• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Karya Sastra Pengarang Kalimantan Barat dalam Pemertahanan Bahasa Daerah lewat Penamaan Tokoh Fiksi

Dalam dokumen Derogasi dan Eufemisasi pada Film Crash (Halaman 85-89)

Musfeptial, Balai Bahasa Kalimantan Barat, Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat

Abstrak

Kajian ini berusaha memaparkan fungsi karya sastra pengarang Kalimantan Barat sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah. Penamaan tokoh fiksi dalam sastra dengan dimensi lokalitas tentu menarik untuk dicermati. Setidaknya dari aspek pemertahanan bahasa daerah. Kajian ini berangkat dari pendapat Garvin dan Mathiot tentang sikap bahasa. Selain itu, kajian ini juga didukung dengan pendekatan deskriptif analisis. Kajian menunjukkan bahwa banyak pengarang memberikan nama pada tokoh dalam karyanya berangkat dari bahasa lokal. Nama tokoh rekaan

Aki Gurung, Aki Sangki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, Umak pada cerpen Pusak Untun

Banin karya Yusriadi dan tokoh rekaan Mukan, Tuai Serang, Indai, Medang, Lansi, Siyan pada cerpen Agik Idup Agi Ngelaba karya Dedy Ari Asfar serta Wak Dolah, Wak Andak Onget, dan

Pak Mok Adnan pada cerpen Antu Bengkek karya Saifun Arif Kojeh merupakan contoh

beberapa nama yang digunakan oleh pengarang dalam karya sastranya dalam rangka pemertahanan terhadap bahasa daerah. Nama-nama tokoh rekaan yang dipakai oleh pengarang merupakan nama yang penuh arti bagi masyarakat penuturnya di Kalimantan Barat, yaitu masyarakat Dayak dan Melayu.

Kata kunci: bahasa, lokal, sastra, dan pemertahanan,

Abstract

This study tried to describe the function of literature as the author of West Borneo local language preservation efforts. Naming a fictional character in literature with dimensions of locality is certainly interesting to observe. At least from the aspect of language retention area. This study departs from Garvin and Mathiot opinion on language attitudes. In addition, this study was also supported by the descriptive analysis approach. Studies show that many authors give the names of the characters in his departure from the local language. Name a fictional character Aki Gurung, Sangki Aki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, Umak on stories Pusak this gracious work Yusriadi Banin and Mukan fictional character, Tuai Serang, Indai, Medang,

Lansi, Siyan on the short story works Agik Idup Agi Ngelaba Dedy Ari Asfar and Wak Dolah,

Wak Onget , and Mr. Mok Adnan on Antu Bengkek Kojeh Arif Saifun work is an example of some of the names used by the author in literary works in the context of preservation of the local language. The names of fictional character used by the author is a meaningful name for the community of naïve speakers in West Borneo, the Dayak and Malay.

Keywords: language, local, literature, and retention

1. Pendahuluan

Karya sastra merupakan hasil cipta kreatif sekaligus imajinatif dari pengarang. Sebagai karya kreatif, karya sastra lahir dari kreativitas seorang pengarang dalam mengolah kata-kata. Tidak jarang dengan kreativitas yang dimiliki, seorang pengarang akan memunculkan karya sastra dengan tema dan gaya penyajian yang sangat berbeda denga karya sastra terdahulu. Dikatakan imajinatif karena karya sastra lahir dari pengolahan imajinasi seorang pengarang. Daya imajinasi tersebut muncul akibat pergelutan pengarang dengan lingkungan sekitar, baik lingkungan sosial maupun lingkungan budaya masyarakat.

Lingkungan sosial dan lingkungan budaya merupakan dua hal yang sangat berpengauh pada seorang pengarang. Bahkan Teeuw (1984, 220-221) menguraikan hubungan kenyataan

dengan sastra. Menurut Teeuw, dalam karya sastra terjadi perjalanan bolak balik antara kenyataan dengan khayalan pengarang. Suatu kenyataan yang melekat pada karya sastra adalah sebuah kenyataan semu yang sudah diolah melalui proses observasi, penelaahan, dan penafsiran yang dilakukan seorang pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dihadapi, dan dirasakannnya. Sejalan dengan itu, Junus (1989:10) menjelaskan bahwa realitas pada sebuah karya sastra bukanlah suatu realitas telanjang, yang sahih dan yang semata-mata mewakili relitas konkrit dalam kehidupan. Dengan demikian, realitas dalam karya sastra akan memiliki relasi dengan fenomena dan dinamika sosial dan budaya yang ada pada masyarakat atau yang lebih dikenal dengan istilah lokal.

