• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberdayaan perempuan dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga (PEKKA) di Kota Cimahi ditinjau melalui analisis Longwe. Kerangka analisis ini terdiri dari lima tingkatan kesetaraan, yaitu: kesejahteraan, partisipasi, kesadaran kritis, akses, dan kontrol (Handayani, Sugiarti 2005). Lima tingkatan tersebut saling berhubungan, menguatkan, dan berhubungan hierarkis. Setiap tahapan tersebut harus dilewati untuk mencapai keberdayaan.

Kesejahteraan Perempuan

Kesejahteraan perempuan dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga (PEKKA) dilihat dari pendapatan setiap bulan. Pendapatan dihitung dari total pemasukan uang yang didapat perempuan dari hasil kerja nafkah, kerja sosial, kerja serabutan, program pemberdayaan, dan sumber lain.

Gambar 11 Sebaran responden peserta PEKKA Kota Cimahi menurut kesejahteraan perempuan dalam program PEKKA tahun 2016

Gambar 11 menunjukkan mayoritas perempuan peserta program PEKKA memiliki pendapatan di bawah Rp 2 000 000 yang berarti kesejahteraan dalam program PEKKA tidak tinggi. Sebaran pendapatan perempuan tidak merata. Mereka kebanyakan memiliki pekerjaan yang tidak terlalu berat dan tidak meninggalkan rumah. Pendapatan utama didapatkan dari hasil berjualan makanan, warung nasi, toko kecil, jasa jahit, rias pengantin, dan pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah lainnya. Sedangkan pendapatan lainnya didapatkan dari pekerjaan perempuan yang aktif menjadi kader PKK, kader posyandu, arisan, dan kegiatan pemberdayaan. Kegiatan pemberdayaan memberikan kesempatan kepada

sekretariat PEKKA dan meengerjakan pesanan-pesanan jahitan dalam partai besar, seperti membuat seminar kit, seragam, tas, dan berbagai aksesoris rumah lainnya. Biasanya, dalam kegiatan ini peserta program PEKKA mendapatkan penghasilan sebesar Rp 20 000 – Rp 50 000 setiap harinya. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan dari pendamping lapang PEKKA yang mengatakan :

“ namanya juga perempuan, neng. Apalagi kebanyakan janda atau

suaminya nggak kerja. Ibu harus muter otak gimana caranya mengajarkan mereka mandiri dengan keahlian, dan menghasilkan uang harian. Kan kasian kalau mereka ikutan pelatihan PEKKA tapi pulang nggak bawa uang, nanti makan apa? Kan anaknya harus jajan juga. Jadi kita usahakan

mengadakan program yang bisa ngasih sedikitnya penghasilan tiap hari”

(Ibu Kokom, Pendamping Lapang PEKKA Kota Cimahi)

Program PEKKA telah tepat memberdayakan perempuan dengan pendapatan rendah yang berarti keluarga peserta program PEKKA mayoritas merupakan keluarga dengan pendapatan rendah dan berada dalam kondisi pra sejahtera. Peserta program PEKKA yang berstatus janda mengantungkan pemenuhan kebutuhan rumah tangganya kepada pendapatan kepala rumah tangga yang menjadi tanggung jawabnya. Terdapat pula 2 reponden yang memiliki pendapatan di atas Rp 4 000 000 setiap bulannya, dikarenakan mereka memiliki usaha dengan penghasilan cukup seperti menjadi karyawan swasta, perias pengantin, dan memiliki warung kelontong.

Akses Perempuan

Tingkat akses pada pendampingan dan pelatihan perempuan dalam program PEKKA dilihat dari frekuensi pendampingan dan pelatihan yang diikuti oleh responden. Pada program PEKKA Kota Cimahi, pendampingan dan pelatihan dilakukan secara mandiri oleh masing-masing pendamping lapang kelurahan. Selain itu, terdapat pula pendampingan yang berbentuk magang di beberapa sentra UMKM Kota Cimahi selama satu minggu dan dilaksanakan bergiliran.

Gambar 12 Sebaran responden peserta PEKKA Kota Cimahi menurut akses perempuan dalam program PEKKA tahun 2016

“waktu itu kita magang di Peyeum Ketan Istimewa, di Jalan SMP 1.

Selama seminggu diajarkan cara packing peyeum siap jual, sayangnya kita tidak diajarkan cara membuat peyeumnya. Di akhir magang, ibu-ibu diajak pameran UMKM Cimahi di apartemen The Edge, bayaran upah magangnya lumayan neng buat tambah

modal.” (Ibu KYI , 45 tahun)

Berdasarkan data pada gambar 12, tingkat akses responden berbeda-beda. Tidak menyebar secara merata. Dalam satu tahun, peserta PEKKA mayoritas mengikuti pelatihan dan pendampingan sebanyak 5 kali dan 15 kali. Perbedaan akses terhadap program PEKKA karena berbedanya sistem pelatihan dan pendampingan dari setiap kelompok di setiap kelurahan. Pendamping lapang kelompok PEKKA di setiap kelurahan melaksanakan pendampingan dan pelatihan sesuai dengan kesepakatan peserta PEKKA. Disesuaikan dengan potensi yang dimiliki anggota peserta PEKKA.

Kesadaran Kritis Perempuan

Pada tahap ini, perempuan dinilai dari kesadaran bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam konteks pekerjaan produktif. Perempuan pun menyadari, bahwa pere mpuan tidak hanya harus menyelesaikan tugasnya dalam peran reproduktif, namun juga peran produktif dan menyadari bahwa laki-laki pun dapat turut mengambil andil dalam pekerjaan reproduktif sebagai implementasi dari kesetaraan gender.

