalam satu liter aquades dan dipanaskan hingga mendidih sambil di-stirrer, kemudian media disterilisasi pada

Pada prinsip penilaian tentang perlindungan makanan juga terdapat penilaian yang belum memenuhi bobot yaitu pada penanganan makanan yang berpotensi bahaya dengan