Fenomena lokalitas dalam karya sastra merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan fenomena ini telah berlangsung lama. Setidaknya dalam perkembangan sastra Indonesia, dari zaman sebelum kemerdekaan, dari zaman Balai Pustaka, dan Pujangga Baru sampai saat ini lakolitas telah ikut mewarnai perkembangan sastra Indonesia. Dalam tataran sastra yang ditulis oleh pengarang Kalimantan Barat, fenomena ini juga dapat diamati. Banyak karya sastra diciptakan oleh pengarang Kalimantan Barat yang bernuansa lokal. Banyaknya nuansa lokal dalam karya sastra pengarang Kalimantan Barat tentu menjadi objek menarik untuk dianalisi. Setidaknya sesuai dengan batasan masalah yang menjadi pumpunan kajian utama pada makalah ini yaitu bagaimanakah peran karya sastra dalam pemertahanan bahasa daerah lewat penamaan tokoh fiksi. Kajian ini berangkat dari konsep sikap positif bahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (dalam Chaer,dkk. 2010:152). Lebih jauh Garvin dan Mathiot menjelaskan bahwa ada tiga ciri sikap positif bahasa, yaitu (1) kesetiaan bahasa (language loyality); (2) kebanggaan bahasa (language pride); dan (3) kesadaran adanyo norma bahasa (awarensess

language) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun. Selain

itu, kajian ini didukung dengan pendekatan deskriptif analisis.

2. Pembahasan

Sebagai hasil cipta pengarang Kalimantan Barat, karya sastra yang dhasilkan oleh pangarang tersebut memuat banyak kosa kata yang bernuansa lokalitas. Selain itu, hal yang penting juga, para pengarang Kalimanrtan Barat telah berusaha memunculkan tokoh fiksinya dengan nama-nama lokal. Hal ini teleh menumbuhkan secercah harapan dalam pemertahaan bahasa daerah, khususnya bahasa Dayak dan Melayu. Selain itu, pengunaan bahasa daerah yang ditampilkan oleh pengarang dalam karya sastra juga dapat disebut sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah dari kepunahan karena pengarang telah melakukan pendokumenan bahasa dan budaya daerah melalui karya sastra (Septianingsih, badanbahasa.kemdikbud go id)

Dilihat dari aspek kesetiaan bahasa dan kebanggaan bahasa jelas ini merupakan bentuk kesetiaan dan kebanggaan pengarang Kalimantan Barat atas bahasa mereka. Berikut data yang didapat dari beberapa karya pengarang Kalimantan Barat yang menggunakan nama lokalitas dalam karya mereka. Pertama cerpen Pusak untuk Banin karya Yusriadi. Nama tokoh lokal yang dimunculkan adalah tokoh Aki Gurung, Aki Sangki, Aki Lanyuk, Kurat, Tamal, Jamit, dan Umak Intuk. Kedua, cerpen Agik idup Agik Ngelaban karya Dedy Ari Aspar. Nama tokoh yang dimunculkan yaitu Mukan, Tuai Serang, Indai, Medang, Lansi, dan Siyan. Ketiga yaitu cerpen Antu Bengkek karya Sapun Arif Kojeh. Tokoh lokal yang dimunculkan adalah Wak

Dolah, Wak Andak Onget, dan Pak Mok Adnan. Keempat adalah naskah drama drama Ngander Gugat karya Ilham Setia. Adapaun tokoh lokal yang ada pada naskah drama ini adalah Ngander,

Degel, Alim.

Nama lokalitas dalam pada karya pengarang Kalimantan Barat tersebut secara umum dapat dibedakan atas lima pembagian. Pertama, nama khas Melayu Kalimantan Barat. Kedua, nama khas Dayak Kalimantan Barat. Ketiga, nama sebuatan dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Dayak. Keempat, nama sebutan dalam hubungan kekerabatan pada masayarak Malayu, dan kelima sebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan.

Nama khas Melayu Kalimantan Barat berupa nama Dolah, Andak Onget, dan Adnan, Ngander, dan Degel. Dari nama nama ini, nama yang jarang digunakan adalah nama Andak

digunakan di kalangan masyarakat Melayu Kalimantan Barat. Nama degel, yang bermakna kumal dan ngander yang berarti lugu, pada saat sekarang ini tidak pernah digunakan lagi. Hal ini mungkin dikarenakan kedua nama tersebut bermakana kurang baik.