Gambar 13 Sebaran responden peserta PEKKA Kota Cimahi menurut kesadaran kritis perempuan dalam program PEKKA tahun 2016

Berdasarkan data pada gambar 13, responden anggota PEKKA Kota Cimahi mayoritas telah memiliki kesadaran kritis yang tinggi (skor 40) dengan sebaran yang tidak merata. Responden menganggap bahwa meskipun mereka perempuan, mereka berhak untuk mendapatkan fasilitas dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Diperkuat dengan pernyataan salah satu responden:

“perempuan tanpa laki-laki, ibu masih bisa jadi tukang parkir biar bikin dapur ngebul. Tapi kadang kalau laki-laki tanpa perempuan belum tentu bisa masak nasi buat makan sekeluarga. Kalau udah nggak punya suami, atau suaminya nggak kerja kita (perempuan) wajib banting tulang kerja untuk

menghidupi anak-anak.” (Ibu EKI, 39 Tahun)

PEKKA telah menjadi wadah perempuan-perempuan yang memiliki keterbatasan ekonomi dikarenakan kondisi-kondisi tertentu seperti telah menjanda, suaminya tidak mampu bekerja, dan kondisi keluarga yang pra-sejahtera. Berkumpul dengan beberapa anggota lain yang memiliki pengalaman serupa dapat meningkatkan kesadaran kritis mereka.

“sebenernya ngumpul-ngumpul gini tuh enak. Bisa sambil cerita biar nggak kesal. Ibu kalau sendirian di rumah suka kesal apalagi liat bapak yang

nggak kerja. Di sini (PEKKA) kita saling menguatkan gitu, neng” (Ibu ERO,

57 tahun)

Terdapat pula responden yang memiliki kesadaran kritis yang rendah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu responden:

menurut ibu mah, perempuan nggak usah lah jadi ketua, jadi pemimpin gitu.

Kalau laki-laki masih mampu mending laki-laki aja. Perempuan mah cukup jadi

Partisipasi Perempuan

Partisipasi responden dilihat dari keikutsertannya dalam proses pelaksanaan program PEKKA. Hal ini dapat menjadikan indikator bagaimana keterlibatan perempuan dalam mengikuti program PEKKA. Pada program ini tidak semua anggota memiliki partisipasi yang tinggi, karena jumlah pendampingan dan pelatihan dari setiap kelompok berbeda.

“...biasanya sebulan sekali kita ada kumpul, ibu tanya-tanya gimana kelanjutan usahanya, terus kita kumpulin uang setoran bulanan. Disitu kita saling cerita pengalaman dan kira-kira usaha apa yang memungkinkan. Kalau ada yang nggak jalan usahanya ibu datengin, siapa tahu punya jalan buat bantu. Kalau pelatihan biasanya ikut dari

bu Kokom...” (Ibu Enok, Pendamping Lapang PEKKA kelurahan Baros).

Gambar 14 Sebaran responden peserta PEKKA Kota Cimahi menurut partisipasi perempuan dalam program PEKKA tahun 2016

Pendampingan biasanya dilakukan setiap bulan untuk meninjau keberlanjutan program PEKKA dan kegiatan anggotanya. Pelatihan dilakukan dalam lingkup PEKKA Kota Cimahi dengan berbagai kegiatan, namun berkonsentrasi pada kegiatan yang dekat dengan perempuan seperti menjahit, memasak, membuat kerajinan, dan sebagainya.

Kontrol Perempuan

Kontrol perempuan peserta program PEKKA dalam penelitian ini diukur dengan sejauhmana perempuan dapat melibatkan dirinya dalam program tanpa adanya pihak-pihak yang mendominasi.

Gambar 15 Sebaran responden peserta PEKKA Kota Cimahi menurut kontrol perempuan dalam program PEKKA tahun 2016

Kontrol pada program PEKKA ini dilihat dari kuasa untuk menentukan kebutuhan kegiatan, pengambilan keputusan, dan pemanfaatan dana PEKKA Kota Cimahi. Dalam penentuan kebutuhan kegiatan, perempuan bukan hanya menentukan secara mandiri waktu pelatihan namun juga menentukan materi pelatihan yang dibutuhkan. Dana hibah PEKKA diberikan sebesar Rp 500 000 kepada setiap anggota PEKKA. Selain dalam bentuk uangg, ada pula yang memanfaatkan dana PEKKA dengan mengajukan pemenuhan kebutuhan usaha, seperti alat masak, alat jahit, dan sebagainya.

Ikhtisar

PEKKA bertujuan meningkatkan aspek-aspek seperti kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol peserta dalam program. Akses peserta berbeda dari setiap kelurahan karena jumlah pelatihan yang berbeda. Kesadaran kritis beragam dikarenakan pandangan peserta perempuan belum semuanya terbuka akan adanya kesetaraan gender sehingga masih terpengaruh akan konstruksi gender di sekitarnya.

Partisipasi perempuan dalam program bergantung pada jumlah pelatihan dan pendampingan, namun semua mengikuti kegiatan secara rutin. Kontrol program hanya dimiliki oleh pengurus program karena anggota PEKKA hanya dilibatkan dalam kegiatan dan tidak dilibatkan pada proses perencanaan program dan perguliran dana program.

KONTRIBUSI PEREMPUAN DALAM PEMENUHAN