Nama khas Dayak seperti Gurung, Kurat, Sangki, Lanyut, Tamal, Jamit, Intuk, Mukan, Serang, Medang, Lansi, dan Siyan. Merupakan nama-nama yang sampai saat sekarang ini masih banyak dipakai oleh masyarakata Dayak. Nama-nama tersebut jelas khas dan mecirikan nama-nama masyarakat Dayak. Agak jarang dan bahkan tidak pernah nama-nama-nama-nama tersebut ada pada msarakat suku lain. Artinya, nama-nama ini juga menjadi ciri khas penamaan pada masyarakat Dayak.

Semantara itu, nama sebutan pada masyarakat Melayu , seperti nama sebutan wak dan

pak Mok. Nama sebutan wak berasal dari kata uwak yang bermakana bermakna bapak.

Panggilan wak tidak hanya sekadar dari anak kepada orang tuanya. Akan tetapi penggunaanya sangat luas. Bisa jadi digunakan untuk penyebutan untk orang tua yang cukup terpandang dan dihormati di seuatu kampong. Dengan demikian, bisa jadi pada suatu kampaung itu banyak orang tua yang dipanggil dengan wak karena alasan penghormatan kepadanya. Lain halnya dengan sebutan pak mok, sebutan ini lebih bersifat bentuk fisik. Pak mok bermakna bapak yang gemuk. Budaya seperti ini sangat dominan pada masyarakat Melayu Kalimantan Barat, seperti untuk perempuan yang lebih tua biasa dipakai sebutan mak long atau kak long, untuk yang warna kulitnya diangap putih dipakai mak utih. Mak ndah untuk yang pendk, dan sebagainya.

Sebutana kekerabatan pada msyarakat Dayak seperti aki, umak, dan indai. Aki bermakna kakek. Umak dan indai bermakna ibu. Ketiga sebutan kekerabatan ini masih dipakai pada masyarakat Dayak. Dengan adanya pemanfaatan nama-nama khas daerah dan sebutan kekerabana ini pada karya sastra dan kemudian karya sastra tersebut dibaca oleh generasi muda secara tidak langsung para pengarang telah berperan dalam pelestarian bahasa daerah.

Kelima adalah penyebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan. Pada msayarakat Dayak, dalam cerpen Agik idup agik Ngelaban, penyebutan pemimpin adalah tuai yang bermakna pemimpin rumah atau dapat disamakan dengan kepela kampung pada satu suku. Tuailah yang berkuasa atas sesuatu putusan dalam kampung tersebut. Tidak satu orang pun orang Dayak akan berani membantah perintah dan putusan tuai karena ia meyakini bahwa tuai adalah wakil jubata ( Tuhan) di bumi.

Lain halnya dengan masyarakat Melayu Kalimantan Barat, pada naskah drama Ngader Gugat karya Ilham Setia, sebutan pemimipin yang digunakan adalah alim. Alim bwermakna orang yang alim dan mengerti seluk beluk ajaran agama Islam. Artinya, pemimpin pada naskah drama ini berorientasi Islam. Ini dapat dipahami karena konsep Melayu yang mereka yakini adalah bahwa Melayu adalah Islam. Dengan demikian, pemakaian sebutan alim pada naskah drama ini sangat berkaitan dengan budaya yang berkembang pada masyarakat Melayu Kalimantan Barat.

3. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan nama tokoh dalam karya pengarang Kalimantan Barat sangat penting dalam pemertahaan bahasa daerah. Setidaknya pengarang Kalimantan Barat telah berperan dalam pemeliharaan kosa kata daerah baik kosa kata yang masih dipakai maupun kosa kata yang keberadaannya diambang kepunahan. Setidaknya ada lima pengelompokkan yang dapat dilakukan terhadap pemanfaatan nama tokoh lokal dalam sastra pengarang Kalimantan Barat, Pertama, nama khas Melayu Kalimantan Barat. Kedua, nama khas Dayak Kalimantan Barat. Ketiga, nama sebuatan dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Dayak. Keempat, nama sebutan dalam hubungan kekerabatan pada masayarak Malayu, dan kelima sebutan yang berhubungan dengan kepemimpinan

Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustine 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT.Rineka Cipta.

Junus, Umar. 1989. Fiksyen dan Sejarah Suatu Dialog. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.

Septiningsih, Lustantini.Tanpa tahun. “Pemertahanan Bahasa Daerah Melalui Penggunaan Bahasa Daerah dalam Karya Sastra”. badanbahasa.kemdikbud go id. Diunduh tanggal 1 Juli 2014.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Serbuan Bahasa Inggris dalam Iklan Perdagangan dan Pengaruhnya Terhadap

Dalam dokumen Derogasi dan Eufemisasi pada Film Crash (Halaman 85-89)